SHALEH TAPI TAK BERDAYA GUNA [AJZUTS TSIQAT]
MUHAMMAD BIN HASAN AQIL MUSA SYARIF
ROBBANI PRESS, JAKARTA, 2004
X + 178 HLM, 17, 5 CM
Bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillahwashshalatuwassalamu
‘ala Rasulillah, amma bad’du.
A. INTRO......
Nonjok....nyelekit, nyindir, tapi menyadarkan.
Bak obat yang pahit kelat akan tetapi menyembuhkan. Inilah beberapa kata yang
dapat kuungkapkan untuk memberi sekilas pandang terhadap buku mungil ini.
Dengan dimensi tinggi tak sampai 1 jengkal dan lebar tak lebih 0,5 jengkalku,
buku ini memiliki bobot melebihi tampilan fisiknya. Dari judulnya saja sudah
kelihatan bahwa buku ini ditujukan untuk mendobrak keadaan
stagnan, menggoncang zona nyaman kita, membakar jiwa yang over melankolis, menyadarkan kita ada
sesuatu yang hilang, terlewatkan, terlupakan.
Sesuatu yang tinggi, luhur, mulia yang terlepas dari genggaman karena kita
tidak mau berusaha lebih dalam memikirkan tujuan dan akhir kehidupan. Akan
tetapi, pada tulisan kali ini, aku hanya akan mengutip secara ringkas,
karenanya kusarankan dengan sangat, usahakanlah untuk memiliki atau setidaknya
membaca buku sampai selesai jika tersedia, agar rekan-rekan mendapat ide yang
utuh dan menyeluruh dari penulis. Tak mungkin aku menuliskan keseluruhan isi
buku di ruang dan waktu terbatas
ini. Akan tetapi harapku, apa yang dituliskan di blog ini bermanfaat,
setidaknya untuk diriku pribadi -yang lebih memerlukan nasihat ini, kemudian
rekan pengunjung dan pembaca sekalian- semoga bisa menjadi suatu “start point”
untuk mulai muhasabah diri akan kondisi kita saat ini.
Buku ini
juga hakikatnya mengajak kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri,
agar tidak semata shaleh secara peribadi, tetapi juga shaleh secara sosial.
Jika boleh merujuk hadits Nabi Saw yang secara makna seingatku ialah sabda beliau, bahwa manusia terbaik ialah yang banyak memberi manfaat kepada manusia
lainnya.
B. INTI.........
Untuk gambaran singkat, buku
ini akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ketidakberdayaan yang disorot dan
kemudian dijabarkan oleh penulis, menjelaskan pentingnya amal dan mengakhiri
ketidakberdayaan, selanjutnya penulis membahas fenomena atau jenis
ketidakberdayaan, sebab-sebabnya, pengobatan secara umum, pengobatan secara
khusus; di sini penulis menjelaskan secara detil dan praktis penanganan
terhadap ketidakberdayaan di bidang keimanan, wawasan dan intelektualitas, dan di bidang dakwah.
Minimnya waktu yang disediakan untuk beramal shaleh
Kalau diperhatikan kondisi saat ini, dapat
diperkirakan orang-orang shaleh, atau manusia/muslim umumnya, mulai menapaki
keshalehan dan mempelajarinya pada usia +-20 tahun. Jika merujuk hadits Nabi
Saw yang menyatakan bahwa usia umat beliau secara perorangan adalah di kisaran
60-70 tahun _yang mana hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hajar_
maka kita telah kehilangan kira-kira 1/3 dari usia
kita tanpa memanfaatkannya seperti yang diharapkan.
Jika demikian, maka yang tersisa dari usia hanya 40 tahun. Umur 40
tahun ini biasanya berjalan sebagai berikut:
Pertama, 1/3 usia dipergunakan
untuk tidur. Ini merupakan kebiasaan kebanyakan manusia. Ada juga manusia yang
tidur 12 jam!! Itu sama halnya dengan ½ dari hidup mereka dihabiskan untuk
tidur. Ada juga yang tidur kurang dari 8 jam, itu pun sedikit. Artinya dari
usia 40 tahun berkurang 13 tahun 6 bulan.
Kedua, 1/3 usia digunakan untuk bekerja. Ini juga
kebiasaan, karena sebagian manusia memiliki 2 pekerjaan atau lebih. Dengan
demikian _bila 1/3 waktunya untuk
bekerja_ dari usia 40 tahun berkurang 13 tahun 6 bulan lagi.
Ketiga, berdasarkan rincian di atas, usia tersisa bagi orang yang hidup 60
tahun ialah sekitar 13 tahun saja. Sisa
usia tersebut digunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama,
masalah-masalah dunia seperti pernikahan, memelihara anak, mengunjungi kerabat
dan teman-teman, makan, minum, pergi bertamasya atau ke pasar, dan lain-lain.
Jadi, masih adakah usia yang tersisa bagi kita untuk ikut serta berlomba mencapai
masalah-masalah akhirat dan berlomba mendapatkan kenikmatannya?
Karena itulah, generasi
salaf mengurangi tidur, kerja dan pemenuhan kebutuhan mereka, sehingga tersedia
waktu lebih banyak dari yang telah disebutkan penulis di atas.
Fenomena ketidakberdayaan di antaranya:
Dalam
bahasan penulis diangkat beberapa fenomena ketidakberdayaan, di antaranya:
meninggalkan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, kikir terhadap
harta benda atau ketidaktepatan infaq, keahlian yang tidak dikembangkan,
kerancuan prioritas, tsiqah yang menghujat saudara-saudaranya yang juga tsiqah,
kelemahan peradaban dan wawasan, tersia-siakannya banyak waktu, melanggar
janji, tidak mampu mengendalikan keluarga.
Di bagian ini akan kukutip
bahasan tentang keahlian yang tidak dikembangkan sebagai fenomena
ketidakberdayaan. Harapannya ini menjadi pengingat diriku, juga murid-muridku
serta umumnya siapapun yang masih dalam proses belajar _karena kesempatan dan
kemungkinan berubah, meningkatkan kualitas diri, tetap terbuka kepada insan
pembelajar seumur hayat_ bahwa Allah telah membekali kita semua dengan potensi
berupa bakat dan minat yang berbeda serta unik per individu.
........Keahlian yang
Tidak Dikembangkan......
Allah telah membagikan
kemampuan dan keahlian di antara manusia. Allah mengkhususkan sebagian manusia
dengan kemampuan dan keahlian yang lebih besar. Apabila mereka berhasil
mengembangkan keahlian itu, maka berarti kemenangan besar. Jika tidak, maka
sungguh mereka merugi dan tak berdayaguna. ........
...Mari renungkan ketika
Nabi Yusuf as mengetahui di dalam dirinya terdapat keahlian mengelola rezeki,
maka ia berkata kepada raja yang direkam Allah Swt dalam QS. Yusuf: 55 _silakan
rekan rujuk sendiri, barakallah. Dia tidak malu dan tidak berdiam diri.
Tidakkah kita memikirkan
Nabi Muhammad Saw membagi pekerjaan kepada pada sahabatnya berdasarkan
kemampuan dan keahlian, lalu mereka menyanggupi dan tidak menolak dan
malu-malu? (Di sini aku jadi teringat beberapa kali kesempatan yang
diberikan Allah membimbing murid menghadapi beberapa cabang lomba, memang
adakalanya mereka tidak tahu apa bakat mereka, mereka tidak melihat kemampuan
pada suatu bidang, namun karena didorong atau bahkan perlu sedikit dipaksa,
dimotivasi untuk maju dari dalam diri sendiri, akhirnya mereka bisa menjalani
proses latihan dan lomba dengan hasil yang membanggakan. Akan tetapi, ketika
tidak mendapat hasil harapan dalam bentuk perolehan juara, maka kukatakan baik
pada diriku maupun pada mereka: ‘ikut kompetisi saja sudah merupakan suatu
keberuntungan yang patut disyukuri. Kita dipilih karena kita dipercaya, kita
dipilih karena dianggap mampu dan dengannya kita berjihad untuk memampukan
diri. Dengan ikut kompetisi kita mendapat pengalaman, mendapat kenalan, melihat
orang, tempat, yang baru. Memunculkan tawadhu’ bahwa di atas langit masih ada
langit, jika ingin menanjak naik kita kemudian punya standar usaha yang seperti
apa yang harus dilalui untuk melampaui prestasi yang diperoleh para juara kali
ini di kesempatan seterusnya. Dengan membimbing pula, kusadari Allah sedang
menyuruh kita juga untuk berjihad; belajar lebih lagi, melatih sabar, keuletan
dalam mengasah, asih dan asuh terhadap murid bimbingan dan masih banyak hikmah
lainnya, anassekuduk).
Khalid bin Walid ra, Sang Panglima Abadi, dia segera menerima tongkat kepemimpinan
ketika mengetahui dirinya mempunyai keanggupan. Ia memperoleh keberhasilan,
karena itu Rasulullah Saw menggambarkannya sebagai Pedang Allah yang terhunus.
Zaid bin Tsabit ra mempelajari bahasa asing. Ubay bin Ka’ab ra mahir bidang
Al-Qur’an hingga Rasulullah Saw menyebutnya yang paling baik bacaannya. Mu’adz
bin Jabal ra ahli bidang fiqih. Mush’ab ra seorang duta, Abu Bakar ra dan Umar
seorang wazir/khalifah. Kalau boleh kutambahkan Abu Hurairah di bidang hadits,
dan Bunda Aisyah ra bendahara hadits dari shahabiah. Dan ada banyak sahabat
pencatat wahyu ahli menulis.
Sebab-sebab ketidakberdayaan
Adapun sebab
ketidakberdayaan yang diangkat penulis dalam bukunya: tawadhu’ palsu, perasaan (terlalu) sensitif dan halus, malas, jenuh dan
bosan, inqibadh (sempit dada) dan kurang ulet, putus asa –bahkan penulis
menyebutkan putus asa sebagai kematian dini-, takut, ketidakjelasan (ghumudh),
keragu-raguan.
Pengobatan ketidak berdayaan secara umum
Di antara
pengobatan secara umum atas kasus ketidakberdayaan di antaranya: banyak membaca
buku biografi, mengunjungi orang-orang shaleh yang memiliki semangat tinggi,
memahami misi manusia dalam kehidupan dunia, keteguhan hati untuk mengikis
ketidakberdayaan, meletakkan cita-cita yang tinggi dengan selalu berusaha
mencapainya.
Pengobatan ketidakberdayaan secara khusus
Ã
Ketidakberdayaan
iman
v Menjaga pelaksanaan berbagai amalan fardhu.
v Berlomba mengerjakan ibadah yang biasa dilakukan oleh para tsiqah.
[tsiqah yang dimaksud penulis dalam buku
ini ialah orang yang diberi kepercayaan oleh orang lain, dalam hal agama,
perilaku, dan akal. Kepercayaan ini diberikan karena ia dianggap memiliki
kelayakan yang mencukupi untuk diserahi tugas.]
à Ketidakberdayaan wawasan dan intelektualitas
v Menghafal Al-Qur’an Al-Azhim
v Menghafal sejumlah hadits Nabi Saw
v Membiasakan membaca [baik yang fokus, variatif, up to date dan
sebagainya, anassekuduk]
v Menyimak siaran berita
v Mendengarkan kaset.
à Ketidakberdayaan dakwah
v Memahami bahwa dakwah adalah wajib
v Mengetahui sejarah orang-orang yang tak berdayaguna
v Menghidupkan semangat jiddiyah (kesungguhan dalam jiwa)
.......Alhamdulillah.......sekian,
salam takzim..anassekuduk
Selesai:
Sekuduk, 06. 39, 26-6-2019..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar