HERMENEUTIKA DAN TAFSIR
AL-QUR’AN
ADIAN HUSAINI, M.A dan ABDURRAHMAN
AL-BAGHDADI
Jakarta: Gema Insani,
2007
Xiv, 90 hlm, 18,3 cm.
Bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillahwashshalatuwassalamu
‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Bagaimana jika Al-Qur’an dianggap sebagai
produk sosial budaya?
Bagaimana jika Agama Islam kemudian
dikenal sebagai Agama Muhammad? Hukum Islam dianggap sebagai Muhammedan Law?
Bagaimana jika Al-Qur’an tidak dianggap sebagai teks yang final.
Bagaimana jika derajat Al-Qur’an sebagai wahyu, bukanlah sesuatu yang diturunkan
dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, akan tetapi dilepaskan derajat kewahyuannya
dan dianggap semata spirit yang dicerap, disaring Muhammad dan diekspresikan
dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistik beliau?
Bagaimanakah proses/metode penafsiran Al-Qur’an
sebenarnya?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas akan terjawab dalam buku ini. Pada tulisan kali ini, aku akan mengutip
beberapa pointer saja. Adapun kepada rekan pengunjung dan pembaca laman
anassekuduk.blogspot.com ini kusarankan untuk merujuk langsung sebagai bentuk
konfirmasi dan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Karena dalam hematku,
buku _yang meskipun berukuran kecil_ ini memerlukan tingkat konsentrasi yang
tinggi dan fokus, perlunya pemahaman bahasan per bahasan secara tuntas barulah bisa
pindah ke bahasan lanjutan. Pesan ini tentu tidak berlaku bagi rekan-rekan yang
major interestnya ada di bidang Al-Qur’an dan tafsir. Setidaknya, pesan
ini menurut pandanganku yang secara literasi termasuk sangat kurang baca. Moga apa
yang kutuliskan dalam ruang dan kesempatan kali ini bermanfaat, amin, salam
takzim anassekuduk.
......................................................................................................................................................................................
Dampak Hermeneutika:
1.
Relativisme
Tafsir
Para pengaplikasi hermenutika menganut
paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafisr dipandang
sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal.
..
Prof. Amina Wadud, seorang tokoh feminis, juga
menyatakan, “No method of Quranic exegesis fully objectives. Each exegete
makes some subjective choices”. (Tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang
sepenuhnya objektif. Masing-masing penafsir membuat pilihan yang subjektif).
Berangkat dari paham relativisme ini, maka
tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa
diterima semua pihak. Semua manusia itu bisa salah. Bagaimana dengan Nabi, ijma’
sahabat? Bukankah ada hadits Nabi Saw yang menyatakan, “Umatku tidak akan
bersepakat dalam kesesatan”? Apakah semua itu harus dibongkar dengan
hermeneuitka? Imam Bukhari dan para ulama lainnya banyak menyepakati tentang
kesahihan dan kemutawatiran banyak hadits Nabi Saw. Mereka menuangkan pemikiran
mereka ke dalam kitab-kitab hadits, hasil akal pikiran mereka. Dalam bidang
tafsir misalnya, jika merujuk pendapat Amin Abdullah yang menyatakan semua
produk tafsir adalah produk akal manusia, yang bersifat pasti “terbatas”, “parsial-kontekstual”,
dan “bisa saja keliru”. Dengan demikian, menurut hermeneutika ini, maka tidak
ada tafsir yang qath’i, tidak ada yang pasti kebenarannya, semuanya
relatif, semuanya zhanni.
Argumentasi ini tidak sangat tidak beralasan.
Islam adalah agama yang satu, dan sepanjang sejarah ulama Islam bersatu dalam
banyak hal. Umat Islam sejak zaman Nabi Saw hingga kini sampai kiamat, membaca
syahadat dengan lafaz yang sama, shalat subuh 2 rakaat, membaca takbir “Allahu
Akbar”, berpuasa Ramadhan, Haji ke Baitullah dengan cara yang sama. Akal manusia
jelas bisa menjangkau hal yang mutlak, yang tentu saja dalam batas-batas
manusia. Tidak benar akal manusia berbeda dalam segala hal. Bahkan dalam
menafsirkan Al-Qur’an pun, para mufasir tidak pernah berbeda tentang kewajiban
shalat 5 waktu, tidak berbeda tentang kewajiban puasa Ramadhan, kewajiban
zakat. Para mufasir tidak pernah berbeda tentang haramnya babi, zina, khamr,
haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim dan sebagainya. Sepakat bahwa
Nabi Muhammad Saw adalah manusia, bukan Tuhan atau setengah Tuhan. Ada yang qath’i
dan ada yang zhanni dalam penafsiran Al-Qur’an. Itu semua sudah mafhum
dalam Islam. Jadi, tidak benar jika semuanya adalah zhanni, relatif.
