Selasa, 25 Juni 2019

BAHAS BUKU: SHALEH TAPI TAK BERDAYA GUNA [AJZUTS TSIQAT] MUHAMMAD BIN HASAN AQIL MUSA SYARIF

SHALEH TAPI TAK BERDAYA GUNA [AJZUTS TSIQAT]
MUHAMMAD BIN HASAN AQIL MUSA SYARIF

ROBBANI PRESS, JAKARTA, 2004
X + 178 HLM, 17, 5 CM


Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahwashshalatuwassalamu ‘ala Rasulillah, amma bad’du.

A.   INTRO......
Nonjok....nyelekit, nyindir, tapi menyadarkan. Bak obat yang pahit kelat akan tetapi menyembuhkan. Inilah beberapa kata yang dapat kuungkapkan untuk memberi sekilas pandang terhadap buku mungil ini. Dengan dimensi tinggi tak sampai 1 jengkal dan lebar tak lebih 0,5 jengkalku, buku ini memiliki bobot melebihi tampilan fisiknya. Dari judulnya saja sudah kelihatan bahwa buku ini ditujukan untuk mendobrak keadaan stagnan, menggoncang zona nyaman kita, membakar jiwa yang over melankolis, menyadarkan kita ada sesuatu yang hilang, terlewatkan, terlupakan. Sesuatu yang tinggi, luhur, mulia yang terlepas dari genggaman karena kita tidak mau berusaha lebih dalam memikirkan tujuan dan akhir kehidupan. Akan tetapi, pada tulisan kali ini, aku hanya akan mengutip secara ringkas, karenanya kusarankan dengan sangat, usahakanlah untuk memiliki atau setidaknya membaca buku sampai selesai jika tersedia, agar rekan-rekan mendapat ide yang utuh dan menyeluruh dari penulis. Tak mungkin aku menuliskan keseluruhan isi buku di ruang dan waktu terbatas ini. Akan tetapi harapku, apa yang dituliskan di blog ini bermanfaat, setidaknya untuk diriku pribadi -yang lebih memerlukan nasihat ini, kemudian rekan pengunjung dan pembaca sekalian- semoga bisa menjadi suatu “start point” untuk mulai muhasabah diri akan kondisi kita saat ini.
Buku ini juga hakikatnya mengajak kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, agar tidak semata shaleh secara peribadi, tetapi juga shaleh secara sosial. Jika boleh merujuk hadits Nabi Saw yang secara makna seingatku ialah sabda beliau, bahwa manusia terbaik ialah yang banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya.

B.    INTI.........

Untuk gambaran singkat, buku ini akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ketidakberdayaan yang disorot dan kemudian dijabarkan oleh penulis, menjelaskan pentingnya amal dan mengakhiri ketidakberdayaan, selanjutnya penulis membahas fenomena atau jenis ketidakberdayaan, sebab-sebabnya, pengobatan secara umum, pengobatan secara khusus; di sini penulis menjelaskan secara detil dan praktis penanganan terhadap ketidakberdayaan di bidang keimanan, wawasan dan intelektualitas, dan di bidang dakwah.
Minimnya waktu yang disediakan untuk beramal shaleh
Kalau diperhatikan kondisi saat ini, dapat diperkirakan orang-orang shaleh, atau manusia/muslim umumnya, mulai menapaki keshalehan dan mempelajarinya pada usia +-20 tahun. Jika merujuk hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa usia umat beliau secara perorangan adalah di kisaran 60-70 tahun _yang mana hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hajar_ maka kita telah kehilangan kira-kira 1/3 dari usia kita tanpa memanfaatkannya seperti yang diharapkan.
  Jika demikian, maka yang tersisa dari usia hanya 40 tahun. Umur 40 tahun ini biasanya berjalan sebagai berikut:
  Pertama, 1/3 usia dipergunakan untuk tidur. Ini merupakan kebiasaan kebanyakan manusia. Ada juga manusia yang tidur 12 jam!! Itu sama halnya dengan ½ dari hidup mereka dihabiskan untuk tidur. Ada juga yang tidur kurang dari 8 jam, itu pun sedikit. Artinya dari usia 40 tahun berkurang 13 tahun 6 bulan.
Kedua, 1/3 usia digunakan untuk bekerja. Ini juga kebiasaan, karena sebagian manusia memiliki 2 pekerjaan atau lebih. Dengan demikian _bila 1/3 waktunya untuk bekerja_ dari usia 40 tahun berkurang 13 tahun 6 bulan lagi.
Ketiga, berdasarkan rincian di atas, usia tersisa bagi orang yang hidup 60 tahun ialah sekitar 13 tahun saja. Sisa usia tersebut digunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, masalah-masalah dunia seperti pernikahan, memelihara anak, mengunjungi kerabat dan teman-teman, makan, minum, pergi bertamasya atau ke pasar, dan lain-lain. Jadi, masih adakah usia yang tersisa bagi kita untuk ikut serta berlomba mencapai masalah-masalah akhirat dan berlomba mendapatkan kenikmatannya?
Karena itulah, generasi salaf mengurangi tidur, kerja dan pemenuhan kebutuhan mereka, sehingga tersedia waktu lebih banyak dari yang telah disebutkan penulis di atas.
Fenomena ketidakberdayaan di antaranya:
Dalam bahasan penulis diangkat beberapa fenomena ketidakberdayaan, di antaranya: meninggalkan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, kikir terhadap harta benda atau ketidaktepatan infaq, keahlian yang tidak dikembangkan, kerancuan prioritas, tsiqah yang menghujat saudara-saudaranya yang juga tsiqah, kelemahan peradaban dan wawasan, tersia-siakannya banyak waktu, melanggar janji, tidak mampu mengendalikan keluarga.
Di bagian ini akan kukutip bahasan tentang keahlian yang tidak dikembangkan sebagai fenomena ketidakberdayaan. Harapannya ini menjadi pengingat diriku, juga murid-muridku serta umumnya siapapun yang masih dalam proses belajar _karena kesempatan dan kemungkinan berubah, meningkatkan kualitas diri, tetap terbuka kepada insan pembelajar seumur hayat_ bahwa Allah telah membekali kita semua dengan potensi berupa bakat dan minat yang berbeda serta unik per individu.
........Keahlian yang Tidak Dikembangkan......
Allah telah membagikan kemampuan dan keahlian di antara manusia. Allah mengkhususkan sebagian manusia dengan kemampuan dan keahlian yang lebih besar. Apabila mereka berhasil mengembangkan keahlian itu, maka berarti kemenangan besar. Jika tidak, maka sungguh mereka merugi dan tak berdayaguna. ........
...Mari renungkan ketika Nabi Yusuf as mengetahui di dalam dirinya terdapat keahlian mengelola rezeki, maka ia berkata kepada raja yang direkam Allah Swt dalam QS. Yusuf: 55 _silakan rekan rujuk sendiri, barakallah. Dia tidak malu dan tidak berdiam diri.
Tidakkah kita memikirkan Nabi Muhammad Saw membagi pekerjaan kepada pada sahabatnya berdasarkan kemampuan dan keahlian, lalu mereka menyanggupi dan tidak menolak dan malu-malu? (Di sini aku jadi teringat beberapa kali kesempatan yang diberikan Allah membimbing murid menghadapi beberapa cabang lomba, memang adakalanya mereka tidak tahu apa bakat mereka, mereka tidak melihat kemampuan pada suatu bidang, namun karena didorong atau bahkan perlu sedikit dipaksa, dimotivasi untuk maju dari dalam diri sendiri, akhirnya mereka bisa menjalani proses latihan dan lomba dengan hasil yang membanggakan. Akan tetapi, ketika tidak mendapat hasil harapan dalam bentuk perolehan juara, maka kukatakan baik pada diriku maupun pada mereka: ‘ikut kompetisi saja sudah merupakan suatu keberuntungan yang patut disyukuri. Kita dipilih karena kita dipercaya, kita dipilih karena dianggap mampu dan dengannya kita berjihad untuk memampukan diri. Dengan ikut kompetisi kita mendapat pengalaman, mendapat kenalan, melihat orang, tempat, yang baru. Memunculkan tawadhu’ bahwa di atas langit masih ada langit, jika ingin menanjak naik kita kemudian punya standar usaha yang seperti apa yang harus dilalui untuk melampaui prestasi yang diperoleh para juara kali ini di kesempatan seterusnya. Dengan membimbing pula, kusadari Allah sedang menyuruh kita juga untuk berjihad; belajar lebih lagi, melatih sabar, keuletan dalam mengasah, asih dan asuh terhadap murid bimbingan dan masih banyak hikmah lainnya, anassekuduk).
Khalid bin Walid ra, Sang Panglima Abadi, dia segera menerima tongkat kepemimpinan ketika mengetahui dirinya mempunyai keanggupan. Ia memperoleh keberhasilan, karena itu Rasulullah Saw menggambarkannya sebagai Pedang Allah yang terhunus. Zaid bin Tsabit ra mempelajari bahasa asing. Ubay bin Ka’ab ra mahir bidang Al-Qur’an hingga Rasulullah Saw menyebutnya yang paling baik bacaannya. Mu’adz bin Jabal ra ahli bidang fiqih. Mush’ab ra seorang duta, Abu Bakar ra dan Umar seorang wazir/khalifah. Kalau boleh kutambahkan Abu Hurairah di bidang hadits, dan Bunda Aisyah ra bendahara hadits dari shahabiah. Dan ada banyak sahabat pencatat wahyu ahli menulis.
Sebab-sebab ketidakberdayaan
Adapun sebab ketidakberdayaan yang diangkat penulis dalam bukunya: tawadhu’ palsu, perasaan (terlalu) sensitif dan halus, malas, jenuh dan bosan, inqibadh (sempit dada) dan kurang ulet, putus asa –bahkan penulis menyebutkan putus asa sebagai kematian dini-, takut, ketidakjelasan (ghumudh), keragu-raguan.
Pengobatan ketidak berdayaan secara umum
Di antara pengobatan secara umum atas kasus ketidakberdayaan di antaranya: banyak membaca buku biografi, mengunjungi orang-orang shaleh yang memiliki semangat tinggi, memahami misi manusia dalam kehidupan dunia, keteguhan hati untuk mengikis ketidakberdayaan, meletakkan cita-cita yang tinggi dengan selalu berusaha mencapainya.
Pengobatan ketidakberdayaan secara khusus
à  Ketidakberdayaan iman
v Menjaga pelaksanaan berbagai amalan fardhu.
v Berlomba mengerjakan ibadah yang biasa dilakukan oleh para tsiqah.
[tsiqah yang dimaksud penulis dalam buku ini ialah orang yang diberi kepercayaan oleh orang lain, dalam hal agama, perilaku, dan akal. Kepercayaan ini diberikan karena ia dianggap memiliki kelayakan yang mencukupi untuk diserahi tugas.]
à Ketidakberdayaan wawasan dan intelektualitas
v Menghafal Al-Qur’an Al-Azhim
v Menghafal sejumlah hadits Nabi Saw
v Membiasakan membaca [baik yang fokus, variatif, up to date dan sebagainya, anassekuduk]
v Menyimak siaran berita
v Mendengarkan kaset.
à Ketidakberdayaan dakwah
v Memahami bahwa dakwah adalah wajib
v Mengetahui sejarah orang-orang yang tak berdayaguna
v Menghidupkan semangat jiddiyah (kesungguhan dalam jiwa)
.......Alhamdulillah.......sekian, salam takzim..anassekuduk
Selesai: Sekuduk, 06. 39, 26-6-2019..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...