......ketika membolak-balik
halaman ke halaman buku “Tasauf Moderen” karangan Buya HAMKA, entah kenapa bagian
kata pengantar ini berhasil menarik perhatianku untuk beberapa kali
membacanya..berikut kutipan yang berhasil menarik minat kami. Ansskd.
.........................000000000000.....................000000000000000000...........
Pendahuluan
Cetakan ke I
Kita
bersyukur sebab telah dapat meladeni pembaca, telah dapat menunaikan kewajiban kepada
sesama seagama, sesama manusia. Dan di sini ada suatu rahasia yang tidak dapat
ditutup, yaitu karangan “Tasauf Moderen” itu bukan ciptaan otak kita, bukan
dari filsafat diri kita yang masih muda dan masih sedikit pengetahuan, hanyalah
kita tilik dari buku-buku karangan ahli-ahli filsafat dan tasauf Islam
dibandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dilihat pula karangan-karangan
filsafat Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, diambil dari sana
sedikit dan di sini sedikit pula, lalu dipertautkan dengan fikiran, pengalaman
dan penderitaan sendiri.
Sebab itu
tidak suni-suninya dari hadapan kita seketika menulis itu, kitab-kitab Ihya
Ulumuddin, Arba’in fi Ushuluddin, Bidayah Alhidayah, Minhajul Abidin, karangan
Ghazali Mau’izhatul Mu’minin Ringkasan Ihya oleh Jamaluddin Ad-Dimasyqy,
Tahdzibul Akhlak oleh Ibnu Maskawaih, beberapa Risalah dari Ibnu Sina, Tafsir
Mohammad Abduh, Raddu’alad Dahriyin oleh Jamaluddin Al-Afghany, Al-Khuluqul
Kamil oleh Muhammad Jadil Maula, Hayatu Muhammad dan Fi Manzilil Wahyi oleh Dr.
Husain Haikal, kumpulan majalah Al-Hilal, kumpulan majalah “Al-Azhar” Abadud
Dun-ya Wad Din oleh Al-Mawardi, Thaharatul Qulub oleh Ad-Darini As-Shufi,
Riyadhus Shalihin oleh An-Nawawi dan lain-lain.
Kita
pertautkan di sana dan di sini, kita rekat dengan pikiran sendiri, kita
kumpulkan kata si anu dan si fulan, lalu kita namai dia karangan kita; laksana
perkataan Imam Fakhruddin Al-Razi yang masyhur:
وَلَمْ نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُوْلَ عُمْرِنَا *
سِوَى أَنْ جَمَعْنَا فِيْهِ قِيْلَ وَقَالُوا
“Tidaklah ada yang kita perdapat
selama umur kita ini, selain dari mengumpulkan kata si fulan dan kata si anu.”
Kalau
mengumpulkan dan mempertautkan sudah boleh dinamai karangan, kalau memasukkan
fikiran dan penderitaan sendiri itu barang sedikit sudah bernama gubahan, maka
bolehlah pembaca sebut “Tasauf Moderen” ini gubahan atau karangan kita.
Jika
menyusun buku ini sudah boleh disebut berharga, maka masih banyak lagi rahasia
Islam yang patut diketengahkan, dibahasakitakan, supaya yang tak sanggup
mengetahui bahasa Arab mengetahui pula akan rahasia agamanya. Jadi masih kecil
sekali harganya pekerjaan ini.
............................................oo......................................oo..........................................
Pendahuluan
Pengarang untuk Cetakan ke XII
Kisah “Tasauf Moderen” dengan
Pengarangnya
SEBELUM
dijadikan buku “Tasauf Moderen” adalah menjadi salah satu rubrik dalam majalah
yang saya pimpin di Medan: “Pedoman Masyarakat”.
Karena
banyak permintaan pembaca, kemudian dijadikan buku dan keluarlah cetakan
pertama pada bulan Agustus 1939.
Tiga puluh tahun yang lalu.
Banyak saya menerima sambutan atas buku ini dari
sahabat-sahabat karib saya. Ada yang masih hidup dan ada yang sudah meninggal.
Seorang dokter sahabat saya, sesudah Perang Dunia II ini juga, pernah
menasihatkan kepada pasien yang tengah dirawatnya agar membaca “Tasauf
Moderen”, guna menenteramkan jiwanya dan melekaskan sembuhnya. Beberapa orang
suami-istri yang berbahagia mengatakan bahwa “Tasauf Moderen” adalah sebagai
patri dari kehidupan bahagia mereka. Ada yang mengatakan bahwa setiap keluar
cetakan baru terus dia beli. Sebab buku yang ada padanya kerapkali dipinjam
kawan dan tidak dikembalikan lagi.
Akhirnya
pengarangnya sendiri pun terlepas dari bahaya besar yaitu bahaya kekal dalam
neraka Jahannam sesudah hancur nama sendiri dan nama keturunan karena
pertolongan “Tasauf Moderen”!
Pada hari
Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan
dengan 27 Januari 1964 kira-kira pukul 11 siang, saya dijemput ke rumah saya,
ditangkap dan ditahan. Mulanya saya dibawa ke Sukabumi.
Diadakan
pemeriksaan yang tidak berhenti-henti, siang malam, petang pagi. Istirahat
hanya ketika akan makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah, 1001 yang
ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana
sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya masih bersalah. Meskipun kesalahan itu
tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah jangan
diharap akan boleh tidur.
Tidur pun
diganggu.
Kita pasti
tidak bersalah. Di sana mengatakan kita mesti bersalah. Kita mengatakan tidak.
Di sana mengatakan ya! Sedang di tangan mereka ada pistol.
Satu kali
pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.
“Saudara
pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia.”
Kelam
pandangan saya mendengar ucapan itu. Berat!
Ayah saya
adalah seorang Alim Besar. Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab
saya anak seorang alim! Sebab itu maka ucapan terhadap diri saya di waktu
adalah ucapan kasih.
Pada usia
16 tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat, gelar pusaka saya ialah
Datuk Indomo.
Sebab itu
sejak usia 12 tahun saya pun dihormati secara adat. Lantaran itu sangat
jaranglah orang mengucapkan kata-kata kasar di hadapan saya.
Kemudian
saya pun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan
masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi
pergerakan Islam Muhammadiyah dan lain-lain. Pada tahun 1959 Al-Azhar
University memberi saya gelar Doctor Honoris Causa, karena saya dianggap salah
seorang Ulama Terbesar di Indonesia.
Sekarang
terdengar saja ucapan:
“Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada
Malaysia.”
Gemetar
tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata
itu saya pandangi, dan pistol ada di pinggangnya.
Memang kemarahan
saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan
menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan
besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat kabar, “Hamka lari dari
tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!”
Syukur
Alhamdulillah kemarahan itu dapat saya tahan, dan saya insaf dengan siapa saya
berhadapan. Saya yang tadinya sudah hendak berdiri terduduk kembali dan
meloncatlah tangis saya sambil meratap:
“Janganlah
saya disiksa seperti itu. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya,
akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulangi
lagi!”
“Memang
saudara pengkhianat!” katanya lagi dan dia pun pergi sambil menghempaskan
pintu. Remuk hati rasanya.
Mengertilah
saya sejak itu mengapa segala barang tajam wajib dijauhkan dari tahanan yang
sedang diperiksa. Di saat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri,
datanglah tetamu yang tidak diundang dan memang selalu datang kepada manusia di
saat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam
hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau
silet. Kalau pisau kecil itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita
sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita.
Hampir 1
jam lamanya terjadi perang hebat dalam bathin saya, di antara perdayaan Iblis
dengan Iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah
membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah.
Tetapi
Alhamdulillah: Iman saya menang.
Saya
berkata kepada diriku:
“Kalau
engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan bathin ini,
mereka yang menganiaya itu niscaya akan menyusun pula berita indah mengenai
kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah
polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang
telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak
berpuluh tahun.
Dan ada
orang yang berkata: Dengan bukunya “Tasauf Moderen” dia menyeru orang agar
sabar, tabah dan teguh hati bila menderita satu percubaan Tuhan. Orang yang
membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri
memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk syurga karena bimbingannya, dan
dia di akhir hayatnya memilih masuk neraka.”
Jangankan
orang lain, bahkan anak-anak kandungmu sendiri akan menderita malu dan
menyumpah kepada engkau.
Syukur
Alhamdulillah, perdayaan setan itu kalah dan dia pun mundur. Saya menang! Saya
menang!
Klimaks itu
telah terlepas.
Setelah
selesai pemeriksaan yang kejam seram itu, mulailah dilakukan tahanan
berlarut-larut. Akhirnya dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun
Jakarta, karena sakit. Maka segeralah saya minta kepada anak-anak saya yang
selalu melihat saya (bezoek) agar dibawakan “Tasauf Moderen”.
Saya baca
kembali di samping membaca Al-Qur’an.
Pernah
seorang teman yang datang mendapati saya sedang membaca “Tasauf Moderen”. Lalu
dia berkata: “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!”
“Memang!”
jawab saya: “Hamka sedang memberikan nasehat kepada dirinya sendiri sesudah
selalu memberikan nasehat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa
dengan buku ini. Sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka
mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku “Tasauf Moderen” ini!”
Teringatlah
saya kepada peristiwa-peristiwa yang muram itu seketika Sdr. H. A. Malik Ismail
datang meminta persetujuan saya akan menerbitkannya kembali, sebagai cetakan ke
XII.
Moga-mogalah
kiranya buku ini memberi faedah bagi pembacanya, terlebih lagi bagi
pengarangnya.
Pengarang
Kebayoran
Baru, Januari 1970
Walhamdulillah,
sekian, salam takzim, anassekuduk.
Selesai
11.24 Wib, 24 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar