SASTRAWAN BICARA, SISWA
BERTANYA 2004
A. INTRO>>>>>
Sedikit
bernostalgia, mundur ke tahun 2004, kalau tidak salah saat itu aku masih duduk
di kelas 2 MAS. MBI Sambas. Tercatat di buku ini tanggal 10-8-2004, Selasa.
Saat itu aku ditugaskan bersama 2 teman lainnya untuk menjadi MC pada
perhelatan acara “SASTRAWAN BICARA, SISWA BERTANYA 2004” ini.
Seingatku, waktu itu yang ditugaskan menjadi MC bahasa Inggris adalah kakak
kelasku; Wedi
Kusnandar, MC bahasa Indonesia: Siti Fatimah dan diriku sendiri MC bahasa Arab.
[Maaf buat kawan-kawan
jika salah tulis dan salah ingat, anassekuduk :D ]. Satu
kebahagiaan tak terkira dan kebanggaan tersendiri bagiku sebagai anak kampung,
dapat menyaksikan para sastrawan yang datang dari jauh, dan membacakan
sendiri karyanya di depan mata ini. Rasa bahagia juga karena semua tamu
undangan _sastrawan yang datang_ sudi menandatangani buku milikku,
yang memang dibagikan pada kesempatan hari itu.
Hal serupa juga
tak dapat digambarkan bahagianya ketika Allah Swt mempertemukanku dengan seorang
penulis, yang bukunya pernah kumiliki dan sempat membuatku berharap bisa bersua
penulisnya. Sekitar 2 tahunan berlalu, dan ternyata di sebuah pelatihan di
Pontianak, tak dinyana, sang penulis hadir di depan mata. Beliau ialah Solikhin
Abu Izzudin. Bukunya yang telah secara sadar atau tak sadar membuatku ingin
bertemu beliau, dan ternyata ini terekam menjadi semacam doa yang tak
kulisankan. Buku dimaksud berjudul “Zero to Hero”.
Adapun, pada pelatihan di
Pontianak tersebut, ketika disebutkan bahwa kami akan kedatangan tamu istimewa
_kebanyakan peserta kukira juga tidak tahu siapa tamu yang dimaksud_, nama
beliau disebutkan. Sejenak aku mengingat-ingat sepertinya namanya tidak asing. Lalu,
tak dinyana, berjalan dari belakang, arah pintu masuk Kantor Pusat PLN _tempat
perhelatan pelatihan pada hari itu_ tepat di sampingku (kebetulan aku duduk di
sebelah samping paling kanan), berjalan beliau: “The Author of Zero to Hero!!” Aku nekad dan bertekad, aku harus menyapanya,
meminta tanda tangannya di bukuku (waktu itu, untuk mencari cara agar bisa
mendekati beliau, maka aku pun merogoh saku sekitar gocap, membeli buku beliau
yang dijual pada saat itu yang berjudul “Way to Win”), ber-wefie, dan
paling penting bersalaman dan mohon berkah ilmunya. Dalam kesempatan itu, aku
sempat berkata kepada Pak Solikh, “Pak, mohon izin dan doa, semoga berkah atas
ilmunya,’ begitulah kira-kira. Setelah itu, wefie dan jabat tangan serah terima
pun tersampaikan. Alhamdulillah harapan kesampaian, biidznillah.
hadza min fadli Rabii....dapet cas spirit sang Author: Pak Sholikhn Abu Izzudin 😎 |
beli bukunya...dapetin (foto barang) orangnya 😁😁😁 |
kok aku jadi deg-degan ya......apa ini yang namanya "(m)inta"?? Minta signature maksudnya :D |
Kembali ke
2004.....Tak
hanya itu, salah satu dari narsum bahkan menyempatkan diri untuk sekadar
menyapa dan berbincang sejenak. Seingatku waktu itu mas Cecep Syamsul Hari bahkan
sempat bertanya, “nanti dek Nasrullah mau melanjutkan kemana?” rasa-rasanya
seingatku aku pun menjawab, “mau ke Al-Azhar”, entah apa dasarnya jawaban nyeleneh
ini kuutarakan,
setengah sadar mungkin karena grogi menghadapi orang kesohor, hehe. Sehingga
terekam di halaman 35 buku SBSB
2004 ini
tanda tangan mendampingi beliau. Selain itu juga ada Mas Moh. Wan Anwar, yang
di antara karyanya di buku ini: Karang Hantu dan Tangisan Cinta. Mas Joni
Ariadinata yang sempat membacakan pusi dengan gaya yang unik dan nyentrik. Samar
teringat bagaimana melakonkan menjadi seorang wanita dalam salah satu bagian
puisi yang dibacakannya dengan menggnakan syal yang di”salah gunakan” menjadi
selendang. Di bagian moderator komando dipegang Mas Iman No War _aku kurang
pasti nama asli beliau karena memang sudah lama, dan begitulah adanya beliau
memperkenalkan diri melalui nama yang ditulis dan ditandatanganinya dalam buku
yang kini masih kusimpan sebagai bahan bacaan sekaligus perekam kenangan.
Anassekuduk...
B. THE
CONTENT>>>>>>>>
Berikut akan
kutuliskan beberapa karya, yang bagiku pada saat itu baru dikenalkan dengan
dunia puisi dan kepenulisan, seni dan sastra _cukup membekas dan menarik_. Berkesan
dan bermakna sungguh acara hari itu, karena mendapat suguhan materi dan isi secara
langsung dari beberapa insan pegiat seni sastra yang bertandang ke madrasah
kami, MAS MBI Sambas.
à PELAJARAN
TATABAHASA DAN MENGARANG [Taufiq Ismail]
“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengar ‘kan
Apa komentar kamu tentang karya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik boleh asal
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung ding dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asal boleh.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi
dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah baca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
1997
à SAJAK ANAK MUDA
SERBA SEBELAH [Taufiq Ismail]
Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Dikirim balik dan jatuh di kuping kiri lagi
Si Toni dipotong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni dicabut satu matanya yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa dengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni ingin bekerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan setir kanan semua
Hai tunggu dulu, Toni ini anak saya kah?
Atau anak saudara kah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda.
1997
à SAJAK SEONGGOK
JAGUNG [W.S. Rendra]
Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda
Yang kurang sekolahan
Memandang jagung itu,
Sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
Dan suatu hari subuh,
Para wanita dengan gendongan
Pergi ke pasar....
Dan ia juga melihat
Suatu pagi hari
Di dekat sumur
Gadis-gadis bercanda
Sambil menumbuk jagung
Menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
Tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
Tercium bau kuwe jagung.
Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
Otak dan tangan
Siap bekerja.
Tetapi hari ini:
Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda tamat SLTA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di blaik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
Tidak menyangkut pada akal,
Tidak akan menolongnya,
Seonggok jagung di kamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
Dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
Tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang
di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar fisika, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
à SAJAK PALSU [Agus
R. Sarjono]
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan
palsu.
Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah
bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat
palsu. Sambil tersipu palsu dan memnuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak
guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai
palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai
ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, ilmuwan atau
seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan
palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan
ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong
dengan kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan
hadiah-hadian palsu, tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan
surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat
pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.
Maka uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga
semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintah palsu ke dalam
nasib buruk palsu.
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu
dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu
menyambut tibanya demikrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.
1998
à KENANG-KENANGAN
[Cecep Syamsul Hari]
Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau dongeng, atau masa silam. Tetapi cinta,
bukan senotol coca-cola. Atau film Disney;
di sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim.
Sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku
pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau
mesra sekali. Kini, bahkan wajahmu samar kuingat
kembali.
Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan negeri
ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekotak popok kertas. Atau sayap
sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar.
Cinta,
barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu.
1994
à TANGISAN CINTA
(FOTO H. 40)
à KALI MATI
.........hingga siang orang-orang
Menemukannya terkapar di sisi Husni.
Mengendus-endus. Kesedihan mengelam
Panjang rintihan mabuk tersengal. Merangkul mimpi,
Seorang bidadari
Hingga malaikat-malaikat berjejer
Memadati rel, turun berbondong dari kota,
Dari rumah, dari kantor-kantor, dari mobil,
Wajah-Wajah memekik dan mengutuk, lantas
Melemparinya dengan batu: “Najis!”
Joni Ariadinata |
Nukilan “Kali Mati”....Joni Ariadinata
MERDEKA
.........
.......Mata orang tua itu sekarang terbuka.
“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka”?
“Ya.”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Ya! Kenapa?” bentak orang tuanya.
Merdeka tertegun.
Waktu kecil ia tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang ia sudah dewasa,
sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia
tidak mau lagi dibentak.
“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak
Merdeka.
Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.
“Tidak!”
“Kenapa tidak!”
“Pokoknya tidak!”
“Ya.”
“Tidak!”
“Yaaaaa!”
“Tidakkkkkk!”
“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak
tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu
apa yang kulakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol,
gara-gar aku Merdeka. Jabatan-jabatan vopot dan luput dari tanganku gara-gara
aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun
juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi.
Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku
mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi
Merdeka!”
“Goblok!” teriak Bapak Merdeka sambil menampar
anaknya.
Merdeka terkesima. Ia melotot memandangi Bapaknya. Ia
belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok
dan ditampar.
Sebaliknya bapak Merdeka juga tidak takut. Ia mendekat
dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.
“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas
menggebu-gebu, “Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira
merdeka itu bebas dari segala kesialan. Apa kamu kira Merdeka itu berarti kamu
mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu memang goblok! Merdeka itu adalah beban.
Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka
adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka artinya kamu jalan
sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka.
Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk
itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga
karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu
masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan
kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi
robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau
kamu mau berhenti jadi merdeka. Merdeka. Mengerti? Mengerti?
Merdeka bingung.
“Mengerti?”
“Tidak!”
”Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu
ini merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Jadi tetaplah merdeka. Sekali
merdeka tetap merdeka. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti merdeka,
Merdeka. Jangan menyerah. Tetaplah merdeka! Teruskan.......hhhhhhhhh!!!”
Orang tua itu tercekik. Merdeka
kebingungan..........................[Putu Wijaya]
0000........oooo00000oooo000000TTTTHHHHHOOOOOoooooooo000000ooooc
Sekian, selesai @Sekuduk, 29-6-2019, 01.13
Salam
takzim, anassekuduk.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar