SAJAK-SAJAK DAN RENUNGAN
S.TAKDIR ALISJAHBANA
DIAN RAKYAT, JAKARTA, VI
+ 40
Bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillahwashshalatuwassalamu
‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Rekan
pengunjung dan pembaca laman anassekuduk.blogspot.com yang berbahagia, pada
kesempatan kali ini, marilah kita sedikit meluangkan waktu untuk menikmati kompilasi tulisan salah
satu tokoh sastrawan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana. Buku yang
berjudul “SAJAK-SAJAK DAN RENUNGAN” atau versi Inggrisnya
diberi judul “POEMS AND REFLECTIONS” ini memuat 7 tulisan beliau disertai
dengan versi bahasa Inggris. Sengaja kukutip disini hanya beberapa judul
beserta versi bahasa Inggrisnya, disertai sedikit poin-poin menarik dari ucapan
beliau dalam pembukaan pertemuan Apresiasi Penyair ASEAN I tahun 1983.
Tulisan-tulisan penuh energi seperti ini kurasa
sangat diperlukan menghadapi sastra cengeng dan melow yang kalau terlalu banyak dikonsumsi,
menimbulkan efek overdosis yang bikin puying (puyeng dan pusing 7 keliling J). Terlebih lagi kalau menimpa anak muda. Rasa-rasanya,
puisi yang energik, sebagaimana lagu, musik, ataupun kalimat-kalimat motivasi
yang paling cocok untuk anak muda adalah jenis yang enerjik, bertenaga,
membangkitkan yang jatuh, menghangatkan yang dingin membeku jiwanya, agar
segera bergerak aktif, berpartisipasi dalam gelanggang kehidupan, menebar
manfaat, menyuluhkan sinar ke lingkungan dimana mereka berada.
à BUAH KARET
Sekali aku duduk di bawah pohon karet dan terkejut mendengar
letusan nyaring di atas kepalaku: biji matang menghambur dari batangnya.
Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh
menghendaki bebas dari ikatan!
Terdengarlah
itu olehmu, wahai angkatan baru?
Putuskan,
hancurkan segala yang mengilat!
Rebut
gelanggang lapang di sinar terang!
Tolak
segala lindungan!
Engkau
raja zamanmu!
Biar mengeluh, biar merintih segala nenek
moyang!
Lagi pohon yang bisu insaf, bahwa biji
yang sekian lama dikandungnya itu akan mati busuk di bawah lindungan.
Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu
menghalangi tumbuh.
5 Mei 1944
à THE RUBBER SEED
While sitting under a rubbertree I was startled to hear a loud burst above my
head: a ripe seed was flung from its stem.
Yes, I know, everywhere growth needs to
free itself from its shackles.
Do
you hear it, oh young generation?
Break,
destroy all thats keeps you bound!
Conquer
the wide fields in the bright sunlight!
Reject
all protection!
You
are the kings of your age!
Let them lament, let them cry, all those
ancestors!
Even a voiceless tree knows that a seed
carried too long will rot and die under its sheltering shade.
p KALAH DAN MENANG
Tidak,
bagiku tidak ada kalah dan menang!
Sebab
sudah kuputuskan, bahwa
kemenangan sudah pasti untukku. Kalah tinggal pada mereka yang lain:
Yang mengeluh bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris, yang berjalan
berputar-putar dalam belantara.
Di padang lantang yang kutempuh ini,
Aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab disini jatuh sama artinya dengan
bertambah kukuh berdiri.
Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik
berlipat ganda kepada si pemukul.
Malahan algojoku sekalipun yang akan
menceraikan
Kepalaku dari badanku, akan terpancung
sendiri seumur hidupnya:
Melihat mataku tenang menutup dan bibirku
berbunga senyum.
4 Mei 1944
p DEFEAT AND VICTORY
No,
there is neither defeat nor victory for me!
Because
I have already decided that victory will always be with me. Defeat remains for the others:
With those who moan when they fall,
With those who cry when they are torn,
With those who walk in circles in the
hungle.
In the wide open space where I tread,
It is imposible for me to be defeated:
Because here to fall means to rise
stronger than before.
Each blow returns threefold to the
attacker.
Even the executioner who severes my head
from my body will
feel decapitated all his life:
Having witnessed my eyes close calmly, my
lips blossom in smile.
v MENGHADAPI MAUT
Kulihat,
Kurasakan:
Peluru mendesing menembus kening,
Pedang bersinau memenggal leher,
dan
Tergulinglah jasad di tanah:
Darah mengalir merah panas.
Sekejap pendek:
Kaki melejang-lejang,
Urat berdenyut meregang-regang.
Sudah itu
Diam,
Sepi,
Muka menyeringai pucat pasi.
Datang mendorong dari dalam:
Mana harapanku, mana cita-citaku?
Sebanyak itu lagi ‘kan kukerjakan!
Mana istriku, mana anakku,
Karib handai tolan?
Lenyapkah kaliannya selama-lamanya?
Hampa!
Kelam!
Ngeri!
Tanganku menggapai-gapai;
Orang karam mencari ranting.
Wahai
nasib,
Sebanyak
itu perjuangan!
Sebanyak
itu pengikat!
Pemberat
hati kepada dunia!
Sedangkan,
Dari
semula telah kutimbang,
Kupikir,
kerenung matang-matang:
Di tengah
peperangan seluruh buana,
Hebat
dahsyat tiada beragak:
Bom
peluru mungkin menghancur remuk,
Perampok
penyamun mungkin menggolok,
Disentri,
kolera, lapar mungkin mencekik....
Bukankah
ini telah kupilih,
Dengan
hati jaga, mata terbuka?
Wahai
rahasia hidup!
Penuh
pertentangan, penuh kesangsian!
Berat
sungguh menjadi manusia!
Tahanan
Seksi Tanah Abang
Januari
1945
v FACING DEATH
I see,
I feel:
The whistling bullet penetrates my forehead,
The
gleaming sword severes my head,
And
My body
stretches out on the ground:
Blood
flows forth red and hot.
A very
short moment:
My feet
shudder,
My veins
throb and convulse.
Then
Quietness,
Silence,
Death,
My face
a grim deathly pale.
A questioning
rises from me:
What
of my hopes, my ideals?
There
is still so much I would do!
Where
are my wife, my children,
My closest
friends?
Will
everything vanish forever?
Emptiness!
Darkness!
Fear!
My hand
is groping;
A drowned
man grasping for a twig.
Oh fate,
So much
struggle!
Such
chains!
Bind
my heart to the world!
Whereas,
From
the very beginning have I pondered,
Did
I think and did I deeply muse that:
In the
midst of a world at war,
Tremendously
terrifying without restraint:
Bullets
and bombs may destroy me and shatter me,
Robbers
may cut me to pieces,
Disentry,
Cholera or hunger may kill me....
And
from all the possibilities of death,
Is it
not this also that I have chosen,
With
a knowing heart and open eyes?
Oh,
the mistery of life!
Full
of contradictions, full of doubts!
How
heavy it is to be man!
Written as a
prisoner in Tanah Abang Secton,
January, 1945
à MENUJU KE LAUT...
Angkatan Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang, tiada beriak,
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat:
“Ombak ria berkejar-kejaran
Di gelanggang biru bertepi langit,
Pasir rata berulang dikecup,
Tebing curam ditantang diserang,
Dalam bergurau bersama angin,
Dalam berlomba bersama mega.......
[puisi ini masih berlanjut, dapat dirujuk
ke buku tersebut, anassekuduk]
Kutipan dari Pidato Sutan takdir dalam acara
The First Conference for the “Appreciation of ASEAN Poets” 1983
à .....Tidak
boleh tidak hidup manusia itu mesti merupakan keseimbangan antara pikiran akal
yang menganalisis dan memecah-mecah, dengan perasaan yang berpokok kepada hati
dan dengan fantasi kreatif yang memberikan kepada kita kesempatan untuk
melepaskan diri kita dari himpitan kenyataan sehari-hari yang berat dalam
ciptaan-ciptaan yang mengandung keindahan dan mengayakan rohani. H. 3
à Dan sesungguhnya kita mesti menganjurkan dan
menyokong kegairahan menulis dan membaca puisi yang sekarang ini menggembirakan
pemuda-pemudi kita dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi maupun
golongan-golongan penting yang lain dalam masyarakat yang luas, sebab sejak
zaman Renaissance lambat-laun rasionalisme ilmu yang kering dan efisiensi
kehidupan ekonomi yang berdasarkan perhitungan untung-rugi maupun perkembangan
teknologi yang bersifat materialisme, bertambah lama bertambah berkuasa dan di
zaman kita telah mencapai puncak-puncak kekeringan, kedangkalan, kehilangan
tujuan dan arti kehidupan yang sesungguhnya. Dalam hal ini kegairahan dan
kegirangan berpuisi yang kelihatan dimana-mana, adalah suatu reaksi yang sehat
dalam suasana rasionalisme dan materialisme yang tandus itu. Manusia dibawanya kembali ke kebulatan jiwanya yang
penuh kepekaan dan kemesraan menghadapi sesama manusia, alam sekitar maupun
kegaiban dan kekudusan yang melingkupi alam semesta. Manusia dapat kembali
merasakan hidupnya dalam sedih senangnya, dalam kecewa dan harapannya, dalam
kesepiannya maupun solidaritasnya, malahan dalam rindu hatinya kepada Tuhannya.
à ..........Kita tahu, bahwa bangsa kita di seluruh Asia Tenggara bukanlah
bangsa yang di masa silam menghasilkan filsafat abstrak yang berat-berat dan
dalam-dalam, tetapi sementara itu kita tahu juga, bahwa tentang hal seni, yaitu
penjelmaan kekayaan perasaan dan kesuburan fantasi yang mengubah segala sesuatu
menjadi ciptaan keindahan, kita dapat bertanding dengan bangsa mana sekalipun
di muka bumi ini.
Tentang arsitektur besar, kita dapat menunjukkan
Borobudur dan Angkor Vat dan lain-lain, tentang tari Rabindranath Tagore
sendiri pernah berkata bahwa Syiwa yang menari itu hanya abunya saja yang
tinggal di India, sedangkan tarinya terdapat di pulau Bali. Kecakapan bangsa-bangsa
Asia Tenggara dalam seni ukir-mengukir, anyam-menganyam, pahat-memahat, seni
mengarang bunga dan menghias dan lain-lain.
Dalam seni bahasa seperti bahasa berirama, syair,
pantun, bangsa kita sesungguhnya mencapai tingkatan yang amat tinggi. Tak mengherankan,
bahwa Henry Maus, seorang ahli etnografi Perancis yang terkenal, dalam bukunya Manuel
d’Ethnographie menulis dalam bab tentang puisi, bahwa teknik puisi yang terindah
terdapat di Madagaskar dan di kepulauan Indonesia atau the Malay Archipelago.
Dalam puisi lama tentang perbandingan-perbandingan, tentang perasaan alam, tentang
kehalusan dan keindahan bahasa seperti kelihatan dalam bahasa berirama, dalam
pepatah-petitih, hingga sekarang belum dapat kita atasi. Malahan sampai-sampai
ke dalam hukum yang biasanya dianggap amat kering dan membosankan, itupun pada
bangsa kita dikuasai puisi, sehingga Van Vollenhoven, ahli Belanda yang menjadi
pelopor penyelidikan hukum adat di Asia Tenggara, berbicara tentang “de
poezie in het Recht”, puisi dalam hukum. Kutipan ringkas h.1-5, anassekuduk.....
Alhamdulillah, sekuduk, 21.00, 26-6-2019.
Ã
Tidak ada komentar:
Posting Komentar