Selasa, 16 Juni 2020

TERAPI SPIRITUAL (IBNUL JAUZI) [Bahasan: Mendidik Anak, Menangani Malas dan Terapi Cinta Berat, Pengelolaan Pengeluaran Pemasukan dan Pengeluaran, Dengki, Dendam, dan lain-lain ]



TERAPI SPIRITUAL (IBNUL JAUZI)
 [terjemahan dari: Al-Thibb Al-Ruhani: Al-Allamah Al-Hafizh Jamal Al-Din Abu Al-Farj Abd Al-Rahman Al-Jawzi]
Penerbit: Zaman, Jakarta, cet.I, 2010

     MENDIDIK ANAK (125)
Membentuk perilaku baik paling tepat dilakukan pada waktu kecil. Jika anak dibiarkan tumbuh dan berkembang mengikuti tabiatnya semata, apalagi kalau tabiat itu sudah mengeras, tentu akan sulit dibimbing kepada kebaikan, sebagaimana diungkapkan sebuah syair:

Jika sebatang ranting kau tegakkan
Ia akan lurus
Tetapi jika sebatang kayu
Ia tak ‘kan lunak

Pada masa muda tatakrama
Pelan-pelan mungkin diterima
Tetapi pada masa tua tidaklah berguna

Cukup penting latihan dilakukan secara rutin dan kontinyu, terutama pada anak-anak, agar ia terbiasa melakukan hal-hal baik. Diungkapkan dalam syair:
Jangan lalaikan mendidik anak
Meski ia mengeluh kelelahan
Seperti dokter yang harus mengenali pasiennya terlebih dahulu –usia, status, dan waktunya- sebelum mengobatinya, begitulah seharusnya latihan diberikan kepada seseorang disesuaikan dengan tingkat keadaannya. Anak-anak, apakah akan berhasil atau tidak, gejalanya sebenarnya sudah terlihat sejak usia dini. Anak yang cerdas, dengan sendirinya, memiliki perhatian yang tinggi terhadap belajar, sementara bagi anak yang bodoh, belajar dianggap tidak berguna. Ia sama dengan orang rendahan yang bagaimanapun dilatih tetap saja tidak akan pandai. Tetapi, siapa pun mereka, anak mestilah didampingi dan diperhatikan.
Seseorang berkata kepada Sufyan al-Tsauri, “Kami memukuli anak-anak agar mau mengerjakan shalat.” Ia menjawab, “Jangan, buatlah mereka senang mengerjakan shalat!”
Zubayd al-Yafi malah berkata kepada anak-anaknya, “Siapa di antara kalian mengerjakan shalat, kuberi lima hadiah.”
Ibrahim bin Adham berkata, “Kepada masing-masing anakku kuminta menyebutkan hadits. Setiap hadits yang kuhargai 1 dirham. Ternyata berhasil, mereka pun lalu giat mencari hadits.”

Harus disadari orangtua bahwa anak adalah amanah Allah. Karena itu, jauhkan anak dia sejak dini dari teman yang buruk, jangan biasakan berlaku tidak baik, dan dekatkan dengan kebaikan. Sebab, hatinya masih kosong, apapun yang dilontarkan ke sana akan langsung diterima. Tanamkan kecintaan untuk bersikap malu dan dermawan.
Ceritakan kepadanya kisah orang-orang saleh. Jauhkan dari cerita seronok, sebab itu adalah sumber bencana dan benih kerusakan. Jika ia terlanjur berbuat salah, lupakan kesalahannya, dan jangan beberkan kepada gurunya. Tegurlah ia dengan halus.
Jangan biarkan anak-anak terlalu banyak makan dan tidur. Biasakan ia bantu-bantu di dapur atau merapikan tempat tidur, agar badannya sehat dan bugar. Latihlah juga berolahraga, seperti joging dan jalan santai. Ajarilah sopan santun, misalnya jangan membelakangi orang, jangan beringus atau beruap di depan orang. Jika ia sangat bergantung pada satu sifat buruk, palingkan segera darinya sebelum sifat itu mendarah daging. Bahkan, tidak apa-apa dipukul, jika cara halus sudah tidak mempan..
Luqman berkata kepada anaknya, “Anakku, pukulan orangtua terhadap anaknya ibarat pupuk bagi tanaman.”
Ketika melihat bayi sedang menetek, perlakukan dengan halus. Sebab, Ibn Abbas berkata, “Bagi bayi, menetek menambah kecerdasan.:
Kata orang-orang bijak, “Anak usia 7 tahun adalah bunga hidupmu, juga pelayanmu. Pada usia 14 tahun, jika ia diperlakukan dengan baik, niscaya akan menjadi temanmu, tetapi jika diperlakukan dengan buruk, niscaya akan menjadi musuhmu.”
Jangan pukul anak yang sudah baligh, juga jangan diperlakukan dengan buruk. Sebab, saat itu ia sedang berusaha memantapkan jati dirinya, berusaha lepas dari dari pengaruh orang tuanya. Jika sampai umur 20 tahun anak masih belum baik, ia sulit diharap menjadi baik, kecuali didampingi secara serius dan terus-menerus. [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]

     MALAS (106)
Penyebab malas adalah kecenderungan terhadap pola hidup santai, dan tak mau bersusah-payah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Mali, bahwa Rasulullah Saw sering sekali membaca doa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan, kesedihan, kelemahan, dan kemalasan.”
Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah.”
....Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh, tak ada orang yang lebih kubenci yang pernah kulihat selain pengaggur yang tak melakukan apa-apa, baik urusan dunia amaupun akhirat.”
Ia menambahkan, “Kelak pada akhir zaman akan muncul sekelompok orang yang perkerjaan utama mereka adalah saling mencerca, dan itu mereka sebut bekerja.”
Ibnu Abbas berkata, “Jika sikap lamban menyatu dengan sikap malas hasilnya adalah kemiskinan.”
Malik ibn Dinar berkata, “Setiap perbuatan baik seseorang, sekecil apapun, pasti akan membawa hasil. Jika ia tekun dan sabar, perbuatan baiknya akan memberi kepuasan. Tetapi, jika ia merasa tertekan, ia pasti akan urung melanjutkan.”
Berkata pula Sufyan al-Tsauri, “Telah berlalu kaum penunggang kuda yang gagah, kini tinggallah kita di punggung keledai yang kalah.”

Cara Mengobati Penyakit Malas
Cara mengobati penyakit malas adalah memancangkan cita-cita setinggi-tingginya, siaga menghadapi resiko apa saja, dan waspada jangan sampai putus asa. Sebab, resiko terbesar bagi orang yang bercita-cita besar adalah putus asa _meskipun dilihat dari segi kesungguhan usahanya, ia tetap mendapat pahala.
Di samping cara di atas, orang yang akalnya sehat mesti memikirkan sisi negatif sifat malas ini. Tak jarang orang yang hidupnya santai kemudian dirundung kerugian dan penyesalan. Ketika melihat tetangganya pergi bekerja, lalu kembali dengan membawa hasil melimpah, maka penyesalannya semakin bertambah. Ia juga semakin putus asa. Demikian pula dengan orang yang malas ketika melihat temannya yang rajin menjadi alim dan dalam ilmunya. Ini artinya, penderitaan yang diakibatkan kelalaian bersumber dari lezatnya kemalasan. (..kalau boleh di sini kami tambahkan: ketika melihat orang lain berhasil, bisa jadi orang ini kemudian merasa iri/dengki. di bahasan tentang sifat “Dengki”, Ibnul Jauzi memaparkan bahwa: ..dengki ini biasanya hanya terhadap apa yang dipandang dari segi keberhasilan dunia. Tidak akan ditemui orang yang mendengki karena melihat orang lain karena ia rajin shalat malam. Demikian pula ulama, didengki bukan karena ilmu dan kealimannya, malainkan karena ia menjadi buah bibir orang... Dari sini, kita bisa melihat, sifat dengki yang muncul bisa jadi muncul sebagai akibat dari kemalasan, cita-cita rendah, akan tetapi apabila melihat otang lain berhasil, ia merasa iri karena tidak mendapatkan hal yang demikian. Padahal, jika saja ia mau memasang terget atau cita-cita tinggi, diikuti gerak nyata untuk meraihnya, maka bisa jadi dia juga bisa mencapai apa yang bisa dicapai oleh orang yang didengkinya. Wallahu a’lam, wallahul musta’an...)
Semua orang bijak sepakat bahwa kebajikan tidak mungkin diraih melalui sikap santai dan bermalas-malasan. Siapa yang mencicipi buah kemalasan pasti akan menjauhinya. Sebaliknya, siapa yang mencicipi buah kesungguhan pasti tidak akan menghiraukan setiap rintangan yang menghadang.
Orang yang mempunyai hati nurani pasti sadar bahwa dirinya tidak boleh main-main. Bahwa ia di dunia seperti seorang pekerja atau pedagang. Bahwa kesempatan untuk beramal, bila dibandingkan dengan lamanya waktu di alam kubur, hanyalah seperti sekejap mata. Apalagi bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal. Ketika sudah di surga atau neraka, tak ada yang bisa dilakukan.
Salah satu obat yang mujarab untuk mengobati penyakit ini adalah merenungi kisah perjalanan hidup orang-orang yang giat dan rajin. Sungguh mengherankan orang yang memilih jadi penganggur di musim keberuntungan, dan tidak cepat-cepat ambil bagian saat hasil panen melimpah.
Farqad berkata, “Kalian mengenakan baju santai sebelum bekerja. Coba lihat para pekerja yang tengah memeras keringat; saat bekerja mereka mengenakan pakaian paling jelek, tetapi usai bekerja mereka lalu mandi dan mengenakan 2 baju bersih sekaligus. Sementara kalian tetap saja mengenakan baju santai sebelum bekerja.  [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]

     MELAWAN CINTA BERAHI (h.21)
Cinta berahi adalah jenis penyakit yang telah merusak sebagian besar manusia, baik fisik maupun agama mereka, atau malah keduanya. Untuk itu, saya (Ibnu Jauzi) telah menulis sebuah buku berjudul Dzamm al-Hawa yang di dalamnya secara detail saya paparkan beberapa terapi cukup memadai dan mujarab. Di sini saya akan menyinggungnya secara umum, sekadar memenuhi apa yang sudah ditetapkan dalam buku ini.
Orang yang menghindarkan diri dari pergaulan dengan manusia, seraya menutup mata dan menahan pandangannya, pasti akan selamat dari jenis penyakit ini. Kalau tidak, ia akan terjangkit penyakit ini sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam pergaulan itu. Jika hal itu segera disadari, mungkin obat masih bermanfaat. Tetapi jika hal itu dibiarkan sampai mengakar kuat maka obat tidak akan mempan lagi.
Perlu diketahui bahwa pandangan sekilas terhadap orang yang dianggap cantik hampir dipastikan tidak akan merangsang tumbuhnya perasaan cinta. Sebab, cinta tumbuh karena pandangan yang berulang-ulang, kemudian semakin membara dipicu oleh faktor usia muda, hawa nafsu, dan perasaan ingin memiliki yang begitu kuat. Karena itu, siapa yang ingin sembuh dari penyakit ini, hendaklah segera bertindak sebelum ia menjadi akut dan kronis. Caranya dengan menghindari sumber-sumber penyebabnya dan sabar menghadapi pahit getirnya. Sebab, bertahan dalam penderitaan adalah sebaik-baiknya pengobatan. Tetapi, cara paling banyak membantu adalah rasa takut kepada Allah dan semangat untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke lembah kehinaan. Di samping itu, ia mesti mengingat aib yang ada pada diri sang kekasih, sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud, “Apabila di antara kalian terpesona pada seorang wanita, ingatlah aib dan kekurangannya!”
Namun, jika kekasih bisa dimiliki maka itu adalah obat paling mujarab. Pernikahan bisa meringankan penyakit itu. Begitu juga dengan berkelana, merenungkan pengkhianatan, membaca buku-buku tentang zuhud, mengingat mati, menjenguk orang sakit, dan ziarah kubur. Lalu berpikir bahwa orang uang dicintainya itu menyimpan maksud-maksud tertentu, suatu saat akan menjemukan dan berpisah. Pokoknya semua akan berubah.
Karena itu, setiap orang hendaklah mengambil pelajaran dari diri sendiri dan orang lain. Siapa tahu orang lain dapat menuntun dirinya, melepaskannya dari jerat perasaan cinta, dan membebaskannya dari masalah yang sangat pelik itu. [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]

     PEMASUKAN DAN PENGELUARAN (h. 44)
Sudah selayaknya orang berakal sehat mencari nafkah melebihi kebutuhannya sehingga ketika terjadi kehilangan, ia langsung mendapatkan gantinya. Dan ketika ia sudah tidak mampu lagi mencari nafkah, ia memiliki jaminan hidup untuk menjalani sisa umurnya. Jika ia punya anak, atau ia –bahkan anaknya- mau beristri lagi atau menambah pembantu lagi, ia masih bisa mencukupinya.
Dengan kata lain, pengeluaran harus lebih kecil daripada pemasukan. Kumpulkan harta lebih dari yang dibutuhkan sebagai jaminan bila kelak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Inilah cara berpikir akal sehat yang berpandangan jauh ke depan dan mempertimbangkan resiko yang mungkin terjadi; sesuatu yang sama sekali tidak dipedulikan hawa nafsu. Dalam sebuah hadits marfu’ –dalam riwayat lain dikatakan mauquf- dari Abu Darda’ disebutkan: “Salah satu ciri orang berakal adalah pandangannya yang jauh menyangkut penghidupannya.” (diriwayatkan Abu Na’im dalam al-Hilyah, 1/211, dari Abu Darda’ sebagai hadits mauquf)

     DENGKI (h. 48)
DENGKI ATAU IRI artinya berharap agar kesenangan orang lain lenyap, meskipun kesenangan itu tidak harus berpindah kepada si pendengki. Penyakit ini berasal dari rasa tidak suka dirinya terlihat sama dengan yang lain; ia ingin tampak lebih tinggi dan lebih istimewa. Ketika orang lain mendapat kesenangan yang membuatnya terlihat istimewa, orang ini jadi sakit hati, sebab merasa ada yang menandingi atau melebihi dirinya. Dan, sakit hati ini tidak akan lenyap sebelum kesenangan orang yang ia dengki itu lenyap.
Penyakit ini hampir tidak bisa dicabut dari hati seseorang. Keberadaannya bukanlah suatu dosa. Yang berdosa adalah apabila ia berharap kesenangan saudaranya sesama muslim itu lenyap.
Dengki membuat seseorang tidak bisa tidur, tidak berselera makan, wajah menjadi kusam, sedih terus-menerus, dan merusak pergaulan.
Seorang Arab badui yang sedang memasuki umur 100 tahun ditanya, “Bagaimana kamu bisa panjang umur?” Dia lalu menjawab, “Saya tinggalkan sifat dengki.”
Ketahuilah bahwa dengki hanyalah menyangkut urusan dunia. Tidak akan kamu jumpai seseorang mendengki orang lain karena ia rajin mengerjakan shalat malam atau berpuasa sehari penuh. Demikian pula ulama didengki bukan karena ilmu dan kealimannya, melainkan karena ia menjadi buah bibir orang banyak,
          Untuk mengobati penyakit ini seseorang mesti sadar bahwa segala yang telah ditetapkan Tuhan pasti terjadi, tak mungkin diubah atau ditolak. Sadar bahwa Zat yang membagi-bagikan rezeki sangatlah Mahabijaksana. Dia juga Sang Pemilik Mutlak; Dia yang memberi dan yang tidak. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dari pangkal permulaan sampai ujung penghabisan. Dan, orang yang dengki seolah-olah menentang kehendak Sang Pemberi, yaitu Allah Swt. Sungguh tepat apa yang dikatakan orang bijak:
Katakan pada orang yang mendengkiku:
“Tahukah kamu,
Kepada siapa kamu kurang ajar?
Kamu telah kurang ajar kepada Allah
Atas apa yang Dia perbuat
Sebab, kamu tidak lega hati
Terhadap apa yang Dia berikan kepadaku
Lalu Dia membalas perbuatanmu;
Dia tambahi aku
Dia tutup pintu permintaanmu.”
Orang yang dengki tidak mungkin mengurangi rezeki orang yang ia dengki, dan tidak dapat mengambil miliknya. Keinginan pendengki agar kesenangannya lepas dari tangannya adalah kezaliman yang nyata. Mestinya pendengki memperhatikan bagaimana orang yang ia dengki itu. Jika ia hanya memperoleh dunia, ia malah patutnya dikasihani, bukannya didengki. Sebab, dunia biasanya tidak memberi keuntungan apa-apa, malah hanya menjadi sumber bencana. Bukankah harta yang berlebih itu malapetaka?
Al-Mutanabbi menulis:
Kenanglah pemuda
Karena kehidupan akhiratnya
Ia butuhkan dunia
Sekadar memenuhi hajat hidupnya
Lebih dari itu hanya sibukkan dirinya

Maksudnya, yang banyak harta dirundung kecemasan, yang punya kekuasaan selalu khawatir akan dicopot dari jabatan.
Ketahuilah bahwa kesenangan banyak menyimpan kotoran, dan tidak bertahan lama. Padahal, musibah tengah menunggu di depan mata. Dan, orang yang menikmati kesenangan hakikatnya tengah menunggu pergi kesenangan tersebut. Atau, kesenangan itu sendiri yang menunggu perginya orang tersebut.
Ketahui pula bahwa kesenangan yang ia dengki belum tentu merupakan kesenangan bagi orang yang ia dengki. Sebab, umumnya manusia mengira orang yang bernasib baik berada dalam puncak kesenangan. Mereka tidak sadar bahwa begitu seseorang mencapai apa yang diinginkan, ia akan merasa biasa-biasa saja, seolah hanya sebuah bayangan tak berwujud. Dan, segera setelah itu ia akan menginginkan sesuatu yang lebih tinggi lagi. Padahal, di mata si pendengki hal itu tampak hebat dan nyata.
Si pendengki mestinya juga tahu bahwa andai orang yang ia dengki itu menghukumnya, tentu hal itu tidak sesakit dengkinya itu.
Jika di antara terapi di atas tidak ada yang mempan untuk mengobati penyakit dengki, cobalah berpikir lebih jauh tentang berbagai hal yang menyebabkan orang yang ia dengki itu dapat meraih kesenangan tersebut.
Sebagian ulama salaf berkata, “Aku memang takut sedih, tetapi lebih takut lagi pada dengki. Sebab, bila seseorang dengki terhadap tetangganya yang kaya, tentu ia akan berpetualang jauh untuk berdagang, dengan harapan bisa menjadi seperti dia. Atau karena tetangganya alim, lalu ia belajar terus-menerus hingga lupa untuk istirahat. Awalnya ia akan dipandang sebagai pahlawan, tetapi kemudian, setelah kemuliaan tercapai, mereka akan mencemoohnya.
Alangkah tepat apa yang disenandungkan al-Ridha:
Kenapa aku tak tersusul domba
Bahkan mengangkatku sebagai kepala
Karena aku baik, indah, dan mulia

Mataku menyempit
Karena di akhir malam
Kuterjaga mencari kemuliaan
Sedang mereka (terlelap?) sampai pagi

Sementara aku terpesona keutamaan
Mereka tidak
Sementara aku menetak pepohonan
Mereka tidak

Andai di mataku
Tak ada pijar wibawa
Tentu musuh tak tunduk padaku
Malah mencercaku

Jika sudah disadari bahwa si pendengki tak mungkin lagi memperoleh seperti apa yang diperoleh orang yang ia dengki, maka tak ada pilihan lain kecuali mengendalikan bisikan hati, dan menahan diri agar mulut tidak lagi menggunjingkannya.
          Banyak hadits yang mengungkap jeleknya sifat dengki ini, di antaranya hadits dari al-Zubair ibn al-Awwam bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Kalian telah mewarisi penyakit umat sebelum kalian, yaitu dengki dan benci. Benci adalah pencukur, bukan pencukur rambut, melainkan pencukur agama. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidaklah beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian saya beritahu sesuatu yang jika kalian kerjakan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (Diriwayatkan Ahmad, 1/165 dan 167, al-Baihaqi 10/232, al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, 12/259, dan At-Tirmidzi (2510))
Amr ibn Maimun berkata bahwa Nabi Musa as melihat seorang laki-laki di Arsy yang menginginkan kedudukannya. Ia lalu menanyakan hal itu dan dijawab, “Aku beritahu apa amal yang ia lakukan. Ia tidak dengki kepada siapa pun atas karunia yang diberikan Allah, tidak pula mengadu domba, dan tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Salim meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Iri hati tidak diperbolehkan kecuali kepada 2 orang; orang yang diberi kemampuan membaca Al-Qur’an oleh Allah kemudian melaksanakannya siang dan malam, dan orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya untuk kebenaran siang dan malam.” (muttafaq alaih, diriwayatkan Bukhari 2/134, 9/78 dan 126; Muslim, hal.559)

     DENDAM (h.56)
DENDAM ADALAH KESAN yang membekas di hati akibat perlakuan buruk seseorang. Memang, akal tidak bisa menepis begitu saja kesan dari perlakuan buruk ini sebagaimana ia tidak bisa menepis akibat perlakuan baik seseorang.
Abdullah ibn Ka’ab ibn Malik berkata, “Aku pernah mendengar Ka’ab ibn Malik bercerita tentang dirinya ketika berpaling dari Rasulullah. Ia bercerita panjang lebar sampai akhirnya ia bertobat. Katanya, ‘Aku lalu masuk ke masjid. Di sana aku melihat Rasulullah Saw sedang duduk dikelilingi para sahabat. Lalu Thalhah ibn Abdullah ibn Ubaidillah bergegas bangkit dan menjabat tanganku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tak seorang pun waktu itu yang bangkit menyambutku selain Thalhah.’ Dan, Ka’ab tidak dapat melupakan peristiwa itu daru Thalhah.” (diriwayatkan Bukhari 6/4, dan Muslim “al-Taubah”, 53).
Jika yang baik tidak dapat dilupakan, yang buruk pun demikian. Hanya saja, kita disunnahkan untuk berupaya keras mengikis yang buruk itu dari hati kita dengan cara memberi maaf dan berjabat tangan. Dengan memberi maaf, pertama kita mendapat pahala, kedua kita bersyukur kepada Zat yang telah menjadikan kita pemaaf, dan menjadikan orang lain yang berbuat salah (bukan kita yang berbuat kesalahan/keburukan tersebut, ansskd). Pemberian maaf ini akan lebih sempurna apabila disertai dengan sikap rela hati, yakni dengan menghapus segala kesan buruk yang ada di hati.
Cara lain yang lebih halus adalah menyadari sepenuhnya bahwa ia disakiti orang lain justru akibat dosanya sendiri, sebagai tebusan atas kesalahannya, untuk mengangkat derajatnya, atau untuk menguji kesabarannya. Cara yang lebih halus lagi adalah menyadari bahwa segala yang terjadi sudah ditentukan langsung oleh Allah Swt.
 [terapi spiritual, ibnul jauzi]

     RIWAYAT HIDUP TELADAN (h.29)
ORANG BAIK DITANDAI dengan pendidikannya yang baik. Kemampuannya diasah sejak kecil, begitu pula penajaman akalnya. Bukankah kecerdasan tumbuh sejak usia dini. (Silakan rujuk firman Allah Swt dalam Al-Anbiya’: 51).
Ia juga diberi potensi oleh Allah berupa cita-cita yang tinggi dan kemuliaan jiwa. Potensi inilah yang kemudian mendorongnya meraih kemuliaan dan mencegahnya terpuruk ke lembah kehinaan. Ketika sedang bermain dengan teman-temannya, ia cenderung menjadi pemimpin bagi mereka. Ia tumbuh dengan sikap dan perilaku luhur tanpa harus ditakut-takuti atau diancam. Setiap latihan yang diberikan, walau hanya sebentar, langsung melekat. Ia seperti baja yang langsung tajam dengan sekali asahan, bukan seperti besi yang harus diasah berulang-ulang.
Ketika pikirannya mulai aktif, mulai membuat kesimpulan-kesimpulan tentang Zat Sang Pencipta, mulai sadar mengapa dan untuk apa ia diciptakan, apa pesan-pesan Tuhan kepadanya, dan kemana akhir kehidupannya, ia pun lalu bangkit mencari ilmu hingga dapat mengungkap hakikat dari semua itu. Ia lalu tahu bahwa tak ada yang lebih utama daripada ilmu dan amal, sebab hanya 2 hal itulah yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Karena itu, ia kerahkan seluruh kekuatan dirinya, ia bangkitkan niat dan semangatnya, demi kesempurnaan ilmu dan amal tersebut.
Kau lihat sebagian orang merasa puas dengan hanya satu disiplin ilmu. Ada yang menghabiskan umurnya dengan ilmu Nahwu, ada yang menghabiskannya dengan hadits. Tetapi, baginya semua ilmu haruslah dicari. Hanya saja, ia sadar bahwa umurnya tidak mungkin muat untuk mempelajari ilmu seluruhnya. Karena itu, ia hanya mencari ilmu yang ia butuhkan sebagai bekal perjalanannya menuju Allah Swt lalu mengamalkannya.
Kaulihat ia benar-benar disiplin menjaga umurnya agar tidak berlalu sia-sia, sementara apa yang ia tuju belum tercapai. Ia tidak membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak penting. Waktu senggangnya hanya ketika tertidur dan makan. Ia sadar betul, betapa singkatnya kehidupan dunia ini, sebagai mana diungkap sebuah syair:
Tunaikan hajatmu segera
Umurmu hanya sebatas pengembara

Kencangkan kuda pacuanmu
Capailah garis finish di depanmu
Niscaya mereka takluk di belakangmu.
Ia selalu giat mengisi waktunya dengan sesuatu yang bermanfaat, menaklukkan hawa nafsunya, menekuni ilmu yang dipandang penting dan berguna. Tujuannya jelas dan mantap, hatinya bersih dan tidak disibukkan oleh sesuatu yang sia-sia. Seluruh inderanya dikerahkan untuk taat kepada Tuhannya. Apa yang dianugerahkan Allah cukuplah baginya, tidak butuh pemberian makhluk, dan menjauhkan diri dari harta mereka demi menjaga kehormatan dirinya. Tetapi, jika makhluk yang merasa tidak membutuhkan dirinya, mereka akan binasa. Karena itu, peringatannya adalah sumber keselamatan mereka.
Jika ia hidup bersama masyarakat, ia akan terus menyadarkan mereka tanpa pamrih, tanpa harus diberi imbalan oleh mereka. Jika masyarakat minta pertimbangannya, ia segera menyambut dengan nasihat-nasihat, walaupun sebenarnya ia disibukkan dengan dirinya sendiri, dan ingin pergi meninggalkan mereka. Sebenarnya, ia ingin sekali menyatukan tekad untuk menjalani tiap detik waktunya hanya menuju Allah, menambah bekal amal sebanyak mungkin hingga akhir hayatnya. Ia juga ingin mengajarkan ilmu, agar setelah wafat ia tetap hidup bersama ilmu yang diajarkannya itu.
Ia juga hidup zuhud, makan sekadar untuk memulihkan tenaga. Bila ia ingin berpuas-puas, ia melakukannya sebatas yang dibolehkan agama, dan dengan tujuan agar ia mampu menunaikan semua beban dan tanggungjawabnya. Ia juga tak henti-hentinya menajamkan mata hatinya kepada Allah hingga ia terpesona dan jatuh cinta, yang lalu tumpah dan menenggelamkannya ke dalam sebuah samudera ibadah. Hanya saja tubuhnya yang bersanding dengan makhluk. Sementara hatinya bermesra dengan Allah. Dan ia adalah sekuntum bunga-Nya di bumi.
Jiwa para murid (orang yang bertekad menuju Allah) bernapas dengan menghirup udara salah seorang di antara mereka, juga dengan lafaz-Nya. Ketulusan mereka menyemerbak setelah terkuburnya salah seorang di antara mereka yang berpulang ke hadirat Allah Swt. Dengan kekuasaan-Nya, tanah pekuburan mereka menyimpan wibawa. Dan, setiap murid yang mengenang amal mereka yang pasti bertambah kokoh kesabarannya.
Ahli taqwa adalah bintang-gemintang di ufuk kiamat. Mereka laksana matahari Allah Swt, atau bulan-Nya.
Dengan keluasan fadhilah-Nya, semoga Allah Swt memberi kita petunjuk untuk mengikuti dan menyusul langkah mereka. Dialah Zat Yang Mahamendengar lagi Mahadekat dengan hamba-Nya. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah atas junjungan kita.  Muhammad, segenap keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

     MENGENALI AIB DIRI (h.112)
Ada 7 cara cara mengenali aib diri:
1.       Memilih teman yang bisa mengkritik, yang bisa ditanyai segala hal tentang kejelekan dan aib dirinya. Ketika teman itu membeberkan segala aibnya, ia pun harus antusias dan bangga mendengarkannya, tidak menunjukkan rasa sedih dan kecewa sehingga teman itu tidak mengurangi apa yang ingin diungkapkannya. Bahkan, jika harus berkata, “Jika masih ada yang kau sembunyikan dariku, berarti kau menipuku.”
2.     Mencari tahu apa yang dikatakan tetangga dan kawan-kawannya tentang dirinya, juga tentang pujian dan cercaan mereka.
3.     Memperhatikan apa yang dikatakan oleh musuh. Sebab, musuh adalah pencari aib. Dari sisi ini, orang dapat mengambil manfaat dari musuhnya, manfaat yang tidak mungkin didapat dari temannya. Jika teman menutupi aib dan kekurangannya, maka musuhlah yang akan membeberkannya. Ketika aib yang didapat dari musuhnya telah dikenalinya, tentu ia akan menjauhinya.
4.     Membayangkan perbuatan dirinya dilakukan orang lain. Jika dipandang baik, lakukanlah, jika dipandang buruk, tinggalkanlah!
5.     Memikirkan dengan akal sehat segala dampak dan akibat perilaku dirinya. Dengan begitu, ia akan melihat aib sebagai aib, kebaikan sebagai kebaikan. Pikiran yang jujur pasti akan diikuti dan ditaati.
6.    Meletakkan setiap perbuatan dalam koridor syariat, dalam kerangka akal sehat, dan menempatkannya dalam kerangka keadilan. Dengan begitu, ia akan tahu mana yang utama dan mana yang hina.
7.     Membaca riwayat hidup ahli kebaikan kemudian membandingkan perbuatan mereka dengan perbuatan dirinya. Dengan demikian, ia akan tahu bahwa kekurangan merupakan aib yang harus dijauhi, dan jangan mengerjakan perbuatan buruk.

     MELATIH DIRI (h.25)
.......Manusia harus melatih diri untuk memerangi potensi nafsu, menaklukkan potensi amarah, mengikuti potensi nalar, sehingga ia mendekati malaikat, dan terbebas dari perbudakan potensi nafsu maupun amarah.
Melatih diri harus dilakukan secara pelan-pelan, setahap demi setahap, tak perlu keras-keras atau terlalu ketat. Biarkan diri kadang ingin, kadang enggan. Namun demikian, upaya melatih diri ini dapat dibantu dengan banyak cara; banyak bergaul dengan orang-orang pilihan, menjauhi orang-orang jahat, mengkaji Al-Qur’an dan hadits, dan meneliti biografi orang-orang bijak dan ahli zuhud.
          Seorang ulama salaf sangat menyukai makan buah manis. Maka, ia siapkan buah manis itu dan memakannya setiap selesai mengerjakan shalat malam.
Ats-Tsauri makan apa saja yang diinginkan, tetapi ia menjalani ibadahnya sepanjang malam hingga subuh. Setelah itu ia akan berkata, “Orang negro menyuapi anaknya.” Demikianlah ahli hakikat melatih diri secara berproses, sampai akhirnya mereka mampu menguasai dan menundukkannya.
.....Jika nafsu mendapati dirimu giat, ia akan giat. Tetapi, jika ia mendapati dirimu malas, ia ingin agar kamu terus malas, sebagai diungkap sebuah syair:
Begitu seorang dermawan
mengenal sifat kedermawanan
ia akan ketagihan dan takut kehilangan
Cara lain untuk melatih diri adalah mengintrospeksi setiap perbuatan dan perkataan, dosa dan kekurangan. Manakala latihan ini sempurna, diri akan memuji jerih payah yang sebelumnya ia caci maki.
Berkata Tsabit al-Banani, “20 lamanya kuarungi malam dengan penderitaan, 20 tahun kemudian kujalani malam dengan kebahagiaan.”
Berkata Abu Yazid, “Tidak henti-hentinya kusetir diriku menuju Allah seraya menangis, sampai akhirnya aku tertawa.”
Senada dengan itu, seorang penyair menulis:
Setiap mata terbuka
Tak henti-hentinya kumenangis dan tertawa
Sampai kubilas bulu mataku dengan darah.

Tetapi setelah itu, jangan lupa memenuhi apa yang menjadi haknya, antara lain, memenuhi apa saja keinginannya asal tidak tercela, dan tidak menghalangi tercapainya tujuan riyadhah. Sebab, jika semua keinginan dicegah, hati akan buta, semangat akan mengendor, ibadah pun dilakukannya dengan terpaksa. Bukankah porsi diri di sisi Allah lebih besar dibanding porsi ibadah? Itulah sebabnya kenapa Allah memberi keringan kepada musafir untuk tidak berpuasa. Misteri ini hanya mungkin dipahami oleh ulama yang benar-benar mendalami ilmunya.

     MARAH (h.58)
Sifat marah menunggangi manusia untuk menangkal dan memberi perlawanan terhadap sesuatu yang mencoba menyakiti dirinya. Sifat ini menjadi tercela manakala ia melampaui batas yang menyebabkan seseorang lepas kontrol, bertindak di luar batas kewajaran, dan melenceng dari kebenaran meskipun sangat boleh jadi kadar kebenaran tersebut lebih banyak dimiliki oleh orang yang marah daripada orang yang dimarahi.
          Kemarahan ibarat api panas yang mudah mengebar begitu terdapat sesuatu yang memancing kemarahan tersebut. Darah yang semula tenang jadi bergolak dan memberontak. Tak jarang hal ini menyebabkan suhu badan jadi panas.
Penyakit ini umumnya disebabkan oleh rasa tinggi hati atau sombong. Sebab, seseorang biasanya tidak akan marah kepada orang lain yang lebih tinggi dibandingkan dirinya. Untuk mengobati penyakit ini, seseorang mesti menenangkan diri dan mengubah pola keadaannya; jika sedang berbicara, diamlah; jika sedang berdiri, duduklah; jika sedang duduk, berbaringlah. Dengan begitu, ia bisa tenang dengan cepat. Dan, akan lebih baik lagi apabila ia meninggalkan tempat itu dan menjauh dari orang yang ia marahi.
Di samping itu, ia juga mesti merenungkan keutamaan menahan amarah. Bukankah Allah Swt memuji suatu kaum yang Dia firmankan, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang (lain).” Jika dia sadar bahwa apa yang terjadi merupakan akibat dari dosanya sendiri, juga memperhatikan apa yang jelaskan sebelum ini dalam bab “Dendam”, tentu persoalannya akan menjadi ringan.
...Ibnu Jauzi kemudian mengemukakan hadits tentang pesan Rasulullah Saw kepada salah satu sahabat untuk jangan marah, bahwa bukanlah kekuatan orang yang jago begulat, tetapi orang kuat ialah yang bisa mengendalikan amarahnya, kemudian tuntunan untuk membaca ta’awudz ketika marah....
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu dzar bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian sedang marah saat berdiri, maka duduklah! Jika belum hilang juga, maka berbaringlah! Sebab, menurut al-Khattabi, dalam konteks ini orang yang berdiri lebih mungkin untuk bertindak kasar. (Diriwayatkan Abu Dawud dalam al-Adab, bab 4, 4782, Ahmad, 5/152, Syarh al-Sunnah, 3/162, dan Mawarid al-Zham’an, 1973).
(...Di sini, saya jadi teringat ketika salah seorang ustadz mencontohkan ketika seseorang yang marah ingin menonjok lawannya, dalam keadaan berdiri, kepalan tangannya akan mudah sampai ke tujuan karena jarak dan kemungkinan manuver tubuh saat berdiri mendukung untuk itu. Kemudian beliau duduk, dan mencoba untuk memukul, dan terlihat pukulan yang dilayangkan agak sulit mengenai target, ansskd...)
Jika orang yang sedang marah tidak dapat menguasai diri dengan cepat, ia akan menghadapi kerugian yang akan ia sesali seumur hidup, baik menyangkut dirinya sendiri atau orang yang ia marahi. Tak jarang, orang yang marah lalu melukai anaknya sendiri, atau bahkan membunuhnya. Suatu tindakan yang jelas akan menorehkan penyesalan di sepanjang hayatnya.
Atau, kerugian itu berkenaan dengan dirinya sendiri. Sebab, ketika seseorang naik pitam, ia akan membentak-bentak, lalu terjadi pertumpahan darah yang menyebabkan kematiannya. Ada juga orang yang menghantam orang lain, tetapi malah jemarinya sendiri yang rontok, sementara lawannya tidak apa-apa.
Untuk mengobati penyakit ini, si pemarah mestinya berpikir bagaimana jika ia marah, dan bagaimana jika ia bersikap tenang. Ia akan tahu bahwa jika ia marah, sebenarnya ia telah gila dan lepas dari kontrol akal sehat. Dan jika ia tidak mau membuang amarahnya, ia akan terus berniat untuk menghajar orang yang ia marahi itu. Dengan begitu, ia akan bisa tenang. Di samping itu, ia juga harus berjanji kepada dirinya sendiri untuk melaksanakan semua itu dan untuk bersikap tenang. Sebab, dalam kondisi yang tenang seperti itulah ia dapat memikirkan akibat buruk dari niatnya itu, dan lalu meninggalkannya.
Inilah tradisi orang-orang terdahulu: jika marah, mereka segera memberi maaf dan berjabatan tangan, demi meraih nilai keutamaan menahan diri dan memberi maaf. Sebagian menyadari bahwa apa yang membuatnya marah adalah akibat dari dosanya sendiri. Sebagian yang lain beranggapan bahwa dirinya sedang diuji oleh Allah Swt. Segitu seterusnya, seperti yang sudah saya uraikan pada bab “Dendam”.
(......ada pula yang memberi tips untuk bercermin dengan memasang muka marah. Bagaimanakah rupa wajah ketika marah? Apakah enak untuk dilihat atau sebaliknya? Jadi, ketika marah datang, ingatlah penampakan wajah yang tidak kita senangi tersebut. Demikian di antara cara yang diberikan oleh orang-orang yang memberi perhatian akan hal ini. Tentunya, masing-masing kita akan cocok dengan salah satu dari tips tersebut, atau bisa jadi masing-masing kita sdah punya cara tersendiri. Pembaca yang ingin berbagi, boleh kiranya menuliskan tipsnya di kolom komentar, ansskd.....)
Di dalam salah satu kitab Allah disebutkan: “Wahai Anak Adam, ingatlah pada-Ku ketika kamu marah, niscaya Aku pun mengingatmu ketika kamu durhaka. Dan, Aku tidak serta-merta melenyapkanmu seperti orang-orang yang Aku lenyapkan. Jika kamu dianiaya, lapangkan hatimu dengan berharap pertolongan-Ku, sebab pertolongan-Ku jauh lebih baik daripada pertolonganmu sendiri.”
Muriq berkata, “Aku tidak berkata-kata sepatah pun saat marah agar tidak menyesal saat hatiku sudah lapang.” Ibn ‘Awn adalah orang yang tak pernah marah. Jika ada orang yang berbuat sesuatu yang memancing kemarahannya, ia berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memberimu berkah.”
Tidak selayaknya ketika orang dalam keadaan marah langsung memberi sanksi terhadap orang yang melakukan kesalahan, meskipun sebenarnya ia memang berhak  diberi sanksi tersebut. Ia mesti menunggu sampai keadaannya tenang dan amarahnya hilang, supaya sanksi yang diberikan itu sesuai dengan kadar kesalahan orang tersebut, bukan dengan kadar kemarahannya.
Suatu ketika Umar ibn Abdul Aziz berpapasan dengan orang yang mengumpat dirinya, lalu katanya, “Kalau saja aku tidak sedang marah, sudah kuhajar kau!” Kemudian ia melanjutkan perjalanannya.    

     SOMBONG (h.65)
SOMBONG ITU MENINGGIKAN diri sendiri seraya merendahkan yang lain. Orang yang sombong merasa lebih unggul dibanding orang lain, mungkin dari segi keturunan, harta, ilmu, ibadah, atau yang lain. Jadi, ciri pokok penyakit ini adalah perasaan lebih mulia, ingin dihargai, congkak, dan ingin dihormati.
Pengobatannya ada 2 cara: umum dan khusus. Pengobatan umum terbagi menjadi 2 lagi; yaitu berkaitan ilmu da amal.
Pengobatan Umum:
1.       Secara ilmu, adalah agar orang yang sombong itu mencari informasi-informasi, baik nash (Al-Qur’an dan hadits) maupun pemikiran (Aqli), yang menegaskan ketercelaan sifat sombong ini.
2.     Pengobatan berdasarkan amal atau perbuatan adalah bergaul dengan banyak orang-orang yang rendah hati sambil menyimak informasi-informasi mengenai mereka.
Pengobatan Khusus dilakukan dengan cara merenungkan kehinaan dan ketercelaan sombong ini. Jika yang ia sombongkan itu harta, itu akan segera ditarik darinya. Mestinya, dengan harta itu ia bersyukur dan merasa cukup, bukan merasa akan memilikinya untuk selamanya. Jika yang ia sombongkan itu ilmu, bukankah sebelumya telah banyak orang yang lebih alim dan lebih dalam ilmunya, yang dari merekalah ia menimba ilmunya itu? Bukankah hal itu suatu  bukti bahwa mereka jauh lebih unggul dibandingkan dengan dirinya?
Demikian pula halnya, jika yang ia sombongkan itu adalah amal kebaikannya. Mestinya ia memandang amal yang ia lakukan, seberapa pun sempurnanya, masih serba kurang dan jauh dari sempurna.  (dalam suatu penjelasan di kitab lain, memandang bahwa amal kebaikan bukan mutlak bersumber dari diri sendiri, akan tetapi merupakan anugerah, hidayah dan inayah dari Allah Swt, akan dapat melunturkan sikap sombong dan tinggi hati atas amal kebaikan yang dilakukan. Ansskd.)
Abu Salamah berkata, “Abdullah ibn Umar berpapasan dengan Ibn Amr di Marwah. Lalu keduanya turun sambil bercakap-cakap. Ketika Abdullah ibn Umar berlalu, Ibn Amr lalu terduduk lalu menangis tersedu-sedu. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Ia menjawab sambil menunjuk ke Abdullah ibn Umar, “Orang ini memberitahu bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa di hatinya terdapat sebiji sawi kesombongan, Allah akan menelungkupkan wajahnya ke api neraka.” (diriwayatkan al-Bayhaqi, 10/191/ al-Haytami dalam al-Majma’, 1/98, menisbatkan hadits ini kepada al-Thabrani dalam al-Kabir dan Ahmad. Menurutnya para perawi hadits ini shahih.)
          ...........
Muslim (1/93) meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih terdapat sebutir atom kesombongan. Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan orang yang memakai baju necis dan sandal bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu menyalahgunakan kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Menurut al-Khattabi, “Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih terdapat seberat atom kesombongan” dapat ditakwil dengan 2 cara. Pertama, kesombongan yang dimaksud mengandung arti kekafiran. Kedua, bahwa kesombongan itu dicabut terlebih dahulu dari hati pemiliknya sebelum masuk ke surga. Kemudian, perkataan “meremehkan orang lain” dalam hadits tersebut maksudnya merendahkan dan memandang hina terhadap orang lain.”

     UJUB
UJUB TIMBUL DARI rasa cinta diri yang membuat seseorang buta akan aib dan kekurangannya sendiri. Awalnya, ia mengagumi dirinya dalam satu hal, dan menganggap yang lain serba tidak sempurna. Untuk mengobatinya, ia harus meneliti aib dan kekurangan dirinya, bertanya kepada orang lain tentang kejelekannya, dan mengukur diri serta membandingkannya dengan orang-orang terdahulu. Jika ia bangga dengan kealiman dirinya, tengoklah kealiman ulama-ulama sebelumnya. Jika ia bangga dengan kezuhudannya, perhatikan kezuhudan ahli-ahli zuhud sebelumnya. Dengan begitu, ia tahu bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. Bagaimana tidak, Imam Ahmad hafal 1 juta hadits, Kahmas ibn al-Hasan khatam Al-Qur’an 3 kali dalam sehari semalam, dan Salman al-Taymi, 40 tahun lamanya, mengerjakan shalat subuh dengan wudhu’nya pada sepertiga malam pertama.
Orang yang merenungkan sejarah hidup tokoh-tokoh terdahulu akan tahu betapa jauh prestasinya bila dibandingkan dengan prestasi mereka. Sama dengan orang yang mempunyai uang 1 juta tidak tahu bahwa begitu banyak orang di dunia yang memiliki uang milyaran.
Ibrahim al-Khawwash berkata, “Ujub membuat seseorang tidak mengenal kadar dirinya.”

     RIYA (h.73)
SIAPA YANG MENGETAHUI Allah Swt dengan baik pasti amalnya murni ditujukan kepada-Nya. Tidak akan ada riya jika ia mengenal-Nya dengan sempurna, mengagungkan-Nya sebagaimana mestinya, dan tidak mencari pujian dan sanjungan manusia.
Dalam kaitan ini, amal manusia beragam bentuknya; ada yang demi sanjungan manusia semata, ada yang demi Allah Swt sekaligus sanjungan manusia, dan ada yang murni demi Allah Swt tanpa menoleh kepada selain-Nya. Orang yang memamerkan amal baik demi pujian manusia jelas akan menodai kualitasnya.
Inti pengobatan terhadap penyakit ini adalah mengenal Allah Swt secara baik dan sempurna sehingga ia akan menyatukan segala tujuan hanya kepada-Nya, tanpa menoleh kepada yang lain. Ia akan memosisikan dirinya sebagai hamba yang merendah di hadapan Allah Swt. Ia juga akan sadar bahwa pahala hanya mungkin diperoleh melalui amal yang ikhlas. Dengan begitu, ia akan berusaha waspada agar kelelahannya tidak sia-sia.
Efek riya sangatlah parah. W
.....Abu Musa berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena keberanian, berperang karena kesatriaan, dan berperang karena riya, apakah itu disebut di jalan Allah (fi sabilillah)?’ Beliau Saw menjawab, ‘Barang siapa berperang demi tegaknya agama Allah, ia di jalan Allah.” (Muttafaq alaih)
.....Ibnul Jauzi kemudian mengemukakan hadits tentang tiga orang yang diadili di hari kiamat. Seorang yang gugur di medan perang yang mengaku ia gugur demi Allah. Allah menyangkal karena sebenarnya ia ingin dipanggil pahlawan. Begitu pula ahli Qur’an yang ternyata ia berniat agar dipanggil qari’ atau dikenal sebagai orang yang rajin membaca Al-Qur’an. Dan seorang lagi yang berderma agar ia disebut dermawan. Ketiganya dimasukkan ke dalam neraka.......
Ahmad (5/428) meriwayatkan dari Mahmud ibn Lubayd bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Satu hal yang paling aku cemaskan atas diri kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya! Kelak di hari kiamat Allah Swt akan berkata kepada orang yang riya, ‘Bila kalian meminta balasan atas amal-amal kalian, pergilah kepada siapa amalmu kamu riyakan di dunia. Tetapi, lihat apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?”
Abu Hazim berkata, “Tidak akan baik hubungan manusia dengan manusia lainnya apabila ia memalingkan dirinya dari Allah. Bukankah bermuka manis kepada satu wajah (wajah Allah) lebih mudah daripada kepada seribu wajah? Jika kamu bermuka manis kepada wajah yang Satu ini, pasti semua wajah akan tertarik padamu. Sebaliknya, jika kamu bermuka masam kepada-Nya, pasti semua wajah akan membencimu.” 

     TERLAMPAU SEDIH
SETIAP ORANG BERAKAL takkan lepas dari kesedihan. Memikirkan dosa masa lalunya yang bertumpuk-tumpuk, ia sedih. Demikian pula mendengar fatwa-fatwa ulama, ia sedih karena tahu dirinya telah lalai.
          .....Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sisa usia seorang mukmin tidak bernilai apa-apa kecuali ia mau memperbaiki apa yang telah lewat.” Jika yang disedihkan tidak mungkin diperbaiki, ia tak perlu sedih kecuali menyangkut utang. Dalam hal ini, ia harus melunasinya, lalu berharap tambahan rezeki agar kehidupannya membaik. Jika kesedihannya hanya karena dunia, atau lalai mendapatkannya, itu adalah kerugian nyata yang harus dihindari setiap orang berakal.
          Cara mengobatinya adalah menyadari bahwa apa yang telah terjadi tidak mungkin ditarik kembali. Bahkan, jika sampai menjadi beban pikiran dan perasaan, itu akan menambah masalah. Padahal, hati mesti bersih dari masalah agar tidak tambah terpukul.
          Ibn Umar berkata, “Jika Allah mencabut sesuatu darimu, alihkan perhatianmu darinya. Dan, sebagai gantinya, carilah sesuatu yang dapat menghibur. Jika tidak ada, usahakan sekuat tenaga untuk mengenyahkan sesuatu itu darimu. Ketahuilah bahwa kesedihan bersumber dari hawa nafsu, bukan dari akal sehat. Yakinlah bahwa dalam waktu dekat kamu akan terhibur. Dahulukan apa yang mestinya diakhirkan (didahulukan?), seimbangkan masa lalu dan masa depan.”
          Ketahui pula bahwa kesedihanmu tidak berguna, bahwa musibahmu berpahala, bahwa tidak sedikit orang yang mengalami musibah lebih besar. Dengan begitu, kesedihan akan terhapus dari hatimu.


     PENYESALAN DAN IMPIAN
JIKA PENYESALAN BERKAITAN dengan masa lalu maka impian berkaitan dengan masa depan. Larut dalam penyesalan dosa-dosa masa lalu sangatlah berguna dan berpahala. Begitu pula mengimpikan kebaikan pada masa depan. Lain, jika penyesalan itu menyangkut kelalaian dunia yang sudah tidak mungkin diraihnya kembali. Itu hanya akan menorehkan kesedihan yang bertumpang tindih, sebagaimana telah disinggung di bahasan sebelumnya.
Penyesalan timbul karena hilangnya sesuatu yang kita cintai. Semakin banyak yang kita cintai, semakin banyak pula penyesalan terjadi. Demikian sebaliknya.
Jika ada yang mengatakan, “Kalau aku tidak mendapatkan seorang kekasih, aku akan menyesal dan sedih sekali.” Benar, tetapi penyesalan karenanya tidak akan mencapai sepersepuluh penyesalan karena kehilangan kekasih. Bukankah kehilangan anak jauh lebih menyedihkan dibandingkan tidak mempunyai anak?
Ketika kecintaan dan kesenangan seseorang terhadap sesuatu sudah berlangsung lama, hal itu akan membekas dalam lubuk hatinya. Jika ia harus kehilangan sesuatu itu, kesedihannya sebenarnya tidak seberapa lama bila dibandingkan dengan kesenangan yang sudah ia nikmati sebelumnya. Ini dikarenakan sesuatu yang dicintai pastilah sesuatu yang selaras dengan kehendak jiwanya. Nikmatnya sehat, misalnya, tidak akan dirasakan oleh jiwa jika sehat itu tidak ada. Jiwa akan terus menderita sebelum mendapatkan ganti yang memuaskannya. Seolah, apa yang ia cintai itu wajib menjadi miliknya. Karen itu, orang yang berakal sehat tidak akan mencintai banyak hal, sebab tahu itu hanya akan membuahkan impian yang tidak menyenangkan.
Langkah pertama mengobati penyakit ini adalah memantapkan keimanan terhadap takdir Allah Swt, yang salah satu wujudnya adalah apa yang menimpa dirinya itu. Ia juga harus sadar bahwa dunia diciptakan dengan Allah wajah muram. Yang kokoh akan runtuh, yang berkumpul akan berpisah, yang bersatu akan bercerai. Barang siapa menginginkan keabadian pada sesuatu yang mustahil terjadi dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana diungkap sebuah syair:
Kau dicipta dengan watak kotor
Tetapi kau menginginkannya bersih
Langkah selanjutnya adalah merenungi musibah orang lain sehingga musibah dirinya akan terasa kecil dan ringan. Seorang pemanggul yang semangatnya membaja tidak akan memedulikan beban yang berat, akan terus melangkah dengan mantap, sampai akhirnya mampu menguasai diri, dan beban itu pun terasa enteng.
Di samping itu, bersiaplah untuk sakit kala sehat, sehingga ketika jatuh sakit, kau tidak akan kesal. Bayangkan musibah menimpa dirimu setiap saat, sehingga ketika benar-benar terjadi, kau tidak akan kaget. Bayangkan seluruh hartamu amblas! Jika masih tersisa, anggap itu ghanimah. Bayangkan pula dirimu buta, sehingga setelah matamu rabun, itu tidak akan menjadi masalah. Begitu seterusnya, seperti diungkapkan syair:
Orang yang mempunyai nurani
Mengandaikan musibah terjadi
Sebelum benar-benar terjadi

Begitu musibah menyerang tiba-tiba
Ia tak gentar menghadapinya
Sebab dirinya sudah siaga

Sementara, orang yang hatinya buta
Merasa hari-hari aman-aman saja
Lupa sesuatu bisa menyerbu orang alpa

Begitu beliuang waktu meletakkan bencana
Ia melolong, berharap bantuan segera tiba

Padahal jika ia tangani masalahnya
Dengan hati sekeras baja
Ia pasti tahu bahwa:
“Kesabaran adalah sebaik-baik bala”
         
          Sebagian ulama salaf bercerita, “Aku pernah melihat seorang wanita yang kecantikannya sungguh memukau hati. Aku berkata lirih, ‘Inilah seraut wajah yang tak pernah tersentuh kesedihan.’ Namun wanita itu segera membalas, ‘Jangan berkata begitu. Mestinya aku tidak menceritakan hal ini kepada orang yang sudah kualami. Dulu, aku punya suami. Suatu hari ia membeli seekor domba kurban, lalu menyembelihnya. Setelah itu, anak kami yang lebih tua berkata kepada adiknya, ‘Kemari, kutunjukkan bagaimana tadi ayah menyembelih kambing.’ Dan ia pun menyembelih adiknya. Setelah kami mencari kakak, ia sudah melarikan diri. ayahnya pun pergi mencarinya, tetapi malang, keduanya mati tertimpa bencana.”
          “Aku bergumam, ‘Kalau begitu alangkah sedihnya dirimu.’ Tetapi ia malah menjawab, ‘Andai masih ada kesedihan yang tersisa, niscaya akan kulakukan!”

     TERLALU TAKUT MATI
.........................
Orang berakal tak perlu mencemaskan dirinya secara berlebihan hingga jatuh sakit. Sebab, bagaimanapun, sakit tak bisa ditolak, dan pasti terjadi. Jika terus dicemaskan, itu hanya menambah kepedihan. Begitu pula berlebihan mencemaskan dan memikirkan soal kematian, yang nyata-nyata tak terelakkan. Cukuplah disadari bahwa kematian itu pasti. Jika terlalu diwaspadai, dan terlalu dibayangkan kepedihannya maka yang ada dalam pikiran seseorang hanyalah kematian. Mestinya ia membuang jauh-jauh pikiran semacam itu agar ia bisa memetik untung, dan tidak mengalami kematian berkali-kali.
Cukuplah seseorang menyadari bahwa Allah Swt Mahakuasa. Jika berkehendak, bisa saja Dia meringankan kematiannya. Lagi pula, bukankah peristiwa setelah kematian lebih menakutkan lagi? Kematian hanyalah jembatan menuju tempat tinggal abadi.
Kalaupun manusia diperintah selalu ingat mati, itu maksudnya agar ia banyak berbuat amal, bukan untuk membayangkan atau mengumpamakannya.



Jika dalam hati seseorang terlintas perasaan berat berpisah dengan dunia, ketahuilah bahwa dunia bukanlah negeri kebahagiaan. Kebahagiaan dunia hanya terjadi saat ia lepas dari penderitaan. Tidak sulit mencari contoh kasus semacam ini.
Tetapi, jika ia sedih berpisah dengan dunia karena banyak amal yang dilalaikannya, itulah kesedihan yang terjadi pada ulama salaf. Mu’adz ibn Jabal berdoa menjelang kematiannya, “Ya Allah, Engkau tahu aku tidak mencintai dunia dan berlama-lama tinggal di sana karena aku bisa tidur lelap pada waktu malam, atau menanam pohon-pohonan pada waktu siang. Tetapi, semata karena dahaga di terik membara, karena derita sepanjang masa, karena halaqah (lingkaran) zikir yang senantiasa dipadati kafilah ulama.
Orang yang mendekati kematian mestinya menyadari bahwa kematian adalah detik-detik genting saat seseorang sangat membutuhkan pertolongan. Bahwa kematian adalah sebentuk gambaran tentang kesakitan murni, dan perpisahan dengan segala yang dicintai; dua hal yang kemudian menyatu dengan ketegangan sakaratul maut, juga kekhawatiran tak bisa mempertanggungjawabkan hartanya.
Saat itu setan datang, menyusun tipu daya agar orang itu marah dan kesal kepada Tuhannya. .........................Setan juga membisikkan kata-kata pembangkangan kepada Allah. Dan banyak lagi bujukan lain yang dikemas setan agar kelihatan baik dan terpuji. Nah, pada saat itulah manusia benar-benar membutuhkan pertolongan untuk melawan setan dan memerangi diri sendiri.
....................Agar tidak selalu tersiksa oleh bayangan kematian, seseorang mesti ingat bahwa siapa yang mengingat Allah kala sehat, niscaya ia akan dijaga Allah kala sakit. Siapa yang hatinya terpaut dengan Allah, niscaya seluruh gerakan indranya dikendalikan langsung oleh Allah.
Ibn Abbas meriwayatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia selalu di depanmu. Jika kau mengenal Allah saat kau lapang, niscaya Dia akan mengenalmu saat kau dalam kesulitan.”
Kudengar Nabi Yunus as dibebaskan Allah dari penderitaannya karena ia telah banyak berbuat amal kebaikan sebelumnya. Allah berfirman, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 144) Dan, karena Fir’aun tidak mempunyai amal kebaikan sedikit pun sebelumnya, maka ia tidak mendapat tempat bergantung ketika berada dalam kesulitan. Bahkan dikatakan kepadanya, “Apakah sekarnag kamu baru percaya, padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yasin: 91)
Abdush Shamad al-Zahid berkata menjelang kematiannya, “Tuan, inilah saat yang kusembunyikan padamu bahwa orang yang menyia-nyiakan waktu sehatnya akan disia-siakan pada waktu sakitnya.”
Seorang sahabat bercerita bahwa ia melihat seorang laki-laki tua meminta-minta. “Orang ini,” katanya sahabt tersebut, “tidak memedulikan perintah Allah pada waktu kecilnya. Kini, pada usia tuanya, giliran dialah yang tidak dipedulikan Allah.”
Untuk mengobati penyakit ini, tanamkan ke dalam dirimu keberanian dan rasa percaya diri. katakan, “Kematian hanyalah sebentuk waktu. semoga aku memperoleh ketenangan sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada lagi penderitaan atas diri ayahmu setelah ini.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, 1629)
Abu Bakr ibn ‘Ayyasy terlihat sangat optimis kepada Allah menjelang kematiannya, katanya, “Bagaimana tidak akan optimis, saya sudah berpuasa untuk-Nya selama 80 Ramadhan.”
Al-Mu’tamir ibn Sulayman berkata, “Ayah berkata kepadaku, ‘Anakku bacakan padaku hadits-hadits rukhshah (dispensasi) agar aku menjumpai Allah dalam keadaan baik sangka.”
Jadi, setiap mukmin mesti membuang jauh-jauh bisikan ketakutan, dan menggiring unta sambil berdendang, seperti nyanyian penggembala jauh di pedalaman sahara:
Tuntunlah ia dengan riang gembira
Katakan padanya:
“Besok kalian bertemu sisa air dan gunung.”
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt berkata, ‘Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” Hadits muttafaq ‘alaih.
.........................
Al-Fudhayl ibn ‘Ayadh berkata, “Ketakutan lebih utama daripada harapan. Tetapi, menjelang maut harapan lebih afdhal.” Itulah sebabnya kenapa saya katakan bahwa ketakutan itu seperti cambuk untuk menghalau unta yang jalannya lamban. Jika unta sudah letih, tak ada yang bisa dilakukan selain menemaninya.
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan ketakutan pada diri Umar ibn Abd al-Aziz menjelang kematiannya? Saya jawab, begitu menyadari hak-hak rakyat bergantung di pundaknya, Umar ibn Abd al-Aziz takut kalau hak-hak itu tidak ditunaikan semestinya. Seolah ia ingin mengatakan, “Aku takut kalau dalam memimpin kalian aku telah berpegang pada orang-orang yang salah.” Ini mirip dengan peristiwa Umar ibn al-Khattab. Setelah mendengar Ibn Abbas berkata: “Berbahagialah, wahai Amirul Mikminin; kau telah memimpin kami dengan adil,” kemudian ia pun memberi persaksian, Umar ibn al-Khattab berkata kepada Ibn Abbas, “Apakah persaksianmu ini di hadapan Allah, wahai Ibn Abbas?” (ucapan ini disampaikan Ibn Abbas kepada Amirul Mukminin setelah ia ditusuk musuh seperti diriwayatkan Ahmad dalam al-Musnad, 1/46)
Jika penderitaan si sakit memuncak, itu mesti dilihat dalam konteks pahala. Mereka (generasi awal) bahkan senang jika orang yang sakit mengalami penderitaan memuncak saat nazak (roh dicabut dari raga), sebagai penebus dosa-dosanya. Ibrahim berkata, “Mereka senang berjuang melawan maut.”
Umar ibn Abdul al-Aziz juga berkata, “Aku tidak ingin sakaratul maut terasa ringan. Sebab, itulah kesempatan terakhir seorang muslim menebus dosa-dosanya.”
Orang sakit, selama pikirannya masih normal, mesti terus meningkatkan pertobatan agar berjumpa dengan Allah dalam keadaan suci dari segala dosa, menyatukan wasiat, menyerahkan anak dan keluarganya kepada Allah Swt, karena Dialah Yang Maha Mengatasi segala urusan orang saleh.
Jika ia dibuat gelisah oleh setan, diingatkan pada bala atau cobaan, maka ingatlah bahwa cobaan hanya menimpa tunggangan, sementara sang penunggang sendiri telah pergi. Syariat telah terlewati, dan setelah kematian nanti akan mengantarkannya ke negeri sejuta kenikmatan. Orang yang mantap keimanannya pasti tidak tersentuh kesedihan, sebab ia tahu bahwa akhir perjalanan mukmin adalah kebaikan. Sebaliknya, orang yang tidak mantap keimanannya pasti akan sedih.
Ka’b meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jiwa orang muslim adalah burung yang bergantung di pohon surga, dan akan dikembalikan oleh Allah ke dalam jasadnya.” (diriwayatkan Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir, 5/306, al-Humaidi, 873, dan Thabrani dalam al-Kabir, 19/64)
Kesimpulannya, kematian hendaklah ditakuti sebatas tidak merusak ketahanan fisik dan tidak menimbulkan penderitaan berlebihan. Yang harus ditakuti justru adalah kehidupan setelah kematian. Karena itu, perbanyaklah berbuat amal kebaikan.

     CITA-CITA RENDAH
JIKA CITA-CITA RENDAH adalah watak, itu tidak bisa disembuhkan. Tetapi, jika itu akibat pergaulan dengan orang yang bercita-cita rendah, atau karena dikuasai watak bercampur hawa nafsu, itu masih mungkin bisa diobati dan disembuhkan. Caranya, memutus hubungan dengan orang yang bercita-cita rendah, bersikap antipati kepada mereka, lalu menjali hubungan baru dengan orang-orang yang bercita-cita tinggi.
Di samping itu, ia mesti memikirkan segala akibat, hasil, dan masa depan perilaku masing-masing orang yang bercita-cita tinggi dan rendah. Misalnya, merenungkan apa yang dituturkan Abd al-Shamad, “Seorang yang giat berusaha meninggal dunia, dan meninggalkan satu ciri pelajaran berharga. Orang-orang berkata kepadanya, ‘Hari ini kau meninggal dunia, tetapi kau akan hidup dalam kenangan sepanjang masa.’ Cerita ini akan menghentak kesadaranmu mengenai masalah ini.”
Siapa yang berpikir mengenai orang-orang yang bercita-cita tinggi pasti mengetahui bahwa mereka adalah seperti dirinya juga, baik asalnya maupun sebagai manusia. Yang berbeda adalah bahwa dirinya lebih suka dan tidak bosa lepas dari pola hidup berleha-leha dan menganggur. Ia hanya duduk berpangku tangan, sementara mereka berlari, memacu diri tanpa mengenal lelah. Padahal jika ia mau menggerakkan kaki dengan penuh semangat, ia pun akan mencapai apa yang mereka capai, sebagaimana diungkap syair:

Jika kau takjud pada seorang manusia
Maka jadilah kau seperti dia
Yang kau takjubkan jadi niscaya

Tak ada tirai penghalang
Menuju kebaikan dan kemuliaan
Asal kau mau menapak jalan
         
          Demikian pula orang yang merenungkan kisah ulama-ulama salaf. Ia akan melihat dengan nyata bahwa para ulama dan fukaha berasal dari beragam kalangan; dari orang terpandang, orang lemah, bahkan orang marginal. Hanya, karena cita-cita mereka setinggi langit maka kaki mereka pun melesat dari permukaan bumi.
          Kalau saja orang yang rendah cita-cita itu mau memikirkan risiko dan segala kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya, pasti ia akan menganggap cita-cita rendah itu sebagai musuh yang harus diperangi. Tidak akan ia biarkan dirinya terjerat cita-cita rendah, menyesal karena kehilangan banyak kebaikan, dan nama baiknya jatuh di mata manusia, hidup berleha-leha. Bukankah kejatuhan harga diri di mata manusia adalah sepedih-pedihnya derita?
          Sementara itu, orang yang bekerja keras tanpa mengenal lelah akan merasakan kepuasan mengalir dalam dirinya. Puas, karena di mata manusia ia tidak dipandang hina, juga karena ia memperoleh pangkat yang tinggi di dunia sebelum pangkat di akhirat kelak. Dan, tu membuatnya lupa akan pahit getirnya kepayahan. Seolah-olah, kepayahan tidak mengenal kepuasan, dan kepuasan tidak mengenal kepayahan. 
          Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Seorang penduduk neraka yang ketika di dunia paling berlimpah kenikmatan, didatangi malaikat. Setelah dicelupkan satu kali ke dalam api neraka, ia lalu ditanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, tidak, wahai Tuhanku.’
“Kemudian, seorang penduduk surga, yang ketika di dunia hidupnya paling sengsara, juga didatangi malaikat. Setelah dimasukkan satu kali ke dalam neraka, ia lalu ditanya, “Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah melihat penderitaan?’ Ia menjawab, ‘demi Allah, tidak pernah, wahai Tuhanku! Aku tidak pernah merasakan kesengsaraan, tidak pula melihat penderitaan.’”
Ini artinya, ketika kepayahan terlewati, kebahagiaan akan mengabadi. Sebaliknya, ketika kebahagiaan terlewati, penyesalanlah yang mengabadi.
 
Sekian, salam takzim, anassekukuk. Selesai, Senin, 22 Juni 2020. 08.50 wib.
      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...