Minggu, 23 Juni 2019

NASIHAT UNTUK SELALU IKHLAS DAN PESAN UNTUKMU YANG SEDANG MERAIH CITA-CITA [Shaid Al-Khatir]


NASIHAT UNTUK SELALU IKHLAS DAN
PESAN UNTUKMU YANG SEDANG MERAIH CITA-CITA


Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah washshalatuwassalamu ‘ala Rasulillah, amma bad’du.
Pada tulisan kali ini, aku ingin berbagi beberapa nasihat, buah refleksi Ibnul Jauzi dalam Shaid al-Khatir-nya tentang keikhlasan dan nasihat buat para pengejar cita-cita. Tak lain tak bukan, karena tema ikhlas ini termasuk hal sentral yang menjadi SOP bagi setiap muslim dalam segala amal perbuatannya bila dia ingin amal tersebut berbuah pahala atau dipandang dan diterima di sisi Allah. Dengan demikian, di Yaumul Hisab nanti amal ini tidak hangus, terbang tak berbekas seperti debu yang diterpa angin lalu. Setelah itu, kukutipkan juga buah refleksi tentang keadilan dalam membenci, akan tetapi di sini aku tertarik untuk mengambil hikmah dari sisi yang berbeda yaitu bagaimana sikap kita terhadap keinginan ataupun cita-cita sebagai pengingat khususnya diriku pribadi, juga untuk murid-muridku (atau yang sekarang telah menjadi alumni yang sedang mengejar cita-citanya masing-masing), rekan pembaca umumnya. Baiklah, sekian pengantar dariku, berikut akan kutuliskan buah renungan yang dimaksud. Salam takzim, anassekuduk.....
·         Antara Ikhlas dan Tindakan Berpura-pura
Aku heran pada orang-orang yang berpura-pura di depan orang lain karena ingin mendapatkan tempat di hati mereka. Orang ini lupa bahwa hati mereka ada di Tangan Dzat yang menjadi tujuannya beramal. Jika Dia telah ridha pada amalnya dan melihatnya sebagai orang yang ikhlas, Dia akan mencondongkan seluruh hati kepadanya. Namun bila Dia tidak melihatnya sebagai orang yang ikhlas Dia akan memalingkannya darinya.
Orang yang beramal karena ingin mendapatkan cinta hati manusia adalah orang yang telah berbuat syirik, karena seyogianya hanya boleh puas dengan tatapan Dzat yang menjadi tujuannya beramal. Salah satu buah ikhlas yang pasti muncul adalah kecenderungan hati manusia kepada pelakunya, dan ini akan terjadi bukan karena kehendaknya, tetapi justru oleh ketidaksukaan padanya.
Seseorang yang beramal wajib mengetahui seluruh amalnya -tanpa kecuali- diketahui oleh Allah ‘Azza wajalla meski ia tidak diketahui oleh makhluk. Hati manusia kemudian tertarik kepada orang saleh berkat kesalehannya dan akan benci kepada orang jahat karena kejahatannya, walaupun ia tidak mengetahui hakikatnya secara pasti.
Orang yang beramal karena makhluk adalah orang yang menyia-nyiakan amalnya, karena dia tak diterima oleh Khalik, juga ditolak oleh makhluk.
Abu Sa’id al-Khudri ra menuturkan: Rasulullan Saw bersabda: “Andai salah seorang dari kamu beramal dalam sebuah batu karang keras yang tidak berpintu dan tak bercelah tentu amalnya tersebut akan keluar ke tengah-tengah manusia, apa pun bentuknya.” (Ahmad, Ibnu Hibban,Al-Hakim)
Karena itu, seorang hamba mesti bertaqwa kepada Allah dan meniatkan Dzat yang bisa memberinya manfaat, dan ia wajib tidak mengacuhkan pujian orang-orang yang akan lenyap dalam waktu yang dekat seperti dirinya.
H. 467-468
·         Perbuatan Riya’ Kaum Sufi
Aku melihat banyak perbuatan kaum sufi menunjukkan kemunafikan dan riya’ sekalipun mereka tetap mengaku ikhlas. Mereka selalu berada di pemondokan, menolak mengunjungi teman dan tak mau membesuk orang sakit. Mereka melakukannya karena ingin berkonsentrasi beribadah, dan ini tidak benar, sebab tujuan mereka sebenarnya adalah menjaga kewibawaan.
Padahal generasi salaf tidak seperti itu. Rasulullah Saw membesuk orang sakit dan membeli sendiri kebutuhannya dari pasar. Abu Bakar ra berdagang kain, Abu Ubaidah bin Jarrah ra berprofesi sebagai penggali kubur, Abu Thalhah ra juga demikian, Ibnu Sirin rh berprofesi sebagai tukang memandikan orang mati. Orang-orang besar ini sama sekali tak ingin menjaga gengsinya. H. 496
......Ibnu Jauzi kemudian memberi contoh kisah orang-orang yang beramal luar biasa lantaran senang karena pujian, gelar yang diberikan manusia, ketidaksadaran dan kecerobohan mereka menikmati pujian, apresiasi orang-orang, mengimami shalat siang malam, berpuasa hingga disebut ahlu shaum, membaca surat/ayat agar dikenal sebagai telah menamatkan Al-Qur’an. Ibnu al-Jauzi kemudian berpesan agar kita selalu bersungguh-sungguh dalam memperbaiki niat, sebab bisa jadi kebanyakan amal kita menjadi sia-sia jika tidak menjaga keikhlasan dalam melakukannya. Beliau juga menghimbau untuk berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahkan keikhlasan kepada kita........
·         Adil dalam Membenci
Salah satu bentuk kebodohan seseorang adalah ketidaktahuannya akan tujuan penciptaan. Allah Swt telah menciptakan manusia untuk menyabarkan diri dalam menghadapi keinginan-keinginan yang tidak tercapai. Karena itu, orang cerdas adalah orang yang menikmati gagalnya berbagai cita-cita, ia berdoa dan mengharapkan tercapainya keinginannya.
Bila keinginannya dikabulkan, ia akan bersyukur; dan jika keinginannya tidak dikabulkan, ia menganggap doanya sebagai salah satu bentuk ibadahnya*. Oleh sebab itu, ia tak akan memaksa dalam berdoa**, karena dunia bukan tempat tercapainya seluruh keinginan, dan hendaklah ia berkata kepada dirinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Salah satu bentuk kebodohan terbesar seseorang adalah perasaan tak nyaman akibat gagal menggapai cita-citanya, mungkin ia protes dengan hatinya, dan mungkin ia juga sampai mengatakan dengan lisannya’ “Tercapainya cita-citaku tak membahayakan dan doaku tak dikabulkan!”
Semua itu adalah kebodohannya, ketipisan imannya serta ketidakpasrahannya pada kebijaksanaan Allah. Lagi pula, siapakah orang yang mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa dibarengi oeh kekeruhan yang mengotorinya?
Nabi Adam As menikmati kehidupan yang menyenangkan di surga, namun kemudian ia dkeluarkan darinya. Nabi Nuh As meminta Allah Swt agar putranya diselamatkan, tapi doanya itu tak dikabulkan, Nabi Ibrahim As telah dibakar di dalam kobaran api, Nabi Ismail telah disembelih, Nabi Ya’qub As kehilangan putranya, Nabi Yusuf As diuji dengan syahwatnya, Nabi Ayub As diuji dengan penyakit, Nabi Dawud As dan Sulaiman As diuji dengan wanita, seluruh nabi As diuji dengan berbagai macam ujian, dan kelaparan serta penderitaan yang dialami Nabi kita Muhammad Saw mengalami hal serupa.
Dunia memang diciptakan untuk tempat ujian, karena itu orang yang berakal wajib menyiapkan dirinya untuk bersabar.
Orang yang berakal juga mesti mengetahui bahwa keinginan yang tercapai adalah salah satu bentuk kelembutan Allah, sedang keinginan yang tidak tercapai adalah sesuatu yang alami dan merupakan tujuan penciptaan dunia.
Pada saat ujian dunia menimpa seseorang, kekuatan dan kelemahan iman akan memperlihatkan hakikat dirinya. Oleh sebab itu, seorang mukmin wajib pasrah kepada Pemiliknya dan tunduk kepada kebijaksanaanNya, dan ia harus mengatakan, silakan pembaca merujuk QS. Ali Imran: 128.
Ia juga harus menghibur dirinya dengan memberitahunya bahwa keengganan Allah memberinya bukan karena kekikiranNya, tapi karena suatu kebaikan yang diketahuiNya. Ia juga mesti mengetahui bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang yang sabar kala keinginan-keinginannya tak tercapai dan Allah juga mengetahui orang-orang yang pasrah dan ridha pada ketetapanNya.
Orang yang diuji dengan musibah penolakan ini juga harus mengetahui bahwa masa ujian sangat sebentar dan keinginan-keinginannya yang belum terkabulkan masih disimpan dan segera akan diberikan. Kegelapan akan segera berpamitan dan cahaya akan lekas datang. Dan bila pemahamannya meningkat hingga ia meyakini bahwa apa yang terjadi adalah kehendak Allah, ia pasti akan menginginkan apa yang diinginkanNya dan ridha pada apa yang ditetapkanNya. Bila tidak demikian, ia pasti akan keluar dari kedudukannya sebagai seorang hamba, dan ini adalah kaidah yang harus direnungkan dan diamalkan setiap kali sebuah keinginan tak dikabulkan. H. 498-499
*[kalau tidak salah ada hadits yang menyebutkan bahwa doa adalah otak/intinya ibadah, anassekuduk]
**[pentahqiq: Yusuf Ali Budawi mengkritisi bagian ini dengan menerangkan bahwa memaksa dalam berdoa (berdoa secara terus-menerus) ialah perintah agama dan risalah kenabian, Rasulullah Saw bersabda: “Allah mencintai orang-orang yang memaksa dalam berdoa”, dengan merujuk Faidh al-Qadir, 2/292, al-Maqashid al-Hasanah h. 124 dan ad-Da’wa ad-Dawa’, Ibnul Qayyim]
Selesai diringkas, sekuduk, 23-6-2019, 16. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...