Senin, 15 Juni 2020

GHIBAH (Definisi, Penyebab dan Pengobatannya, Toleransi Pembicaraan tentang Orang Lain, dan Tebusan Perbuatan Tersebut])


GHIBAH  

Sebagai makhluk sosial, tentulah segala bentuk interaksi dan komunikasi sangat perlu untuk dijalin dalam rangka mempererat silaturahmi. Di masa kini, silaturahmi tak hanya terbatas pada pertemuan secara fisik dengan berkunjung ke tempat satu orang ke orang lainnya, akan tetapi lebih mudah lagi dengan adanya media sosial.
Berkumpul dengan teman kerabat, bercerita berkisah, berbagi pengalaman atau pengetahuan. Tak jarang dalam asyiknya perbincangan, ada saja nama atau perihal keadaan orang ketiga akan masuk dalam pembicaraan kita. Alasannya beragam, entah dari sekadar bertanya kabar, atau lain sebagainya. Namun, apakah semua pembicaraan semacam ini akan jatuh kepada ghibah yang sangat terlarang dalam Islam.? Ibnu Qudamah membahas tentang ghibah ini dalam bab yang menerangkan berbagai bencana lidah di bagian: ‘Bencana (lidah) kedelapan’. Berikut akan kita simak penjelasan yang kami kutip dari Minhajul Qashidin.
........................................................................................................................................
Al-Qur’an telah menyebut larangan ghibah ini dan menyerupakan pelakunya dengan pemakan bangkai. Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya darah, harta dam kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Abu Barzah Al-Aslami, dia berkata, “Rasulullah Saw  bersabda,
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari-cari aib dirinya, niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun dia bersembunyi di dalam rumahnya.” (HR. Abu Da wud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad dan Al-Baghawi)
Dalam hadits lain disebutkan,
“Jauhilah ghibah, karena ghibah itu lebih keras daripada zina. Sesungguhnya seseorang telah berzina dan minum (khmar), kemudian bertaubat dan Allah pun mengampuni dosanya. Sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Allah, hingga orang yang dighibahkan mengampuninya.”
Ali bin Al-Husain ra berkata, “Jauhilah ghibah, karena ghibah itu merupakan santapan manusia anjing.”
Makna Ghibah di sini ialah, engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak ada di sisimu dengan suatu perkataan yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya, baik menyangkut kekurangan pada badannya, seperti penglihatannya yang kabur, buta sebelah matanya, atau yang menyangkut nasabnya, seperti perkataanmu, “Ayahnya berasal dari rakyat jelata, ayahnya orang India, orang fasik,” dan lain-lainnya, atau yang menyangkut akhlaknya, seperti perkataanmu, “Dia akhlaknya buruk dan orangnya sombong,” atau menyangkut pakaiannya, seperti perkataanmu, “Pakaiannya longgar, lengan bajunya terlalu lebar, dan lain-lainnya.
Dalil yang menguatkan hal ini, yaitu saat Nabi Saw ditanya tentang ghibah, maka. Maka beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku memang ada seperti yang aku katakan wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Jika pada diri saudaramu itu ada seperti katamu, berarti engkau telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada yang seperti katamu, berarti engkau telah mendustakannya.” (Diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi)
Apa pun yang dimaksudkan untuk mencela, maka itu termasuk dalam ghibah, entah dengan perkataan atau lainnya, seperti kedipan mata, isyarat atau pun tulisan. .......
....Ketahuilah bahwa orang yang mendengarkan ghibah juga terlibat dalam perkara ghibah ini, dan dia tidak lepas dari dosa seperti orang yang mengghibah, kecuali jika dia mengingkarinya dengan lidahnya, atau minimal dengan lidahnya. Jika memungkinkannya memotong ghibah itu dengan mengalihkannya ke pembicaraan ke masalah lain, maka hendaklah dia melakukannya.
Nabi Saw bersabda, “Barang siapa ada orang mukmin dihinakan di sisinya dan dia sanggup membelanya namun tidak melakukannya, maka Allah Swt akan menghinakannya di hadapan banyak orang” (HR. Ahmad)
Beliau juga bersabda, “Barang siapa membela seorang muslim dari orang munafik yang menggunjingnya, maka Allah mengutus seorang malaikat yang menjaga dagingnya dari sengatan neraka Jahannam pada Hari Kiamat.” (Diriwayatakan Abu Dawud, Ahmad, Al-Baghawi dan Ibnul Mubarak)
Suatu kali Umar bin Utbah melihat pembantunya sedang bercengkerama bersama orang lain yang menggunjing seseorang. Maka dia berkata, “Celaka kamu, jaga telingamu dan jangan dengarkan perkataan yang kotor, dan jaga juga dirimu untuk tidak berkata kotor, karena orang yang mendengar merupakan sekutu orang yang berbicara. Dia melihat sesuatu yang kurang berkenan di dalam bejananya, lalu dia pun menuangkannya ke dalam bejanamu.”
Sebab-sebab yang Mendorong Ghibah dan Cara Mengobatinya
Di antara sebab yang mendorong seseorang melakukan (atau terlibat) ghibah banyak sekali, di antaranya:
1.        Hendak mencairkan amarah. Karena ada seseorang berbuat sesuatu kepada dirinya yang membuatnya marah. Maka untuk mencairkan amarahnya, dia pun menggunjing orang tersebut.
2.      Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka. Jika mereka mengusik kehormatan seseorang, lalu dia mengingkari perbuatan mereka lalu memotong perkataan mereka, tentu mereka tidak mau menerimanya dan akan menghindarinya. Karena itu dia perlu ikut-ikutan dalam perbuatan mereka dan membantu mereka, demi menjaga hubungan baik dengan mereka.
3.     Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Dia berkata, “Fulan itu orang bodoh, pemahamannya dangkal,” atau lainnya, yang dimaksudkan untuk menguatkan posisi dan kelebihan dirinya serta memperlihatkan dirinya yang seakan-akan lebih pintar dari orang yang dimaksud. Begitu pula tindakannya yang dipicu rasa dengki, dengan memuji seseorang dan menjatuhkan saingannya.
4.      Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan seseorang dengan maksud untuk membuat orang tertawa. Bahkan banyak orang yang mencari penghidupan dengan cara ini.
Adapun cara mengobati penyakit ghibah ini ialah dengan menyadarkan orang yang menghibah, bahwa perbuatannya itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika ia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapa yang menyadari hal ini tentu lidahnya tidak akan berani mengucapkan ghibah.
Jika terlintas di pikiran untuk mengghibah, maka hendaklah dia introspeksi dengan melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk memperbaikinya. Mestinya dia merasa malu jika dia mengungkap aib orang lain, sementara dirinya sendiri penuh aib, sebagaimana dikatakan dalam syair,
‘Jika engkau cela orang yang pada dirimu ada cela itu pula
Lalu bagaimana dengan celaan orang yang lebih tercela?
Jika engkau cela seseorang yang cela itu tidak ada cela padanya
Akibatnya sangat besar di sisi Allah dan juga manusia.’

Jika dia tidak memiliki aib, maka lebih baginya mensyukuri nikmat Allah kepadanya dengan tidak mengotori diri dengan aib yang sangat buruk, yakni ghibah. Jika tidak ridha dighibah orang lain, mestinya dia juga tidak ridha mengghibah orang lain.
Hendaklah seseorang melihat sebab yang mendorongnya melakukan ghibah, lalu hendaklah ia berusaha memotong sebab tersebut. Karena cara mengobati penyakit ialah dengan memotong penyebabnya.
          Untuk mengobati keinginan menjaga pergaulan dengan teman-teman yang mengghibah, maka dia harus tahu bahwa Allah murka kepada siapa saja yang mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.

Beberapa Alasan yang Ditolerir dalam Ghibah dan Tebusan Ghibah
Beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah yang mempunyai tujuan yang benar menurut ukuran syariat, yang tujuan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan cara itu[1]. Dalam keadaan seperti ini, dosa ghibah dianggap tidak ada, di antaranya adalah:
1.        Karena adanya tindak kezhaliman. Orang yang dizhalimi boleh menyebutkan keburukan orang yang berbuat zhalim terhadap dirinya di hadapan orang lain yang bisa mengembalikan haknya.
2.      Sebagai sarana untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang zhalim kepada perdamaian.
3.     Meminta fatwa. Seperti ucapan seseorang kepada seorang mufti, “Fulan menzhalimi aku, dia mengambil hakku. Lalu bagaimana jalan keluar yang bisa dilakukan?” Dia boleh menyebut nama seseorang dan tindakannya secara langsung. Tetapi ada baiknya menyampaikannya secara nyata, tidak langsung, seperti berkata, “Apa pendapat Tuan tentang seseorang yang menzhalimi ayahnya tau saudaranya?”
Dalil tentang diperbolehkannya menyebutkannya secara langsung adalah hadits Hindun tatkala berkata di hadapan Nabi Saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir.” Sementara beliau tidak mengingkari tindakan Hindun ini.
4.      Memperingatkan orang-orang muslim, seperti menyebutkan seorang ahli fiqih yang suka menemui ahli bid’ah atau orang fasik, yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Dalam keadaan seperti ini engkau boleh menyebutkan keadaannya. Begitu pula jika engkau mempunyai seorang budak yang suka mencuri atau berbuat fasik, maka engkau boleh menyebutkan sifatnya itu kepada pembeli saat engkau menjualnya. Begitu pula orang yang diminta pendapat dalam perkawinan atau tentang orang yang akan dititipi amanat, maka dia boleh menyebutkan keadaannya karena pertimbangan nasihat dan sebatas statusnya sebagai orang yang dimintai pendapat, bukan karena hendak melecehkan.
5.     Jika penuturannya bisa diketahui dengan julukan, seperti menyebut orang yang dimaksudkan dengan julukan si Pincang, si gagu atau lainnya. Dia boleh berkata seperti itu.
6.     Jika orang yang dighibah melakukan kefasikan dengan terang-terangan dan dia tidak merasa terlecehkan jika dirinya disebut-sebut. Telah diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyingkirkan selubung rasa malu, maka tidak ada salahnya mengghibahnya.”  (Diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Khatib)
Al-Hasan pernah ditanya, ‘Apakah menyebut diri seseorang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?”
Dia menjawab, “Tidak, karena dia tidak mempunyai kehormatan diri.”
Adapun tebusan ghibah disesuaikan dengan 2 pelanggaran yang dilakukan orang yang melakukan ghibah, yaitu:
1.        Pelanggaran hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang-Nya. Tebusannya ialah dengan bertaubat dan menyesali perbuatannya.
2.      Pelanggaran terhadap kehormatan makhluk. Jika ghibah sudah didengar orang yang dighibahnya, maka dia harus menemuinya, meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan di hadapan orang tersebut atas perbuatannya.
Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda,
“Siapa yang melakukan suatu kezhaliman terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya, maka hendaklah dia menemuinya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu, sebelum dia dihukum, sementara dia tidak mempunyai dirham maupun dinar. Jika dia memiliki berbagai kebaikan, maka kebaikan-kebaikannya itu akan diambil lalu diberikan kepada saudaranya itu. Jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari)
Jika ghibah belum didengar oleh orang dighibah, permohonan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut, agar dia tidak mendengar apa-apa yang belum diketahuinya, sehingga hatinya bisa menjadi lebih lapang.
Mujahid berkata, “Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu ialah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut sudah meninggal dunia.”
Demikian dijelaskan dalam Minhajul Qashidin, yang dapat pembaca simak dari halaman 208 dst.
Di sini dapat kami tambahkan kutipan dari Fiqh Sunnah jilid, Sayyid Sabiq yang sedikit menyentuh bahasan ghibah ini.
...diriwayatkan din dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّ كَفَّارَةَ الغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنْ اغْتَبْتَهُ, تَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلَنَاوَلَهُ.
“Sesungguhnya penghapus dosa menggunjing adalah memintakan ampunan kepada orang yang kamu gunjing, yaitu kamu mengucapkan doa, .......(Ya Allah, ampunilah kami dan dia).” [disebutkan Ibnu Jauzi dalam al-Maudhu’at jilid II, hlm. 307 dan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid III, hlm. 217]
Menurut pendapat yang terpilih, memintakan ampunan untuk orang yang digunjing (dighibah) dan menyebutkan kebaikan-kebaikan dapat menghapus dosa menggunjing tanpa perlu memberitahu orang yang digunjing tersebut atau meminta maaf kepadanya.
Demikian dari Fiqh Sunnah halaman 511-512.  

Sumber:
·       Minhajul Qashidin, Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet.1, xxiv+524 hlm.
·       Fiqh Sunnah Jilid 2, Sayyid Sabiq, Pena Pundi Aksara, Jakarta, Cet. III, 2011. Xxii+594 hlm.

Etika Bercanda
Di antara bencana lain yang bersumber dari lidah bisa datang dari berlebihan dalam bercanda. Bercanda yang ringan-ringan adalah diperbolehkan dan tidak larang selagi benar dan jujur. Sudah jamak diketahui bahwa Rasulullah Saw sendiri kadang bercanda dengan para sahabat. Sebut saja misalnya pernah beliau memanggil seseorang dengan memanggil, “wahai orang yang berkuping dua,” atau ketika berkata kepada seorang yang lain, “Aku akan membawamu di atas punggung anak unta” (karena hakikatnya unta dewasa yang dijadikan tunggangan itu juga adalah sama-sama anak (keturunan) unta), atau ketika berkata kepada seorang nenek tua bahwa tak ada nenek-nenek atau orang tua di surga, kamudian beliau membaca Al- Waqi’ah: 36-37.
Dalam bercanda Rasulullah Saw disepakati 3 hal:
·       Tidak berbicara kecuali yang benar.
·       Sering dilakukan terhadap wanita dan anak-anak serta orang laki-laki lemah yang membutuhkan bimbingan.
·       Dilakukan jarang-jarang. Jadi tidak boleh terus-menerus bercanda. Tentu saja ada perbedaan antara canda yang yang jarang-jarang dengan yang terus-menerus. Jika ada seseorang yang siang malam selalu bercanda, lalu berhujjah dengan apa yang dilakukan Nabi Saw yang berdiri bersama Aisyah dan membiarkannya menonton permainan orang-orang Habasyah, berarti dia telah melakukan kesalahan, karena beliau melakukan yang demikian itu sesekali saja. Terus-menerus bercanda adalah dilarang. Sebab canda bisa mengurangi karisma seseorang bahkan bisa memancing kedengkian.
 
Sekian, salam takzim, anassekuduk






[1] Ukuran syariat lain misalnya dalam hal dusta. Meskipun hukum asalnya dilarang dan berdosa, ada beberapa kondisi yang membuka keringan untuk berdusta, misalnya dalam kondisi (siasat) perang dan dusta di hadapan istri untuk menyenangkannya. Jelasnya setiap tujuan yang terpuji, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara berdusta, maka ini diperbolehkan kalau memang tujuan itu mubah, dan jika tujuan itu wajib, cara itu pun juga wajib. Namun, sedapat mungkin dusta ini harus dihindari. Dikutip dari Minhajul Qashidin, dapat disimak di 207-208.
(ingatlah, ukuran ini adalah syariat bukan hawa nafsu). Pahamilah baik-baik aturan ini. ansskd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...