BAHAS
BUKU: METODE PENGOBATAN NABI Saw
Judul: METODE PENGOBATAN NABI Saw
Penulis: Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
Penerbit: Griya Ilmu, Jakarta, 2004
Xviii + 486 hlm, 24 cm
Bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillah washshalatuwassalamu
‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Buku yang kali ini akan kukutip adalah sebuah buku yang
cukup menarik bagiku. Karena lewat
buku ini, aku semakin yakin bahwa Islam sangat memotivasi ilmu pengetahuan di
berbagai lini. Bahwa ia agama yang sempurna, dinamis, keren kalau bahasa anak
muda jaman “now”, entah apalah nanti istilah yang diangkat untuk menunjukkan
kekinian. Meyakinkanku bahwa ulama dahulu begitu meluas mendalam ilmunya,
produktif dalam berkarya, bermanfaat untuk lingkungannya bahkan lewat karya
tulis maupun lainnya misalnya penemuan beberapa teknologi, entah alat bedah,
konsep dan prototaip kamera, arsitektur dan lain sebagainya. Bahkan warisan
ilmu pengetahuan yang diwujudkan menjadi karya nyata, masih dapat kita rasakan
manfaatnya hingga kini. Amal jariyah, pahala yang tak putus, keberkahan dalam
apapun yang antum sekalian bagikan dan tinggalkan untuk kami, tentu hanya Allah
yang mampu dan layak membalas, salut dan salam takzim serta doa dari kami anak
cucu sepeninggal kalian wahai insan shaleh sekalian. Moga kita dipertemukan di jannahNya
di hari kemudian. Ketertarikan akan tema serupa juga
kurasakan, terlebih setelah beberapa kali mengikuti pelatihan pengobatan dan
herbalisme dasar, sehingga dalam hematku bagaimanapun aku harus melengkapi diri
dengan ilmu, paling tidak referensi rujukan jika suatu saat menemukan kesulitan atau second
opinion istilahnya.
Dalam
buku ini kita akan dibuat kagum, dibuat berpikir betapa Allah Swt lewat
RasulNya, Muhammad Saw, syariatNya, Al-Qur’an dan Sunnah, sangat pengertian dan
perhatian akan kehidupan dan kebutuhan kita akan kesehatan baik jasmani maupun
rohani. Kusarankan dengan sangat, agar selama membaca buku ini, rekan tidak
mengandalkan mata akal semata, tetapi ajak pula hati dan rasa untuk meresapi
adanya rahmat dan kasih sayang Allah dalam syariat yang diturunkannya untuk
kita. Memang aku tidak pandai untuk membahas isi selayaknya seorang ahli
resensi, dan memang di sini aku hanya akan mengutip tulisan yang menurutku
menarik, dekat, paling praktis, mudah amal, namun tak mengurangi kebesaran dari
karya Ibnul Qayyim ini. Menurutku, buku ini layak untuk dimiliki. Akan tetapi
di sini, sedikit akan kuberikan gambaran isi buku; di bagian isi, langsung
saja, di awal kita akan diajak penulis untuk membahas klasifikasi penyakit,
serta pengobatannya secara umum, konsep bahwa setiap penyakit ada obatnya, dan
tiga metode pengobatan Nabi Saw. Dilanjutkan dengan tips-tips pengobatan alami,
mulai dari terapi beberapa sakit fisik, ruqyah dari Al-Qur’an maupun Sunnah,
khasiat madu, hijamah/bekam, tips pola hidup dan pola pikir yang sehat,
pentingnya menjaga kesehatan melalui jiwa atau aspek keimanan, pengobatan
terhadap kasus ‘ain, sihir, racun dan sebagainya. Dilanjutkan dengan khasiat
beberapa makanan/minuman yang diurut oleh penulis berdasarkan kaidah abjad dari
mulai alif hingga ya. Pengetahuan dan pemahaman lebih komprehensif dapat
pembaca peroleh merujuk kepada buku ini.
Baiklah,
berikut kukutip tiga bahasan bertemakan terapi terhadap rasa sakit dengan
ruqyah, terapi terhadap kesusahan, kegundahan dan kesedihan, serta terapi
penyakit asmara.
· Petunjuk Nabi Saw Mengenai Terapi terhadap Rasa Sakit dengan Ruqyah
Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Utsman bin Abil Ash, ia
pernah mengeluh kepada Rasulullah Saw mengenai sakit yang dirasakan pada
tubuhnya semenjak ia masuk Islam. Maka Nabi Saw bersabda:
“Letakkan
tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit, lalu ucapkan bismillah 3
kali, dan ucapkan doa berikut sebanyak 7 kali:
اَعُوْذُ ِعِزَّةِ اللهِ
وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا اَجِدُ وَمَا اُحَاذِرُ
(Aku
berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang kudapati
dan kukhawatirkan akan terjadi)
Dalam terapi ini ada beberapa hal,
di antaranya: menyebut Asma Allah, menyerahkan urusan kepadaNya, memohon
perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaanNya dari rasa sakit. Semua cara itu
dapat menghilangkan rasa sakit, lalu diulang-ulang agar lebih mengena. Sama
halnya dengan minum obat yang juga harus berulang-ulang agar bisa mengeluarkan
materi penyakit. Bilangan yang 7 kali itu mengandung keistimewaan tersendiri
yang tidak ditemukan pada bilangan lainnya.
[suatu
ketika aku juga pernah mengalami sakit gigi, teringat akan doa dari hadits Nabi
Saw ini, langsung saja kupraktikkan dengan memegang pipi bagian kanan karena
memang gigi berlubang yang saat itu sedang sakit di sebelah kanan. Dalam hitungan
kurang lebih tiga menitan biidznillah sakitnya pun reda, alhamdulillah......anassekuduk]
Dalam Shahih Bukhari Muslim,
Rasulullah Saw pernah menjenguk keluarganya yang sakit, beliau mengusap
tubuhnya dengan tangan kanan beliau sambil membaca:
اللهُمَّ رَبَّ النَّاسِ,
اَذْهِبِ الْبَأْسَ, وَاشْفِ اَنْتَ الشَّافِى,
لَا
شِفَاءَ الَّا شِفَائُكَ, شِفَاءً لَايُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya
Allah, Rabb dari sekalian manusia! Lenyapkanlah rasa sakitnya, berikanlah
kepadanya kesembuhan karena Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada
kesembuhan melainkan karena pertolonganMu, kesembuhan yang tidak diiringi
dengan sakit lain”.
Dikutip
dari h. 232
· Petunjuk Nabi Saw dalam Mengatasi Kesusahan, Kegundahan, dan Rasa
Sedih
Dalam Shahih Bukhari
Muslim, terdapat hadits dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw saat tertimpa kesusahan biasa
berdoa:
“Laa
ilaaha illallaah al ‘azhiimul haliim, laa ilaaha illallaah rabbul ‘arsyil
‘azhiim, laa ilaaha illallaah rabbus samaawaati {as sab’u} wa rabbul ardhi wa
rabbul ‘arsyil kariim”
(Tidak
ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Allah yang Mahaagung dan
Mahalembut. Tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Allah, Rabb
dari Arsy yang agung. Tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan
Allah, Rabb dari langit {yang tujuh}, Rabb dari bumi serta Rabb dari Arsy yang
mulia)
Dalam Jami’ At-Tirmidzi dari Anas
bahwa Rasulullah Saw apabila merasa bersedih karena sesuatu hal, beliau
mengucapkan:
“Ya
Hayyu Ya Qayyuum, birahmatika astaghits(u)”
(Ya
Allah, Yang Mahahidup, Yang Mahaterjaga, dengan rahmatMu aku memohon
keselamatan)
Riwayat lain dari Abu Hurairah,
apabila Rasulullah mengalami kegundahan karena suatu hal, beliau memandang ke
langit sambil berkata:
“Subhanallahil
‘azhiim” (Mahasuci Allah yang
Mahaagung)
Namun bila Beliau bersungguh-sungguh
dalam doanya, beliau mengucapkan: “Ya Hayyu Ya Qayyuum”
Dalam Sunan Abu Daud diriwayatkan
dari Abu Bakar Shiddiq bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Doa
untuk menghadapi musibah adalah sebagai berikut:
Allahumma
rahmataka arjuu, falaa takilnii ilaa nafsii tharfata ‘ain(in), wa ashlih lii
sya’nii kullah(u), laa ilaaha illaa anta.
(Ya
Allah, hanya rahmatMu yang kuharapkan, maka janganlah Engkau sandarkan urusanku
kepada diriku sendiri biarpun sekejap mata. Perbaikilah segala urusanku, tidak
ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Engkau)
Rasulullah Saw mengajarkan Asma
binti Umais beberapa kata yang berguna untuk diucapkan pada saat kesusahan atau
di tengah musibah:
Allahu
Rabbii, Laa Usyriku bihi syaiaa(an)
(Ya
Allah ya Rabbii, aku tidak akan menyekutukanNya dengan sesuatu pun)
Dalam At-Tirmidzi dari Saad bin Abi
waqqas, Rasulullah Saw bersabda: Doa Dzun Nun (Nabi Yunus As) saat masih berada
dalam perut ikan hiu adalah: Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu
minazhzaalimiin. Setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut, pasti akan
dikabulkan.
Dalam riwayat lain Rasulullah
mengungkapkan bahwa membaca doa Yunus As ini pasti akan Allah bebaskan dari
musibah yang menimpa.
[Dengan
sedikit perubahan, h. 247, silakan merujuk teks tulisan Arab agar pembaca dapat
membaca dengan makhraj yang benar, anassekuduk]
· Terapi untuk Mengobati
Penyakit Asmara
Asmara
dibahas dalam buku ini dengan cukup panjang lebar. Dalam bahasan Tema ketiga
buku ini, terapi Asmara dijabarkan dalam 14 halaman. Akan tetapi akan dikutip
di sini bagian yang menurutku paling praktis, dapat diterapkan, mudah amal.
Adapun konsep dan bahasan dalam buku ini, tentu menjadi dasar pijakan dalam
penerapannya. Semoga kutipan ini tidak mengurangi keutuhan apa yang ingin
disampaikan penulis kitab.
.........Panah
asmara adalah salah satu jenis penyakit yang juga mempunyai peluang untuk
disembuhkan, bahkan ada beberapa cara terapi yang bisa dilakukan terhadapnya. Kalau
orang yang tertikam panah asmara itu memiliki jalan yang sesuai dengan syariat
dan masuk akal untuk mendapatkan sang kekasih, itulah obatnya. Sebagaimana
disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw menyuruh
pemuda yang telah mampu untuk menikah, namun jika belum mampu maka dianjurkan
untuk berpuasa, karena ia menjadi obat atau perisai baginya.
Kalau orang yang tertikam panah
asmara tidak memiliki jalan untuk mendapatkan orang yang dicintainya menurut
aturan syariat atau kemampuannya, atau bisa juga karena keduanya, padahal ini
adalah penyakit yang ganas, maka terapinya adalah memberikan kesan dalam
jiwanya akan adanya keputusasaaan terhadap harapannya itu. Karena kalau jiwa
seseorang sudah merasa putus asa, ia akan merasa nyaman, tidak terlalu lagi
mengejar buruannya.
Kalau dalam keputusasaan itu
penyakit asmara masih belum hilang juga, tabiat seseorang akan mengalami
gangguan hebat sehingga diperlukan cara terapi lain, yakni pada bagian
pikirannya. Yakni dengan menanamkan kesadaran bahwa ketergantungan hati
terhadap sesuatu yang tidak mungkin dicapai adalah kegilaan. Orang yang
berpikiran begitu tak ubahnya orang yang hendak menjaring matahari. Ruhnya akan
terus bergantung dan melambung tinggi, terus berputar bersama angan-angannya di
tengah orbitnya. Bagi orang-orang berakal, itu hanya terjadi pada orang-orang
gila belaka.
Kalau tidak mungkin memperoleh
kekasih dengan cara yang disyariatkan dan sesuai dengan kemampuan, terapinya
adalah dengan menempatkan diri sebagai orang yang berudzur. Karena Allah belum
mengizinkan dirinya untuk memperolehnya. Maka terapi penyakit ini bagi
seseorang hamba yang menginginkan keselamatan adalah dengan menjauhi
angan-angan tersebut. Berikanlah kesan dalam dirinya bahwa apa yang dia cari
itu tidak ada atau tidak mungkin digapai, tak ubahnya dengan segala hal yang
mustahil.
Kalau nafsu amarahnya tidak juga
bisa menerima cara tersebut, hendaknya ia meninggalkan angan-angannya itu
karena dua hal: karena takut kepada Allah, atau karena keyakinan bahwa
hilangnya apa yang dia cintai itu lebih baik bagi dirinya, bahkan berguna dan
lebih berfaidah, bahkan akan menggiringnya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
lezat dan lebih menggembirakan. Karena orang berakal akan membuat perbandingan
antara kehilangan sesuatu yang dicintai yang bersifat fana dengan kehilangan
sesuatu yang lebih besar nilainya, lebih kekal, lebih bermanfaat dan lebih
nikmat. Pasti akan jelas perbedaan antara keduanya. Janganlah kita menjual
kelezatan abadi yang tidak memiliki resiko apapun untuk membeli kelezatan
sesaat yang akan berubah wujud menjadi rasa sakit. Pada hakikatnya, kelezatan
sesaat itu adalah mimpi tidur atau ilusi yang tidak ada realitasnya sama
sekali. Bila kelezatannya telah musnah, tinggallah rasa susahnya. Bila syahwat
sudah lenyap, yang tinggal hanya kesengsaraan saja.
Selain itu, ia bisa mendapatkan
sesuatu yang lebih menyusahkan dibandingkan dengan hilangnya sesuatu yang
dikasihinya. Bahkan bisa jadi ia akan tertimpa dua musibah sekaligus: yakni
kehilangan sesuatu yang lebih besar dari hilangnya sang kekasih, serta
terjadinya sesuatu yang lebih menyusahkan daripada hilangnya apa yang
dikasihinya tersebut. Kalau seseorang sudah yakin bahwa dengan mengejar
kekasihnya dua musibah itu pasti akan ia rasakan, maka akan mudahlah baginya
untuk meninggalkan angan-angannya. Ia akan berpandangan bahwa lepasnya sang
kekasih lebih mudah untuk diterima dengan kesabaran. Intelejensi, agama, harga
diri, dan kemanusiaan yang ada pada dirinya akan memerintahkan dirinya untuk
harus menanggung bahaya yang relatif lebih ringan yang kemudian dengan demikian
cepatnya berubah menjadi kenikmatan, kegembiraan dan keceriaan, untuk menolak
terjadinya bahaya yang lebih besar. Sementara kejahilannya, hawa nafsunya,
kegilaan dan sikap meremehkannya akan terus memerintahkannya mendahulukan
kekasih yang fana dengan segala yang dimilikinya, dengan segala upaya. Sungguh,
orang yang terpelihara adalah yang dipelihara oleh Allah.
Kalau jiwa seseorang masih belum
bisa menerima obat ini, terapi ini tidak serasi dengan dirinya, cobalah ia
memperhatikan apa akibat dan kerusakan dunia fana yang ditimbulkan oleh
memperturutkan syahwatnya itu, betapa banyak kemaslahatan yang akan hilang
karenanya. Memperturutkan syahwat panah asmara dapat menimbulkan berbagai
kerusakan terbesar di dunia ini, faktor terbesar yang dapat melenyapkan
berbagai kemaslahatan. Karena sikap itu akan menghalangi seorang hamba
menggunakan kecerdasannya yang merupakan dasar kemampuannya, tonggak
kemaslahatannya.
Kalau obat atau terapi ini juga
tidak bisa diterima oleh jiwanya, hendaknya ia mengingat berbagai keburukan
dari sang kekasih hati dan segala yang bisa menyebabkan dirinya membenci
kekasihnya itu. Karena kalau ia terus memikirkan dan merenungkannya, pasti ia
akan mendapatkan bahwa kejelekannya akan berlipat-lipat dari kebaikan yang
mendorongnya mencintai sang kekasih. Silakan tanya para tetangga tentang
kejelekannya yang tersembunyi. Karena kalau segala kebaikannya akan mendorong
dirinya mencintai kekasihnya itu, maka kejelekannya akan juga mendorongnya
untuk membencinya dan tidak menyukainya. Coba buat perbandingan antara kedua
sisi tersebut. Maka hendaknya ia memilih pintu pada sisi mana lebih dahulu
terbuka baginya. Janganlah menjadi orang yang tertipu oleh kecantikan lahiriah
saja yang terlihat lebih baik dari kulit yang penuh dengan kusta dan lepra.
Alihkan dari sekadar kecantikan luar menembus sampai pada buruknya amal
perbuatannya. Menyeberanglah dari sisi lahiriahnya yang cantik menuju kebusukan
hati dan jiwanya.
Kalau terapi ini masih juga belum
mampu menyembuhkannya, yang tersisa hanyalah kepasrahan total pada Allah yang
selalu mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya dalam keadaan terdesak. Hendaknya
ia merebahkan diri di hadapan Allah, di depan pintuNya, memohon keselamatan,
dengan penuh rasa tunduk, pasrah dan merendahkan diri.
Bila seseorang mendapatkan
kesempatan untuk melakukan kepasrahan tersebut, berarti ia telah mengetuk pintu
taufik. Namun hendaknya seseorang mawas diri, tidak demikian mudah menyebut-nyebut
kekasihnya dan mencelanya di hadapan orang banyak sehingga mengganggu harga
dirinya. Karena bila dilakukan, ia telah berbuat zhalim dan melampaui batas.
Selesai diringkas,
sekuduk, 23-6-2019, 18.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar