GHIBAH
Sebagai makhluk sosial, tentulah segala
bentuk interaksi dan komunikasi sangat perlu untuk dijalin dalam rangka
mempererat silaturahmi. Di masa kini, silaturahmi tak hanya terbatas pada
pertemuan secara fisik dengan berkunjung ke tempat satu orang ke orang lainnya,
akan tetapi lebih mudah lagi dengan adanya media sosial.
Berkumpul dengan teman kerabat, bercerita
berkisah, berbagi pengalaman atau pengetahuan. Tak jarang dalam asyiknya
perbincangan, ada saja nama atau perihal keadaan orang ketiga akan masuk dalam
pembicaraan kita. Alasannya beragam, entah dari sekadar bertanya kabar, atau
lain sebagainya. Namun, apakah semua pembicaraan semacam ini akan jatuh kepada
ghibah yang sangat terlarang dalam Islam.? Ibnu Qudamah membahas tentang ghibah
ini dalam bab yang menerangkan berbagai bencana lidah di bagian: ‘Bencana
(lidah) kedelapan’. Berikut akan kita simak penjelasan yang kami kutip dari
Minhajul Qashidin.
........................................................................................................................................
Al-Qur’an
telah menyebut larangan ghibah ini dan menyerupakan pelakunya dengan pemakan
bangkai. Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya darah, harta dam kehormatan
kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Abu
Barzah Al-Aslami, dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda,
“Wahai
sekalian orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk ke
dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah
mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari aib saudaranya, niscaya Allah
akan mencari-cari aib dirinya, niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun
dia bersembunyi di dalam rumahnya.” (HR. Abu Da wud, Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Ahmad dan Al-Baghawi)
Dalam
hadits lain disebutkan,
“Jauhilah
ghibah, karena ghibah itu lebih keras daripada zina. Sesungguhnya seseorang
telah berzina dan minum (khmar), kemudian bertaubat dan Allah pun mengampuni
dosanya. Sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Allah,
hingga orang yang dighibahkan mengampuninya.”
Ali bin
Al-Husain ra berkata, “Jauhilah ghibah, karena ghibah itu merupakan santapan
manusia anjing.”
Makna
Ghibah di sini ialah, engkau menyebut-nyebut orang
lain yang tidak ada di sisimu dengan suatu perkataan yang membuatnya tidak suka
jika mendengarnya, baik menyangkut kekurangan pada badannya, seperti
penglihatannya yang kabur, buta sebelah matanya, atau yang menyangkut nasabnya,
seperti perkataanmu, “Ayahnya berasal dari rakyat jelata, ayahnya orang India,
orang fasik,” dan lain-lainnya, atau yang menyangkut akhlaknya, seperti
perkataanmu, “Dia akhlaknya buruk dan orangnya sombong,” atau menyangkut
pakaiannya, seperti perkataanmu, “Pakaiannya longgar, lengan bajunya terlalu
lebar, dan lain-lainnya.
Dalil yang
menguatkan hal ini, yaitu saat Nabi Saw ditanya tentang ghibah, maka. Maka
beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia
sukai.”
Orang itu
bertanya lagi, “Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku memang ada
seperti yang aku katakan wahai Rasulullah?”
Beliau
menjawab, “Jika pada diri saudaramu itu ada seperti katamu, berarti engkau
telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada yang seperti katamu, berarti
engkau telah mendustakannya.” (Diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi)
Apa pun
yang dimaksudkan untuk mencela, maka itu termasuk dalam ghibah, entah dengan
perkataan atau lainnya, seperti kedipan mata, isyarat atau pun tulisan. .......
....Ketahuilah
bahwa orang yang mendengarkan ghibah juga terlibat dalam perkara ghibah
ini, dan dia tidak lepas dari dosa seperti orang yang mengghibah, kecuali jika
dia mengingkarinya dengan lidahnya, atau minimal dengan lidahnya. Jika
memungkinkannya memotong ghibah itu dengan mengalihkannya ke pembicaraan ke
masalah lain, maka hendaklah dia melakukannya.
Nabi Saw
bersabda, “Barang siapa ada orang mukmin dihinakan di sisinya dan dia
sanggup membelanya namun tidak melakukannya, maka Allah Swt akan menghinakannya
di hadapan banyak orang” (HR. Ahmad)
Beliau
juga bersabda, “Barang siapa membela seorang muslim dari orang munafik yang
menggunjingnya, maka Allah mengutus seorang malaikat yang menjaga dagingnya
dari sengatan neraka Jahannam pada Hari Kiamat.” (Diriwayatakan Abu Dawud,
Ahmad, Al-Baghawi dan Ibnul Mubarak)
Suatu kali
Umar bin Utbah melihat pembantunya sedang bercengkerama bersama orang lain yang
menggunjing seseorang. Maka dia berkata, “Celaka kamu, jaga telingamu dan
jangan dengarkan perkataan yang kotor, dan jaga juga dirimu untuk tidak berkata
kotor, karena orang yang mendengar merupakan sekutu orang yang berbicara. Dia
melihat sesuatu yang kurang berkenan di dalam bejananya, lalu dia pun
menuangkannya ke dalam bejanamu.”
Sebab-sebab yang Mendorong Ghibah dan Cara
Mengobatinya
Di antara
sebab yang mendorong seseorang melakukan (atau terlibat) ghibah banyak sekali,
di antaranya:
1.
Hendak mencairkan amarah. Karena ada
seseorang berbuat sesuatu kepada dirinya yang membuatnya marah. Maka untuk
mencairkan amarahnya, dia pun menggunjing orang tersebut.
2.
Menyesuaikan diri dengan teman-teman,
menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka. Jika mereka mengusik
kehormatan seseorang, lalu dia mengingkari perbuatan mereka lalu memotong
perkataan mereka, tentu mereka tidak mau menerimanya dan akan menghindarinya.
Karena itu dia perlu ikut-ikutan dalam perbuatan mereka dan membantu mereka,
demi menjaga hubungan baik dengan mereka.
3.
Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara
menjelek-jelekkan orang lain. Dia berkata, “Fulan itu orang bodoh, pemahamannya
dangkal,” atau lainnya, yang dimaksudkan untuk menguatkan posisi dan kelebihan
dirinya serta memperlihatkan dirinya yang seakan-akan lebih pintar dari orang
yang dimaksud. Begitu pula tindakannya yang dipicu rasa dengki, dengan memuji
seseorang dan menjatuhkan saingannya.
4.
Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan
seseorang dengan maksud untuk membuat orang tertawa. Bahkan banyak orang yang
mencari penghidupan dengan cara ini.
Adapun
cara mengobati penyakit ghibah ini ialah dengan menyadarkan orang yang
menghibah, bahwa perbuatannya itu memancing kemurkaan Allah,
kebaikan-kebaikannya akan berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika ia
tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan
kepada dirinya. Siapa yang menyadari hal ini tentu lidahnya tidak akan berani
mengucapkan ghibah.
Jika
terlintas di pikiran untuk mengghibah, maka hendaklah dia introspeksi dengan
melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk memperbaikinya. Mestinya dia
merasa malu jika dia mengungkap aib orang lain, sementara dirinya sendiri penuh
aib, sebagaimana dikatakan dalam syair,
‘Jika engkau cela orang yang pada dirimu ada cela itu
pula
Lalu bagaimana dengan celaan orang yang lebih tercela?
Jika engkau cela seseorang yang cela itu tidak ada
cela padanya
Akibatnya sangat besar di sisi Allah dan juga
manusia.’
Jika
dia tidak memiliki aib, maka lebih baginya mensyukuri nikmat Allah kepadanya
dengan tidak mengotori diri dengan aib yang sangat buruk, yakni ghibah. Jika
tidak ridha dighibah orang lain, mestinya dia juga tidak ridha mengghibah orang
lain.
Hendaklah
seseorang melihat sebab yang mendorongnya melakukan ghibah, lalu hendaklah ia
berusaha memotong sebab tersebut. Karena cara mengobati penyakit ialah dengan
memotong penyebabnya.
Untuk mengobati keinginan menjaga pergaulan dengan
teman-teman yang mengghibah, maka dia harus tahu bahwa Allah murka
kepada siapa saja yang mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat
Allah murka.
Beberapa Alasan yang Ditolerir dalam Ghibah
dan Tebusan Ghibah
Beberapa
hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah yang
mempunyai tujuan yang benar menurut ukuran syariat, yang tujuan ini tidak bisa
tercapai kecuali dengan cara itu[1]. Dalam keadaan seperti
ini, dosa ghibah dianggap tidak ada, di antaranya adalah:
1.
Karena adanya
tindak kezhaliman. Orang yang dizhalimi boleh menyebutkan keburukan orang yang
berbuat zhalim terhadap dirinya di hadapan orang lain yang bisa mengembalikan
haknya.
2. Sebagai
sarana untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang zhalim kepada
perdamaian.
3. Meminta
fatwa.
Seperti ucapan seseorang kepada seorang mufti, “Fulan menzhalimi aku, dia
mengambil hakku. Lalu bagaimana jalan keluar yang bisa dilakukan?” Dia boleh
menyebut nama seseorang dan tindakannya secara langsung. Tetapi ada baiknya
menyampaikannya secara nyata, tidak langsung, seperti berkata, “Apa pendapat
Tuan tentang seseorang yang menzhalimi ayahnya tau saudaranya?”
Dalil
tentang diperbolehkannya menyebutkannya secara langsung adalah hadits Hindun
tatkala berkata di hadapan Nabi Saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang
yang kikir.” Sementara beliau tidak mengingkari tindakan Hindun ini.
4. Memperingatkan
orang-orang muslim, seperti menyebutkan seorang ahli fiqih yang suka menemui
ahli bid’ah atau orang fasik, yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif
yang lebih luas. Dalam keadaan seperti ini engkau boleh menyebutkan keadaannya.
Begitu pula jika engkau mempunyai seorang budak yang suka mencuri atau berbuat
fasik, maka engkau boleh menyebutkan sifatnya itu kepada pembeli saat engkau
menjualnya. Begitu pula orang yang diminta pendapat dalam perkawinan atau
tentang orang yang akan dititipi amanat, maka dia boleh menyebutkan keadaannya
karena pertimbangan nasihat dan sebatas statusnya sebagai orang yang dimintai
pendapat, bukan karena hendak melecehkan.
5. Jika
penuturannya bisa diketahui dengan julukan, seperti menyebut orang yang
dimaksudkan dengan julukan si Pincang, si gagu atau lainnya. Dia boleh berkata
seperti itu.
6. Jika orang
yang dighibah melakukan kefasikan dengan terang-terangan dan dia tidak merasa
terlecehkan jika dirinya disebut-sebut. Telah diriwayatkan dari Nabi Saw,
beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyingkirkan selubung rasa malu, maka
tidak ada salahnya mengghibahnya.” (Diriwayatkan
Al-Baihaqi dan Al-Khatib)
Al-Hasan
pernah ditanya, ‘Apakah menyebut diri seseorang yang melakukan kekejian secara
terang-terangan disebut ghibah?”
Dia
menjawab,
“Tidak, karena dia tidak mempunyai kehormatan diri.”
Adapun
tebusan ghibah disesuaikan dengan 2 pelanggaran yang dilakukan orang yang
melakukan ghibah, yaitu:
1.
Pelanggaran hak
Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang-Nya. Tebusannya ialah dengan
bertaubat dan menyesali perbuatannya.
2.
Pelanggaran
terhadap kehormatan makhluk. Jika ghibah sudah didengar orang yang dighibahnya,
maka dia harus menemuinya, meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan
di hadapan orang tersebut atas perbuatannya.
Abu
Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda,
“Siapa
yang melakukan suatu kezhaliman terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya,
maka hendaklah dia menemuinya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu,
sebelum dia dihukum, sementara dia tidak mempunyai dirham maupun dinar. Jika
dia memiliki berbagai kebaikan, maka kebaikan-kebaikannya itu akan diambil lalu
diberikan kepada saudaranya itu. Jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan
saudaranya itu diambil dan diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan
Al-Bukhari)
Jika
ghibah belum didengar oleh orang dighibah, permohonan maaf cukup dengan
memohonkan ampunan bagi orang tersebut, agar dia tidak mendengar apa-apa yang
belum diketahuinya, sehingga hatinya bisa menjadi lebih lapang.
Mujahid
berkata, “Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu ialah dengan cara
memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut
sudah meninggal dunia.”
Demikian
dijelaskan dalam Minhajul Qashidin, yang dapat pembaca simak dari halaman 208
dst.
Di sini dapat kami
tambahkan kutipan dari Fiqh Sunnah jilid, Sayyid Sabiq yang sedikit menyentuh
bahasan ghibah ini.
...diriwayatkan
din dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّ كَفَّارَةَ الغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنْ اغْتَبْتَهُ,
تَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلَنَاوَلَهُ.
“Sesungguhnya penghapus dosa menggunjing
adalah memintakan ampunan kepada orang yang kamu gunjing, yaitu kamu
mengucapkan doa, .......(Ya Allah, ampunilah kami dan dia).” [disebutkan
Ibnu Jauzi dalam al-Maudhu’at jilid II, hlm. 307
dan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid III, hlm. 217]
Menurut
pendapat yang terpilih, memintakan ampunan untuk orang yang digunjing
(dighibah) dan menyebutkan kebaikan-kebaikan dapat menghapus dosa menggunjing
tanpa perlu memberitahu orang yang digunjing tersebut atau meminta maaf
kepadanya.
Demikian dari Fiqh
Sunnah halaman 511-512.
Sumber:
·
Minhajul
Qashidin, Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet.1, xxiv+524 hlm.
·
Fiqh Sunnah Jilid 2, Sayyid Sabiq, Pena Pundi Aksara, Jakarta, Cet.
III, 2011. Xxii+594 hlm.
Etika Bercanda
Di
antara bencana lain yang bersumber dari lidah bisa datang dari berlebihan dalam
bercanda. Bercanda yang ringan-ringan adalah diperbolehkan dan tidak larang
selagi benar dan jujur. Sudah jamak diketahui bahwa Rasulullah Saw sendiri kadang bercanda
dengan para sahabat. Sebut saja misalnya pernah beliau memanggil seseorang
dengan memanggil, “wahai orang yang berkuping dua,” atau ketika berkata
kepada seorang yang lain, “Aku akan membawamu di atas punggung anak unta”
(karena hakikatnya unta dewasa yang dijadikan tunggangan itu juga adalah
sama-sama anak (keturunan) unta), atau ketika berkata kepada seorang nenek tua
bahwa tak ada nenek-nenek atau orang tua di surga, kamudian beliau membaca Al- Waqi’ah:
36-37.
Dalam
bercanda Rasulullah Saw disepakati 3 hal:
·
Tidak berbicara
kecuali yang benar.
·
Sering dilakukan
terhadap wanita
dan anak-anak serta orang laki-laki lemah yang membutuhkan bimbingan.
·
Dilakukan jarang-jarang. Jadi tidak boleh
terus-menerus bercanda. Tentu saja ada perbedaan antara canda yang yang jarang-jarang
dengan yang terus-menerus. Jika ada seseorang yang siang malam selalu bercanda,
lalu berhujjah dengan apa yang dilakukan Nabi Saw yang berdiri bersama Aisyah
dan membiarkannya menonton permainan orang-orang Habasyah, berarti dia telah
melakukan kesalahan, karena beliau melakukan yang demikian itu sesekali saja.
Terus-menerus bercanda adalah dilarang. Sebab canda bisa mengurangi karisma
seseorang bahkan bisa memancing kedengkian.
Sekian,
salam takzim, anassekuduk
[1] Ukuran syariat
lain misalnya dalam hal dusta. Meskipun hukum asalnya dilarang dan berdosa, ada
beberapa kondisi yang membuka keringan untuk berdusta, misalnya dalam kondisi
(siasat) perang dan dusta di hadapan istri untuk menyenangkannya. Jelasnya
setiap tujuan yang terpuji, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara berdusta,
maka ini diperbolehkan kalau memang tujuan itu mubah, dan jika tujuan itu wajib, cara itu pun juga wajib. Namun,
sedapat mungkin dusta ini harus dihindari. Dikutip dari Minhajul Qashidin,
dapat disimak di 207-208.
(ingatlah, ukuran ini adalah syariat bukan hawa
nafsu). Pahamilah baik-baik aturan ini. ansskd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar