Senin, 03 Juni 2019

POINTER BUKU: "Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia"


Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Ali Maksum, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, cet I, 2011

Pointers ini ditujukan untuk merekam poin2 yang menurutku perlu sesuai dengan situasi dan kondisi saat pointers ini ditulis, dan sangat mungkin tidak dapat menggambarkan isi utuh keseluruhan ide penulis buku, oleh karena itu untuk mendapatkan ide yang utuh dan menyeluruh, kusarankan kepada pembaca untuk merujuk buku tersebut.
·         Rasulullah mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun sebuah masyarakat madani. Islam menjadikan rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan  bagi para penganutnya untuk berta’aruf (saling tukar-menukar ‘urf) dengan kelompok2 lain di masyarakat yang berbeda latar belakang agama, sosial dan budaya (Al-Hujurat: 13)
·         Pendidikan Islam memang merupakan upaya untuk mendidikkan ajaran dan niali2 Islam agar menjadi way of life (pandangang dan sikap hidup) seseorang. Namun demikian, hal ini bisa mengandung makna positif atau negatif, berpotensi mengarah pada toleransi atau intoleransi, maupun integrasi atau disintegrasi. Fenomena tersebut akan banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh: (1) pandangan teologis agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan (4) peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pemeluknya.
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan skriptual, karena penjelasan2 dan arahan dari para guru agama yang bersifat doktriner, rigid (kaku) dan mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai faktor disintegratif (pemecah). (kutipan pengantar oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A, Guru Besar UIN Malang)
·         Indonesia adalah bangsa yang mejemuk. Keragaman yang muncul sebagai konsekuensinya merupakan modal sosial (sosial capital) yang sangat berharga. Akan tetapi, ia berpotensi pula menjadi faktor destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat apabila modalitas ini tidak bisa dikelola dengan baik. Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran multikultural, yang dapat berkembang dengan baik apabila ditanamkan sejak awal terhadap generasi muda lewat lembaga pendidikan. Melalui pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini ini membantu siswa untuk mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya lain sehingga mengerti secara mendalam, dan akhirnya dapat menghargainya. Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan berbagai budaya menjadi satu budaya nasional. Dalam pendidikan multikultural, tiap budaya diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Di sinilah dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran, diperlukan pemahaman relativitas nilai budaya. H.17
·         Pendidikan Islam Masa Rasulullah
Pengelolaan pendidikan Islam dalam lintasan sejarah telah dimulai pada masa Rasulullah SAW da Khulafaur-Rasyidin. Rasulullah telah menjadikan pelajaran baca tulis bagi 10 orang penduduk Madinah sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan perang Badar. Harta tebusan tawanan perang adalah milik Baitul Mal (kas negara). Dalam hal ini, ternyata Rasulullah menjadikannya sebagai ‘anggaran’ bagi pendidikan masyarakat. Hal serupa dilakukan pula pada masa Umar ibn Al-Khattab. Umar menugaskan 3 orang guru untuk mengajar baca-tulis penduduk kota Madinah, dengan gaji yang dikeluarkan dari Baitul Mal.
Gaji yang diberikan kepada ketiga guru tersebut untuk setiap orangnya adalah 15 dinar setiap bulannya. (untuk gambarannya tentang jumlah gaji yang diberikan kepada guru tersebut, kiranya di sini kutambahkan sedikit penjelasan tentang dinar dan dirham. Berdasarkan apa yang pernah kami baca –kalau tidak salah- dalam tulisan Muhaimin Iqbal, bahwa Dinar ini berasal dari Byzantium (ukuran 1 dinar ini sama dengan emas murni 4,25 gram) dan Dirham berasal dari Persia (1 dirham = perak 3 gram). Adapun untuk konversi nilainya ke rupiah; untuk nilai 1 Dinar/11-11-2011 ialah 1,7 juta, sedangkan untuk 1 Dirham/11-11-2011 ialah sekitar 40 ribuan. Jika tidak salah untuk melihat kurs dinar dan dirham ini dapat dilihat di geraidinar.com, atau pembaca bisa merujuk ke laman2 yang menyediakan info kurs dinar/dirham yang update. Dengan demikian diketahui bahwa 15 dinar X 1.700.000 (berdasarkan kurs tgl 11-11-2011) = 25.500.000).
Para khalifah sepeninggal Khulafaur-Rasyidin juga dikenal sebagai negarawan yang amat menghargai orang-orang yang berilmu. Pada masa al-Makmun (Khalifah dari Bani Abbasiyah), misalnya, berdiri lembaga ilmiah pertama di dunia yang dinamai Darul Hikmah. Kemudian didirikan pula lembaga ilmiah kedua bernama Lembaga Ilmiah an-Nizhamiyah. 3 abad berikutnya, di kota Baghdad didirikan lembaga pendidikan al-Mustansiriya. Lembaga ini dibangun oleh Khalifah al-Mustansir al-Abasi pada tahun 640 H. Lembaga ini memiliki keistimewaan dengan adanya rumah sakit untuk mata kuliah ilmu kedokteran.
Tidak hanya itu, lembaga2 pendidikan lainnya juga banyak tersebar di negeri2 Islam. Di Syiria terdapat nama2 ar-Rasyidiah, al-Aminiyah, at-Tarkhiniah, al-Khatuniyah, dan as-Syarifiyah. Di Mesir terdapat an-Nasiriyah dan as-Salahiyah. Tak lama setelah itu, berdiri perguruan tinggi terkenal yaitu al-Azhar. Model lembaga pendidikan terpadu seperti an-Nizamiyah diikuti dengan pembangunan lembaga2 pendidikan sejenis di kota2 lain. Di Baghdad misalnya, ahirnya terdapat 30 buah lembaga pendidikan sejenis an-Nizamiyah. Di Damaskus 20 buah, di Iskandariyah 30 buah. Hal sama dapat kita jumpai di kota2 seperti Kairo, Naishabur, Samarkand, Isfahan, Bulkh (Bactres), Aleppo, Ghazni, Lahore, dan yang lainnya.
Di kawasan Andalusia (Spanyol), yang pernah menjadi pusat pemerintahan Islam, juga banyak dibangun banyak perguruan tinggi terkenal seperti Universitas Cordoba, Sevilla, Malaga, Granada, dan yang lainnya. Orang2 Eropa yang pertama kali belajar sains dan ilmu pengetahuan banyak tertarik untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia sehingga lahirlah kemudian murid2 yang menjadi para pemikir dan filosof terkenal Eropa. Perguruan tinggi Oxford dan Cambrigde di Inggris merupakan tiruan dari lembaga pendidikan di daerah Andalusia yang menggabungkan pendidikan, pusat riset, dan perpustakaan.
Di sampng lembaga pendidikan, sepanjang sejarahnya, Daulah Islamiyah menaruh kepedulian yang luar biasa terhadap keberadaan perpustakaan dan menganggapnya sebagai sarana yang harus disediakan bagi kepentingan rakyatnya. Di antara banyaknya perpustakaan, yang ternama di masa pemerintahan Islam antara lain adalah perpustakaan Mosul yang didirikan oleh Ja’far ibn Muhammad (w.940 M). Para pelajar dan ulama yang mengunjungi perpustakaan ini dapat membaca dan menyalin berbagai manuskrip yang tersedia. Kertas dan alat tulis dapat diperoleh tanpa dipungut biaya.
Di perpustakaan lainnya disediakan tunjangan bagi para pengunjung perpustakaan yang secara reguler mendatanginya. Pinjaman2 buku maupun manuskrip ke luar perpustakaan adalah lazim pada saat itu. Salah seorang ulama, Yakut ar-Rumi, pernah memuji para petugas perpustakaan di Kota Merv, karena mereka mengizinkannya meminjam dan membawa sebanyak 200 buku, tanpa jaminan apa pun. Di Andalusiaterdapat sekitar 20 perpustakaan umum. Di antaranya yang terkenal adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang pada abad ke 10 M saja telah mempunyai koleksi 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa  untuk ukuran pada zaman itu. Menurut Catholique Encyclopedia, perpustakaan Gereja Centerbury yang terbilang perpustakaan paling lengkap di Eropa saat itu, hanya memiliki 1800 judul bukul. Itu pada abad ke 14 M. Jumlah itu belum seberapa jika dibandingkan dengan perpustakaan Darul Hikmah, Kairo, yang memiliki kurang lebih 2 juta judul buku. Perpustakaan umum Tripoli di daerah Syam yang dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, memiliki kurang lebih 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar Al-Qur’an dan tafsirnya. Perpustakaan al-Hakim di Andalusia menyimpan buku2nya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi sekitar 18 ribu judul buku.
Fasilitas lain yang menonjul adalah tempat penginapan bagi para guru dan pelajar. Tempat2 ini dikenal dengan berbagai sebutan: ruaq, rubath, atau tikiyah. Mereka yang tinggal di tempat2 pemondokan tidak dipungut biaya sedikit pun. Bahkan, sebagian besar dari mereka adalah orang2 yang memperoleh tunjangan dari negara karena kesungguhannya dalam belajar maupun melakukan riset.
Khalifah al-Makmun misalnya, memberikan imbalan kepada setiap peerjemah buku dengan emas seberat buku yang diterjemahkannya. Khalifah Harun al-Rasyid memberkan imbalan 4000 dinar kepada setiap penghafal Al-Qur’an. Dan khalifah juga telah membentuk komisi khusus yang terdiri dari para ahli untuk mengkaji suatu ilmu tertentu seperti ekonomi, geografi, matematika, dan sebagainya.
Alhasil, sejak pembentukan Daulah Islam di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sampai runtuhnya pada masa Khalifah Abdul Majid II di Turki, pendidikan masyarakat sangat diperlukan sekali. Lalu, bagaimana mungkin kaum Muslim saat ini tidak merasakan kepedihan dan kerugian yang teramat besar dengan runtuhnya Daulah Islam, yang selama berabad-abad membuktikan perhatian dan kepeduliannya yang amat besar bagi pendidikan dan kesejahteraan masyarakat? H. 22-25
·         Termaktub dalam Undang2 Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, Pasal 1, bahwa tujuan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinnya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk mengarahkan terwujudnya persemaia nilai2, norma, tradisi, budaya masyarakat agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pendidikan Islam maka perlu dipikir ulang berkaitan dengan kurikulum dan fungsi pengajaran pendidikan Islam di sekolah. Beberapa fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Pengembangan keimanan dan ketakwaan peserta kepada Allah Swt serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkunngan keluarga.
b.    Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
c.    Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Pendidikan Agama Islam.
d.    Perbaikan kesalahan2 atau kelemahan2 peserta didik dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e.    Pencegahan peserta didik dari hal2 negatif budaya asing yang akan dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
f.    Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem, dan fungsionalnya.
g.    Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama Islam ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Selain fungsi di atas, ada beberapa kompetensi umum pendidikan Islam yang perlu  diketahui: (1) halfal surat2 pilihan, mampu membaca, menulis, mengartikan dan memahami ayat2 Al-Qur’an, serta mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari; (2) beriman dengan mengenal, memahami, dan menghayati rukun iman serta berperilaku sebagai orang yang beriman; (3) terbiasa berperilaku dengan akhlak terpuji, menghindari akhlak tercela, dan bertata krama dalam kehidupan sehari-hari; (4) mengenal, memahami, menghayati, mampu, dan mau mengamalkan ajaran Islam tentang ibadah dan muamalah; (5) memahami, menghayati, dan mampu mengambil manfaat dari tarikh Islam serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesatuan, keselarasan, keseimbangan, dan keserasian mata pelajaran Pendidikan Agama Islamdi Sekolah akan semakin jelas, jika diperhatikan ruang lingkupnya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara lain:
a.    Hubungan manusia dengan Allah SWT.
b.    Hubungan manusia dengan sesama manusia.
c.    Hubungan manusia dengan alam dan lingkungan.
Standar kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam berisi sekumpulan kemampuan minimal yang harus dikuasai siswa selama mengikuti Pendidikan Agama Islam di sekolah. Kemampuan ini berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kemampuan yang tercantum dalam komponen dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai (Depdiknas, 2003), yaitu:
1.     Mampu membaca Al-Qur’an surat2 sesuai dengan tajwidnya, dan menyalinnya, serta mampu membaca, mengartikan, dan menyalin hadits2 pilihan.
2.    Beriman kepada Allah Swt dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsiya serta terefleksi dalam dimensi vertikal maupun horizontal.
3.    Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam baik ibadah wajib dan ibadah sunnah maupun muamalah.
4.    Mampu berakhla mulia dengan meneledani sifat, sikpa dan kepribadian Rasululah serta Khulafaur Rasyidin.
5.    Mampu mengambil manfaat dari sejarah peradaban Islam.
·         Metode dan Pendekatan Pendidikan Islam
Beberapa metode dan pendekatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut, meliputi:
1.     Pendekatan keimanan
Memberi peluang kepada pesert didik dengan mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk jagad.
2.    Pendekatan pengalaman
Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil2 pengalaman ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas2 dan masalah kehidupan.
3.    Pendekatan pembiasaan
Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah bangsa.
4.    Pendekatan rasional
Usaha memberikan peran kepada rasio peserta didik dalam memahami da membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan perilaku yang buruk dalam kehidupan sehari-hari.
5.    Pendekatan emosional
Upaya menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
6.    Pendekatan fungional
Menyajikan semua bentuk standar materi dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
7.    Pendekatan keteladanan
Menjadikan figur guru agama dan nonagama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua peserta didik sebagai cermin manusia berkeperibadian agama.
·         Sistem Pendidikan Islam
Muhammad Fatih menengarai bahwa sistem pendidikan Islam sebetulnya didasarkan pada sebuah kesadaran teologis bahwa setiap Muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikanya. Dalam sabdanya, Rasulullah saw, bersabda: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi). Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga” (HR. Muslim dan At-Turmudzi).
