Pluralisme dan
Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Ali
Maksum, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, cet I, 2011
Pointers
ini ditujukan untuk merekam poin2 yang menurutku perlu sesuai dengan situasi
dan kondisi saat pointers ini ditulis, dan sangat mungkin tidak dapat
menggambarkan isi utuh keseluruhan ide penulis buku, oleh karena itu untuk
mendapatkan ide yang utuh dan menyeluruh, kusarankan kepada pembaca untuk
merujuk buku tersebut.
·
Rasulullah mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk
membangun sebuah masyarakat madani. Islam menjadikan rujukan nilai, pengetahuan
dan tindakan bagi para penganutnya untuk
berta’aruf (saling tukar-menukar ‘urf) dengan kelompok2 lain di masyarakat yang
berbeda latar belakang agama, sosial dan budaya (Al-Hujurat: 13)
·
Pendidikan Islam memang merupakan upaya untuk mendidikkan
ajaran dan niali2 Islam agar menjadi way of life (pandangang dan sikap
hidup) seseorang. Namun demikian, hal ini bisa mengandung makna positif atau
negatif, berpotensi mengarah pada toleransi atau intoleransi, maupun integrasi
atau disintegrasi. Fenomena tersebut akan banyak ditentukan setidak-tidaknya
oleh: (1) pandangan teologis agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan
perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; (3)
lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan (4) peranan dan pengaruh
pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pemeluknya.
Jika pandangan teologi agama dan ajaran
yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan
penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan skriptual, karena penjelasan2 dan
arahan dari para guru agama yang bersifat doktriner, rigid (kaku) dan
mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan
sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran
dan agama dapat berperan sebagai faktor disintegratif (pemecah).
(kutipan pengantar oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A, Guru Besar UIN Malang)
·
Indonesia adalah bangsa yang mejemuk. Keragaman yang muncul
sebagai konsekuensinya merupakan modal sosial (sosial capital) yang
sangat berharga. Akan tetapi, ia berpotensi pula menjadi faktor destruktif dan
menimbulkan bencana dahsyat apabila modalitas ini tidak bisa dikelola dengan
baik. Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran multikultural, yang dapat
berkembang dengan baik apabila ditanamkan sejak awal terhadap generasi muda
lewat lembaga pendidikan. Melalui pendidikan, sikap saling menghargai terhadap
perbedaan akan berkembang dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini
ini membantu siswa untuk mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku,
budaya, nilai, dan agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak
melihat nilai budaya lain sehingga mengerti secara mendalam, dan akhirnya dapat
menghargainya. Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya lain atau
menyeragamkan berbagai budaya menjadi satu budaya nasional. Dalam pendidikan
multikultural, tiap budaya diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Di sinilah
dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran, diperlukan pemahaman relativitas nilai
budaya. H.17
·
Pendidikan Islam Masa Rasulullah
Pengelolaan pendidikan Islam dalam lintasan
sejarah telah dimulai pada masa Rasulullah SAW da Khulafaur-Rasyidin.
Rasulullah telah menjadikan pelajaran baca tulis bagi 10 orang penduduk Madinah
sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan perang Badar. Harta tebusan
tawanan perang adalah milik Baitul Mal (kas negara). Dalam hal ini, ternyata
Rasulullah menjadikannya sebagai ‘anggaran’ bagi pendidikan masyarakat. Hal
serupa dilakukan pula pada masa Umar ibn Al-Khattab. Umar menugaskan 3 orang
guru untuk mengajar baca-tulis penduduk kota Madinah, dengan gaji yang dikeluarkan
dari Baitul Mal.
Gaji yang diberikan kepada ketiga guru
tersebut untuk setiap orangnya adalah 15 dinar setiap bulannya. (untuk
gambarannya tentang jumlah gaji yang diberikan kepada guru tersebut, kiranya di
sini kutambahkan sedikit penjelasan tentang dinar dan dirham. Berdasarkan apa
yang pernah kami baca –kalau tidak salah- dalam tulisan Muhaimin Iqbal, bahwa
Dinar ini berasal dari Byzantium (ukuran 1 dinar ini sama dengan emas murni
4,25 gram) dan Dirham berasal dari Persia (1 dirham = perak 3 gram). Adapun
untuk konversi nilainya ke rupiah; untuk nilai 1 Dinar/11-11-2011 ialah 1,7
juta, sedangkan untuk 1 Dirham/11-11-2011 ialah sekitar 40 ribuan. Jika tidak
salah untuk melihat kurs dinar dan dirham ini dapat dilihat di geraidinar.com,
atau pembaca bisa merujuk ke laman2 yang menyediakan info kurs dinar/dirham
yang update. Dengan demikian diketahui bahwa 15 dinar X 1.700.000 (berdasarkan
kurs tgl 11-11-2011) = 25.500.000).
Para khalifah sepeninggal
Khulafaur-Rasyidin juga dikenal sebagai negarawan yang amat menghargai
orang-orang yang berilmu. Pada masa al-Makmun (Khalifah dari Bani Abbasiyah),
misalnya, berdiri lembaga ilmiah pertama di dunia yang dinamai Darul Hikmah.
Kemudian didirikan pula lembaga ilmiah kedua bernama Lembaga Ilmiah
an-Nizhamiyah. 3 abad berikutnya, di kota Baghdad didirikan lembaga pendidikan
al-Mustansiriya. Lembaga ini dibangun oleh Khalifah al-Mustansir al-Abasi pada
tahun 640 H. Lembaga ini memiliki keistimewaan dengan adanya rumah sakit untuk
mata kuliah ilmu kedokteran.
Tidak hanya itu, lembaga2 pendidikan
lainnya juga banyak tersebar di negeri2 Islam. Di Syiria terdapat nama2
ar-Rasyidiah, al-Aminiyah, at-Tarkhiniah, al-Khatuniyah, dan as-Syarifiyah. Di
Mesir terdapat an-Nasiriyah dan as-Salahiyah. Tak lama setelah itu, berdiri
perguruan tinggi terkenal yaitu al-Azhar. Model lembaga pendidikan terpadu
seperti an-Nizamiyah diikuti dengan pembangunan lembaga2 pendidikan sejenis di
kota2 lain. Di Baghdad misalnya, ahirnya terdapat 30 buah lembaga pendidikan
sejenis an-Nizamiyah. Di Damaskus 20 buah, di Iskandariyah 30 buah. Hal sama
dapat kita jumpai di kota2 seperti Kairo, Naishabur, Samarkand, Isfahan, Bulkh
(Bactres), Aleppo, Ghazni, Lahore, dan yang lainnya.
Di kawasan Andalusia (Spanyol), yang pernah
menjadi pusat pemerintahan Islam, juga banyak dibangun banyak perguruan tinggi
terkenal seperti Universitas Cordoba, Sevilla, Malaga, Granada, dan yang
lainnya. Orang2 Eropa yang pertama kali belajar sains dan ilmu pengetahuan
banyak tertarik untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia
sehingga lahirlah kemudian murid2 yang menjadi para pemikir dan filosof
terkenal Eropa. Perguruan tinggi Oxford dan Cambrigde di Inggris merupakan
tiruan dari lembaga pendidikan di daerah Andalusia yang menggabungkan
pendidikan, pusat riset, dan perpustakaan.
Di sampng lembaga pendidikan, sepanjang
sejarahnya, Daulah Islamiyah menaruh kepedulian yang luar biasa terhadap
keberadaan perpustakaan dan menganggapnya sebagai sarana yang harus disediakan
bagi kepentingan rakyatnya. Di antara banyaknya perpustakaan, yang ternama di
masa pemerintahan Islam antara lain adalah perpustakaan Mosul yang didirikan
oleh Ja’far ibn Muhammad (w.940 M). Para pelajar dan ulama yang mengunjungi
perpustakaan ini dapat membaca dan menyalin berbagai manuskrip yang tersedia.
Kertas dan alat tulis dapat diperoleh tanpa dipungut biaya.
Di perpustakaan lainnya disediakan
tunjangan bagi para pengunjung perpustakaan yang secara reguler mendatanginya.
Pinjaman2 buku maupun manuskrip ke luar perpustakaan adalah lazim pada saat
itu. Salah seorang ulama, Yakut ar-Rumi, pernah memuji para petugas
perpustakaan di Kota Merv, karena mereka mengizinkannya meminjam dan membawa
sebanyak 200 buku, tanpa jaminan apa pun. Di Andalusiaterdapat sekitar 20
perpustakaan umum. Di antaranya yang terkenal adalah Perpustakaan Umum Cordova,
yang pada abad ke 10 M saja telah mempunyai koleksi 400 ribu judul buku. Ini
termasuk jumlah yang luar biasa untuk
ukuran pada zaman itu. Menurut Catholique Encyclopedia, perpustakaan Gereja
Centerbury yang terbilang perpustakaan paling lengkap di Eropa saat itu, hanya
memiliki 1800 judul bukul. Itu pada abad ke 14 M. Jumlah itu belum seberapa
jika dibandingkan dengan perpustakaan Darul Hikmah, Kairo, yang memiliki kurang
lebih 2 juta judul buku. Perpustakaan umum Tripoli di daerah Syam yang dibakar
oleh Pasukan Salib Eropa, memiliki kurang lebih 3 juta judul buku, termasuk 50
ribu eksemplar Al-Qur’an dan tafsirnya. Perpustakaan al-Hakim di Andalusia
menyimpan buku2nya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi sekitar 18 ribu
judul buku.
Fasilitas lain yang menonjul adalah tempat
penginapan bagi para guru dan pelajar. Tempat2 ini dikenal dengan berbagai
sebutan: ruaq, rubath, atau tikiyah. Mereka yang tinggal di tempat2 pemondokan
tidak dipungut biaya sedikit pun. Bahkan, sebagian besar dari mereka adalah
orang2 yang memperoleh tunjangan dari negara karena kesungguhannya dalam
belajar maupun melakukan riset.
Khalifah al-Makmun misalnya, memberikan
imbalan kepada setiap peerjemah buku dengan emas seberat buku yang
diterjemahkannya. Khalifah Harun al-Rasyid memberkan imbalan 4000 dinar kepada
setiap penghafal Al-Qur’an. Dan khalifah juga telah membentuk komisi khusus
yang terdiri dari para ahli untuk mengkaji suatu ilmu tertentu seperti ekonomi,
geografi, matematika, dan sebagainya.
Alhasil, sejak pembentukan Daulah Islam di
Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sampai runtuhnya pada masa Khalifah Abdul
Majid II di Turki, pendidikan masyarakat sangat diperlukan sekali. Lalu,
bagaimana mungkin kaum Muslim saat ini tidak merasakan kepedihan dan kerugian
yang teramat besar dengan runtuhnya Daulah Islam, yang selama berabad-abad
membuktikan perhatian dan kepeduliannya yang amat besar bagi pendidikan dan
kesejahteraan masyarakat? H. 22-25
·
Termaktub dalam Undang2 Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, Pasal 1, bahwa tujuan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinnya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk mengarahkan terwujudnya persemaia
nilai2, norma, tradisi, budaya masyarakat agar pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan pendidikan Islam maka perlu dipikir ulang berkaitan dengan
kurikulum dan fungsi pengajaran pendidikan Islam di sekolah. Beberapa fungsi
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan keimanan
dan ketakwaan peserta kepada Allah Swt serta akhlak mulia peserta didik
seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkunngan
keluarga.
b. Penanaman nilai ajaran
Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
c. Penyesuaian mental
peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Pendidikan Agama
Islam.
d. Perbaikan kesalahan2
atau kelemahan2 peserta didik dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama Islam
dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta
didik dari hal2 negatif budaya asing yang akan dihadapinya dalam kehidupan
sehari-hari.
f. Pengajaran tentang
ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem, dan fungsionalnya.
g. Penyaluran siswa untuk
mendalami pendidikan agama Islam ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Selain fungsi di atas, ada
beberapa kompetensi umum pendidikan Islam yang perlu diketahui: (1) halfal surat2 pilihan, mampu
membaca, menulis, mengartikan dan memahami ayat2 Al-Qur’an, serta mampu
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari; (2) beriman dengan mengenal, memahami,
dan menghayati rukun iman serta berperilaku sebagai orang yang beriman; (3)
terbiasa berperilaku dengan akhlak terpuji, menghindari akhlak tercela, dan
bertata krama dalam kehidupan sehari-hari; (4) mengenal, memahami, menghayati,
mampu, dan mau mengamalkan ajaran Islam tentang ibadah dan muamalah; (5)
memahami, menghayati, dan mampu mengambil manfaat dari tarikh Islam serta mampu
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesatuan, keselarasan,
keseimbangan, dan keserasian mata pelajaran Pendidikan Agama Islamdi Sekolah
akan semakin jelas, jika diperhatikan ruang lingkupnya. Ruang lingkup
Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
antara lain:
a. Hubungan manusia
dengan Allah SWT.
b. Hubungan manusia
dengan sesama manusia.
c. Hubungan manusia
dengan alam dan lingkungan.
Standar kompetensi mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam berisi sekumpulan kemampuan minimal yang harus
dikuasai siswa selama mengikuti Pendidikan Agama Islam di sekolah. Kemampuan
ini berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan
pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT. Kemampuan yang tercantum dalam komponen dasar ini merupakan
penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai (Depdiknas, 2003),
yaitu:
1. Mampu membaca
Al-Qur’an surat2 sesuai dengan tajwidnya, dan menyalinnya, serta mampu membaca,
mengartikan, dan menyalin hadits2 pilihan.
2. Beriman kepada Allah
Swt dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsiya serta terefleksi
dalam dimensi vertikal maupun horizontal.
3. Mampu beribadah dengan
baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam baik ibadah wajib dan
ibadah sunnah maupun muamalah.
4. Mampu berakhla mulia
dengan meneledani sifat, sikpa dan kepribadian Rasululah serta Khulafaur
Rasyidin.
5. Mampu mengambil
manfaat dari sejarah peradaban Islam.
·
Metode dan Pendekatan Pendidikan Islam
Beberapa metode dan pendekatan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut, meliputi:
1. Pendekatan keimanan
Memberi
peluang kepada pesert didik dengan mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai
sumber kehidupan makhluk jagad.
2. Pendekatan pengalaman
Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil2
pengalaman ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas2 dan masalah kehidupan.
3. Pendekatan pembiasaan
Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang
sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah bangsa.
4. Pendekatan rasional
Usaha
memberikan peran kepada rasio peserta didik dalam memahami da membedakan
berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang
baik dan perilaku yang buruk dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pendekatan emosional
Upaya
menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan
ajaran agama dan budaya bangsa.
6. Pendekatan fungional
Menyajikan
semua bentuk standar materi dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
7. Pendekatan keteladanan
Menjadikan
figur guru agama dan nonagama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua
peserta didik sebagai cermin manusia berkeperibadian agama.
·
Sistem Pendidikan Islam
Muhammad Fatih menengarai bahwa sistem
pendidikan Islam sebetulnya didasarkan pada sebuah kesadaran teologis bahwa
setiap Muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikanya. Dalam
sabdanya, Rasulullah saw, bersabda: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi
setiap Muslim” (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi). Dan barangsiapa yang menempuh jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju
surga” (HR. Muslim dan At-Turmudzi).
·
Karakteristik Pembelajaran
Pembelajaran memiliki karakteristik
sendiri2 sesuai dengan jenjang pendidikan masing2.
a. MI (madrasah
ibtidaiyah)
Jenjang
MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Bisa
dikatakan kegagalan pendidikan atau pembelajaran di MI sangat berpengaruh
terhadap kegagalan pendidikan jenjangb selanjutnya. Esensi pembelajaran di MI
adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa keimanan (tauhid) kepada
Allah Swt. Upaya menanamkan jiwa katauhidan bisa dilakukan dengan cara
melakukan doktrin terhadap siswa. Doktrin dilakukan berdasarkan kemampuan
improvisasi masing2 guru, inti dari doktrin agar siswa lebih memiliki ketertarikan
dan kedekatan terhadap Allah Swt sehingga kompetensi lulusan MI adalah memiliki
kualitas keimanan kepada Allah Swt secara baik dan benar.
Jika
dilihat dari peran dan tanggung jawa guru dalam mewujudkan keberhasilan belajar
di MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peran guru untuk
mewujudkan keberhasilan siswa dalam belajar berkisar 90% sedangkan peran siswa
hanya berkisar 10%. Hal ini menunjukkan peran guru sangat menentukan
karakteristik dan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran. Jika gurunya
rendah motivasi mengajar dan sempit wawasan pengetahuannya, maka siswa pun akan
rendah motivasi belajarnya dan sempit pengetahuan/wawasannya.
b. Mts (madrasah
tsanawiyah)
Pembelajaran
pada jenjang ini tidak lagi doktrin, melainkan proses untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil atau dasar tentang segala yang
diketahui. Dengan demikian, karakteristik pembelajaran di MTs dapat dikatakan
pembelajaran tekstual, yaitu memberikan landasan atau dalil secara tekstual,
yaitu memberikan landasan atau dalil secara tekstual terhadap segala sesuatu
yang dikerjakan. Misalnya, siswa mengerti mengapa umat Islam diwajibkan shalat
5 waktu sehari semalam, siswa mengerti alasan atau dalil mengapa umat Islam
diwajibkan menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mengapa manusia dilarang
bertengkar dan wajib rukun atau saling bantu membantu, dilarang berbuat zina,
dilarang mencuri, dan juga dilarang melakukan praktik korups.
Untuk keberhasilan
pembelajaran, porsi peran guru berkisar 60% dan siswa berkisat 40%. Di sini
dapat dilihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran dan tanggung
jawab guru secara formal semakin berkurang, tetapi secara substansi materi
semakin meningkat, karena guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran.
c. MA (madrasah aliyah)
Pembelajaran dijenjang MA
lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas bagi siswa. Pembelajaran
lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas bagi siswa. Pembelajaran
bersifat rasionalisasi dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini
menjadi penting disampaikan dijenjang MA, karena dengan harapan para lulusan MA
sudah memiliki kemapanan daya rasionalitasnya dan terbiasa menghadapi perbedaan
atau problem kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajaran yang lebih menekankan
aspek rasionalitas terhadap teks2 norma ajaran agama. Konsekuensinya guru harus
mampu melakukan rasionalitas terhadap teks2 yang ada dalam ajaran atau norma
agama Islam.
Peran atau tanggung jawab
guru dan siswa berkisar 50% dan siswa juga 50%. Hal ini menunjukkan guru dan
siswa di jenjang MA harus sama2 memilikin semangat dan motivasi yang jelas dan
tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru
dan siswa tidak memiliki motivasi yang tinggi, maka pembelajaran akan gagal.
Guru dan siwa dituntut untuk memiliki semangat untuk memanfaatkan segala sarana
yang ada di sekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
d. PT (perguruan tinggi)
Pembelajaran
di tingkat PT lebih bersifat problem solving, mahasiswa diberikan berbagai
kasus yang ada di tengah masyarakat, kemudian mahasiswa diminta menyelesaikan
kasus tersebut berdasarkan teori yang relevan. Model pembelajaran problem
solving ini didasarkan atas asumsi, para lulusan MA atau mahasiswa sudah
mapan dalam aspek rasionalitasnya. Pembelajaran di PT tinggal menggunakan
rasionalitas itu untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan menyelesaikan
berbagai problem kehidupan masyarakat. Implikasinya pada porsi peran dan
tanggung jawab dosen menjadi dalam kisaran 15-20% sedangkan mahasiswa memiliki
peran dan tanggung jawab dalam 80-85%. Artinya, kalau mahasiswa ingin berhasil
dalam pembelajaran, maka mahasiswa harus memiliki kemandirian dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau hanya menerima materi dari dosen, maka
mahasiswa tidak akan memperoleh kualitas pembelajaran seperti yang diharapkan.