Paham relativisme tafsir ini sangat
berbahaya, sebab: (1) menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas
Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelativan ajaran Islam, (2)
menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal hermeneutika
Al-Qur’an hingga kini masih merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan
kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. (3)
menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi
mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah
dinyatakan final dan tetap (tsawabit) akan senantiasa bisa diubah dan
disesuaikan dengan arus liberasi Islam. Sudah banyak yang berani menghalalkan
hukum-hukum yang sudah pasti, seperti haramnya muslimah menikah dengan
laki-laki non muslim, dan haramnya perkawinan homoseksual (LGBT).
...Al-Qur’an adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari
Allah, bukan ditulis oleh manusia. Oleh karena itu, ketika ayat-ayat Al-Qur’an
berbicara tentang perkawinan, khamr, aurat wanita, dan sebagainya, Al-Qur’an
tidak berbicara tentang orang Arab. Maka, dalam penafsiran Al-Qur’an, memang
tidak mungkin lepas dari makna teks, karena Al-Qur’an memiliki teks yang final
dan tetap. Teks AL-Qur’an tidak berubah sepanjang masa, maknanya tetap terjaga,
sejak diturunkan sampai sekarang dan nanti. Jadi, meskipun ayat tentang khamr
diturunkan di Arab, dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua
manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan
sudah kecanduan khamr. Maka, khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau
banyak, baik Arab maupun bukan.
Begitu pula tentang menutup aurat bagi wanita,
tidak hanya untuk wanita Arab. Karena sudah mafhum, anatomi tubuh seluruh wanita
di belahan dunia manapun; Arab, Eropa, Cina atau Indonesia adalah sama. Karena itu,
sepanjang sejarah, ulama hanya berbeda pendapat dalam hal menutu wajah (cadar)
dan batasan tangan. Tidak ada yang berpendapat wanita boleh memperlihatkan
perut atau punggungnya. Apalagi, yang berpendapat bahwa batasan aurat wanita tergantung situasi dan kondisi.
2. Curiga
dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode hermeneutika juga
tidak segan-segan memberikan tuduhan membabi buta terhadap para ulama Islam terkemuka,
seperti Imam Syafii, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang
tidak dikehendaki para pendukung hermeneutika.
Misalnya ada menyatakan bahwa pemikiran
fiqh yang dirumuskan Imam Syafii mengkerangkeng dan membelenggu pemikiran kaum
muslimin dan membuatnya terbuai. Bahwa metodologi rumusan Syafi’i diposisikan
begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi
dari nash-nash syar’i (Al-Qur’an dan hadits).
Adapula tuduhan bahwa Syafi’i melakukan
pembelaan terhadap mushaf Utsmani, untuk mempertahankan hegemoni Quraisy.
Jika dicermati, biasanya mereka bersikap
sangat kritis terhadap para ulama Islam, tetapi mereka menjiplak begitu saja
berbagai teori hermeneutika atau pemikiran dari para orientalis dan cendekiawan
Barat, dengan tanpa sikap kritis sedikitpun. Biasanya mereka dengan ringan
mengutip pendapat-pendapat Imanuel Kant, Paul Ricour, Habermas, Michel Foucult,
Antonio Gramsci dan sebagainya, dengan tanpa sikap kritis, dan dengan mudahnya
menjiplak gagasan mereka untuk diaplikasikan terhadap Al-Qur’an.
3. Dekonstruksi
Konsep Wahyu
Dekonstruksi yang terjadi, dapat
kuringkaskan sebagai berikut: Nabi Muhammad Saw sebagai bagian dari masyarakat,
bagian dari realitas sejarah, sosial dan budaya. Muhammad Saw dipandang sebagai
semacam “pengarang” Al-Qur’an. Artinya redaksi Al-Qur’an adalah versi Muhammad.
Padahal kita tahu betul bahwa Al-Qur’an secara lafaz dan makna berasal dari
Allah Swt, Beliau Saw hanya menyampaikan. Kita juga paham betul diawal masa
turun dan penulisannya, Rasulullah Saw memerintahkan untuk memisahkan penulisan
Al-Qur’an dengan hadits. Bahkan membatasi penulisan Al-Qur’an pada sahabat
tertentu. Metodologi hermeneutika juga mengharuskan Al-Qur’an yang merupakan wahyu,
diturunkan derajatnya menjadi teks yang manusiawi, bahwa Al-Qur’an yang sudah
keluar dari mulut Nabi Muhammad Saw adalah bahasa Arab biasa yang dipahami
orang-orang Arab ketika itu. Dan karena bahasa adalah produk budaya, maka
Al-Qur’an yang berbahasa Arab adalah juga produk budaya Arab. [dalam tataran
paling praktis pemahaman misalnya, kerudung/jilbab adalah budaya Arab, sehingga
tidak ada keharusan muslimah menggunakannya sebagai bagian dari syariat Islam,
anassekuduk]
Hermeneutika yang digunakan dalam teks-teks
agama Barat, kata Prof. Wan Mohd Nor, bermula dengan masalah besar: 1) ketidakyakinan
tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari
awal karena
tidak adanya bukti material teks-teks yang paling awal, 2) tidak adanya laporan-laporan
tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir
dan ijma’, dan 3)
tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang hilang itu. Ketiga
masalah ini tidak terjadi dalam sejarah Islam, khususnya dengan Al-Qur’an.
Apakah Al-Qur’an
Kitab Sains dan ilmu Pengetahuan??
Bahasan ini
diambil dari buku yang sama, akan tetapi di bagian yang ditulis oleh
Abdurrahman Al-Baghdadi. Kukutip tulisan
ini di halaman 68 dan seterusnya.
........Anggapan
orang banyak di masa lampau maupun kini bahwa Al-Qur’an berisi macam-macam ilmu
pengetahuan, dan ada kaitannya dengan sains dan teknologi, kemudian mereka
menambahkan semua teori dan fakta ilmiah ke dalam tafsir Al-Qur’an......Anggapan
bahwa Al-Qur’an mengandung semua teori ilmiah, sama sekali tidak mempunyai
dasar. Al-Qur’an sendirilah yang mendustakan mereka, karena Al-Qur’an adalah
buku wahyu yang mengajak manusia dan jin beriman agar hidup mereka dapat diatur
oleh Allah Swt dengan peraturan yang sempurna, dan supaya mereka hidup
sejahtera, aman sentosa, dan bahagia dunia akhirat. Al-Qur’an tidak dijadikan
sebagai buku sains dan/atau buku panduan ilmu teknologi, sebagaimana yang
menjadi anggapan banyak kaum intelektual di zaman sekarang. Semua ayat Al-Qur’an
hanyalah merupakan bahan pemikiran untuk membuktikan keagungan Allah Swt dan
pokok-pokok hukum untuk mengatur perilaku dan tingkah laku manusia.
Adapun mengenai
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang terungkap dalam Al-Qur’an, semua itu
tidak diketengahkan dalam Al-Qur’an, sekalipun hanya dalam satu ayat atau
sepotong ayat. Kalau di dalam Al-Qur’an terdapat sesuatu yang sejalan dengan
ilmu pengetahuan umum atau sesuai dengan kenyataan ilmiah, itu semata-mata
hanya dimaksud sebagai pembuktian tentang kekuasaan Allah Swt, dan sebagai
bukti kemukjizatan Al-Qur’an, bukan untuk menetapkan kebenaran suatu teori atau
fakta ilmiah.
Al-Qur’an
tidak mengetengahkan masalah penelitian ilmiah, dan tidak mengemukakan teori
ilmiah secara murni (maksudnya murni ilmiah), tidak ada kata-kata maupun
kalimat-kalimat yang menunjukkan hal itu dan Rasulullah Saw sendiri tidak
pernah menjelaskan masalah itu, karenanya Al-Qur’an sendiri tidak mempersoalkan
ilmu pengetahuan sains maupun teknologi, meskipun menyinggung banyak fakta
ilmiah yang baru terungkap pada abad yang lalu dan sekarang. Jadi,
kesimpulannya bahwa teori ilmu pengetahuan dan kenyataan ilmiah yang dibahas
oleh Al-Qur’an yang tersurat maupun tersirat pada ayat-ayatnya memang berguna
untuk memahami ayat-ayat kauniyah (yang ada di alas semesta), sejalan dengan
tujuan Al-Qur’an sebagai kitab wahyu yang membawa petunjuk (hidayah), rahmah
(bagi semesta), dan berita gembira bagi kaum muslimin semata; dan bukan sebagai
buku sains atau panduan teknologi.
Sekian,
salam takzim, anassekuduk,
Selesai,
Sekuduk, 09.53,
Kamis, 27-6-2019, dimulai sekitar ba’da Subuh di hari yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar