Kamis, 13 Juni 2019

Bahas Buku: SHAID AL-KHATIR: IBNUL JAUZI (Abu Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi)


SHAID AL-KHATIR: IBNUL JAUZI (Abu Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi)


Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahwashshalatuwassalamu ‘ala Rasulillah, amma bad’du.
Ibnul Jauzi dan buku ini adalah salah satu alasan aku menulis di blog ini. Coba sejenak baca kalimat di awal muqaddimah tulisannya, beliau menulis:
Karena pikiran yang berselancar meneliti beberapa hal di hadapannya tak mau menuliskannya, maka ia pun pergi sia-sia. Oleh sebab itu, termasuk tindakan terpuji adalah mencatat apa-apa yang terlintas di pikiran supaya ia tak terlupakan sepanjang masa, apalagi Nabi Muhammad Saw juga telah bersabda, “Jagalah ilmu dengan menuliskannya.” (hal. 28)
 Selain itu ada juga buku berjudul Bukan Buku Best Seller yang pusat pembicaraannya ialah motivasi untuk menulis. Membaca karya Buya Hamka, misalnya Tenggelamnya Kapal Van Der wijk, Di bawah Lindungan Kakbah, dan Tasawuf Modern yang mana dari Hamka ini aku mengambil ibrah, inilah tokoh ulama nusantara, setanah air dengan diriku sendiri, yang telah membuktikan dirinya sebagai seorang ulama yang memiliki banyak karya dan mempunyai keahlian mumpuni di berbagai bidang. Bahkan hal unik ialah ketika Buya Hamka dikatakan kedapatan oleh temannya sedang membaca buku tulisannya sendiri yang berjudul Tasawuf Modern. Temannya pun berujar, “Pak Hamka sedang membaca buku karangan Pak Hamka.” Beliau pun menimpali bahwa benar setelah banyak menasehati orang lain, kini dia menasehati dirinya sendiri lewat buku yang ia tulis sendiri.
Adapun Shaid Al-Khaitr ini, terbilang sudah lama memang kumiliki setelah tercatat kubeli Minggu, 17 Maret 2012 seharga 60K, pada masa itu. Akan tetapi, baru kali ini aku berkesempatan untuk sedikit berbagi kepada rekan pengunjung blog anassekuduk, alhamdulillah ‘ala kulli hal....
     Buku ini kucari setelah membaca buku di mana penulis buku tersebut (Kalau tidak salah  Dr. Aidh Al-Qarni.) menyarankan untuk merujuk karya Ibnul Jauzi ini, karena menurutnya memuat isi yang berbobot.
     Buku ini memuat refleksi Ibnul Jauzi, yang sebagaimana ditulis pentahqiqnya, Yusuf Ali Budaiwi, merupakan kumpulan renungan mendalam, ide matang, dan lintasan bercahaya dalam memahami jiwa, kehidupan, agama dan perilaku yang baik dan ibadah yang benar. (hal.23)
     Berdimensi 16x24 dengan 618 halamanan, buku ini sangat baik untuk dimiliki, berikut kutuliskan beberapa ringkasan yang tertulis di cover buku:
·         Orang tua yang berakal harus menjauhkan anak-anak dari teman-teman yang jahat, dan apabila anaknya punya sifat malu, ia harus didekatkan dengan orang-orang terhormat dan para ulama. (h. 325)
·         Orang yang bercita-cita tinggi selalu meburu hal-hal yang mendekatkanNya kepada Allah, dan bisa jadi kebingungan saat mencari itu justru petunjuk kepada sesuatu yang sedang dicarinya. (h. 321)
·         Tubuh harus diperlakukan dengan baik. Hati pun mesti dijauhkan dari kesedihan yang menimbulkan bahaya, karena kesedihan yang terus-menerus menderanya akan mempercepat kerusakan tubuh. (h. 368)
[untuk poin ini, berdasarkan bacaan beberapa buku, khususnya yang membahas TCM (Traditional Chinese Medicine: konsep pengobatan tradisional Cina) dijelaskan bahwa faktor emosi ini dapat tidak hanya sistem, akan tetapi mampu menyebabkan kerusakan organ tubuh. Misalnya kesedihan berpengaruh ke organ paru-paru, marah berpengaruh ke liver, terlalu gembira ke jantung]
·         Orang berakal adalah orang yang melaksanakan kewajiban pada waktunya, sehingga bila kematian mendatanginya secara mendadak, ia sudah punya kesiapan untuk menghadapinya. Dengan demikian, bila ia berhasil merengkuh cita-citanya ia akan bisa menambah pundi-pundi kebaikannya, (h. 36)
·         Seseorang yang tidak punya minat bekerja dan puas dengan harta yang sedikit, bukanlah termasuk kelompok orang hebat, melainkan kelompok para pengecut. (h. 45)
·         Orang yang hatinya sangat keras dan tak punya sikap mawas diri yang bisa mencegahnya melakukan kesalahan, disarankan banyak-banyak mengingat kematian dan mendatangi orang-orang yang sedang sekarat. (h. 205)
·         Berikut kukutipkan secara lengkap salah satu refleksi Ibnul Jauzi tentang musibah:
Agar Musibah Terasa Lebih Ringan
Orang yang tertimpa suatu musibah dan berkeinginan mengenyahkannya kami sarankan untuk membayangkan yang lebih berat darinya. Jika ia melakukannya, musibah pasti akan terasa lebih ringan. Kami juga menyarankan untuk mengingat-ingat balasan pahala dan membayangkan terjadinya musibah yang lebih besar lagi. Bila ia melakukannya, ia pasti akan merasa lebih beruntung, sebab dia hanya ditimpa musibah yang tengah menimpanya itu.
     Kami juga menyarankan untuk merenungi kecepatan berlalu musibah. Sebab, kalau bukan karena kepedihan pada saat-saat yang menyedihkan, tentu saat-saat kebahagiaan tak akan pernah diharapkan. Ia juga seyogianya tahu bahwa waktu menetapnya musibah pada dirinya sama dengan waktu mukimnya seorang tamu. Karena itu, ia mesti selalu meneliti apa-apa yang dibutuhkannya di setiap saat. Ia akan menyadari bahwa masa tinggalnya sangat cepat berlalu. Dan sesudah meninggalkannya, si tamu itu akan memujinya, berterimakasih kepadanya serta menyebutnya sebagai tuan yang dermawan.
     Demikian pula bila bencana menimpa, saat-saat yang dilewatinya wajib dikontrol, hal-ihwal jiwa mesti diawasi dan anggota-anggota tubuh harus dikendalikan, supaya lisan tak mengeluarkan kata-kata yang buruk dan hati tak menyimpan rasa tak suka. Kalau orang yang tertimpa musibah melakukan itu semua tentu ia akan melihat fajar pahala akan segera terbit. Malam bencana akan secepatnya berlalu dan orang yang berjalan di waktu malam akan dipuji karena telah melewati kegelapan. Dan kala mentari pahala mulai menyingsing, maka ia telah sampai di peraduan kedamaian.
     Tak Memprotes Hikmah Ilahi
..........Sampaikanlah kepada orang yang memprotes hikmah Allah, “Kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.” (QS. Al-Hajj: 15), lalu tegaskanlah lagi kepadanya, “Bila kamu protes, protesmu tidak akan menghentikan perjalanan takdir, dan jika kamu pasrah, takdir juga akan tetap berjalan seperti sediakala. Tetap berjalannya takdir sedang kamu mendapat pahala (mungkin sabar/tawakkal maksudnya, blogger) adalah lebih baik daripada berjalannya takdir sedang kamu memperoleh dosa!” (h. 614)

(walhamdulillah, sekian, selesai @sekuduk, 13.6.19: 02.50, Nasrullah/anassekuduk blog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...