Rabu, 24 Juni 2020

Yang Berkesan dari Kata Pengantar "Tasauf Moderen" Buya HAMKA


......ketika membolak-balik halaman ke halaman buku “Tasauf Moderen” karangan Buya HAMKA, entah kenapa bagian kata pengantar ini berhasil menarik perhatianku untuk beberapa kali membacanya..berikut kutipan yang berhasil menarik minat kami. Ansskd.
.........................000000000000.....................000000000000000000...........

Pendahuluan Cetakan ke I
Kita bersyukur sebab telah dapat meladeni pembaca, telah dapat menunaikan kewajiban kepada sesama seagama, sesama manusia. Dan di sini ada suatu rahasia yang tidak dapat ditutup, yaitu karangan “Tasauf Moderen” itu bukan ciptaan otak kita, bukan dari filsafat diri kita yang masih muda dan masih sedikit pengetahuan, hanyalah kita tilik dari buku-buku karangan ahli-ahli filsafat dan tasauf Islam dibandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dilihat pula karangan-karangan filsafat Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, diambil dari sana sedikit dan di sini sedikit pula, lalu dipertautkan dengan fikiran, pengalaman dan penderitaan sendiri.
Sebab itu tidak suni-suninya dari hadapan kita seketika menulis itu, kitab-kitab Ihya Ulumuddin, Arba’in fi Ushuluddin, Bidayah Alhidayah, Minhajul Abidin, karangan Ghazali Mau’izhatul Mu’minin Ringkasan Ihya oleh Jamaluddin Ad-Dimasyqy, Tahdzibul Akhlak oleh Ibnu Maskawaih, beberapa Risalah dari Ibnu Sina, Tafsir Mohammad Abduh, Raddu’alad Dahriyin oleh Jamaluddin Al-Afghany, Al-Khuluqul Kamil oleh Muhammad Jadil Maula, Hayatu Muhammad dan Fi Manzilil Wahyi oleh Dr. Husain Haikal, kumpulan majalah Al-Hilal, kumpulan majalah “Al-Azhar” Abadud Dun-ya Wad Din oleh Al-Mawardi, Thaharatul Qulub oleh Ad-Darini As-Shufi, Riyadhus Shalihin oleh An-Nawawi dan lain-lain.
Kita pertautkan di sana dan di sini, kita rekat dengan pikiran sendiri, kita kumpulkan kata si anu dan si fulan, lalu kita namai dia karangan kita; laksana perkataan Imam Fakhruddin Al-Razi yang masyhur:
وَلَمْ نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُوْلَ عُمْرِنَا * سِوَى أَنْ جَمَعْنَا فِيْهِ قِيْلَ وَقَالُوا
“Tidaklah ada yang kita perdapat selama umur kita ini, selain dari mengumpulkan kata si fulan dan kata si anu.”
Kalau mengumpulkan dan mempertautkan sudah boleh dinamai karangan, kalau memasukkan fikiran dan penderitaan sendiri itu barang sedikit sudah bernama gubahan, maka bolehlah pembaca sebut “Tasauf Moderen” ini gubahan atau karangan  kita.
Jika menyusun buku ini sudah boleh disebut berharga, maka masih banyak lagi rahasia Islam yang patut diketengahkan, dibahasakitakan, supaya yang tak sanggup mengetahui bahasa Arab mengetahui pula akan rahasia agamanya. Jadi masih kecil sekali harganya pekerjaan ini.
............................................oo......................................oo..........................................


Pendahuluan Pengarang untuk Cetakan ke XII
Kisah “Tasauf Moderen” dengan Pengarangnya
SEBELUM dijadikan buku “Tasauf Moderen” adalah menjadi salah satu rubrik dalam majalah yang saya pimpin di Medan: “Pedoman Masyarakat”.
Karena banyak permintaan pembaca, kemudian dijadikan buku dan keluarlah cetakan pertama pada bulan Agustus 1939.
Tiga puluh tahun yang lalu.
Banyak saya menerima sambutan atas buku ini dari sahabat-sahabat karib saya. Ada yang masih hidup dan ada yang sudah meninggal. Seorang dokter sahabat saya, sesudah Perang Dunia II ini juga, pernah menasihatkan kepada pasien yang tengah dirawatnya agar membaca “Tasauf Moderen”, guna menenteramkan jiwanya dan melekaskan sembuhnya. Beberapa orang suami-istri yang berbahagia mengatakan bahwa “Tasauf Moderen” adalah sebagai patri dari kehidupan bahagia mereka. Ada yang mengatakan bahwa setiap keluar cetakan baru terus dia beli. Sebab buku yang ada padanya kerapkali dipinjam kawan dan tidak dikembalikan lagi.
Akhirnya pengarangnya sendiri pun terlepas dari bahaya besar yaitu bahaya kekal dalam neraka Jahannam sesudah hancur nama sendiri dan nama keturunan karena pertolongan “Tasauf Moderen”!
Pada hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 kira-kira pukul 11 siang, saya dijemput ke rumah saya, ditangkap dan ditahan. Mulanya saya dibawa ke Sukabumi.
Diadakan pemeriksaan yang tidak berhenti-henti, siang malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika akan makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah, 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya masih bersalah. Meskipun kesalahan itu tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah jangan diharap akan boleh tidur.
Tidur pun diganggu.
Kita pasti tidak bersalah. Di sana mengatakan kita mesti bersalah. Kita mengatakan tidak. Di sana mengatakan ya! Sedang di tangan mereka ada pistol.
Satu kali pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.
“Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia.”
Kelam pandangan saya mendengar ucapan itu. Berat!
Ayah saya adalah seorang Alim Besar. Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab saya anak seorang alim! Sebab itu maka ucapan terhadap diri saya di waktu adalah ucapan kasih.
Pada usia 16 tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat, gelar pusaka saya ialah Datuk Indomo.
Sebab itu sejak usia 12 tahun saya pun dihormati secara adat. Lantaran itu sangat jaranglah orang mengucapkan kata-kata kasar di hadapan saya.
Kemudian saya pun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam Muhammadiyah dan lain-lain. Pada tahun 1959 Al-Azhar University memberi saya gelar Doctor Honoris Causa, karena saya dianggap salah seorang Ulama Terbesar di Indonesia.
Sekarang terdengar saja ucapan:
 “Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia.”
Gemetar tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata itu saya pandangi, dan pistol ada di pinggangnya.
Memang kemarahan saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat kabar, “Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!”
Syukur Alhamdulillah kemarahan itu dapat saya tahan, dan saya insaf dengan siapa saya berhadapan. Saya yang tadinya sudah hendak berdiri terduduk kembali dan meloncatlah tangis saya sambil meratap:
“Janganlah saya disiksa seperti itu. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulangi lagi!”
“Memang saudara pengkhianat!” katanya lagi dan dia pun pergi sambil menghempaskan pintu. Remuk hati rasanya.
Mengertilah saya sejak itu mengapa segala barang tajam wajib dijauhkan dari tahanan yang sedang diperiksa. Di saat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri, datanglah tetamu yang tidak diundang dan memang selalu datang kepada manusia di saat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau silet. Kalau pisau kecil itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita.
Hampir 1 jam lamanya terjadi perang hebat dalam bathin saya, di antara perdayaan Iblis dengan Iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah.
Tetapi Alhamdulillah: Iman saya menang.
Saya berkata kepada diriku:
“Kalau engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan bathin ini, mereka yang menganiaya itu niscaya akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak berpuluh tahun.
Dan ada orang yang berkata: Dengan bukunya “Tasauf Moderen” dia menyeru orang agar sabar, tabah dan teguh hati bila menderita satu percubaan Tuhan. Orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk syurga karena bimbingannya, dan dia di akhir hayatnya memilih masuk neraka.”
Jangankan orang lain, bahkan anak-anak kandungmu sendiri akan menderita malu dan menyumpah kepada engkau.
Syukur Alhamdulillah, perdayaan setan itu kalah dan dia pun mundur. Saya menang! Saya menang!
Klimaks itu telah terlepas.
Setelah selesai pemeriksaan yang kejam seram itu, mulailah dilakukan tahanan berlarut-larut. Akhirnya dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta, karena sakit. Maka segeralah saya minta kepada anak-anak saya yang selalu melihat saya (bezoek) agar dibawakan “Tasauf Moderen”.
Saya baca kembali di samping membaca Al-Qur’an.
Pernah seorang teman yang datang mendapati saya sedang membaca “Tasauf Moderen”. Lalu dia berkata: “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!”
“Memang!” jawab saya: “Hamka sedang memberikan nasehat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberikan nasehat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini. Sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku “Tasauf Moderen” ini!”
Teringatlah saya kepada peristiwa-peristiwa yang muram itu seketika Sdr. H. A. Malik Ismail datang meminta persetujuan saya akan menerbitkannya kembali, sebagai cetakan ke XII.
Moga-mogalah kiranya buku ini memberi faedah bagi pembacanya, terlebih lagi bagi pengarangnya.
Pengarang
Kebayoran Baru, Januari 1970

Walhamdulillah, sekian, salam takzim, anassekuduk.
Selesai 11.24 Wib, 24 Juni 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...