Senin, 03 Juni 2019

POINTER: Judul: Sikap Manusia: Teori dan Pengkurannya Penulis: Dr. Saifuddin Azwar, M.A.


Mengukur sikap
Judul: Sikap Manusia: Teori dan Pengkurannya
Penulis: Dr. Saifuddin Azwar, M.A.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun: Mei 2010, Cet. XIV
Tebal: xiv + 198 halaman
Tulisan edisi: Rabu, 20 November 2013, 16:00


Alhamdulillah, sekali lagi berpeluang untuk menyempatkan diri untuk kembali membuat catatan dari  sebuah buku yang merupakan salah satu bahan utama dalam skripsiku. Kali ini seperti biasa aku akan mengutip poin2 yang dianggap penting saja. Kepada teman yang berkebutuhan terhadap ide utuh dan lengkap dari penulis buku disarankan untuk merujuk langsung ke buku sumber tersebut.
Baik, lets starte....
 Prolog: dalam menghadapi lingkungan dan situasi atau interaksi sosial, pernahkan kita merasa benar2 netral dan bereaksi tanpa rasa suka atau tidak suka terhadap mitra atau objek reaksi kita? Pernahkan kita dapat sama sekali melepaskan sama sekali perasan senang dan tidak senang dari persepsi dan perilaku kita? Agaknya hal ini sangat sulit untuk terjadi. Selalu ada saja mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang sedang kita hadapi, bahkan terhadap diri kita sendiri.
            Itulah fenomena sikap yang timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan subjek yang sedang kita hadapi, tetapi juga oleh kaitannya dengan pengalaman2 masa lalu, oleh situasi saat sekarang, dan oleh harapan2 kita untuk masa yang akan datang. Lalu, apakah sikap  itu sebenarnya?
            Secara historis, isitilah “sikap” (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa2 awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang.
            Pada tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba2. Oleh Lange, kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untuk memberikan respons itu disebut aufabe atau task attitude. Jadi, menurut istilah Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik.
·         Sikap dalam Definisinya
            Berkowitz menemukan adanya lebih dari tigapuluh definisi sikap, dan pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran.
Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood. Menurut mereka, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable)pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Thrustone sendiri memformulasikan sikap sebagai ‘derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis’.
Kelompok pemikiran kedua diwakili  oleh para ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre Mead, dan Gordon Allport yang konsepsi mereka tentang sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara2 tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara2 tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre mendefinisikan sikap sebagai ‘suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan’.
Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadik (triadis scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen2 kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman, misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’. H.4-5
Di samping pembagian kerangka pemikiran tradisional seperti terurai di atas, di kalangan ahli Psikologi Sosial mutakhir terdapat pula cara lain yang populer guna klasifikasi pemikiran tentang sikap, dalam dua pendekatan sebagai berikut:
-          Pendekatan pertama memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku dan kognitif terhadap suatu suatu objek. Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini, yang pada uraian di atas dikenal dengan nama skema triadik, disebut juga pendekatan tricomponent.
-          Pendekatan kedua timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi di antara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap. Oleh karena itu pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja (single component). Definisi yang mereka mereka ajukan bahwa sikap tidak lain adalah ‘afek atau penilaian – positif atau negatif – terhadap suatu objek’. Di antara pengikut pemikiran ini adalah Fishbein & Ajzen, Oskamp, Petty & Cacioppo.
Kalau Thurstone menekankan definisinya pada intensitas afek terhadap suatu objek, maka Cacioppo dalam definisinya lebih menekankan aspek evaluasi atau penilaian sebagai karakteristik sikap yang lebih menentukan. Hal ini menurutnya diakarenakan sikap kadang2 tidak menimbulkan afek sama sekali. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan ‘sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek, atau isyu2.
Katz & Stotland dan Smith menganggap bahwa konsepsi respons2 sikap yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif sebagaimana dalam skema triadik di atas bukan sekedar cara klasifikasi definisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. H.6
Bagi para ahli ini, masing2 aspek tersebut memang merupakan komponen yang konstrak teoretiknya berbeda satu sama lain. Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan konasi. Sekalipun kesemua komponen berada pada suatu kontinum evaluatif akan tetapi pernyataan masing2 dapat berbeda. Sebagai contoh, orang yang cemas atau takut untuk bepergian dengan naik pesawat terbang (afek negatif terhadap penerbangan) dapat saja percaya bahwa pilot pesawat adalah orang yang terlatih dan berpengalaman di bidangnya (kognisi positif mengenai pilot) dan karenanya tetap bersedia ikut terbang (konasi positif).
Ahli2 yang lain mendefinisikan konstrak kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi mengenai sikap. Pandangan ini, yang dinamakan tripartite model menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua. Sikap seseorang terhadap suatu objek selalu berperanan sebagai perantara antara responsnya dan objek yang bersangkutan. Respons diklasifikasikan dalam 3 macam, yaitu respons kognitif (respons perseptual dan pernyataan mengenai apa yang diyakini), respons afektif (respons syaraf simpatetik dan pernyataan afeksi), serta respons perilaku atau konasi (respons berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku). Masing2 klasifikasi respons ini berhubungan dengan ketiga komponen sikapnya. Lebih lanjut dikatakan dengan melihat salah satu saja di antara ketiga bentuk respons tersebut siikap seseorang sudah dapat diketahui. Walaupun begitu, deskripsi lengkap mengenai sikap individu harus diperoleh dengan melihat ketiga macam respons secara lengkap.
·         Breckler & Wiggins dalam definisi mereka mengenai sikap mengatakan bahwa sikap –yg diperoleh lewat pengalaman- akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut lebih berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Kondisi apa, waktu apa, dan situasi bagaimana individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya merupakan sebagian dari determinan2 yang sangat berpengaruh terhadap konsistensi antara sikap dengan pernyataannya dan antara pernyataan sikap dengan perilaku.
Apabla individu berada dalam situasi betul2 bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya, maka dapat diharapkan perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan dari sikap yang sesungguhnya terhadap sesuatu.
Apabila individu mengalami atau merasakan adanya hambatan yang dapat mengganggu kebebasan dalam menyatakan sikap yang sesungguhnya atau bila ia merasakan ada ancaman fisik atau mental yang dapat terjadi padanya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakannya, maka apa yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan (belief). Ancaman fisik yang timbul akibat dinyatakannya sikap murni secara terbuka daat berupa hukuman fisik langsung, permusuhan, tersingkirkan dari pergaulan sosial, pengrusakan, atau bentuk2 perlakuan lain yang diterima dari sesama anggota masyarakat atau dari penguasa. Ancaman mental dapat berupa rasa malu yang diderita, perasaan tidak dianggap, khawatir dianggap bodoh, rasa takut kehilangan simpati orang lain, dan lain2 semacamnya.
Dalam contoh bentuk perilaku sederhana, misalnya ketika ditawari makanan, biasanya rasa suka-tidak suka terhadap makanan tersebut sudah cukup menjadi faktor penentu bagi kita untuk mengatakan “ya” untuk menerima atau “tidak”  untuk menolak. Tapi bila situasinya sedikit berubah menjadi lebih kompleks misalnya ketika kita sedang lapar dan ditawarin makanan yang kebetulan kita sukai seharusnya kita menyatakan “ya” untuk menerima dan “tidak” untuk menolak, lalu tiba2 kita menyadari bahwa tawaran itu hanya basa-basi maka sangat mungkin kita akan menilak walaupun pernyataan itu bertentangan dengan hati dan sikap kita terhadap makanan tersebut. Dalam hal ini, norma subjektif lebih berperanan menentukan bentuk perilaku kita dibandingkan sikap yang kita pegang. Inilah yang dijelaskan oleh model theory of reasoned action bahwa respons perilaku ditentukan tidak saja oleh sikap individu akan tetapi juga oleh norma subjektif yang ada dalam diri individu bersangkutan.
Dengan demikian, penyimpulan mengenai sikap individu adalah tidak mudah dan bahkan dapat menyesatkan bila diambil langsung dari bentuk2 perilaku yang tampak saja. Tidaklah tepat untuk mengharapkan adanya hubungan langsung yang nyata antara sikap dan perilaku manusia.
·         Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus didasarkan pada suatu fenomena yang diamati dan dapat diukur. Fenomena ini berupa respons terhadap objek sikap dalam berbagai bentuk. Rossenberg dan Hovland melakukan berikut adalah respons yang dapat digunakan untuk penyimpulan sikap.
Tipe Respons
Keterangan Respons
Kognitif
Afektif
Konatif
Verbal
Pernyataan keyakinan mengenai objek sikap
Pernyataan perasaan terhadap objek sikap
Pernyataan intensi perilaku
Non-verbal
Reaksi perseptual terhadap objek sikap
Reaksi fisiologis terhadap objek sikap
Perilaku tampak sehubungan dengan objek sikap
Respons kognitif verbal merupakan pernyataan mengenai apa yang dipercayai atau diyakini mengenai objek sikap. Kita mengetahui apakah seseorang memiliki sikap positif terhadap negara Palestina, misalnya, karena ia mengatakan (menyatakan) bahwa ia percaya akan hak orang Palestina telah dirampas oleh kaum Yahudi secara tidak sah. Respons kognitif yang non-verbal lebih sulit untuk diungkapkan di samping informasi tentang sikap yang diberikannya pun bersifat tidak langsung. Untuk mengungkap bagaimana sikap seseorang terhadap Palestina mungkin kita perlu memperhatikan reaksinya terhadap artikel2 atau gambar2 mengenai Palestina. Apakah ia menaruh perhatian terhadap berita2 yang menyangkut Palestina dan tindakan Israel di sana.
            Respons afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal perasaan seseorang mengenai sesuatu. Kalau seseorang memberikan komentar negatif terhadap perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina di Jalur Gaza (misalnya betapa sebalnya ia terhadap perbuatan serdadu Israel) dapat diartikan bahwa sangat mungkin sikapnya terhadap Palestina adalah positif. Respons afektif non-verbal berupa reaksi fisik seperti ekspresi muka yang mencibir, tersenyum, gerakan tangan dsb, yang dapat menjadi indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada objek sikap.
            Respons konatif pada dasarnya merupakan kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi ini terungkap lewat pernyataan keinginan atau kecenderungan untuk melakukan. Dalam contoh kasus Palestina, bentuk pernyataan konatif dapat berupa keinginan untuk ikut serta dalam solidaritas Palestina, dukungan2 verbal dlsb, sedangkan respons konatif non-verbal dapat berupa ajakan pada orang lain untuk menyumbangkan uang bagi pengungsi Palestina, misalnya.
·         Interaksi Komponen2 Sikap
Para ahli Psikologi Sosial banyak beranggapan bahwa 3 komponen sikap adalah selaras dan konsisten, dikarenakan apabila dihadapkan dengan satu objek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus mempolakan arah sikap yang seragam.
Namun apakah yang terjadi bika trio komponen ini tidak konsisten satu sama lain?
Teori mengatakan bahwa apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsitensi itu tercapai kembali. Prinsip inilah yang banyak dimanfaatkan dalam memanipulasi sikap guna mengalihkan bentuk sikap tertentu menjadi bentuk yang lain, yakni dengan memberikan informasi berbeda mengenai objek sikap yang dapat menimbulkan inkonsistensi di antara komponen2 sikap seseorang.
Kita ambil contoh sikap seseorang terhadap daging kuda, informasi tentang bahaya memakan daging kuda (misalnya saja) disertai sugesti bahwa rasa daging kuda jauh dari enak, akan memperkuat sikap negatif terhadap daging kuda. Akan tetapi, seseorang yang percaya daging kuda tidak enak dan merasa tidak suka pada daging tersebut, kemudian tanpa sengaja mencicipi daging kuda yang dibuat bistik dan menemukan bahwa bistik tsb sungguh lezat, akan mengalami ketidakseimbangan dalam interaksi ketiga komponen sikapnya yang semula negatif. Inkonsistensi antar komponen ini terjadi karena ia mengetahui bahwa kepercayaan (kognisi)nya selama mengenai rasa daging kuda tidaklah selaras dengan rasa tidak suka (afeksi)nya dan dengan perilaku (konasi)nya yang tidak memakan daging kuda. Karena itu, untuk mengembalikan keseimbangan semula, akan terjadi proses perubahan sikap. Dalam hal ini, sikap yang semula negatif berangsur-angsur menjadi netral dan kemudian sangat mungkin menjadi positif.
Konsistensi internal di antara ketiga komponen sikap lebih terasa perlu dipertahankan pada sikap yang intensitasnya ekstrim, seperti sikap sangat setuju (sangat +) dan sikap yang sangat tidak setuju (sangat -). Semakin ekstrim intensitas sikap seseorang maka akan semakin terasa apabila ada semacam serangan terhadap salah satu komponen sikapnya. Dari segi lain, sikap yang ekstrim juga biasanya tidak mudah untuk diubah. Hal ini menyebabkan timbulnya bentuk perilaku kompensatif apabila terjadi ketidakseimbangan komponen sikap. Perilaku kompensatif tersebut dapat berbentuk reaksi berlebihan yang searah dengan sikap semula dan secara tidak sadar diperlihatkan individu untuk mempertahankan ego. Jadi, walaupun dalam hati mengakui kelezatan daging kuda, dan terjadi ketidakseimbangan kognitif dalam diri, akan tetapi sebagai reaksi pertahanan ego dapat saja orang yang bersangkutan bereaksi berlebihan dengan tetap mengatakan bahwa daging kuda tidak enak dan selalu memnunjukkan pernyataan jijik terhadap daging kuda.
Dalam ketiga komponen sikap juga terdapat perbedaan tingkat atau kadar, serta terdapat pula perbedaan kompleksitasnya. Pada suatu tingkatan sederhana, komponen afektif sikap seseorang dapat berarti sekedar suka atau tidak suka terhadap daging kuda, namun pada tingkat yang lebih kompleks komponen afektif itu dapat berarti adanya reaksi emosional seperti kecemasan atau kekhawatiran apabila termakan daging kuda, bahkan kebencian pada orang yang menjual daging kuda. Dalam proporsinya, suatu sikap yang didominasi oleh komponen afektif yang kuat dan kompleks akan lebih sukar untuk berubah walaupun dimasukkan informasi baru yang berlawanan mengenai objek sikapnya.
·         Pembentukan Sikap
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah: pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
a.    Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita thdp stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan hal itu, Middlebrook mengatakan bahwa ada tidak adanya pengalaman sama seklai dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.
Contoh terbentuknya sikap dari pengalaman, dalam suatu situasi emosional (misalnya sewaktu sedang sangat lapar atau badan sangat lelah, pada suatu hari yang sangat panas) kalau kita masuk ke sebuah restoran milik si A dan ternyata mendapat layanan yang tidak memuaskan, maka akan sangat mudah terbentuk kesan negatif yang kemudian menjadi dasar pembentukan sikap negatif terhadap si A. Sebaliknya, dalam suatu situasi emosional (misalnya ketika sedang ditimpa musibah) tiba2 tanpa diduga, si A datang memberikan bantuan yang sangat kita butuhkan maka akan terbentuk sikap positif terhadapnya yang selanjutnya dapat menjadi dasar pembentukan sikap positif terhadap si A.
Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalka pesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman peribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.
Namun, dinamika ini tidaklah sederhana karena suatu pengalaman tunggal jarang sekali dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Indivdu sebagai penerima pengalaman, orang yang melakukan tanggapan atau penghayatan, biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedan dialaminya dari pengalaman2 lain yang terdahulu, yang relevan. Bagaimana individu bereaksi terhadap pengalaman saat ini jarang lepas dari penghayatan terhadap pengalaman di masa lalu. Misalnya, pengalaman pahit yang dialami sekarang sewaktu berhubungan dengan si A, belum tentu akan dapat menghapuskan kesan manis dari pengalaman dengan si A di waktu lalu dan karenanya sikap negatif terhadap si A pun sangat mungkin tidak terbentuk.
b.    Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang2 sekitar merupakan salah satu di antara komponen sosial yang membentuk sikap. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang biasanya sangat penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami dan lain2.
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kencenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
Pada masa anak dan remaja, orang tua biasanya menjadi figur utama yang berarti bagi anak, dan karenanya menjadi determinan utama bagi sikap anak. Namun, biasanya bila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya maka pengaruh sikap orang tua jarang menang. Hal ini terutama lebih terlihat pada anak2 remaja di sekolah menengah atau perguruan tinggi. Seorang anak yang biasanya belum begitu kritis mengenai suatu hal, akan cenderung mengambil sikap yang serupa dengan sikap orangtuanya karena adanya proses imitasi atau peniruan terhadap model yang dianggapnya penting, yakni orangtuanya sendiri. Akan tetapi, apabila terjadi pertentangan antara sikap orang tua dengan sikap teman2 sebaya dalam kelompok anak tersebut, maka anak akan cenderung untuk mengambil sikap yang sesuai dengan kelompok.
Bagi anak, persetujuan atau kesesuaian sikap sendiri dengan sikap kelompok adalah sangat penting untuk menjaga status afiliasinya dengan teman2, untuk menjaga agar tidak dianggap “asing” dan lalu dikucilka dari kelompok. Sedangkan ketidaksesuaian dengan sikap orang tua menjadi berkurang pentingnya dan bahkan ketidaksesuaian dapat dianggapnya sebagai bentuk independensi atau kemandirian yang dapat dibanggakannya.
c.    Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Bila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Hidup dalam budaya sosial yang mengutamakan kehidupan berkemompok, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualistis yang mengutamakan kepentingan perorangan.
Burrhus Frederic Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian, katanya, tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
d.    Media massa
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan2 yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan2 sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
Walau tidak sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, peran media massa dalam pembentukan dan perubahan sikap tidak kecil artinya. Karena itulah, iklan sebagai salah satu bentuk informasi sugestif dalam media massa, selalu dimanfaatkan guna meningkatkan penjualan atau memperkenalkan suatu produk baru. Dalam iklan selalu berisi informasi positif mengenai suatu produk yang menimbulkan pengaruh afektif positif pula. Dan hakikatnya iklan adalah suatu bentuk strategi persuasi dan strategi pembentukan sikap positif terhadap barang yang ditawarkan yang menjadi objek sikap konsumen.
Di berbagai media komunikasi, berita2 faktual yang seharusnya disampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektifitas penulis/penyampai berita, baik sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca/pendengarnya., sehingga dengan hanya menerima berita2 yang sudah kemasukan unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu.
Sebagai contoh, berita kecelakaan yang menelan korban jiwa, sebelum mendapat putusan hakim tentang pihak mana yang bersalah, seharusnya diberitakan secara deskriptif dan tidak bersifat menilai. Akan tetapi dalam penyampaiannya, seringkali secara tidak sengaja terselip kata2 “karena kecepatan yang sangat tinggi sopir tidak dapat menguasai kendaraan...”, misalnya, padahal penulis berita belum tentu memiliki informasi akurat mengenai kecepatan kendaraan yang bersangkutan apalagi bila ia tidak melihat kejadian itu sendiri. Kata “kecepatan tinggi” seketika mengandung daya sugesti yang kuat untuk menyalahkan pihak pengendara dan segera menjadi dasar bagi pembaca untuk bersikap negatif terhadap pengendara tersebut.
Lebih lenjut, penyampaian informasi sugestif melalui media massa selalu digunakan pula dalam bidang politik untuk membentuk sikap tertentu terhadap isyu atau masalah yang sedang dijadikan  topik perhatian para politisi.
e.    Lembaga pendidikan dan agama
Lembaga2 ini mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran2nya.
f.    Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang2, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bisa segera berlalu sementara akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
Suatu contoh bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka (prejudice). Prasangka didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran, tidak ‘fair’, atau tidak favorabel terhadap sekelompok orang.
Prasangka seringkali merupakan bentuk sikap negatif yang didasari oleh kelainan kepribadian pada orang2 yang sangat frustasi.
·         Persuasi dan Pengubahan Sikap Manusia
Persuasi merupakan usaha pengubahan sikap individu dengan memasukkan ide, fikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan2 komunikatif. Pesan yang disampaikan dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan kontradisi atau inkonsistensi di antara komponen sikap individu atau di antara sikap dan perilakunya sehingga mengganggu kestabilan sikap dan membuka peluang terjadinya perubahan yang diinginkan.
Ada beberapa pendekatan dalam persuasi ini: pendekatan tradisional, pendekatan teori kognitif, dan pendekatan belajar-pesan. Dalam kesempatan ini peringkas hanya akan  mencantumkan sedikit tentang pdkt tradisional, untuk lebih lengkap ttg pdkt ini dan 2 pdkt lainnya silakan dirujuk ke buku empunya karya.
Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam persuasi pada umumnya meliputi beberapa unsur, yaitu sumber (source) sebagai komunikator  yang membawa pesan (message-communication) kepada mereka yang sikapnya hendak diubah (audience), sehingga dikenal istilah “who says what to whom and with what effect”. Dalam skema ringkas pendekatan model ini menggambarkan persuasi sbb:
Stimulus > perhatian, pemahaman, penerimaan > Respons (perubahan sikap).
McGuire menambahkan 2  langkah lanjutan dalam proses persuasi yaitu retensi atau pengendapan isi yang telah disetujui dan tindakan yang sesuai dengan isi tersebut.
Robert Baron dan Donn Byrne mengemukakan bahwa hasil riset mengenai persuasi dengan pendekatan tradisional ternyata sangat kompleks dan tidak seluruhnya konsisten. Rangkumannya adalah sbb:
1.     Para ahli (orang yang berkompeten) akan lebih persuasif dibandingkan dengan orang yang bukan ahli. Suatu pesan persuasif akan lebih efektif apabila kita mengetahui bahwa penyampai pesan adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
2.    Pesan yang ditujukan untuk mengubah sikap tanpa kentara biasanya lebih berhasil daripada pesan yang tampak jelas memanipulasi kita. Kita cenderung tidak mau bahkan menolak dimanipulasi.
3.    Komunikator yang populer dan menarik akan lebih efektif daripada komunikator yang tidak populer dan tidak menarik.
4.    Kadang2 manusia lebih mudah terpengaruh oleh persuasi sewaktu perhatian mereka terpecah oleh kejadian lain daripada sewaktu mereka menaruh perhatian penuh pada pesan yang disampaikan.
5.    Individu yang memiliki harga diri rendah akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki harga diri tinggi.
6.    Bila individu yang menjadi sasaran memiliki sikap bertentangan dengan sikap para calon pelaku persuasi maka akan lebih efektif bagi komunikator untuk melakukan pendekatan dua sisi (two sided-approach) yang menyajikan pandangan kedua belah pihak daripada pendekatan satu sisi.
7.    Orang yang berbicara cepat umumnya lebih persuasif daripada orang yang berbicara lambat. Temuan ini bertentangan dengan pendapat umum bahwa orang yang berbicara cepat kurang dapat dipercaya.
8.    Persuasi yang diperkaya oleh pesan2 emosi yang kuat (khususnya emosi takut) dalam diri orang, terutama ketika pesannya berisi rekomendasi mengenai bagaimana perubahan sikap dapat mencegah konsekuensi negatif dari sikap yang hendak diubah. Cara ini tampaknya sangat efektif apabila sikap atau perilaku yang hendak diubah itu ada kaitannya dengan aspek kesehatan. H.65-66
Komunikator sebagai penyampai pesan, efektivitasnya akan tergantung dari beberapa hal, yang telah diteliti secara ekstensif, antara lain adalah: kredibilitas (credibility), daya tarik (attractiveness), dan kekuatan (power) komunikator itu sendiri. Sedangkan untuk efektivitas komunikasi paling tidak dapat dilihat dari 2 aspek yaitu organisasi dan sisi dari pesan yang disampaikan. Komunikator harus mempertimbangkan untuk menyampaikan pesan apakah dengan komunikasi yang emosional atau rasional. Mungkin pula dipertimbangkan pesan apakah harus dengan membangkitkan kekhawatiran (fear-arrousal) atau menggunakan pesan yang tidak mengandung unsur pembangkit ketakutan. Pada dasarnya, suatu komunikasi akan lebih efektif apabila disampaikan secara langsung (face to face). Menurut penelitian, teknik komunikasi yang efektif adalah dengan mengemukakan kesimpulan komunikasi secara eksplisit kepada subjek dan dengan mengulang-ulang. Akan tetapi, pengulangan yang terlalu sering justru akan mendatangkan penolakan dari individu yang dijadikan target. Penelitian Cacioppo dan Petty menemukan bahwa pengulangan akan menaikkan perubahan sikap tapi kemudian kalau diteruskan justru akan menurun efeknya. Ternyata banyaknya pengulangan yang optimal adalah 3 kali, sedangkan jika lebih maka individu akan mengalami kebosanan dan dapat malah menolak pesan yang hendak disampaikan. H.77-78
·         Menolak Persuasi
Sebagaimana persuasi, penolakan terhadap persuasi juga mempunyai strategi tertentu. Di antaranya adalah: perilaku defensif, peringatan awal, dan inokulasi.
            Dalam perilaku defensif (defensive behaviour), untuk menjadikan persuasi tidak efektif strateginya adalah dengan menjelekkan sumber penyampai pesan sehingga kredibilitasnya jatuh. Dengan jatuhnya kredibilitas penyampai, maka batas penerimaan individu target akan menyempit sehingga pesan tidak akan diterima. Dalam dunia politik, orang2 dekat dengan penyampai pun biasanya tak luput dari strategi dari perilaku defensif ini.
Cara lain adalah dengan menyangkal argumentasi atau membuktikan bahwa argumentasi yang disampaikan adalah salah. Cara ini lebih sulit dilakukan karena biasanya pesan persuasi selalu dirancang kebal penyangkalan. Kalau sulit untuk dilakukan, maka individu dapat menolak persuasi dengan cara mengabaikan atau menganggap pesan yang disampaikan tidak berarti apa2. Dalam iklan produk biasanya pesan menonjolkan kehebatannya dan produk lain tidak mengandung sesuatu yang dimiliki produk ini.
            Peringatan awal (forewarning) merupakan bentuk strategi penolakan terhadap pesan persuasif. Apabila kita tidak ingin seseorang terkena persuasi dan mengubah sikapnya, kita dapat memberinya peringatan awal sebelum pesan sampai kepadanya, sehingga ia cenderung akan lebih waspada, kritis, dan berhati-hati, apalagi bila pesan yang akan disampaikan menyangkut nilai yang sangat penting dan relevan baginya. Kalau individu diberi peringatan pula mengenai isi pesan yang akan diterimanya, ia cenderung akan menyusun kontraargumentasi dan semakin teguh memegang posisinya. Hal ini oleh Cialdini dan Petty disebut anticipatory polarization effect.
            Pada cara inokulasi (inoculation) usaha penolakan terhadap persuasi dilakukan dengan melatih orang untuk mempertahankan posisinya sehingga menjadi tidak peka terhadap pesan2 persuasif dari luar. William McGuire menyebutkan bahwa pelatihan ini dapat bersifat refutasional (refutational) yaitu latihan untuk mengalahkan isi komunikasi persuasif atau dapat pula dengan bentuk suportif (supportive) yaitu pelatihan untuk mendukung sikap atau posisi yang dimiliki. Dalam hal ini diperlukan penyajian dua-arah, yaitu tidak saja menyajikan argumentasi yang mendukung sikap individu tetapi juga menyajikan kelemahan argumentasi pesan yang akan mengubah sikap. Argumentasi yang mendukung posisi yang ingin dipertahankan diperkuat dengan menekankan kebenaran dan segi2 positifnya sedangkan argumentasi yang diperkirakan akan menjadi isi pesan pihak lawan akan ditonjolkan kelemahan dan kesalahannya.

·         Karakteristik Sikap
Sax dalam bukunya Principles of Educational and Psychological Measurement and Evaluation menunjukkan beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu: arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitasnya.
a.    Arah, artinya sikap terpilah pada dua arah: setuju-tidak setuju, mendukung-tidak mendukung, memihak-tidak memihak.
b.    Intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Misalnya dua orang yang sama2 setuju, tapi orang pertama bisa saja hanya setuju sedang orang kedua sangat tidak setuju.
c.    Konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responsnya terhadap objek yang dimaksud. Untuk dapat konsisten sikap harus bertahan dalam diri individu dalam waktu yang relatif panjang.
Harus dibedakan antara pengertian sikap yang tidak konsisten dengan sikap yang tidak memihak. Tidak memihak atau netral disebut sikap juga walaupun arahnya tidak positif atau negatif. Orang dapat saja dikatakan bersikap netral secara konsisten.
d.    Spontanitas, menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dapat dikatakan memiliki spontanitas tinggi bila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakannya.
·         Penghambat Pencurahan Sikap Via Skala Sikap
Brannon meringkas beberapa faktor yang dapat menghambat pencurahan sikap melalui skala sikap yang berisi pernyataan2, sbb:
1.     Setiap jawaban yang memiliki alternatif tertentu dan terbatas akan membatasi pula keleluasaan individu dalam mengkomunikasikan sikapnya. Respons sesungguhnya, yang ingin dikemukakan, mungkin tidak terdapat di antara alternatif jawaban sehingga ia hanya dapat memilih yang termirip saja di antara yang ada.
2.    Bahasa standar yang dapat diterima umum yang digunakan dalam skala sikap mungkin tidak mampu mengungkapkan reaksi2 asli dan tipikal. Istilah2 formal dan sopan seperti ‘aktivitas seksual pranilah’ atau ‘latar belakang sosial-budaya’, seringkali tidak merupakan istilah yang mudah dicerna dan diasosiasikan oleh responden. Sejauh mana istilah seperti itu dapat dikaitkan dengan sikap yang relevan akan banyak tergantung pada imajinasi atau minat responden dalam menjawab.
3.    Pertanyaan2 standar dan formal tidak mampu mengungkap kompleksitas, nuansa2, atau pun warna yang sesungguhnya dari sikap individu yang sebenarnya. Setiap orang merasakan bahwa sikapnya memiliki tingkat kompleksitas, intensitas, dan individualitas yang tidak sama yang tidak dapat dicerminkan oleh isi pertanyaan atau pernyataan standar yang umumnya terdapat dalam skala sikap.
4.    Dalam setiap kumpulan respons yang diberikan oleh manusia tentu sedikit-banyak akan terdapat eror atau kekeliruan. Pada pernyataan sikap, eror itu dapat berupa kekeliruan responden dalam membaca, memahami, atau manafsirkan pernyataan yang disajikan. Kekeliruan mungkin pula dilakukan oleh pihak yang mencatat, memproses, atau menganalisis jawaban para responden.
5.    Jawaban responden dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan mereka sendiri akan penerimaan sosial, persetujuan sosial (social approval), dan keinginan untuk tidak keluar dari norma yang dapat diteriman oleh masyarakat. Faktor2 semacam itu akan menghambat keluarnya pernyataan sikap yang sebenarnya sekalipun individu berada dalam kondisi bebas dan anonim.
6.    Situasi interviu sebelum pengukuran, situasi sewaktu penyajian skala, karakteristik pertanyaan sebelumnya, harapan subjek mengenai tujuan pengukuran itu, dan banyak lagi aspek yang ada dalam situasi pengungkapan sikap dapat mempengaruhi respons yang diberikan oleh individu.
·         Pengukuran Terselubung
Dalam metode pengukuran terselubung (convert measurement), objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari atau sengaja dilakukan oleh seseorang, melainkan reaksi2 fisiologis yang terjadi lebih di luar kendali orang yang bersangkutan.
Sampai batas tertentu memang kita dapat menafsirkan perasaan orang dari pengamatan atas reaksi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan dari beberapa aspek perilakunya. Gary Wells dan Richard Petty tahun 1980 meneliti reaksi para mahasiswa sewaktu mereka mendengarkan pidato dengan cara merekamnya diam2. Ternyata apabila para mahasiswa itu mendengar pidato dari orang yang sepihak atau sependapat dengan mereka dalam suatu hal maka para  mahasiswa itu tanpa sadar membuat gerakan kepala vertikal ke atas ke bawah sedangkap apabila mereka mendengar pembicara lain menyampaikan isi pidato yang berlawanan dengan perasaan mereka maka para mahasiswa secara tidak sadar pula membuat gerakan kepala horizontal.
Observasi perilaku eksternal seperti ini tetap harus diinterpretasikan dengan hati2 karena masih ada kemungkinan salahnya kesimpulan yang kita peroleh. Bukankah mengangguk tidak selalu berarti setuju tetapi dapat juga menjadi tanda seseorang sedang mengantuk. Bukankah menggelengkan kepala tidak selalu berarti tidak suka tetapi merupakan gerakan mengusir serangga yang mengganggu atau gerakan mengusir kepenatan leher?
Sudah lama para peneliti mencoba mengungkap sikap dari perilaku internal yang lebih sulit dikendalikan oleh individu seperti pengeluaran keringat, degup jantung, dilatasi pupil mata. Hasilnya sama saja. Reaksi seperti itu memang mencerminkan intensitas sikap seseorang terhadap suatu objek akan tetapi tidak menceritakan pada kita arah sikapnya apakah positif atau negatif. Artinya, orang yang merasa sangat senang (misalnya, emosi gembira sewaktu bertemu) dan orang yang sedang merasa sangat tidak senang (emosi marah sewaktu bertemu) akan menunjukkan reaksi emosional yang sama seperti rona muka yang merah padam. Petty Cacioppo menemukan bahwa rasa cinta dan kebencian menghasilkan rekaman reaksi fisiologis yang kurang lebih serupa.
Kemudian, John Cacioppo dan Richard Petty menemukan teknik pengukuran fisiologis yang lebih akurat yang mereka sebut facial electromyograph (EMG).
 Kontraksi otot2 di wajah sewaktu kita tersenyum berbeda dengan sewaktu kita bersedih atau marah. Dengan EMG dapat diketahui kontraksi otot2 wajah sehingga dapat pula diketahui apakah seseorang dalam keadaan suka atau tidak. Apabila kontraksi ini terjadi sewaktu orang dihadapkan pada suatu objek sikap, dapatlah diketahui apakah orang tersebut bersikap positif (suka) atau bersikap negatif (tidak suka) terhadap objek yang bersangkutan. EMG tidak hanya dapat merekam arah sikap seseorang akan tetapi juga intensitasnya.
·         Kaidah2 Penulisan Pernyataan untuk Mengukur Sikap
Berikut adalah semacam pedoman penulisan pernyataan yang dirumuskan oleh Edwards (1957) yang disebutnya sebagai kriteria informal penulisan pernyataan sikap:
1.     Jangan menulis pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat kecuali kalau objek sikapnya berkaitan dengan masa lalu.
2.    Jangan menulis pernyataan yang berupa fakta atau dapat ditafsirkan sebagai fakta.
3.    Jangan menulis pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran.
4.    Jangan menulis pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya.
5.    Jangan menulis pernyataan yang sangat besar kemungkinannya untuk disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir tak seorang pun yang akan menyetujuinya.
6.    Pilihlah pernyataan2 yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan skala afektif yang diinginkan.
7.    Usahakan agar setiap pernyataan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung. Jangan menuliskan pernyataan dengan menggunakan kalimat2 yang rumit.
8.    Setiap pernyataan hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari kata2 yang tidak diperlukan dan yang tidak akan memperjelas isi pernyataan.
9.    Setiap pernyataan harus berisi hanya satu ide (gagasan) yang lengkap.
10.  Pernyataan yang berisi unsur universal seperti “tidak pernah”, “semuanya”, “selalu”, “tak seorangpun”, dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya sedapat mungkin hendaklah dihindari.
11.  Kata2 seperti “hanya”, “sekedar”, “semata-mata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan dengan hati2 agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pernyataan.
12.  Jangan menggunakan kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden.
13.  Hindarilah pernyataan yang berisi kata negatif ganda. H.114-119
Dari sini, pembahasan berlanjut ke cara2 penghitungan sikap: skala interval tampak setara, skala rating yang dijumlahkan, teknik diskriminasi skala, skala diferensiasi semantik, dan komputasi reliabilitas skala sikap. 
·          





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...