Mereka harus aktif mengikuti berbagai kegiatan atau diskusi2 kecil yang
akhirnya dapat meningkatkan wacana keilmuan, harus terbiasa melakukan
klarifikasi informasi yang disampaikan dosen dengan cara mengecek di dalam buku
di perpustakaan. Sebab itu, tak ada alasan bagi mahasiswa untuk tidak datang ke
perpustakaan, lebih baik lagi mereka membeli buku dan membaca secara rutin.
·
Kompetensi Guru
Dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VI Pasal 28
Ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki 4 kompetensi, sebagai berikut:
1. Kompetensi pedagogis:
seperangkat kemampuan dan keterampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi
belajar mengajar antara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi pedagogis
meliputi: kemampuan guru menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran,
memberi dan menjawab pertanyaan, mengelola kelas, dan melakukan evaluasi.
2. Kompetensi kepribadian
adalah seperangkat kemampuan dan karakteristik personal yang mencerminkan
realitas sikap dan perilaku guru untuk melaksanakan tugas2nya dalam kehidupan
sehari-hari. Konsekuensi kompetensi ini akan menunjukkan ciri2 guru di
antaranya sabar, tenang, tanggung jawab, demokratis, ikhlas, cerdas, menghormati
orang lain, dll.
3. Kompetensi profesional
adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap suasana penguasaan
materi pelajaran secara mendalam, utuh, dan komprehensif. Guru memiliki
kompetensi profesional tidak cukup hanya memiliki penguasaan materi secara
formal (dalam buku panduan) tetapi juga harus memiliki kemampuan terhadap
materi ilmu lain yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran
tertentu.
4. Kompetensi sosial
adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan hubungan atau
interaksi dengan orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki keterampilan
berinteraksi dengan masyarakat khususnya dalam mengidentifikasi, menganalisis,
dan menyelesaikan problem masyarakat.
T. Raka Joni dalam bukunya “Proses
Belajar Mengajar” mengelompokkan hanya ada 2 kompetensi yaitu: kompetensi
kepribadian dan sosial, dan kompetensi profesional. Berikut penjelasannya:
1. Kompetensi Kepribadian dan Sosial
Kompetensi kepribadian dan
sosial dari seorang guru merupakan modal dasar bagi guru yang bersangkutan
dalam menjalankan tugas keguruannya secara profesional. Kegiatan pendidikan
pada dasarnya merupakan pengkhususan komunikasi personal antara guru dan siswa.
Kompetensi kepribadian dan sosial keguruan menunjuk perlunya struktur
kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik (efektif serta berupaya untuk
maju), dan bertanggungjawab. Nilai2 keguruannya hendaknya bersumber pada
pengalaman iman yang hidup.
Kompetensi personal-sosial
memiliki beberapa konsekuensi atau karakter guru sebagai berikut:
a. Guru menghayati serta
mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan nilai
hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi tahu, mau dan melakukan
perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosialnya.
Proses pendidikan selalu bersifat normatif, yaitu memperjuangkan nilai luhur
baik yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya
bertolak dari keyakinan nilai tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau
direfleksikan terus menerus. Nilai luhur kemanusiaan yang mendasar selalu
bersifat universal (baik untuk siapa pun)
b. Guru hendaknya
bertindak jujur dan bertangungjawb. Kejujuran dan kesediaan bertanggungjawab
atas segala tindak keguruannya tersebut merupakan pengakuan akan berbagai
keterbatasannya yang perlu dibenahi dan atau dikembangkan terus-menerus. Kadar
kesungguhan hati atau semangat berusaha dalam pengembangan karier, sportivitas,
kerendah hatian, dan rela meminta maaf kepada siswa atau siapa pun yang
dirugikannya atau dikecewakannya, merupakan watak yang terpuji dari para guru.
c. Guru mampu berperan
sebagai pemimpin, baik di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah.
Kepemimpinan guru di sekolah tampak dalam kemampuannya menciptakan situasi
belajar siswa yang kondusif dan kemampuannya dalam mengorganisasi seluruh unsur
serta kegiatan belajar siswa untuk mencapat tujuan belajarnya. Situasi kelas
atau sekolah yang kondusuif tersebut ditandai oleh semangat kerja yang tinggi,
terarah, kooperatif, tenggang rasa, etis, dan efektif-efisien.
d. Guru bersikap
bersahabat dan terampil berkomunikasi dengan siapa pun demi tujuan yang baik.
Modal dasar berkomunikasi dengan sesama adalah kesediaannya menghargai partner,
bersikap terbuka, menguasai teknik berkomunikasi (terutama dalam menggunakan
bahasa secara efektif-efisien), dan mampu ikut memahami gejolak serta warna
perasaan dari partner komunikasinya (empati). Guru hendaknya tidak bersifat
sentimentil. Persahabatan yang tulus dan etis antara individu merupakan tanda
keberhasilan dalam berkomunikasi dan mengembangkan diri bagi siapa pun.
e. Dalam persahabatan
dengan siapa pun, guru tidak kehilangan prinsip serta nilai hidup yang
diyakininya. Dalam hal ini guru diharap mampu menghargai pribadi orang lain
yang berbeda dengan dirinya. Pergaulan atau persahabatan hendaknya menjadi
arena transaksi nilai hidup seseorang serta pengembangannya. Seluruh pergaulan
yang dialami oleh guru hendaknya dilandasi dengan kesopanan dan kesusilaan.
f. Guru bersedia ikut
berperan serta dalam berbagai kegiatan sosial baik dalam lingkup kesejawatannya
maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Guru siap untuk menyumbangkan
kemampuannya, lebih2 yang berhubungan dengan kecakapan keguruannya bila
dibutuhkan oleh sesamanya tanpa memperhitungkan keuntungan diri sendiri secara
berlebihan.
g. Guru adalah pribadi
yang bermental sehat dan stabil. Hal ini menunjuk tingkat perkembangan serta
pengintegrasian daya2 fisik, psikis, dan spiritual yang sehat, berpola,
dinamis, dan adaptif terhadap lingkungan sosial budayanya. Ciri lain dari orang
yang bermental sehat adalah realistis, mengenali keadaan diri serta
potensi2nya, mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan ulet dalam
mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk mencapat perkembangan diri serta
kariernya.
h. Guru tampil pantas dan
rapi. Hal ini berhubungan dengan tata cara bertindak, bertutur, berpakaian, dan
kebiasaan2 lainnya. Dalam hal ini, masalah kesopanan, kehalusan cita rasa,
keharmonisan dan penyesuaian diri denga situasi nyata di lingkungannya adalah
masalah penting dalam sosialisasi guru yang bersangkutan.
i. Guru mampu berbuat
kreatif dengan penuh perhitungan. Tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara
mekanis, eksak, dan dengan resep tunggal. Variasi tindak keguruan yang meliputi
pendekata pengajaran, strategi, metode, teknik, dan sejenisnya tidak terbatas
adanya. Dalam hal ini guru dituntut mampu bertindak kreatif dalam melaksanakan
tugas keguruannya, dalam batas tertentu tindak kependidikan tersebut bersifat
seni (art) karena bersifat khas, autentik, penuh alternatif, dan bersifat
mendasar bagi kehidupan seseorang.
j. Dalam keseluruhan
relasi sosial dan profesionalnya, guru hendaknya mampu bertindak tepat waktu
dalam janji dan penyelesaian tugas2nya. Pengelolaan waktu kerja (juga waktu
yang lain) menuntut perencanaan yang rasional dan berdisiplin dalam
pelaksanaannya. Penggunaan waktu secara efisien dalam kaitannya dengan tugas
keguruan dan pengembangan karier memberi harapan munculnya guru2 bermutu.
2. Kompetensi Profesional
Dalam kenyataannya, kesepuluh
kemampuan dasar guru yang dituntut dalam dokumen resmi tersebut masih menjadi
harapan atau cita2 yang mengarahkan mutu guru. Saat ini diduga masih banyak
guru yang belum menguasai kesepuluh kemampuan dasar keguruan yang menjadi tolok
ukur kinerjanya sebagai pendidik profesional, atau sebagian guru telah
menguasai kesepuluh kemampuan dasar tersebut tetapi bobot mutualnya belum
memadai (terstandar), atau sebagian guru menguasai beberapa dari kesepuluh
kemampuan dasar keguruan tersebut dengan baik.
Dalam bagian ini, akan diulas
secara garis besar isi serta arahan preskriptif (wajib diikuti) setiap butir
kemampuan dasar keguruan tersebut, agar menjadi lebih jelas apa yang mesti
diusahakan atau dikerjakan oleh guru dalam meniti serta mengembangkan
kariernya.
a. Guru dituntut
menguasai bahan ajar
Terminologi
menguasai berbeda dengan memahami. Memahami lebih bersifat personal, sedangkan
menguasai menyangkut personal dan orang lain. Artinya, kalau guru memahami
bahan, gurulah yang memahami materi yang akan diajarkan. Tetapi kalau menguasai
bahan berarti guru di samping dirinya memahami guru juga memiliki kemampuan
untuk menjelaskan atau menyampaikan materi yang dipahami kepada siswa. Tidak
semua guru yang memiliki kemampuan pemahaman terhadap materi mampu
menjelaskannya kepada siswa.
Menguasai
bahan memiliki dua hal. Pertama, menguasai bahan yang bersifat formal, yaitu
penguasaan bahan yang ada dalam buku pokok atau buku panduan. Kedua, menguasai
bahan yang bersifat pengayaan, yaitu penguasaan bahan dari beberapa ilmu lain
yang memiliki relevansi dengan materi pokok dalam silabi.
b. Guru mampu mengelola
program belajar-mengajar
Pengelolaan program belajar
mengajar lebih menekankan pada kemampuan guru dalam menyusun perencanaan dalam
pembelajaran, seperti menyusun program semesteran, program tahunan, SKBM,
rencana pembelajaran, implikasi yang terkait dengan kemampuan mengelola program
belajar mengajar, guru harus mengetahui kemampuan awal siswa (entry
behaviour), kondisi sosial siswa, dll.
c. Kemampuan mengelola
kelas
Kemampuan
mengelola kelas lebih bermakna kemampuan guru dalam mewujudkan ketenangan kelas
dalam proses pembelajaran. Kerawanan dalam pengelolaan kelas, kerawanan
ketertiban kelas, dan kerawanan semangat belajar kelas disebabkan oleh banyak
faktor, salah satu faktor penting adalah mutu pengajaran guru yang rendah.
d. Guru mampu menggunakan
media dan sumber pengajaran
Media pengajaran adalah alat
penyalur pesan pengajaran, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung
(misalnya media rekaman). Pendayagunaan media dan sumber pengajaran dapat
berupa penggunaan alat (media) buatan guru, pemanfaatan kekayaan alam sekitar
untuk belajar, pemanfaatan perpustakaan, pemanfaatan laboratorium, pemanfaatan
narasumber serta pengembang pengajaran di sekolah, dan pemanfaatan fasilitas
teknologis pengajaran yang lain.
Media dan simber pengajar ada
2 jenis, alat pendidikan atau pengajaran dan alat peraga. Alat pengajaran
adalah segala sarana yang dapat digunakan semua bidang mata pelajaran. Seperti
tape recorder, komputer, televisi, papan tulis, meja kursi, dan gedung.
Sedangkan alat peraga adalah sarana yang berfungsi khusus untuk mempercepat
pemahaman materi salah satu sub-pokok bahan tertentu. Misalnya, sarana untuk
mempercepat pemahaman materi terhapad pokok bahasan materi mengkafani mayat,
berbeda dari alat yang dijadikan bahan untuk mempercepat pemahaman pokokn
bahasan materi shalat dan wudhu’.
e. Guru menguasai
landasan2 kependidikan
Landasan2
pendidikan adalah sejumlah asumsi atau persepsi guru terhadap beberapa elemen
dan realitas atau persepsi guru terhadap beberapa elemen dan realitas dalam pembelajaran,
seperti asumsi guru terhadap siswa, belajar, mengajar, evaluasi dan lain2.
Salah dalam mempersepsikan istilah tersebut maka akan berakibat fatal dalam
proses pembelajaran.
f. Guru mampu mengelola
interaksi belajar-mengajar
Kemampuan
mengelola interaksi belajar mengajar lebih menitikberatkan pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi yang dapat
dipahami siswa. Yang terkait dengan kemampuan tersebut, guru harus memiliki
teknik menyampaikan materi, melaksanakan metode, dan teknik menjawab pertanyaan.
g. Guru mampu menilai
prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran
Secara
umum, yang harus dipahami guru bahwa penilaian jangan sampai dijadikan sarana
untuk intimidasi terhadap murid, sehingga penilaian atau evaluasi cenderung
membuat siswa merasa cemas. Dilihat dari aspek fungsional penilaian pengajaran
tersebut merupakan bagian integral dari sistem pengajaran. Jadi kegiatan
penilaian yang meliputi penyusunan alat ukur (tes), penyelenggaraan tes,
koreksi jawaban siswa serta pemberian skor, pengolahan skor dengan menggunakaan
norma tertentu, pengadministrasian proses serta hasil penilaian, dan tindak
lanjut penilaian hasil belajaran yang berupa pengajaran remedial serta layanan
bimbingan belajar bersifat tali-temali, dan seluruh tahapan penilaian di atas
perlu diselaraskan dengan komponen sistem pengajaran yang lain.
h. Guru mengenal fungsi
serta program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
Guru
diharuskan memiliki pemahaman atau penafsiran tentang makna bimbingan dan
penyuluhan dalam konteks pembelajaran. Jangan sampai guru yang memiliki peran
bimbingan dan penyuluhan menjadikan dirinya sebagai satpam atau polisi sekolah,
yaitu tugasnya hanya sekedar memberi sanksi kepada siswa yang melakukan
kesalahan. Jika bimbingan penyuluhan dipahami seperti ini maka problematika
pembelajaran tidak akan dapat diselesaikan.
i. Guru mengenal dan
mampu ikut penyelenggaraan administrasi sekolah
Cakupan
pengertian administrasi pendidikan sekolah dapat bersifat sangat luas, yaitu
pendayagunaan semua daya, dana, sarana, dan peluang (waktu) secara
organisatoris dan atau koordinatif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
lebih dahulu. Sedang cakupan pengertian administrasi sekolah dalam arti sempit,
yaitu penataan seluruh kegiatan ketatausahaan sekolah (clerical works).
Peran serta guru dalam kegiatan administrasi sekolah, hendaknya mencakup
pengertian administrasi dalam arti luas dan dalam arti sempit.
j. Guru memahami prinsip2
penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil2 penelitian pendidikan untuk
kepentingan pengajaran
·
Dalam surat At-Tin 5-6 dijelaskan bahwa manusia memiliki
peluang mencapati dua kutub yang berbeda; apakah ia menggapai kutub ahsan
taqwim, yakni kualitas terbaik dari sisi segi fisik maupun psikis, ataukah
kutub asfala safilin yaitu kualitas terendah.
·
Muhaimin menjelaskan setidaknya ada 4 langkah untuk
mengembangkan sikap tauhid pada anak didik melalui pendidikan, yakni anak didik
dan kita diharuskan mencontoh sifat2 Allah sebagaimana tercermin dalam dimensi:
tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkiyah, dan rahmaniyah.
a. Tauhid uluhiyah. Model
ini bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah,
jangan menyembah selain-Nya (syirik). Aktualisasi dari pandangan ini dalam
proses pendidikan Islam lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk answering questons (mempertanyakan jawaban2) dan questioning
answers (mempertanyakan jawaban2), tanpa dibebani rasa takut kepada guru
untuk bertanya atau menjawab pertanyaan secara kritis dan mempertanyakan
pertanyaan, serta tidak terbelenggu oleh produk2 pemikiran atau temuan manusia
yang bersifat relatif. Dengan demikian, proses pendidikan akan menghasilkan
nilai2 positif yang berupa sikap rasional kritis, kreatif, mandiri, bebas dan
terbuka.
b. Tauhid rububiyah,
bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan
memelihara alam seisinya. Alam ini diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk
mengelolanya, sehingga kita harus menggali dan menemukan ayat2-Nya (tanda2
keagungan dan kebesaran-Nya) yang serba teratur dan terpelihara di alam semesta
ini. Proses pendidikan banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengadakan penelitian, eksperimen, dan sebagainya. Dengan demikian, proses
pendidikan menghasilkan nilai2 positif yang berupa sikap rasional empirik, objektif-empiris,
dan ebjektif-matematis.
c. Tauhid mulkiyah,
bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah pemiliki segalanya dan menguasani
segalanya, baik alam maupun manusia, dunia maupun akhirat. Aktualisasi
pandangan ini dalam proses pendidikan adalah terwujudnya kesadaran akan
penghayatan dan pengalaman terhadap nilai2 amanah dan tanggung jawab antara
guru dan peserta didik dalam segala aktifitasnya, dengan dilandasi oleh wawasan
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kita ini miliki Allah,
manusia hanyalah mempunyai hak pakai, dan pemilik yang sesungguhnya hanya
Allah, sehingga kita mesti mempertanggungjawabkan segala aktifitas kita di
hadapan-Nya). Dengan demikian, proses pendidikan akan selalu menghasilkan
nilai2 amanah dan tanggung jawab.
d. Tauhid rahmaniyah,
bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah Maha Rahman Maha Rahim, Maha
Pengampun, Pemaaf, dan sebagainya. Proses pendidikan ini adalah terwujudnya
sikap telaten dan sabar dalam usaha pendidikan, serta terwujudnya sikap kasih
sayang, toleran dan saling menghargai antara guru dan peserta didik. Di samping
itum proses pendidikan ditanamkan nilai dan solidaritas terhadap alam. Dengan
demikian, akan menghasilkan sikap solidaritas kemanusiaan dan terhadap alam
sekitar.
·
Adapun di antara problematika pendidikan Islam yang peringkas
dapat kemukakan di sini dan rasanya sangat penting ialah bahwa orientasi PAI di
sekolah yang masih menekankan pengembangan kognitif semata. Hal ini menyebabkan
agama hanya dipahami hanya dari aspekm intelekstual (berhenti di otak) dan
tidak harus diamalkan (diteruskan dengan perbuatan). Evaluasi PAI di sekolah
masih menitikberatkan masalah kognitif, tidak diteruskan pada aspek perilaku,
maka kecenderungan ini melahirkan terjadinya krisis moral di masyarakat.
Sekian dulu kiranya apa yang dapat
kusajikan dalam ringkasan pointers kali ini. Sebenarnya masih banyak bahasan
dalam buku tersebut yang belum dapat diakomodasi dalam kesempatan ini (karena
keterbatasan peringkas, di samping pertimbangan pointers ini merupakan
dokumentasi untuk pribadi yang semoga saja bisa memberi manfaat pada pembaca
lain), namun sebagai clue ialah bahwa setelah bahasan yang peringkas sajikan di
atas, halaman2 berikutnya banyak membahas tentang multikuluturalisme. Peringkas
menyarankan bagi pembaca untuk mencerna bacaan ini, karena peringkas secara
pribadi menemukan bahasan2 yang dirasakan berat, agak mengganjal dan sedikit
mengusik misalnya bahasan tentang gender, pluralisme agama, gender, truth
claim...etc. Akan tetapi, dengan membaca buku ini wawasan kita akan terbuka
bahwa banyak sekali pemikiran yang dikemukakan para tokoh di bidangnya masing2
dalam upaya memajukan pendidikan baik di Indonesia maupun dunia pada umumnya. Alhamdulillah
selesai pada 3:26@Rabu, 20 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar