NASIHAT
UNTUK SELALU IKHLAS DAN
PESAN
UNTUKMU YANG SEDANG MERAIH CITA-CITA
Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah
washshalatuwassalamu ‘ala Rasulillah, amma
bad’du.
Pada tulisan kali ini, aku ingin berbagi
beberapa nasihat, buah refleksi Ibnul Jauzi dalam Shaid al-Khatir-nya tentang
keikhlasan dan nasihat buat para pengejar cita-cita. Tak lain tak bukan, karena
tema ikhlas ini termasuk hal sentral yang menjadi SOP bagi setiap muslim dalam
segala amal perbuatannya bila dia ingin amal tersebut berbuah pahala atau
dipandang dan diterima di sisi Allah. Dengan demikian, di Yaumul Hisab nanti
amal ini tidak hangus, terbang tak berbekas seperti debu yang diterpa angin
lalu. Setelah itu, kukutipkan juga buah refleksi tentang keadilan dalam
membenci, akan tetapi di sini aku tertarik untuk mengambil hikmah dari sisi
yang berbeda yaitu bagaimana sikap kita terhadap keinginan ataupun cita-cita
sebagai pengingat khususnya diriku pribadi, juga untuk murid-muridku (atau yang
sekarang telah menjadi alumni yang sedang mengejar cita-citanya masing-masing),
rekan pembaca umumnya. Baiklah, sekian pengantar dariku, berikut akan kutuliskan
buah renungan yang dimaksud. Salam takzim, anassekuduk.....
·
Antara Ikhlas dan Tindakan Berpura-pura
Aku heran pada orang-orang yang
berpura-pura di depan orang lain karena ingin mendapatkan tempat di hati
mereka. Orang ini lupa bahwa hati mereka ada di Tangan Dzat yang menjadi
tujuannya beramal. Jika Dia telah ridha pada amalnya dan melihatnya sebagai
orang yang ikhlas, Dia akan mencondongkan seluruh hati kepadanya. Namun bila
Dia tidak melihatnya sebagai orang yang ikhlas Dia akan memalingkannya darinya.
Orang yang beramal karena ingin
mendapatkan cinta hati manusia adalah orang yang telah berbuat syirik, karena
seyogianya hanya boleh puas dengan tatapan Dzat yang menjadi tujuannya beramal.
Salah satu buah ikhlas yang pasti muncul adalah kecenderungan hati manusia
kepada pelakunya, dan ini akan terjadi bukan karena kehendaknya, tetapi justru
oleh ketidaksukaan padanya.
Seseorang yang beramal wajib mengetahui
seluruh amalnya -tanpa kecuali- diketahui oleh Allah ‘Azza wajalla meski ia
tidak diketahui oleh makhluk. Hati manusia kemudian tertarik kepada orang saleh
berkat kesalehannya dan akan benci kepada orang jahat karena kejahatannya, walaupun
ia tidak mengetahui hakikatnya secara pasti.
Orang yang beramal karena makhluk adalah
orang yang menyia-nyiakan amalnya, karena dia tak diterima oleh Khalik, juga
ditolak oleh makhluk.
Abu Sa’id al-Khudri ra menuturkan:
Rasulullan Saw bersabda: “Andai salah seorang dari kamu beramal dalam sebuah
batu karang keras yang tidak berpintu dan tak bercelah tentu amalnya tersebut
akan keluar ke tengah-tengah manusia, apa pun bentuknya.” (Ahmad, Ibnu
Hibban,Al-Hakim)
Karena itu, seorang hamba mesti bertaqwa
kepada Allah dan meniatkan Dzat yang bisa memberinya manfaat, dan ia wajib
tidak mengacuhkan pujian orang-orang yang akan lenyap dalam waktu yang dekat
seperti dirinya.
H. 467-468
·
Perbuatan Riya’ Kaum Sufi
Aku melihat banyak perbuatan kaum sufi
menunjukkan kemunafikan dan riya’ sekalipun mereka tetap mengaku ikhlas. Mereka
selalu berada di pemondokan, menolak mengunjungi teman dan tak mau membesuk
orang sakit. Mereka melakukannya karena ingin berkonsentrasi beribadah, dan ini
tidak benar, sebab tujuan mereka sebenarnya adalah menjaga kewibawaan.
Padahal generasi salaf tidak seperti itu.
Rasulullah Saw membesuk orang sakit dan membeli sendiri kebutuhannya dari
pasar. Abu Bakar ra berdagang kain, Abu Ubaidah bin Jarrah ra berprofesi
sebagai penggali kubur, Abu Thalhah ra juga demikian, Ibnu Sirin rh berprofesi
sebagai tukang memandikan orang mati. Orang-orang besar ini sama sekali tak
ingin menjaga gengsinya. H. 496
......Ibnu Jauzi kemudian memberi contoh
kisah orang-orang yang beramal luar biasa lantaran senang karena pujian, gelar
yang diberikan manusia, ketidaksadaran dan kecerobohan mereka menikmati pujian,
apresiasi orang-orang, mengimami shalat siang malam, berpuasa hingga disebut
ahlu shaum, membaca surat/ayat agar dikenal sebagai telah menamatkan Al-Qur’an.
Ibnu al-Jauzi kemudian berpesan agar kita selalu bersungguh-sungguh dalam
memperbaiki niat, sebab bisa jadi kebanyakan amal kita menjadi sia-sia jika
tidak menjaga keikhlasan dalam melakukannya. Beliau juga menghimbau untuk
berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahkan keikhlasan kepada kita........
·
Adil dalam Membenci
Salah satu bentuk kebodohan seseorang
adalah ketidaktahuannya akan tujuan penciptaan. Allah Swt telah menciptakan
manusia untuk menyabarkan diri dalam menghadapi keinginan-keinginan yang tidak
tercapai. Karena itu, orang cerdas adalah orang yang menikmati gagalnya
berbagai cita-cita, ia berdoa dan mengharapkan tercapainya keinginannya.
Bila keinginannya dikabulkan, ia akan
bersyukur; dan jika keinginannya tidak dikabulkan, ia menganggap doanya sebagai
salah satu bentuk ibadahnya*. Oleh sebab itu, ia tak akan memaksa dalam
berdoa**, karena dunia bukan tempat tercapainya seluruh keinginan, dan hendaklah
ia berkata kepada dirinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Salah satu bentuk kebodohan terbesar
seseorang adalah perasaan tak nyaman akibat gagal menggapai cita-citanya,
mungkin ia protes dengan hatinya, dan mungkin ia juga sampai mengatakan dengan
lisannya’ “Tercapainya cita-citaku tak membahayakan dan doaku tak dikabulkan!”
Semua itu adalah kebodohannya, ketipisan
imannya serta ketidakpasrahannya pada kebijaksanaan Allah. Lagi pula, siapakah
orang yang mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa dibarengi oeh kekeruhan
yang mengotorinya?
Nabi Adam As menikmati kehidupan yang
menyenangkan di surga, namun kemudian ia dkeluarkan darinya. Nabi Nuh As
meminta Allah Swt agar putranya diselamatkan, tapi doanya itu tak dikabulkan,
Nabi Ibrahim As telah dibakar di dalam kobaran api, Nabi Ismail telah
disembelih, Nabi Ya’qub As kehilangan putranya, Nabi Yusuf As diuji dengan syahwatnya,
Nabi Ayub As diuji dengan penyakit, Nabi Dawud As dan Sulaiman As diuji dengan wanita,
seluruh nabi As diuji dengan berbagai macam ujian, dan kelaparan serta
penderitaan yang dialami Nabi kita Muhammad Saw mengalami hal serupa.
Dunia memang diciptakan untuk tempat
ujian, karena itu orang yang berakal wajib menyiapkan dirinya untuk bersabar.
Orang yang berakal juga mesti mengetahui
bahwa keinginan yang tercapai adalah salah satu bentuk kelembutan Allah, sedang
keinginan yang tidak tercapai adalah sesuatu yang alami dan merupakan tujuan
penciptaan dunia.
Pada saat ujian dunia menimpa seseorang,
kekuatan dan kelemahan iman akan memperlihatkan hakikat dirinya. Oleh sebab
itu, seorang mukmin wajib pasrah kepada Pemiliknya dan tunduk kepada
kebijaksanaanNya, dan ia harus mengatakan, silakan pembaca merujuk QS. Ali
Imran: 128.
Ia juga harus menghibur dirinya dengan
memberitahunya bahwa keengganan Allah memberinya bukan karena kekikiranNya,
tapi karena suatu kebaikan yang diketahuiNya. Ia juga mesti mengetahui bahwa
Allah akan memberi pahala kepada orang yang sabar kala keinginan-keinginannya
tak tercapai dan Allah juga mengetahui orang-orang yang pasrah dan ridha pada
ketetapanNya.
Orang yang diuji dengan musibah penolakan
ini juga harus mengetahui bahwa masa ujian sangat sebentar dan
keinginan-keinginannya yang belum terkabulkan masih disimpan dan segera akan
diberikan. Kegelapan akan segera berpamitan dan cahaya akan lekas datang. Dan
bila pemahamannya meningkat hingga ia meyakini bahwa apa yang terjadi adalah
kehendak Allah, ia pasti akan menginginkan apa yang diinginkanNya dan ridha
pada apa yang ditetapkanNya. Bila tidak demikian, ia pasti akan keluar dari
kedudukannya sebagai seorang hamba, dan ini adalah kaidah yang harus
direnungkan dan diamalkan setiap kali sebuah keinginan tak dikabulkan. H. 498-499
*[kalau tidak salah ada hadits yang
menyebutkan bahwa doa adalah otak/intinya ibadah, anassekuduk]
**[pentahqiq: Yusuf Ali Budawi mengkritisi
bagian ini dengan menerangkan bahwa memaksa dalam berdoa (berdoa secara
terus-menerus) ialah perintah agama dan risalah kenabian, Rasulullah Saw
bersabda: “Allah mencintai orang-orang yang memaksa dalam berdoa”, dengan
merujuk Faidh al-Qadir, 2/292, al-Maqashid al-Hasanah h. 124 dan ad-Da’wa ad-Dawa’,
Ibnul Qayyim]
Selesai diringkas,
sekuduk, 23-6-2019, 16. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar