Minggu, 30 Juni 2019

BAHAS BUKU: SASTRAWAN BICARA, SISWA BERTANYA 2004


SASTRAWAN BICARA, SISWA BERTANYA 2004

A.       INTRO>>>>>
Sedikit bernostalgia, mundur ke tahun 2004, kalau tidak salah saat itu aku masih duduk di kelas 2 MAS. MBI Sambas. Tercatat di buku ini tanggal 10-8-2004, Selasa. Saat itu aku ditugaskan bersama 2 teman lainnya untuk menjadi MC pada perhelatan acara “SASTRAWAN BICARA, SISWA BERTANYA 2004” ini. Seingatku, waktu itu yang ditugaskan menjadi MC bahasa Inggris adalah kakak kelasku; Wedi Kusnandar, MC bahasa Indonesia: Siti Fatimah dan diriku sendiri MC bahasa Arab. [Maaf buat kawan-kawan jika salah tulis dan salah ingat, anassekuduk :D ]. Satu kebahagiaan tak terkira dan kebanggaan tersendiri bagiku sebagai anak kampung, dapat menyaksikan para sastrawan yang datang dari jauh, dan membacakan sendiri karyanya di depan mata ini. Rasa bahagia juga karena semua tamu undangan _sastrawan yang datang_ sudi menandatangani buku milikku, yang memang dibagikan pada kesempatan hari itu.
Hal serupa juga tak dapat digambarkan bahagianya ketika Allah Swt mempertemukanku dengan seorang penulis, yang bukunya pernah kumiliki dan sempat membuatku berharap bisa bersua penulisnya. Sekitar 2 tahunan berlalu, dan ternyata di sebuah pelatihan di Pontianak, tak dinyana, sang penulis hadir di depan mata. Beliau ialah Solikhin Abu Izzudin. Bukunya yang telah secara sadar atau tak sadar membuatku ingin bertemu beliau, dan ternyata ini terekam menjadi semacam doa yang tak kulisankan. Buku dimaksud berjudul “Zero to Hero”.
 Adapun, pada pelatihan di Pontianak tersebut, ketika disebutkan bahwa kami akan kedatangan tamu istimewa _kebanyakan peserta kukira juga tidak tahu siapa tamu yang dimaksud_, nama beliau disebutkan. Sejenak aku mengingat-ingat sepertinya namanya tidak asing. Lalu, tak dinyana, berjalan dari belakang, arah pintu masuk Kantor Pusat PLN _tempat perhelatan pelatihan pada hari itu_ tepat di sampingku (kebetulan aku duduk di sebelah samping paling kanan), berjalan beliau: “The Author of Zero to Hero!!”  Aku nekad dan bertekad, aku harus menyapanya, meminta tanda tangannya di bukuku (waktu itu, untuk mencari cara agar bisa mendekati beliau, maka aku pun merogoh saku sekitar gocap, membeli buku beliau yang dijual pada saat itu yang berjudul “Way to Win”), ber-wefie, dan paling penting bersalaman dan mohon berkah ilmunya. Dalam kesempatan itu, aku sempat berkata kepada Pak Solikh, “Pak, mohon izin dan doa, semoga berkah atas ilmunya,’ begitulah kira-kira. Setelah itu, wefie dan jabat tangan serah terima pun tersampaikan. Alhamdulillah harapan kesampaian, biidznillah.
hadza min fadli Rabii....dapet cas spirit sang Author: Pak Sholikhn Abu Izzudin 😎

beli bukunya...dapetin (foto barang) orangnya 😁😁😁

kok aku jadi deg-degan ya......apa ini yang namanya "(m)inta"?? Minta signature maksudnya :D
Kembali ke 2004.....Tak hanya itu, salah satu dari narsum bahkan menyempatkan diri untuk sekadar menyapa dan berbincang sejenak. Seingatku waktu itu mas Cecep Syamsul Hari bahkan sempat bertanya, “nanti dek Nasrullah mau melanjutkan kemana?” rasa-rasanya seingatku aku pun menjawab, “mau ke Al-Azhar”, entah apa dasarnya jawaban nyeleneh ini kuutarakan, setengah sadar mungkin karena grogi menghadapi orang kesohor, hehe. Sehingga terekam di halaman 35 buku SBSB 2004 ini tanda tangan mendampingi beliau. Selain itu juga ada Mas Moh. Wan Anwar, yang di antara karyanya di buku ini: Karang Hantu dan Tangisan Cinta. Mas Joni Ariadinata yang sempat membacakan pusi dengan gaya yang unik dan nyentrik. Samar teringat bagaimana melakonkan menjadi seorang wanita dalam salah satu bagian puisi yang dibacakannya dengan menggnakan syal yang di”salah gunakan” menjadi selendang. Di bagian moderator komando dipegang Mas Iman No War _aku kurang pasti nama asli beliau karena memang sudah lama, dan begitulah adanya beliau memperkenalkan diri melalui nama yang ditulis dan ditandatanganinya dalam buku yang kini masih kusimpan sebagai bahan bacaan sekaligus perekam kenangan. Anassekuduk...





B.      THE CONTENT>>>>>>>>
Berikut akan kutuliskan beberapa karya, yang bagiku pada saat itu baru dikenalkan dengan dunia puisi dan kepenulisan, seni dan  sastra _cukup membekas dan menarik_. Berkesan dan bermakna sungguh acara hari itu, karena mendapat suguhan materi dan isi secara langsung dari beberapa insan pegiat seni sastra yang bertandang ke madrasah kami, MAS MBI Sambas.

à  PELAJARAN TATABAHASA DAN MENGARANG [Taufiq Ismail]
“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan

“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”

Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban

“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”

“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengar ‘kan
Apa komentar kamu tentang karya tadi?”

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik boleh asal
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung ding dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asal boleh.”

“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”

Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah baca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.” 
                                                            1997


à  SAJAK ANAK MUDA SERBA SEBELAH [Taufiq Ismail]

Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Dikirim balik dan jatuh di kuping kiri lagi
Si Toni dipotong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni dicabut satu matanya yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa dengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni ingin bekerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan setir kanan semua

Hai tunggu dulu, Toni ini anak saya kah?
Atau anak saudara kah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda.
1997
à  SAJAK SEONGGOK JAGUNG [W.S. Rendra]

Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda
Yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,
Sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
Dan suatu hari subuh,
Para wanita dengan gendongan
Pergi ke pasar....
Dan ia juga melihat
Suatu pagi hari
Di dekat sumur
Gadis-gadis bercanda
Sambil menumbuk jagung
Menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
Tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
Tercium bau kuwe jagung.

Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
Otak dan tangan
Siap bekerja.

Tetapi hari ini:

Seonggok jagung di kamar
Dan seorang pemuda tamat SLTA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di blaik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
Tidak menyangkut pada akal,
Tidak akan menolongnya,
Seonggok jagung di kamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
Dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
Tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar fisika, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”

à  SAJAK PALSU [Agus R. Sarjono]

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.
Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu dan memnuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, ilmuwan atau seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong dengan kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadian palsu, tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.
Maka uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintah palsu ke dalam nasib buruk palsu.
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demikrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.
1998
à  KENANG-KENANGAN [Cecep Syamsul Hari]

Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau dongeng, atau masa silam. Tetapi cinta,
bukan senotol coca-cola. Atau film Disney;
di sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim.

Sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku
pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau
mesra sekali. Kini, bahkan wajahmu samar kuingat kembali.
Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekotak popok kertas. Atau sayap
sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar. Cinta,
barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu.                 
1994
à  TANGISAN CINTA (FOTO H. 40)


à  KALI MATI
.........hingga siang orang-orang
Menemukannya terkapar di sisi Husni.
Mengendus-endus. Kesedihan mengelam
Panjang rintihan mabuk tersengal. Merangkul mimpi,
Seorang bidadari
Hingga malaikat-malaikat berjejer
Memadati rel, turun berbondong dari kota,
Dari rumah, dari kantor-kantor, dari mobil,
Wajah-Wajah memekik dan mengutuk, lantas
Melemparinya dengan batu: “Najis!”
Joni Ariadinata


Nukilan “Kali Mati”....Joni Ariadinata

MERDEKA
.........
.......Mata orang tua itu sekarang terbuka.
“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka”?
“Ya.”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Ya! Kenapa?” bentak orang tuanya.
            Merdeka tertegun. Waktu kecil ia tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang ia sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.
“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.
Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.
“Tidak!”
“Kenapa tidak!”
“Pokoknya tidak!”
“Ya.”
“Tidak!”
“Yaaaaa!”
“Tidakkkkkk!”
“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang kulakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gar aku Merdeka. Jabatan-jabatan vopot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”
“Goblok!” teriak Bapak Merdeka sambil menampar anaknya.
Merdeka terkesima. Ia melotot memandangi Bapaknya. Ia belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.
Sebaliknya bapak Merdeka juga tidak takut. Ia mendekat dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.
“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas menggebu-gebu, “Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira merdeka itu bebas dari segala kesialan. Apa kamu kira Merdeka itu berarti kamu mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu memang goblok! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka artinya kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau kamu mau berhenti jadi merdeka. Merdeka. Mengerti? Mengerti?
Merdeka bingung.
“Mengerti?”
“Tidak!”
”Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu ini merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Jadi tetaplah merdeka. Sekali merdeka tetap merdeka. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti merdeka, Merdeka. Jangan menyerah. Tetaplah merdeka! Teruskan.......hhhhhhhhh!!!”
Orang tua itu tercekik. Merdeka kebingungan..........................[Putu Wijaya]

0000........oooo00000oooo000000TTTTHHHHHOOOOOoooooooo000000ooooc
Sekian, selesai @Sekuduk, 29-6-2019, 01.13
Salam takzim, anassekuduk.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...