·         Karakteristik Pembelajaran
Pembelajaran memiliki karakteristik sendiri2 sesuai dengan jenjang pendidikan masing2.
a.    MI (madrasah ibtidaiyah)
Jenjang MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Bisa dikatakan kegagalan pendidikan atau pembelajaran di MI sangat berpengaruh terhadap kegagalan pendidikan jenjangb selanjutnya. Esensi pembelajaran di MI adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa keimanan (tauhid) kepada Allah Swt. Upaya menanamkan jiwa katauhidan bisa dilakukan dengan cara melakukan doktrin terhadap siswa. Doktrin dilakukan berdasarkan kemampuan improvisasi masing2 guru, inti dari doktrin agar siswa lebih memiliki ketertarikan dan kedekatan terhadap Allah Swt sehingga kompetensi lulusan MI adalah memiliki kualitas keimanan kepada Allah Swt secara baik dan benar.
Jika dilihat dari peran dan tanggung jawa guru dalam mewujudkan keberhasilan belajar di MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peran guru untuk mewujudkan keberhasilan siswa dalam belajar berkisar 90% sedangkan peran siswa hanya berkisar 10%. Hal ini menunjukkan peran guru sangat menentukan karakteristik dan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran. Jika gurunya rendah motivasi mengajar dan sempit wawasan pengetahuannya, maka siswa pun akan rendah motivasi belajarnya dan sempit pengetahuan/wawasannya.

b.    Mts (madrasah tsanawiyah)
Pembelajaran pada jenjang ini tidak lagi doktrin, melainkan proses untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil atau dasar tentang segala yang diketahui. Dengan demikian, karakteristik pembelajaran di MTs dapat dikatakan pembelajaran tekstual, yaitu memberikan landasan atau dalil secara tekstual, yaitu memberikan landasan atau dalil secara tekstual terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Misalnya, siswa mengerti mengapa umat Islam diwajibkan shalat 5 waktu sehari semalam, siswa mengerti alasan atau dalil mengapa umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mengapa manusia dilarang bertengkar dan wajib rukun atau saling bantu membantu, dilarang berbuat zina, dilarang mencuri, dan juga dilarang melakukan praktik korups.
Untuk keberhasilan pembelajaran, porsi peran guru berkisar 60% dan siswa berkisat 40%. Di sini dapat dilihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran dan tanggung jawab guru secara formal semakin berkurang, tetapi secara substansi materi semakin meningkat, karena guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran.
c.    MA (madrasah aliyah)
Pembelajaran dijenjang MA lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas bagi siswa. Pembelajaran lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas bagi siswa. Pembelajaran bersifat rasionalisasi dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini menjadi penting disampaikan dijenjang MA, karena dengan harapan para lulusan MA sudah memiliki kemapanan daya rasionalitasnya dan terbiasa menghadapi perbedaan atau problem kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajaran yang lebih menekankan aspek rasionalitas terhadap teks2 norma ajaran agama. Konsekuensinya guru harus mampu melakukan rasionalitas terhadap teks2 yang ada dalam ajaran atau norma agama Islam.
Peran atau tanggung jawab guru dan siswa berkisar 50% dan siswa juga 50%. Hal ini menunjukkan guru dan siswa di jenjang MA harus sama2 memilikin semangat dan motivasi yang jelas dan tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru dan siswa tidak memiliki motivasi yang tinggi, maka pembelajaran akan gagal. Guru dan siwa dituntut untuk memiliki semangat untuk memanfaatkan segala sarana yang ada di sekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
d.    PT (perguruan tinggi)
Pembelajaran di tingkat PT lebih bersifat problem solving, mahasiswa diberikan berbagai kasus yang ada di tengah masyarakat, kemudian mahasiswa diminta menyelesaikan kasus tersebut berdasarkan teori yang relevan. Model pembelajaran problem solving ini didasarkan atas asumsi, para lulusan MA atau mahasiswa sudah mapan dalam aspek rasionalitasnya. Pembelajaran di PT tinggal menggunakan rasionalitas itu untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan masyarakat. Implikasinya pada porsi peran dan tanggung jawab dosen menjadi dalam kisaran 15-20% sedangkan mahasiswa memiliki peran dan tanggung jawab dalam 80-85%. Artinya, kalau mahasiswa ingin berhasil dalam pembelajaran, maka mahasiswa harus memiliki kemandirian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau hanya menerima materi dari dosen, maka mahasiswa tidak akan memperoleh kualitas pembelajaran seperti yang diharapkan. Mereka harus aktif mengikuti berbagai kegiatan atau diskusi2 kecil yang akhirnya dapat meningkatkan wacana keilmuan, harus terbiasa melakukan klarifikasi informasi yang disampaikan dosen dengan cara mengecek di dalam buku di perpustakaan. Sebab itu, tak ada alasan bagi mahasiswa untuk tidak datang ke perpustakaan, lebih baik lagi mereka membeli buku dan membaca secara rutin.
·         Kompetensi Guru
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VI Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki 4 kompetensi, sebagai berikut:
1.     Kompetensi pedagogis: seperangkat kemampuan dan keterampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi pedagogis meliputi: kemampuan guru menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberi dan menjawab pertanyaan, mengelola kelas, dan melakukan evaluasi.
2.    Kompetensi kepribadian adalah seperangkat kemampuan dan karakteristik personal yang mencerminkan realitas sikap dan perilaku guru untuk melaksanakan tugas2nya dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensi kompetensi ini akan menunjukkan ciri2 guru di antaranya sabar, tenang, tanggung jawab, demokratis, ikhlas, cerdas, menghormati orang lain, dll.
3.    Kompetensi profesional adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap suasana penguasaan materi pelajaran secara mendalam, utuh, dan komprehensif. Guru memiliki kompetensi profesional tidak cukup hanya memiliki penguasaan materi secara formal (dalam buku panduan) tetapi juga harus memiliki kemampuan terhadap materi ilmu lain yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran tertentu.
4.    Kompetensi sosial adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki keterampilan berinteraksi dengan masyarakat khususnya dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan problem masyarakat.
T. Raka Joni dalam bukunya “Proses Belajar Mengajar” mengelompokkan hanya ada 2 kompetensi yaitu: kompetensi kepribadian dan sosial, dan kompetensi profesional. Berikut penjelasannya:
            1. Kompetensi Kepribadian dan Sosial
Kompetensi kepribadian dan sosial dari seorang guru merupakan modal dasar bagi guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugas keguruannya secara profesional. Kegiatan pendidikan pada dasarnya merupakan pengkhususan komunikasi personal antara guru dan siswa. Kompetensi kepribadian dan sosial keguruan menunjuk perlunya struktur kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik (efektif serta berupaya untuk maju), dan bertanggungjawab. Nilai2 keguruannya hendaknya bersumber pada pengalaman iman yang hidup.
Kompetensi personal-sosial memiliki beberapa konsekuensi atau karakter guru sebagai berikut:
a.    Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan nilai hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi tahu, mau dan melakukan perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosialnya. Proses pendidikan selalu bersifat normatif, yaitu memperjuangkan nilai luhur baik yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya bertolak dari keyakinan nilai tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau direfleksikan terus menerus. Nilai luhur kemanusiaan yang mendasar selalu bersifat universal (baik untuk siapa pun)
b.    Guru hendaknya bertindak jujur dan bertangungjawb. Kejujuran dan kesediaan bertanggungjawab atas segala tindak keguruannya tersebut merupakan pengakuan akan berbagai keterbatasannya yang perlu dibenahi dan atau dikembangkan terus-menerus. Kadar kesungguhan hati atau semangat berusaha dalam pengembangan karier, sportivitas, kerendah hatian, dan rela meminta maaf kepada siswa atau siapa pun yang dirugikannya atau dikecewakannya, merupakan watak yang terpuji dari para guru.
c.    Guru mampu berperan sebagai pemimpin, baik di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah. Kepemimpinan guru di sekolah tampak dalam kemampuannya menciptakan situasi belajar siswa yang kondusif dan kemampuannya dalam mengorganisasi seluruh unsur serta kegiatan belajar siswa untuk mencapat tujuan belajarnya. Situasi kelas atau sekolah yang kondusuif tersebut ditandai oleh semangat kerja yang tinggi, terarah, kooperatif, tenggang rasa, etis, dan efektif-efisien.
d.    Guru bersikap bersahabat dan terampil berkomunikasi dengan siapa pun demi tujuan yang baik. Modal dasar berkomunikasi dengan sesama adalah kesediaannya menghargai partner, bersikap terbuka, menguasai teknik berkomunikasi (terutama dalam menggunakan bahasa secara efektif-efisien), dan mampu ikut memahami gejolak serta warna perasaan dari partner komunikasinya (empati). Guru hendaknya tidak bersifat sentimentil. Persahabatan yang tulus dan etis antara individu merupakan tanda keberhasilan dalam berkomunikasi dan mengembangkan diri bagi siapa pun.
e.    Dalam persahabatan dengan siapa pun, guru tidak kehilangan prinsip serta nilai hidup yang diyakininya. Dalam hal ini guru diharap mampu menghargai pribadi orang lain yang berbeda dengan dirinya. Pergaulan atau persahabatan hendaknya menjadi arena transaksi nilai hidup seseorang serta pengembangannya. Seluruh pergaulan yang dialami oleh guru hendaknya dilandasi dengan kesopanan dan kesusilaan.
f.    Guru bersedia ikut berperan serta dalam berbagai kegiatan sosial baik dalam lingkup kesejawatannya maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Guru siap untuk menyumbangkan kemampuannya, lebih2 yang berhubungan dengan kecakapan keguruannya bila dibutuhkan oleh sesamanya tanpa memperhitungkan keuntungan diri sendiri secara berlebihan.
g.    Guru adalah pribadi yang bermental sehat dan stabil. Hal ini menunjuk tingkat perkembangan serta pengintegrasian daya2 fisik, psikis, dan spiritual yang sehat, berpola, dinamis, dan adaptif terhadap lingkungan sosial budayanya. Ciri lain dari orang yang bermental sehat adalah realistis, mengenali keadaan diri serta potensi2nya, mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan ulet dalam mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk mencapat perkembangan diri serta kariernya.
h.    Guru tampil pantas dan rapi. Hal ini berhubungan dengan tata cara bertindak, bertutur, berpakaian, dan kebiasaan2 lainnya. Dalam hal ini, masalah kesopanan, kehalusan cita rasa, keharmonisan dan penyesuaian diri denga situasi nyata di lingkungannya adalah masalah penting dalam sosialisasi guru yang bersangkutan.
i.      Guru mampu berbuat kreatif dengan penuh perhitungan. Tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara mekanis, eksak, dan dengan resep tunggal. Variasi tindak keguruan yang meliputi pendekata pengajaran, strategi, metode, teknik, dan sejenisnya tidak terbatas adanya. Dalam hal ini guru dituntut mampu bertindak kreatif dalam melaksanakan tugas keguruannya, dalam batas tertentu tindak kependidikan tersebut bersifat seni (art) karena bersifat khas, autentik, penuh alternatif, dan bersifat mendasar bagi kehidupan seseorang.
j.     Dalam keseluruhan relasi sosial dan profesionalnya, guru hendaknya mampu bertindak tepat waktu dalam janji dan penyelesaian tugas2nya. Pengelolaan waktu kerja (juga waktu yang lain) menuntut perencanaan yang rasional dan berdisiplin dalam pelaksanaannya. Penggunaan waktu secara efisien dalam kaitannya dengan tugas keguruan dan pengembangan karier memberi harapan munculnya guru2 bermutu.
            2. Kompetensi Profesional
Dalam kenyataannya, kesepuluh kemampuan dasar guru yang dituntut dalam dokumen resmi tersebut masih menjadi harapan atau cita2 yang mengarahkan mutu guru. Saat ini diduga masih banyak guru yang belum menguasai kesepuluh kemampuan dasar keguruan yang menjadi tolok ukur kinerjanya sebagai pendidik profesional, atau sebagian guru telah menguasai kesepuluh kemampuan dasar tersebut tetapi bobot mutualnya belum memadai (terstandar), atau sebagian guru menguasai beberapa dari kesepuluh kemampuan dasar keguruan tersebut dengan baik.
Dalam bagian ini, akan diulas secara garis besar isi serta arahan preskriptif (wajib diikuti) setiap butir kemampuan dasar keguruan tersebut, agar menjadi lebih jelas apa yang mesti diusahakan atau dikerjakan oleh guru dalam meniti serta mengembangkan kariernya.
a.    Guru dituntut menguasai bahan ajar
Terminologi menguasai berbeda dengan memahami. Memahami lebih bersifat personal, sedangkan menguasai menyangkut personal dan orang lain. Artinya, kalau guru memahami bahan, gurulah yang memahami materi yang akan diajarkan. Tetapi kalau menguasai bahan berarti guru di samping dirinya memahami guru juga memiliki kemampuan untuk menjelaskan atau menyampaikan materi yang dipahami kepada siswa. Tidak semua guru yang memiliki kemampuan pemahaman terhadap materi mampu menjelaskannya kepada siswa.
Menguasai bahan memiliki dua hal. Pertama, menguasai bahan yang bersifat formal, yaitu penguasaan bahan yang ada dalam buku pokok atau buku panduan. Kedua, menguasai bahan yang bersifat pengayaan, yaitu penguasaan bahan dari beberapa ilmu lain yang memiliki relevansi dengan materi pokok dalam silabi.
b.    Guru mampu mengelola program belajar-mengajar
Pengelolaan program belajar mengajar lebih menekankan pada kemampuan guru dalam menyusun perencanaan dalam pembelajaran, seperti menyusun program semesteran, program tahunan, SKBM, rencana pembelajaran, implikasi yang terkait dengan kemampuan mengelola program belajar mengajar, guru harus mengetahui kemampuan awal siswa (entry behaviour), kondisi sosial siswa, dll.
c.    Kemampuan mengelola kelas
Kemampuan mengelola kelas lebih bermakna kemampuan guru dalam mewujudkan ketenangan kelas dalam proses pembelajaran. Kerawanan dalam pengelolaan kelas, kerawanan ketertiban kelas, dan kerawanan semangat belajar kelas disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor penting adalah mutu pengajaran guru yang rendah.
d.    Guru mampu menggunakan media dan sumber pengajaran
Media pengajaran adalah alat penyalur pesan pengajaran, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung (misalnya media rekaman). Pendayagunaan media dan sumber pengajaran dapat berupa penggunaan alat (media) buatan guru, pemanfaatan kekayaan alam sekitar untuk belajar, pemanfaatan perpustakaan, pemanfaatan laboratorium, pemanfaatan narasumber serta pengembang pengajaran di sekolah, dan pemanfaatan fasilitas teknologis pengajaran yang lain.
Media dan simber pengajar ada 2 jenis, alat pendidikan atau pengajaran dan alat peraga. Alat pengajaran adalah segala sarana yang dapat digunakan semua bidang mata pelajaran. Seperti tape recorder, komputer, televisi, papan tulis, meja kursi, dan gedung. Sedangkan alat peraga adalah sarana yang berfungsi khusus untuk mempercepat pemahaman materi salah satu sub-pokok bahan tertentu. Misalnya, sarana untuk mempercepat pemahaman materi terhapad pokok bahasan materi mengkafani mayat, berbeda dari alat yang dijadikan bahan untuk mempercepat pemahaman pokokn bahasan materi shalat dan wudhu’.
e.    Guru menguasai landasan2 kependidikan
Landasan2 pendidikan adalah sejumlah asumsi atau persepsi guru terhadap beberapa elemen dan realitas atau persepsi guru terhadap beberapa elemen dan realitas dalam pembelajaran, seperti asumsi guru terhadap siswa, belajar, mengajar, evaluasi dan lain2. Salah dalam mempersepsikan istilah tersebut maka akan berakibat fatal dalam proses pembelajaran.
f.    Guru mampu mengelola interaksi belajar-mengajar
Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar lebih menitikberatkan pada kemampuan  guru dalam menyampaikan materi yang dapat dipahami siswa. Yang terkait dengan kemampuan tersebut, guru harus memiliki teknik menyampaikan materi, melaksanakan metode, dan teknik menjawab pertanyaan.
g.    Guru mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran
Secara umum, yang harus dipahami guru bahwa penilaian jangan sampai dijadikan sarana untuk intimidasi terhadap murid, sehingga penilaian atau evaluasi cenderung membuat siswa merasa cemas. Dilihat dari aspek fungsional penilaian pengajaran tersebut merupakan bagian integral dari sistem pengajaran. Jadi kegiatan penilaian yang meliputi penyusunan alat ukur (tes), penyelenggaraan tes, koreksi jawaban siswa serta pemberian skor, pengolahan skor dengan menggunakaan norma tertentu, pengadministrasian proses serta hasil penilaian, dan tindak lanjut penilaian hasil belajaran yang berupa pengajaran remedial serta layanan bimbingan belajar bersifat tali-temali, dan seluruh tahapan penilaian di atas perlu diselaraskan dengan komponen sistem pengajaran yang lain.
h.    Guru mengenal fungsi serta program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
Guru diharuskan memiliki pemahaman atau penafsiran tentang makna bimbingan dan penyuluhan dalam konteks pembelajaran. Jangan sampai guru yang memiliki peran bimbingan dan penyuluhan menjadikan dirinya sebagai satpam atau polisi sekolah, yaitu tugasnya hanya sekedar memberi sanksi kepada siswa yang melakukan kesalahan. Jika bimbingan penyuluhan dipahami seperti ini maka problematika pembelajaran tidak akan dapat diselesaikan.
i.      Guru mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan administrasi sekolah
Cakupan pengertian administrasi pendidikan sekolah dapat bersifat sangat luas, yaitu pendayagunaan semua daya, dana, sarana, dan peluang (waktu) secara organisatoris dan atau koordinatif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sedang cakupan pengertian administrasi sekolah dalam arti sempit, yaitu penataan seluruh kegiatan ketatausahaan sekolah (clerical works). Peran serta guru dalam kegiatan administrasi sekolah, hendaknya mencakup pengertian administrasi dalam arti luas dan dalam arti sempit.
j.     Guru memahami prinsip2 penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil2 penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran
·         Dalam surat At-Tin 5-6 dijelaskan bahwa manusia memiliki peluang mencapati dua kutub yang berbeda; apakah ia menggapai kutub ahsan taqwim, yakni kualitas terbaik dari sisi segi fisik maupun psikis, ataukah kutub asfala safilin yaitu kualitas terendah.
·         Muhaimin menjelaskan setidaknya ada 4 langkah untuk mengembangkan sikap tauhid pada anak didik melalui pendidikan, yakni anak didik dan kita diharuskan mencontoh sifat2 Allah sebagaimana tercermin dalam dimensi: tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkiyah, dan rahmaniyah.
a.    Tauhid uluhiyah. Model ini bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah, jangan menyembah selain-Nya (syirik). Aktualisasi dari pandangan ini dalam proses pendidikan Islam lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk answering questons (mempertanyakan jawaban2) dan questioning answers (mempertanyakan jawaban2), tanpa dibebani rasa takut kepada guru untuk bertanya atau menjawab pertanyaan secara kritis dan mempertanyakan pertanyaan, serta tidak terbelenggu oleh produk2 pemikiran atau temuan manusia yang bersifat relatif. Dengan demikian, proses pendidikan akan menghasilkan nilai2 positif yang berupa sikap rasional kritis, kreatif, mandiri, bebas dan terbuka.
b.    Tauhid rububiyah, bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya. Alam ini diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk mengelolanya, sehingga kita harus menggali dan menemukan ayat2-Nya (tanda2 keagungan dan kebesaran-Nya) yang serba teratur dan terpelihara di alam semesta ini. Proses pendidikan banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen, dan sebagainya. Dengan demikian, proses pendidikan menghasilkan nilai2 positif yang berupa sikap rasional empirik, objektif-empiris, dan ebjektif-matematis.
c.    Tauhid mulkiyah, bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah pemiliki segalanya dan menguasani segalanya, baik alam maupun manusia, dunia maupun akhirat. Aktualisasi pandangan ini dalam proses pendidikan adalah terwujudnya kesadaran akan penghayatan dan pengalaman terhadap nilai2 amanah dan tanggung jawab antara guru dan peserta didik dalam segala aktifitasnya, dengan dilandasi oleh wawasan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kita ini miliki Allah, manusia hanyalah mempunyai hak pakai, dan pemilik yang sesungguhnya hanya Allah, sehingga kita mesti mempertanggungjawabkan segala aktifitas kita di hadapan-Nya). Dengan demikian, proses pendidikan akan selalu menghasilkan nilai2 amanah dan tanggung jawab.
d.    Tauhid rahmaniyah, bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah Maha Rahman Maha Rahim, Maha Pengampun, Pemaaf, dan sebagainya. Proses pendidikan ini adalah terwujudnya sikap telaten dan sabar dalam usaha pendidikan, serta terwujudnya sikap kasih sayang, toleran dan saling menghargai antara guru dan peserta didik. Di samping itum proses pendidikan ditanamkan nilai dan solidaritas terhadap alam. Dengan demikian, akan menghasilkan sikap solidaritas kemanusiaan dan terhadap alam sekitar.
·         Adapun di antara problematika pendidikan Islam yang peringkas dapat kemukakan di sini dan rasanya sangat penting ialah bahwa orientasi PAI di sekolah yang masih menekankan pengembangan kognitif semata. Hal ini menyebabkan agama hanya dipahami hanya dari aspekm intelekstual (berhenti di otak) dan tidak harus diamalkan (diteruskan dengan perbuatan). Evaluasi PAI di sekolah masih menitikberatkan masalah kognitif, tidak diteruskan pada aspek perilaku, maka kecenderungan ini melahirkan terjadinya krisis moral di masyarakat.
Sekian dulu kiranya apa yang dapat kusajikan dalam ringkasan pointers kali ini. Sebenarnya masih banyak bahasan dalam buku tersebut yang belum dapat diakomodasi dalam kesempatan ini (karena keterbatasan peringkas, di samping pertimbangan pointers ini merupakan dokumentasi untuk pribadi yang semoga saja bisa memberi manfaat pada pembaca lain), namun sebagai clue ialah bahwa setelah bahasan yang peringkas sajikan di atas, halaman2 berikutnya banyak membahas tentang multikuluturalisme. Peringkas menyarankan bagi pembaca untuk mencerna bacaan ini, karena peringkas secara pribadi menemukan bahasan2 yang dirasakan berat, agak mengganjal dan sedikit mengusik misalnya bahasan tentang gender, pluralisme agama, gender, truth claim...etc. Akan tetapi, dengan membaca buku ini wawasan kita akan terbuka bahwa banyak sekali pemikiran yang dikemukakan para tokoh di bidangnya masing2 dalam upaya memajukan pendidikan baik di Indonesia maupun dunia pada umumnya. Alhamdulillah selesai pada 3:26@Rabu, 20 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...