Mengukur
sikap
Judul:
Sikap Manusia: Teori dan Pengkurannya
Penulis:
Dr. Saifuddin Azwar, M.A.
Penerbit:
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun:
Mei 2010, Cet. XIV
Tebal:
xiv + 198 halaman
Tulisan
edisi: Rabu, 20 November 2013, 16:00
Alhamdulillah,
sekali lagi berpeluang untuk menyempatkan diri untuk kembali membuat catatan
dari sebuah buku yang merupakan salah
satu bahan utama dalam skripsiku. Kali ini seperti biasa aku akan mengutip
poin2 yang dianggap penting saja. Kepada teman yang berkebutuhan terhadap ide
utuh dan lengkap dari penulis buku disarankan untuk merujuk langsung ke buku
sumber tersebut.
Baik,
lets starte....
Prolog: dalam menghadapi lingkungan dan
situasi atau interaksi sosial, pernahkan kita merasa benar2 netral dan bereaksi
tanpa rasa suka atau tidak suka terhadap mitra atau objek reaksi kita?
Pernahkan kita dapat sama sekali melepaskan sama sekali perasan senang dan
tidak senang dari persepsi dan perilaku kita? Agaknya hal ini sangat sulit
untuk terjadi. Selalu ada saja mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku
kita terhadap manusia atau sesuatu yang sedang kita hadapi, bahkan terhadap
diri kita sendiri.
Itulah fenomena sikap yang timbulnya
tidak saja ditentukan oleh keadaan subjek yang sedang kita hadapi, tetapi juga
oleh kaitannya dengan pengalaman2 masa lalu, oleh situasi saat sekarang, dan
oleh harapan2 kita untuk masa yang akan datang. Lalu, apakah sikap itu sebenarnya?
Secara historis, isitilah “sikap” (attitude)
digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu
diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa2 awal itu pula
penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik
atau posisi tubuh seseorang.
Pada tahun 1888 Lange menggunakan
istilah sikap dalam bidang eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan
kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba2. Oleh Lange,
kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untuk memberikan
respons itu disebut aufabe atau task attitude. Jadi, menurut
istilah Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan
mencakup pula aspek respons fisik.
·
Sikap dalam Definisinya
Berkowitz menemukan adanya lebih
dari tigapuluh definisi sikap, dan pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah
satu di antara tiga kerangka pemikiran.
Pertama
adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood. Menurut mereka, sikap adalah
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu
objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan
tidak memihak (unfavorable)pada objek tersebut. Secara lebih spesifik,
Thrustone sendiri memformulasikan sikap sebagai ‘derajat afek positif atau afek
negatif terhadap suatu objek psikologis’.
Kelompok
pemikiran kedua diwakili oleh para ahli
seperti Chave, Bogardus, LaPierre Mead, dan Gordon Allport yang konsepsi mereka
tentang sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara2 tertentu.
Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan
potensial untuk bereaksi dengan cara2 tertentu apabila individu dihadapkan pada
suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre mendefinisikan sikap
sebagai ‘suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi
untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap
adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan’.
Kelompok
pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadik (triadis
scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen2 kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman,
misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’. H.4-5
Di samping pembagian kerangka pemikiran
tradisional seperti terurai di atas, di kalangan ahli Psikologi Sosial mutakhir
terdapat pula cara lain yang populer guna klasifikasi pemikiran tentang sikap,
dalam dua pendekatan sebagai berikut:
-
Pendekatan pertama memandang sikap sebagai kombinasi reaksi
afektif, perilaku dan kognitif terhadap suatu suatu objek. Ketiga komponen
tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini, yang
pada uraian di atas dikenal dengan nama skema triadik, disebut juga pendekatan tricomponent.
-
Pendekatan kedua timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas
penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi di antara ketiga komponen
kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap. Oleh karena itu pengikut
pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap hanya pada aspek
afektif saja (single component). Definisi yang mereka mereka ajukan
bahwa sikap tidak lain adalah ‘afek atau penilaian – positif atau negatif –
terhadap suatu objek’. Di antara pengikut pemikiran ini adalah Fishbein &
Ajzen, Oskamp, Petty & Cacioppo.
Kalau Thurstone menekankan definisinya pada
intensitas afek terhadap suatu objek, maka Cacioppo dalam definisinya lebih
menekankan aspek evaluasi atau penilaian sebagai karakteristik sikap yang lebih
menentukan. Hal ini menurutnya diakarenakan sikap kadang2 tidak menimbulkan
afek sama sekali. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan ‘sikap
adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain,
objek, atau isyu2.
Katz & Stotland dan Smith menganggap
bahwa konsepsi respons2 sikap yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif
sebagaimana dalam skema triadik di atas bukan sekedar cara klasifikasi definisi
sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. H.6
Bagi para ahli ini, masing2 aspek tersebut
memang merupakan komponen yang konstrak teoretiknya berbeda satu sama lain.
Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional yang terdiri atas kognisi,
afeksi, dan konasi. Sekalipun kesemua komponen berada pada suatu kontinum
evaluatif akan tetapi pernyataan masing2 dapat berbeda. Sebagai contoh, orang
yang cemas atau takut untuk bepergian dengan naik pesawat terbang (afek negatif
terhadap penerbangan) dapat saja percaya bahwa pilot pesawat adalah orang yang
terlatih dan berpengalaman di bidangnya (kognisi positif mengenai pilot) dan
karenanya tetap bersedia ikut terbang (konasi positif).
Ahli2 yang lain mendefinisikan konstrak
kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi
mengenai sikap. Pandangan ini, yang dinamakan tripartite model menempatkan
ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama
dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian
dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal
jenjang kedua. Sikap seseorang terhadap suatu objek selalu berperanan sebagai
perantara antara responsnya dan objek yang bersangkutan. Respons
diklasifikasikan dalam 3 macam, yaitu respons kognitif (respons perseptual dan
pernyataan mengenai apa yang diyakini), respons afektif (respons syaraf
simpatetik dan pernyataan afeksi), serta respons perilaku atau konasi (respons
berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku). Masing2 klasifikasi respons
ini berhubungan dengan ketiga komponen sikapnya. Lebih lanjut dikatakan dengan
melihat salah satu saja di antara ketiga bentuk respons tersebut siikap
seseorang sudah dapat diketahui. Walaupun begitu, deskripsi lengkap mengenai
sikap individu harus diperoleh dengan melihat ketiga macam respons secara
lengkap.
·
Breckler & Wiggins dalam definisi mereka mengenai sikap
mengatakan bahwa sikap –yg diperoleh lewat pengalaman- akan menimbulkan
pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut
lebih berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila
kondisi dan situasi memungkinkan. Kondisi apa, waktu apa, dan situasi bagaimana
individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya merupakan sebagian dari
determinan2 yang sangat berpengaruh terhadap konsistensi antara sikap dengan
pernyataannya dan antara pernyataan sikap dengan perilaku.
Apabla individu berada dalam situasi betul2
bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi
sikapnya, maka dapat diharapkan perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi
sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam diri
individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan dari sikap
yang sesungguhnya terhadap sesuatu.
Apabila individu mengalami atau merasakan
adanya hambatan yang dapat mengganggu kebebasan dalam menyatakan sikap yang
sesungguhnya atau bila ia merasakan ada ancaman fisik atau mental yang dapat terjadi
padanya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakannya, maka apa
yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan
dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang
dipegangnya sebagai suatu keyakinan (belief). Ancaman fisik yang timbul
akibat dinyatakannya sikap murni secara terbuka daat berupa hukuman fisik
langsung, permusuhan, tersingkirkan dari pergaulan sosial, pengrusakan, atau
bentuk2 perlakuan lain yang diterima dari sesama anggota masyarakat atau dari
penguasa. Ancaman mental dapat berupa rasa malu yang diderita, perasaan tidak
dianggap, khawatir dianggap bodoh, rasa takut kehilangan simpati orang lain,
dan lain2 semacamnya.
Dalam contoh bentuk perilaku sederhana,
misalnya ketika ditawari makanan, biasanya rasa suka-tidak suka terhadap
makanan tersebut sudah cukup menjadi faktor penentu bagi kita untuk mengatakan
“ya” untuk menerima atau “tidak” untuk
menolak. Tapi bila situasinya sedikit berubah menjadi lebih kompleks misalnya
ketika kita sedang lapar dan ditawarin makanan yang kebetulan kita sukai
seharusnya kita menyatakan “ya” untuk menerima dan “tidak” untuk menolak, lalu
tiba2 kita menyadari bahwa tawaran itu hanya basa-basi maka sangat mungkin kita
akan menilak walaupun pernyataan itu bertentangan dengan hati dan sikap kita
terhadap makanan tersebut. Dalam hal ini, norma subjektif lebih berperanan
menentukan bentuk perilaku kita dibandingkan sikap yang kita pegang. Inilah
yang dijelaskan oleh model theory of reasoned action bahwa respons
perilaku ditentukan tidak saja oleh sikap individu akan tetapi juga oleh norma
subjektif yang ada dalam diri individu bersangkutan.
Dengan demikian, penyimpulan mengenai sikap
individu adalah tidak mudah dan bahkan dapat menyesatkan bila diambil langsung
dari bentuk2 perilaku yang tampak saja. Tidaklah tepat untuk mengharapkan
adanya hubungan langsung yang nyata antara sikap dan perilaku manusia.
·
Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus didasarkan
pada suatu fenomena yang diamati dan dapat diukur. Fenomena ini berupa respons
terhadap objek sikap dalam berbagai bentuk. Rossenberg dan Hovland melakukan
berikut adalah respons yang dapat digunakan untuk penyimpulan sikap.
Tipe Respons
|
Keterangan Respons
|
||
Kognitif
|
Afektif
|
Konatif
|
|
Verbal
|
Pernyataan keyakinan mengenai objek sikap
|
Pernyataan perasaan terhadap objek sikap
|
Pernyataan intensi perilaku
|
Non-verbal
|
Reaksi perseptual terhadap objek sikap
|
Reaksi fisiologis terhadap objek sikap
|
Perilaku tampak sehubungan dengan objek
sikap
|
Respons kognitif verbal merupakan
pernyataan mengenai apa yang dipercayai atau diyakini mengenai objek sikap. Kita
mengetahui apakah seseorang memiliki sikap positif terhadap negara Palestina,
misalnya, karena ia mengatakan (menyatakan) bahwa ia percaya akan hak orang
Palestina telah dirampas oleh kaum Yahudi secara tidak sah. Respons kognitif
yang non-verbal lebih sulit untuk diungkapkan di samping informasi tentang
sikap yang diberikannya pun bersifat tidak langsung. Untuk mengungkap bagaimana
sikap seseorang terhadap Palestina mungkin kita perlu memperhatikan reaksinya
terhadap artikel2 atau gambar2 mengenai Palestina. Apakah ia menaruh perhatian
terhadap berita2 yang menyangkut Palestina dan tindakan Israel di sana.
Respons
afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal perasaan seseorang mengenai
sesuatu. Kalau seseorang memberikan komentar negatif terhadap perlakuan Yahudi
terhadap penduduk Palestina di Jalur Gaza (misalnya betapa sebalnya ia terhadap
perbuatan serdadu Israel) dapat diartikan bahwa sangat mungkin sikapnya
terhadap Palestina adalah positif. Respons afektif non-verbal berupa reaksi
fisik seperti ekspresi muka yang mencibir, tersenyum, gerakan tangan dsb, yang
dapat menjadi indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada objek sikap.
Respons
konatif pada dasarnya merupakan kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk
verbal, intensi ini terungkap lewat pernyataan keinginan atau kecenderungan
untuk melakukan. Dalam contoh kasus Palestina, bentuk pernyataan konatif dapat
berupa keinginan untuk ikut serta dalam solidaritas Palestina, dukungan2 verbal
dlsb, sedangkan respons konatif non-verbal dapat berupa ajakan pada orang lain
untuk menyumbangkan uang bagi pengungsi Palestina, misalnya.
·
Interaksi Komponen2 Sikap
Para ahli Psikologi Sosial
banyak beranggapan bahwa 3 komponen sikap adalah selaras dan konsisten,
dikarenakan apabila dihadapkan dengan satu objek sikap yang sama maka ketiga
komponen itu harus mempolakan arah sikap yang seragam.
Namun apakah yang terjadi
bika trio komponen ini tidak konsisten satu sama lain?
Teori mengatakan bahwa
apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan
yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya
mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsitensi itu tercapai
kembali. Prinsip inilah yang banyak dimanfaatkan dalam memanipulasi sikap guna
mengalihkan bentuk sikap tertentu menjadi bentuk yang lain, yakni dengan
memberikan informasi berbeda mengenai objek sikap yang dapat menimbulkan inkonsistensi
di antara komponen2 sikap seseorang.
Kita ambil contoh sikap
seseorang terhadap daging kuda, informasi tentang bahaya memakan daging kuda
(misalnya saja) disertai sugesti bahwa rasa daging kuda jauh dari enak, akan
memperkuat sikap negatif terhadap daging kuda. Akan tetapi, seseorang yang
percaya daging kuda tidak enak dan merasa tidak suka pada daging tersebut,
kemudian tanpa sengaja mencicipi daging kuda yang dibuat bistik dan menemukan
bahwa bistik tsb sungguh lezat, akan mengalami ketidakseimbangan dalam
interaksi ketiga komponen sikapnya yang semula negatif. Inkonsistensi antar
komponen ini terjadi karena ia mengetahui bahwa kepercayaan (kognisi)nya selama
mengenai rasa daging kuda tidaklah selaras dengan rasa tidak suka (afeksi)nya
dan dengan perilaku (konasi)nya yang tidak memakan daging kuda. Karena itu,
untuk mengembalikan keseimbangan semula, akan terjadi proses perubahan sikap.
Dalam hal ini, sikap yang semula negatif berangsur-angsur menjadi netral dan
kemudian sangat mungkin menjadi positif.
Konsistensi internal di
antara ketiga komponen sikap lebih terasa perlu dipertahankan pada sikap yang
intensitasnya ekstrim, seperti sikap sangat setuju (sangat +) dan sikap yang
sangat tidak setuju (sangat -). Semakin ekstrim intensitas sikap seseorang maka
akan semakin terasa apabila ada semacam serangan terhadap salah satu komponen
sikapnya. Dari segi lain, sikap yang ekstrim juga biasanya tidak mudah untuk
diubah. Hal ini menyebabkan timbulnya bentuk perilaku kompensatif apabila
terjadi ketidakseimbangan komponen sikap. Perilaku kompensatif tersebut dapat
berbentuk reaksi berlebihan yang searah dengan sikap semula dan secara tidak
sadar diperlihatkan individu untuk mempertahankan ego. Jadi, walaupun dalam
hati mengakui kelezatan daging kuda, dan terjadi ketidakseimbangan kognitif
dalam diri, akan tetapi sebagai reaksi pertahanan ego dapat saja orang yang
bersangkutan bereaksi berlebihan dengan tetap mengatakan bahwa daging kuda
tidak enak dan selalu memnunjukkan pernyataan jijik terhadap daging kuda.
Dalam ketiga komponen sikap
juga terdapat perbedaan tingkat atau kadar, serta terdapat pula perbedaan
kompleksitasnya. Pada suatu tingkatan sederhana, komponen afektif sikap
seseorang dapat berarti sekedar suka atau tidak suka terhadap daging kuda, namun
pada tingkat yang lebih kompleks komponen afektif itu dapat berarti adanya
reaksi emosional seperti kecemasan atau kekhawatiran apabila termakan daging
kuda, bahkan kebencian pada orang yang menjual daging kuda. Dalam proporsinya,
suatu sikap yang didominasi oleh komponen afektif yang kuat dan kompleks akan
lebih sukar untuk berubah walaupun dimasukkan informasi baru yang berlawanan
mengenai objek sikapnya.
·
Pembentukan Sikap
Dalam interaksi sosialnya, individu
bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah: pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media
massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam
diri individu.
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang
kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita thdp stimulus
sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat
mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus harus mempunyai pengalaman
yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan
membentuk sikap positif atau negatif, akan tergantung pada berbagai faktor
lain. Sehubungan hal itu, Middlebrook mengatakan bahwa ada tidak adanya
pengalaman sama seklai dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk
sikap negatif terhadap objek tersebut.
Contoh terbentuknya sikap
dari pengalaman, dalam suatu situasi emosional (misalnya sewaktu sedang sangat
lapar atau badan sangat lelah, pada suatu hari yang sangat panas) kalau kita
masuk ke sebuah restoran milik si A dan ternyata mendapat layanan yang tidak
memuaskan, maka akan sangat mudah terbentuk kesan negatif yang kemudian menjadi
dasar pembentukan sikap negatif terhadap si A. Sebaliknya, dalam suatu situasi
emosional (misalnya ketika sedang ditimpa musibah) tiba2 tanpa diduga, si A
datang memberikan bantuan yang sangat kita butuhkan maka akan terbentuk sikap
positif terhadapnya yang selanjutnya dapat menjadi dasar pembentukan sikap
positif terhadap si A.
Untuk menjadi dasar
pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalka pesan yang kuat.
Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman peribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi
yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan
lebih lama berbekas.
Namun, dinamika ini tidaklah
sederhana karena suatu pengalaman tunggal jarang sekali dapat menjadi dasar
pembentukan sikap. Indivdu sebagai penerima pengalaman, orang yang melakukan
tanggapan atau penghayatan, biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedan
dialaminya dari pengalaman2 lain yang terdahulu, yang relevan. Bagaimana
individu bereaksi terhadap pengalaman saat ini jarang lepas dari penghayatan
terhadap pengalaman di masa lalu. Misalnya, pengalaman pahit yang dialami
sekarang sewaktu berhubungan dengan si A, belum tentu akan dapat menghapuskan
kesan manis dari pengalaman dengan si A di waktu lalu dan karenanya sikap
negatif terhadap si A pun sangat mungkin tidak terbentuk.
b. Pengaruh orang lain
yang dianggap penting
Orang2 sekitar merupakan
salah satu di antara komponen sosial yang membentuk sikap. Seseorang yang kita
anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak
tingkah dan pendapat kita, seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant
others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu.
Di antara orang yang biasanya sangat penting bagi individu adalah orang tua,
orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru,
teman kerja, isteri atau suami dan lain2.
Pada umumnya, individu
cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang
yang dianggapnya penting. Kencenderungan ini antara lain dimotivasi oleh
keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan
orang yang dianggap penting tersebut.
Pada masa anak dan remaja,
orang tua biasanya menjadi figur utama yang berarti bagi anak, dan karenanya
menjadi determinan utama bagi sikap anak. Namun, biasanya bila dibandingkan
dengan pengaruh teman sebaya maka pengaruh sikap orang tua jarang menang. Hal
ini terutama lebih terlihat pada anak2 remaja di sekolah menengah atau
perguruan tinggi. Seorang anak yang biasanya belum begitu kritis mengenai suatu
hal, akan cenderung mengambil sikap yang serupa dengan sikap orangtuanya karena
adanya proses imitasi atau peniruan terhadap model yang dianggapnya penting,
yakni orangtuanya sendiri. Akan tetapi, apabila terjadi pertentangan antara
sikap orang tua dengan sikap teman2 sebaya dalam kelompok anak tersebut, maka
anak akan cenderung untuk mengambil sikap yang sesuai dengan kelompok.
Bagi anak, persetujuan atau
kesesuaian sikap sendiri dengan sikap kelompok adalah sangat penting untuk
menjaga status afiliasinya dengan teman2, untuk menjaga agar tidak dianggap
“asing” dan lalu dikucilka dari kelompok. Sedangkan ketidaksesuaian dengan
sikap orang tua menjadi berkurang pentingnya dan bahkan ketidaksesuaian dapat
dianggapnya sebagai bentuk independensi atau kemandirian yang dapat
dibanggakannya.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita. Bila kita hidup dalam budaya yang
mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan
mempunyai sikap mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Hidup
dalam budaya sosial yang mengutamakan kehidupan berkemompok, sangat mungkin
kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualistis yang
mengutamakan kepentingan perorangan.
Burrhus Frederic Skinner
sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk
pribadi seseorang. Kepribadian, katanya, tidak lain daripada pola perilaku yang
konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami. Kita
memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement
(penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan
untuk sikap dan perilaku yang lain.
d. Media massa
Dalam penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan2 yang berisi sugesti
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu
hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan2 sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup
kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu.
Walau tidak sebesar pengaruh
interaksi individual secara langsung, peran media massa dalam pembentukan dan
perubahan sikap tidak kecil artinya. Karena itulah, iklan sebagai salah satu
bentuk informasi sugestif dalam media massa, selalu dimanfaatkan guna
meningkatkan penjualan atau memperkenalkan suatu produk baru. Dalam iklan
selalu berisi informasi positif mengenai suatu produk yang menimbulkan pengaruh
afektif positif pula. Dan hakikatnya iklan adalah suatu bentuk strategi
persuasi dan strategi pembentukan sikap positif terhadap barang yang ditawarkan
yang menjadi objek sikap konsumen.
Di berbagai media komunikasi,
berita2 faktual yang seharusnya disampaikan secara objektif seringkali dimasuki
unsur subjektifitas penulis/penyampai berita, baik sengaja maupun tidak. Hal
ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca/pendengarnya., sehingga
dengan hanya menerima berita2 yang sudah kemasukan unsur subjektif itu,
terbentuklah sikap tertentu.
Sebagai contoh, berita
kecelakaan yang menelan korban jiwa, sebelum mendapat putusan hakim tentang
pihak mana yang bersalah, seharusnya diberitakan secara deskriptif dan tidak
bersifat menilai. Akan tetapi dalam penyampaiannya, seringkali secara tidak
sengaja terselip kata2 “karena kecepatan yang sangat tinggi sopir tidak dapat
menguasai kendaraan...”, misalnya, padahal penulis berita belum tentu memiliki
informasi akurat mengenai kecepatan kendaraan yang bersangkutan apalagi bila ia
tidak melihat kejadian itu sendiri. Kata “kecepatan tinggi” seketika mengandung
daya sugesti yang kuat untuk menyalahkan pihak pengendara dan segera menjadi
dasar bagi pembaca untuk bersikap negatif terhadap pengendara tersebut.
Lebih lenjut, penyampaian
informasi sugestif melalui media massa selalu digunakan pula dalam bidang
politik untuk membentuk sikap tertentu terhadap isyu atau masalah yang sedang
dijadikan topik perhatian para politisi.
e. Lembaga pendidikan dan
agama
Lembaga2 ini mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian
dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis
pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan
dan dari pusat keagamaan serta ajaran2nya.
f. Pengaruh faktor
emosional
Tidak semua bentuk sikap
ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang2,
suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Sikap demikian bisa segera berlalu sementara akan tetapi dapat pula merupakan
sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
Suatu contoh bentuk sikap
yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka (prejudice).
Prasangka didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran, tidak ‘fair’, atau
tidak favorabel terhadap sekelompok orang.
Prasangka seringkali
merupakan bentuk sikap negatif yang didasari oleh kelainan kepribadian pada
orang2 yang sangat frustasi.
·
Persuasi dan Pengubahan Sikap Manusia
Persuasi merupakan usaha pengubahan sikap
individu dengan memasukkan ide, fikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat
pesan2 komunikatif. Pesan yang disampaikan dengan sengaja dimaksudkan untuk
menimbulkan kontradisi atau inkonsistensi di antara komponen sikap individu
atau di antara sikap dan perilakunya sehingga mengganggu kestabilan sikap dan
membuka peluang terjadinya perubahan yang diinginkan.
Ada beberapa pendekatan dalam persuasi ini:
pendekatan tradisional, pendekatan teori kognitif, dan pendekatan
belajar-pesan. Dalam kesempatan ini peringkas hanya akan mencantumkan sedikit tentang pdkt
tradisional, untuk lebih lengkap ttg pdkt ini dan 2 pdkt lainnya silakan
dirujuk ke buku empunya karya.
Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam
persuasi pada umumnya meliputi beberapa unsur, yaitu sumber (source) sebagai
komunikator yang membawa pesan (message-communication)
kepada mereka yang sikapnya hendak diubah (audience), sehingga dikenal
istilah “who says what to whom and with what effect”.
Dalam skema ringkas pendekatan model ini menggambarkan persuasi sbb:
Stimulus > perhatian,
pemahaman, penerimaan > Respons (perubahan sikap).
McGuire menambahkan 2 langkah lanjutan dalam proses persuasi yaitu retensi
atau pengendapan isi yang telah disetujui dan tindakan yang sesuai
dengan isi tersebut.
Robert Baron dan Donn Byrne
mengemukakan bahwa hasil riset mengenai persuasi dengan pendekatan tradisional
ternyata sangat kompleks dan tidak seluruhnya konsisten. Rangkumannya adalah
sbb:
1. Para ahli (orang yang
berkompeten) akan lebih persuasif dibandingkan dengan orang yang bukan ahli.
Suatu pesan persuasif akan lebih efektif apabila kita mengetahui bahwa
penyampai pesan adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
2. Pesan yang ditujukan
untuk mengubah sikap tanpa kentara biasanya lebih berhasil daripada pesan yang
tampak jelas memanipulasi kita. Kita cenderung tidak mau bahkan menolak
dimanipulasi.
3. Komunikator yang
populer dan menarik akan lebih efektif daripada komunikator yang tidak populer
dan tidak menarik.
4. Kadang2 manusia lebih
mudah terpengaruh oleh persuasi sewaktu perhatian mereka terpecah oleh kejadian
lain daripada sewaktu mereka menaruh perhatian penuh pada pesan yang
disampaikan.
5. Individu yang memiliki
harga diri rendah akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki
harga diri tinggi.
6. Bila individu yang
menjadi sasaran memiliki sikap bertentangan dengan sikap para calon pelaku
persuasi maka akan lebih efektif bagi komunikator untuk melakukan pendekatan
dua sisi (two sided-approach) yang menyajikan pandangan kedua belah
pihak daripada pendekatan satu sisi.
7. Orang yang berbicara
cepat umumnya lebih persuasif daripada orang yang berbicara lambat. Temuan ini
bertentangan dengan pendapat umum bahwa orang yang berbicara cepat kurang dapat
dipercaya.
8. Persuasi yang
diperkaya oleh pesan2 emosi yang kuat (khususnya emosi takut) dalam diri orang,
terutama ketika pesannya berisi rekomendasi mengenai bagaimana perubahan sikap
dapat mencegah konsekuensi negatif dari sikap yang hendak diubah. Cara ini
tampaknya sangat efektif apabila sikap atau perilaku yang hendak diubah itu ada
kaitannya dengan aspek kesehatan. H.65-66
Komunikator sebagai penyampai pesan,
efektivitasnya akan tergantung dari beberapa hal, yang telah diteliti secara
ekstensif, antara lain adalah: kredibilitas (credibility), daya tarik (attractiveness),
dan kekuatan (power) komunikator itu sendiri. Sedangkan untuk
efektivitas komunikasi paling tidak dapat dilihat dari 2 aspek yaitu organisasi
dan sisi dari pesan yang disampaikan. Komunikator harus mempertimbangkan untuk
menyampaikan pesan apakah dengan komunikasi yang emosional atau rasional.
Mungkin pula dipertimbangkan pesan apakah harus dengan membangkitkan
kekhawatiran (fear-arrousal) atau menggunakan pesan yang tidak
mengandung unsur pembangkit ketakutan. Pada dasarnya, suatu komunikasi akan
lebih efektif apabila disampaikan secara langsung (face to face).
Menurut penelitian, teknik komunikasi yang efektif adalah dengan mengemukakan
kesimpulan komunikasi secara eksplisit kepada subjek dan dengan
mengulang-ulang. Akan tetapi, pengulangan yang terlalu sering justru akan
mendatangkan penolakan dari individu yang dijadikan target. Penelitian Cacioppo
dan Petty menemukan bahwa pengulangan akan menaikkan perubahan sikap tapi
kemudian kalau diteruskan justru akan menurun efeknya. Ternyata banyaknya
pengulangan yang optimal adalah 3 kali, sedangkan jika lebih maka individu akan
mengalami kebosanan dan dapat malah menolak pesan yang hendak disampaikan. H.77-78
·
Menolak Persuasi
Sebagaimana persuasi, penolakan terhadap
persuasi juga mempunyai strategi tertentu. Di antaranya adalah: perilaku
defensif, peringatan awal, dan inokulasi.
Dalam
perilaku defensif (defensive behaviour), untuk menjadikan persuasi tidak
efektif strateginya adalah dengan menjelekkan sumber penyampai pesan sehingga
kredibilitasnya jatuh. Dengan jatuhnya kredibilitas penyampai, maka batas
penerimaan individu target akan menyempit sehingga pesan tidak akan diterima.
Dalam dunia politik, orang2 dekat dengan penyampai pun biasanya tak luput dari
strategi dari perilaku defensif ini.
Cara lain adalah dengan menyangkal
argumentasi atau membuktikan bahwa argumentasi yang disampaikan adalah salah.
Cara ini lebih sulit dilakukan karena biasanya pesan persuasi selalu dirancang
kebal penyangkalan. Kalau sulit untuk dilakukan, maka individu dapat menolak
persuasi dengan cara mengabaikan atau menganggap pesan yang disampaikan tidak
berarti apa2. Dalam iklan produk biasanya pesan menonjolkan kehebatannya dan
produk lain tidak mengandung sesuatu yang dimiliki produk ini.
Peringatan
awal (forewarning) merupakan bentuk strategi penolakan terhadap pesan
persuasif. Apabila kita tidak ingin seseorang terkena persuasi dan mengubah
sikapnya, kita dapat memberinya peringatan awal sebelum pesan sampai kepadanya,
sehingga ia cenderung akan lebih waspada, kritis, dan berhati-hati, apalagi
bila pesan yang akan disampaikan menyangkut nilai yang sangat penting dan
relevan baginya. Kalau individu diberi peringatan pula mengenai isi pesan yang
akan diterimanya, ia cenderung akan menyusun kontraargumentasi dan semakin
teguh memegang posisinya. Hal ini oleh Cialdini dan Petty disebut anticipatory
polarization effect.
Pada
cara inokulasi (inoculation) usaha penolakan terhadap persuasi dilakukan
dengan melatih orang untuk mempertahankan posisinya sehingga menjadi tidak peka
terhadap pesan2 persuasif dari luar. William McGuire menyebutkan bahwa
pelatihan ini dapat bersifat refutasional (refutational) yaitu latihan
untuk mengalahkan isi komunikasi persuasif atau dapat pula dengan bentuk
suportif (supportive) yaitu pelatihan untuk mendukung sikap atau posisi
yang dimiliki. Dalam hal ini diperlukan penyajian dua-arah, yaitu tidak saja
menyajikan argumentasi yang mendukung sikap individu tetapi juga menyajikan
kelemahan argumentasi pesan yang akan mengubah sikap. Argumentasi yang
mendukung posisi yang ingin dipertahankan diperkuat dengan menekankan kebenaran
dan segi2 positifnya sedangkan argumentasi yang diperkirakan akan menjadi isi
pesan pihak lawan akan ditonjolkan kelemahan dan kesalahannya.
·
Karakteristik Sikap
Sax dalam bukunya Principles of
Educational and Psychological Measurement and Evaluation menunjukkan
beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu: arah, intensitas, keluasan,
konsistensi, dan spontanitasnya.
a. Arah, artinya sikap
terpilah pada dua arah: setuju-tidak setuju, mendukung-tidak mendukung,
memihak-tidak memihak.
b. Intensitas, artinya
kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun
arahnya mungkin tidak berbeda. Misalnya dua orang yang sama2 setuju, tapi orang
pertama bisa saja hanya setuju sedang orang kedua sangat tidak setuju.
c. Konsistensi, maksudnya
adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responsnya
terhadap objek yang dimaksud. Untuk dapat konsisten sikap harus bertahan dalam
diri individu dalam waktu yang relatif panjang.
Harus
dibedakan antara pengertian sikap yang tidak konsisten dengan sikap yang tidak
memihak. Tidak memihak atau netral disebut sikap juga walaupun arahnya tidak
positif atau negatif. Orang dapat saja dikatakan bersikap netral secara
konsisten.
d. Spontanitas,
menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara
spontan. Sikap dapat dikatakan memiliki spontanitas tinggi bila dapat
dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih
dahulu agar individu mengemukakannya.
·
Penghambat Pencurahan Sikap Via Skala Sikap
Brannon meringkas beberapa faktor yang
dapat menghambat pencurahan sikap melalui skala sikap yang berisi pernyataan2,
sbb:
1. Setiap jawaban yang
memiliki alternatif tertentu dan terbatas akan membatasi pula keleluasaan
individu dalam mengkomunikasikan sikapnya. Respons sesungguhnya, yang ingin
dikemukakan, mungkin tidak terdapat di antara alternatif jawaban sehingga ia
hanya dapat memilih yang termirip saja di antara yang ada.
2. Bahasa standar yang dapat
diterima umum yang digunakan dalam skala sikap mungkin tidak mampu
mengungkapkan reaksi2 asli dan tipikal. Istilah2 formal dan sopan seperti
‘aktivitas seksual pranilah’ atau ‘latar belakang sosial-budaya’, seringkali
tidak merupakan istilah yang mudah dicerna dan diasosiasikan oleh responden.
Sejauh mana istilah seperti itu dapat dikaitkan dengan sikap yang relevan akan
banyak tergantung pada imajinasi atau minat responden dalam menjawab.
3. Pertanyaan2 standar
dan formal tidak mampu mengungkap kompleksitas, nuansa2, atau pun warna yang
sesungguhnya dari sikap individu yang sebenarnya. Setiap orang merasakan bahwa
sikapnya memiliki tingkat kompleksitas, intensitas, dan individualitas yang
tidak sama yang tidak dapat dicerminkan oleh isi pertanyaan atau pernyataan
standar yang umumnya terdapat dalam skala sikap.
4. Dalam setiap kumpulan
respons yang diberikan oleh manusia tentu sedikit-banyak akan terdapat eror
atau kekeliruan. Pada pernyataan sikap, eror itu dapat berupa kekeliruan
responden dalam membaca, memahami, atau manafsirkan pernyataan yang disajikan.
Kekeliruan mungkin pula dilakukan oleh pihak yang mencatat, memproses, atau
menganalisis jawaban para responden.
5. Jawaban responden
dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan mereka sendiri akan penerimaan sosial,
persetujuan sosial (social approval), dan keinginan untuk tidak keluar
dari norma yang dapat diteriman oleh masyarakat. Faktor2 semacam itu akan
menghambat keluarnya pernyataan sikap yang sebenarnya sekalipun individu berada
dalam kondisi bebas dan anonim.
6. Situasi interviu
sebelum pengukuran, situasi sewaktu penyajian skala, karakteristik pertanyaan
sebelumnya, harapan subjek mengenai tujuan pengukuran itu, dan banyak lagi
aspek yang ada dalam situasi pengungkapan sikap dapat mempengaruhi respons yang
diberikan oleh individu.
·
Pengukuran Terselubung
Dalam metode pengukuran terselubung (convert
measurement), objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari
atau sengaja dilakukan oleh seseorang, melainkan reaksi2 fisiologis yang
terjadi lebih di luar kendali orang yang bersangkutan.
Sampai batas tertentu memang kita dapat
menafsirkan perasaan orang dari pengamatan atas reaksi wajah, nada suara, gerak
tubuh, dan dari beberapa aspek perilakunya. Gary Wells dan Richard Petty tahun
1980 meneliti reaksi para mahasiswa sewaktu mereka mendengarkan pidato dengan
cara merekamnya diam2. Ternyata apabila para mahasiswa itu mendengar pidato
dari orang yang sepihak atau sependapat dengan mereka dalam suatu hal maka
para mahasiswa itu tanpa sadar membuat
gerakan kepala vertikal ke atas ke bawah sedangkap apabila mereka mendengar
pembicara lain menyampaikan isi pidato yang berlawanan dengan perasaan mereka
maka para mahasiswa secara tidak sadar pula membuat gerakan kepala horizontal.
Observasi perilaku eksternal seperti ini
tetap harus diinterpretasikan dengan hati2 karena masih ada kemungkinan
salahnya kesimpulan yang kita peroleh. Bukankah mengangguk tidak selalu berarti
setuju tetapi dapat juga menjadi tanda seseorang sedang mengantuk. Bukankah
menggelengkan kepala tidak selalu berarti tidak suka tetapi merupakan gerakan
mengusir serangga yang mengganggu atau gerakan mengusir kepenatan leher?
Sudah lama para peneliti mencoba mengungkap
sikap dari perilaku internal yang lebih sulit dikendalikan oleh individu seperti
pengeluaran keringat, degup jantung, dilatasi pupil mata. Hasilnya sama saja.
Reaksi seperti itu memang mencerminkan intensitas sikap seseorang
terhadap suatu objek akan tetapi tidak menceritakan pada kita arah
sikapnya apakah positif atau negatif. Artinya, orang yang merasa sangat senang
(misalnya, emosi gembira sewaktu bertemu) dan orang yang sedang merasa sangat
tidak senang (emosi marah sewaktu bertemu) akan menunjukkan reaksi emosional
yang sama seperti rona muka yang merah padam. Petty Cacioppo menemukan bahwa
rasa cinta dan kebencian menghasilkan rekaman reaksi fisiologis yang kurang
lebih serupa.
Kemudian, John Cacioppo dan Richard Petty
menemukan teknik pengukuran fisiologis yang lebih akurat yang mereka sebut facial
electromyograph (EMG).
Kontraksi otot2 di wajah sewaktu kita
tersenyum berbeda dengan sewaktu kita bersedih atau marah. Dengan EMG dapat
diketahui kontraksi otot2 wajah sehingga dapat pula diketahui apakah seseorang
dalam keadaan suka atau tidak. Apabila kontraksi ini terjadi sewaktu orang
dihadapkan pada suatu objek sikap, dapatlah diketahui apakah orang tersebut
bersikap positif (suka) atau bersikap negatif (tidak suka) terhadap objek yang
bersangkutan. EMG tidak hanya dapat merekam arah sikap seseorang akan tetapi
juga intensitasnya.
·
Kaidah2 Penulisan Pernyataan untuk Mengukur Sikap
Berikut adalah semacam pedoman penulisan
pernyataan yang dirumuskan oleh Edwards (1957) yang disebutnya sebagai kriteria
informal penulisan pernyataan sikap:
1. Jangan menulis
pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat kecuali kalau
objek sikapnya berkaitan dengan masa lalu.
2. Jangan menulis
pernyataan yang berupa fakta atau dapat ditafsirkan sebagai fakta.
3. Jangan menulis
pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran.
4. Jangan menulis
pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya.
5. Jangan menulis
pernyataan yang sangat besar kemungkinannya untuk disetujui oleh hampir semua
orang atau bahkan hampir tak seorang pun yang akan menyetujuinya.
6. Pilihlah pernyataan2
yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan skala afektif yang diinginkan.
7. Usahakan agar setiap
pernyataan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung. Jangan
menuliskan pernyataan dengan menggunakan kalimat2 yang rumit.
8. Setiap pernyataan
hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari kata2 yang tidak diperlukan dan
yang tidak akan memperjelas isi pernyataan.
9. Setiap pernyataan
harus berisi hanya satu ide (gagasan) yang lengkap.
10. Pernyataan yang berisi
unsur universal seperti “tidak pernah”, “semuanya”, “selalu”, “tak seorangpun”,
dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan
karenanya sedapat mungkin hendaklah dihindari.
11. Kata2 seperti “hanya”,
“sekedar”, “semata-mata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan
dengan hati2 agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pernyataan.
12. Jangan menggunakan
kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden.
13. Hindarilah pernyataan
yang berisi kata negatif ganda. H.114-119
Dari sini, pembahasan berlanjut ke cara2
penghitungan sikap: skala interval tampak setara, skala rating yang
dijumlahkan, teknik diskriminasi skala, skala diferensiasi semantik, dan
komputasi reliabilitas skala sikap.
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar