TERAPI SPIRITUAL (IBNUL
JAUZI)
Penerbit: Zaman, Jakarta, cet.I, 2010
MENDIDIK
ANAK (125)
Membentuk
perilaku baik paling tepat dilakukan pada waktu kecil. Jika anak
dibiarkan tumbuh dan berkembang mengikuti tabiatnya semata, apalagi kalau
tabiat itu sudah mengeras, tentu akan sulit dibimbing kepada kebaikan,
sebagaimana diungkapkan sebuah syair:
Jika
sebatang ranting kau tegakkan
Ia akan
lurus
Tetapi jika
sebatang kayu
Ia tak ‘kan
lunak
Pada masa
muda tatakrama
Pelan-pelan
mungkin diterima
Tetapi pada
masa tua tidaklah berguna
Cukup penting
latihan dilakukan secara rutin dan kontinyu, terutama pada anak-anak, agar ia
terbiasa melakukan hal-hal baik. Diungkapkan dalam syair:
Jangan lalaikan mendidik anak
Meski ia mengeluh kelelahan
Seperti
dokter yang harus mengenali pasiennya terlebih dahulu –usia, status, dan
waktunya- sebelum mengobatinya, begitulah seharusnya latihan diberikan kepada
seseorang disesuaikan dengan tingkat keadaannya. Anak-anak, apakah akan
berhasil atau tidak, gejalanya sebenarnya sudah terlihat sejak usia dini. Anak
yang cerdas, dengan sendirinya, memiliki perhatian yang tinggi terhadap
belajar, sementara bagi anak yang bodoh, belajar dianggap tidak berguna. Ia
sama dengan orang rendahan yang bagaimanapun dilatih tetap saja tidak akan
pandai. Tetapi, siapa pun mereka, anak mestilah didampingi dan diperhatikan.
Seseorang
berkata kepada Sufyan al-Tsauri, “Kami memukuli anak-anak agar mau mengerjakan
shalat.” Ia menjawab, “Jangan, buatlah mereka senang mengerjakan shalat!”
Zubayd
al-Yafi malah berkata kepada anak-anaknya, “Siapa di antara kalian mengerjakan
shalat, kuberi lima hadiah.”
Ibrahim bin
Adham berkata, “Kepada masing-masing anakku kuminta menyebutkan hadits. Setiap
hadits yang kuhargai 1 dirham. Ternyata berhasil, mereka pun lalu giat mencari
hadits.”
Harus
disadari orangtua bahwa anak adalah amanah Allah. Karena itu, jauhkan anak dia
sejak dini dari teman yang buruk, jangan biasakan berlaku tidak baik, dan
dekatkan dengan kebaikan. Sebab, hatinya masih kosong, apapun yang dilontarkan
ke sana akan langsung diterima. Tanamkan kecintaan untuk bersikap malu dan
dermawan.
Ceritakan
kepadanya kisah orang-orang saleh. Jauhkan dari cerita seronok, sebab itu
adalah sumber bencana dan benih kerusakan. Jika ia terlanjur berbuat salah,
lupakan kesalahannya, dan jangan beberkan kepada gurunya. Tegurlah ia dengan
halus.
Jangan
biarkan anak-anak terlalu banyak makan dan tidur. Biasakan ia bantu-bantu di
dapur atau merapikan tempat tidur, agar badannya sehat dan bugar. Latihlah juga
berolahraga, seperti joging dan jalan santai. Ajarilah sopan santun, misalnya
jangan membelakangi orang, jangan beringus atau beruap di depan orang. Jika ia
sangat bergantung pada satu sifat buruk, palingkan segera darinya sebelum sifat
itu mendarah daging. Bahkan, tidak apa-apa dipukul, jika cara halus sudah tidak
mempan..
Luqman
berkata kepada anaknya, “Anakku, pukulan orangtua terhadap anaknya ibarat pupuk
bagi tanaman.”
Ketika
melihat bayi sedang menetek, perlakukan dengan halus. Sebab, Ibn Abbas berkata,
“Bagi bayi, menetek menambah kecerdasan.:
Kata
orang-orang bijak, “Anak usia 7 tahun adalah bunga hidupmu, juga pelayanmu.
Pada usia 14 tahun, jika ia diperlakukan dengan
baik, niscaya akan menjadi temanmu, tetapi jika diperlakukan dengan buruk,
niscaya akan menjadi musuhmu.”
Jangan pukul anak yang sudah baligh, juga jangan
diperlakukan dengan buruk. Sebab, saat itu ia sedang berusaha memantapkan jati
dirinya, berusaha lepas dari dari pengaruh orang tuanya. Jika sampai umur 20
tahun anak masih belum baik, ia sulit diharap menjadi baik, kecuali didampingi
secara serius dan terus-menerus. [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]
MALAS
(106)
Penyebab
malas adalah kecenderungan terhadap pola hidup santai, dan tak mau
bersusah-payah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Mali,
bahwa Rasulullah Saw sering sekali membaca doa:
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan, kesedihan, kelemahan,
dan kemalasan.”
Muslim juga
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang kuat lebih
baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah.”
....Ibnu
Mas’ud berkata, “Sungguh, tak ada orang yang lebih kubenci yang pernah kulihat
selain pengaggur yang tak melakukan apa-apa, baik urusan dunia amaupun akhirat.”
Ia
menambahkan, “Kelak pada akhir zaman akan muncul sekelompok orang yang
perkerjaan utama mereka adalah saling mencerca, dan itu mereka sebut bekerja.”
Ibnu Abbas
berkata, “Jika sikap lamban menyatu dengan sikap malas hasilnya adalah
kemiskinan.”
Malik ibn
Dinar berkata, “Setiap perbuatan baik seseorang, sekecil apapun, pasti akan
membawa hasil. Jika ia tekun dan sabar, perbuatan baiknya akan memberi
kepuasan. Tetapi, jika ia merasa tertekan, ia pasti akan urung melanjutkan.”
Berkata
pula Sufyan al-Tsauri, “Telah berlalu kaum penunggang kuda yang gagah, kini
tinggallah kita di punggung keledai yang kalah.”
Cara
Mengobati Penyakit Malas
Cara
mengobati penyakit malas adalah memancangkan cita-cita setinggi-tingginya,
siaga menghadapi resiko apa saja, dan waspada jangan sampai putus asa. Sebab,
resiko terbesar bagi orang yang bercita-cita besar adalah putus asa _meskipun
dilihat dari segi kesungguhan usahanya, ia tetap mendapat pahala.
Di samping
cara di atas, orang yang akalnya sehat mesti memikirkan sisi negatif sifat
malas ini. Tak jarang orang yang hidupnya santai kemudian dirundung kerugian
dan penyesalan. Ketika melihat tetangganya pergi bekerja, lalu kembali dengan
membawa hasil melimpah, maka penyesalannya semakin bertambah. Ia juga semakin
putus asa. Demikian pula dengan orang yang malas ketika melihat temannya yang
rajin menjadi alim dan dalam ilmunya. Ini artinya, penderitaan yang diakibatkan
kelalaian bersumber dari lezatnya kemalasan. (..kalau boleh di sini kami
tambahkan: ketika melihat orang lain berhasil, bisa jadi orang ini kemudian
merasa iri/dengki. di bahasan tentang sifat “Dengki”, Ibnul Jauzi memaparkan
bahwa: ..dengki ini biasanya hanya terhadap apa yang dipandang dari segi
keberhasilan dunia. Tidak akan ditemui orang yang mendengki karena melihat
orang lain karena ia rajin shalat malam. Demikian pula ulama, didengki bukan
karena ilmu dan kealimannya, malainkan karena ia menjadi buah bibir orang...
Dari sini, kita bisa melihat, sifat dengki yang muncul bisa jadi muncul sebagai
akibat dari kemalasan, cita-cita rendah, akan tetapi apabila melihat otang lain
berhasil, ia merasa iri karena tidak mendapatkan hal yang demikian. Padahal,
jika saja ia mau memasang terget atau cita-cita tinggi, diikuti gerak nyata
untuk meraihnya, maka bisa jadi dia juga bisa mencapai apa yang bisa dicapai
oleh orang yang didengkinya. Wallahu a’lam, wallahul musta’an...)
Semua orang
bijak sepakat bahwa kebajikan tidak mungkin diraih melalui sikap santai dan
bermalas-malasan. Siapa yang mencicipi buah kemalasan pasti akan menjauhinya.
Sebaliknya, siapa yang mencicipi buah kesungguhan pasti tidak akan menghiraukan
setiap rintangan yang menghadang.
Orang yang
mempunyai hati nurani pasti sadar bahwa dirinya tidak boleh main-main. Bahwa ia
di dunia seperti seorang pekerja atau pedagang. Bahwa kesempatan untuk beramal,
bila dibandingkan dengan lamanya waktu di alam kubur, hanyalah seperti sekejap
mata. Apalagi bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal. Ketika
sudah di surga atau neraka, tak ada yang bisa dilakukan.
Salah satu
obat yang mujarab untuk mengobati penyakit ini adalah merenungi kisah
perjalanan hidup orang-orang yang giat dan rajin. Sungguh mengherankan orang
yang memilih jadi penganggur di musim keberuntungan, dan tidak cepat-cepat
ambil bagian saat hasil panen melimpah.
Farqad
berkata, “Kalian mengenakan baju santai sebelum bekerja. Coba lihat para
pekerja yang tengah memeras keringat; saat bekerja mereka mengenakan pakaian
paling jelek, tetapi usai bekerja mereka lalu mandi dan mengenakan 2 baju
bersih sekaligus. Sementara kalian tetap saja mengenakan baju santai sebelum
bekerja. [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]
MELAWAN CINTA
BERAHI (h.21)
Cinta
berahi adalah jenis penyakit yang telah merusak sebagian besar manusia, baik
fisik maupun agama mereka, atau malah keduanya. Untuk itu, saya (Ibnu Jauzi)
telah menulis sebuah buku berjudul Dzamm al-Hawa yang di dalamnya secara
detail saya paparkan beberapa terapi cukup memadai dan mujarab. Di sini saya
akan menyinggungnya secara umum, sekadar memenuhi apa yang sudah ditetapkan
dalam buku ini.
Orang yang
menghindarkan diri dari pergaulan dengan manusia, seraya menutup mata dan
menahan pandangannya, pasti akan selamat dari jenis penyakit ini. Kalau tidak,
ia akan terjangkit penyakit ini sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam
pergaulan itu. Jika hal itu segera disadari, mungkin obat masih bermanfaat. Tetapi
jika hal itu dibiarkan sampai mengakar kuat maka obat tidak akan mempan lagi.
Perlu
diketahui bahwa pandangan sekilas terhadap orang yang dianggap cantik hampir
dipastikan tidak akan merangsang tumbuhnya perasaan cinta. Sebab, cinta tumbuh
karena pandangan yang berulang-ulang, kemudian semakin membara dipicu oleh
faktor usia muda, hawa nafsu, dan perasaan ingin memiliki yang begitu kuat.
Karena itu, siapa yang ingin sembuh dari penyakit ini, hendaklah segera
bertindak sebelum ia menjadi akut dan kronis. Caranya dengan menghindari
sumber-sumber penyebabnya dan sabar menghadapi pahit getirnya. Sebab, bertahan
dalam penderitaan adalah sebaik-baiknya pengobatan. Tetapi, cara paling banyak
membantu adalah rasa takut kepada Allah dan semangat untuk menjaga diri agar
tidak terjerumus ke lembah kehinaan. Di samping itu, ia mesti mengingat aib
yang ada pada diri sang kekasih, sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud, “Apabila di
antara kalian terpesona pada seorang wanita, ingatlah aib dan kekurangannya!”
Namun, jika
kekasih bisa dimiliki maka itu adalah obat paling mujarab. Pernikahan bisa
meringankan penyakit itu. Begitu juga dengan berkelana, merenungkan
pengkhianatan, membaca buku-buku tentang zuhud, mengingat mati, menjenguk orang
sakit, dan ziarah kubur. Lalu berpikir bahwa orang uang dicintainya itu
menyimpan maksud-maksud tertentu, suatu saat akan menjemukan dan berpisah.
Pokoknya semua akan berubah.
Karena itu,
setiap orang hendaklah mengambil pelajaran dari diri sendiri dan orang lain. Siapa
tahu orang lain dapat menuntun dirinya, melepaskannya dari jerat perasaan
cinta, dan membebaskannya dari masalah yang sangat pelik itu. [terapi spiritual, ibnu al-jauzi]
PEMASUKAN
DAN PENGELUARAN (h. 44)
Sudah
selayaknya orang berakal sehat mencari nafkah melebihi kebutuhannya sehingga
ketika terjadi kehilangan, ia langsung mendapatkan gantinya. Dan ketika ia
sudah tidak mampu lagi mencari nafkah, ia memiliki jaminan hidup untuk
menjalani sisa umurnya. Jika ia punya anak, atau ia –bahkan anaknya- mau
beristri lagi atau menambah pembantu lagi, ia masih bisa mencukupinya.
Dengan
kata lain, pengeluaran harus lebih kecil daripada pemasukan. Kumpulkan harta
lebih dari yang dibutuhkan sebagai jaminan bila kelak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Inilah cara berpikir akal sehat yang berpandangan jauh ke
depan dan mempertimbangkan resiko yang mungkin terjadi; sesuatu yang sama
sekali tidak dipedulikan hawa nafsu. Dalam sebuah hadits marfu’
–dalam riwayat lain dikatakan mauquf- dari Abu Darda’ disebutkan: “Salah satu
ciri orang berakal adalah pandangannya yang jauh menyangkut penghidupannya.”
(diriwayatkan Abu Na’im dalam al-Hilyah, 1/211, dari Abu Darda’ sebagai hadits
mauquf)
DENGKI
(h. 48)
DENGKI
ATAU IRI artinya berharap agar kesenangan orang lain lenyap, meskipun kesenangan
itu tidak harus berpindah kepada si pendengki. Penyakit ini
berasal dari rasa tidak suka dirinya terlihat sama dengan yang lain; ia ingin
tampak lebih tinggi dan lebih istimewa. Ketika orang lain mendapat
kesenangan yang membuatnya terlihat istimewa, orang ini jadi sakit hati, sebab
merasa ada yang menandingi atau melebihi dirinya. Dan, sakit hati ini tidak
akan lenyap sebelum kesenangan orang yang ia dengki itu lenyap.
Penyakit
ini hampir tidak bisa dicabut dari hati seseorang. Keberadaannya bukanlah suatu
dosa. Yang berdosa adalah apabila ia berharap kesenangan saudaranya sesama
muslim itu lenyap.
Dengki
membuat seseorang tidak bisa tidur, tidak berselera makan, wajah
menjadi kusam, sedih terus-menerus, dan merusak pergaulan.
Seorang
Arab badui yang sedang memasuki umur 100 tahun ditanya, “Bagaimana kamu bisa
panjang umur?” Dia lalu menjawab, “Saya tinggalkan sifat dengki.”
Ketahuilah
bahwa dengki hanyalah menyangkut urusan dunia. Tidak akan kamu jumpai seseorang
mendengki orang lain karena ia rajin mengerjakan shalat malam atau berpuasa
sehari penuh. Demikian pula ulama didengki bukan karena ilmu dan kealimannya,
melainkan karena ia menjadi buah bibir orang banyak,
Untuk mengobati penyakit ini seseorang
mesti sadar bahwa segala yang telah ditetapkan Tuhan
pasti terjadi, tak mungkin diubah atau ditolak. Sadar bahwa Zat yang
membagi-bagikan rezeki sangatlah Mahabijaksana. Dia juga Sang Pemilik Mutlak;
Dia yang memberi dan yang tidak. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dari
pangkal permulaan sampai ujung penghabisan. Dan, orang yang dengki seolah-olah
menentang kehendak Sang Pemberi, yaitu Allah Swt. Sungguh tepat apa yang
dikatakan orang bijak:
Katakan
pada orang yang mendengkiku:
“Tahukah
kamu,
Kepada
siapa kamu kurang ajar?
Kamu
telah kurang ajar kepada Allah
Atas
apa yang Dia perbuat
Sebab,
kamu tidak lega hati
Terhadap
apa yang Dia berikan kepadaku
Lalu
Dia membalas perbuatanmu;
Dia
tambahi aku
Dia
tutup pintu permintaanmu.”
Orang
yang dengki tidak mungkin mengurangi rezeki orang yang ia dengki, dan tidak
dapat mengambil miliknya. Keinginan pendengki agar kesenangannya lepas dari
tangannya adalah kezaliman yang nyata. Mestinya pendengki memperhatikan
bagaimana orang yang ia dengki itu. Jika ia hanya memperoleh dunia, ia malah
patutnya dikasihani, bukannya didengki. Sebab, dunia biasanya tidak memberi
keuntungan apa-apa, malah hanya menjadi sumber bencana. Bukankah harta yang
berlebih itu malapetaka?
Al-Mutanabbi
menulis:
Kenanglah
pemuda
Karena
kehidupan akhiratnya
Ia
butuhkan dunia
Sekadar
memenuhi hajat hidupnya
Lebih
dari itu hanya sibukkan dirinya
Maksudnya,
yang banyak harta dirundung kecemasan, yang punya kekuasaan selalu khawatir akan
dicopot dari jabatan.
Ketahuilah
bahwa kesenangan banyak menyimpan kotoran, dan tidak bertahan lama. Padahal,
musibah tengah menunggu di depan mata. Dan, orang yang menikmati kesenangan
hakikatnya tengah menunggu pergi kesenangan tersebut. Atau, kesenangan itu
sendiri yang menunggu perginya orang tersebut.
Ketahui
pula bahwa kesenangan yang ia dengki belum tentu merupakan kesenangan bagi
orang yang ia dengki. Sebab, umumnya manusia mengira orang yang bernasib baik
berada dalam puncak kesenangan. Mereka tidak sadar bahwa begitu seseorang mencapai
apa yang diinginkan, ia akan merasa biasa-biasa saja, seolah hanya sebuah
bayangan tak berwujud. Dan, segera setelah itu ia akan menginginkan sesuatu
yang lebih tinggi lagi. Padahal, di mata si pendengki hal itu tampak hebat dan
nyata.
Si
pendengki mestinya juga tahu bahwa andai orang yang ia dengki itu menghukumnya,
tentu hal itu tidak sesakit dengkinya itu.
Jika di
antara terapi di atas tidak ada yang mempan untuk mengobati penyakit dengki,
cobalah berpikir lebih jauh tentang berbagai hal yang menyebabkan orang yang ia
dengki itu dapat meraih kesenangan tersebut.
Sebagian
ulama salaf berkata, “Aku memang takut sedih, tetapi lebih takut lagi pada
dengki. Sebab, bila seseorang dengki terhadap tetangganya yang kaya, tentu ia
akan berpetualang jauh untuk berdagang, dengan harapan bisa menjadi seperti
dia. Atau karena tetangganya alim, lalu ia belajar terus-menerus hingga lupa
untuk istirahat. Awalnya ia akan dipandang sebagai pahlawan, tetapi kemudian,
setelah kemuliaan tercapai, mereka akan mencemoohnya.
Alangkah
tepat apa yang disenandungkan al-Ridha:
Kenapa aku
tak tersusul domba
Bahkan
mengangkatku sebagai kepala
Karena aku
baik, indah, dan mulia
Mataku
menyempit
Karena di
akhir malam
Kuterjaga
mencari kemuliaan
Sedang
mereka (terlelap?) sampai pagi
Sementara
aku terpesona keutamaan
Mereka
tidak
Sementara
aku menetak pepohonan
Mereka
tidak
Andai di
mataku
Tak ada
pijar wibawa
Tentu musuh
tak tunduk padaku
Malah
mencercaku
Jika sudah disadari bahwa si
pendengki tak mungkin lagi memperoleh seperti apa yang diperoleh orang yang ia
dengki, maka tak ada pilihan lain kecuali mengendalikan bisikan hati, dan
menahan diri agar mulut tidak lagi menggunjingkannya.
Banyak hadits yang mengungkap jeleknya
sifat dengki ini, di antaranya hadits dari al-Zubair ibn al-Awwam bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Kalian telah mewarisi penyakit umat sebelum kalian,
yaitu dengki dan benci. Benci adalah pencukur, bukan pencukur rambut, melainkan
pencukur agama. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian
tidaklah beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian saya beritahu
sesuatu yang jika kalian kerjakan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah
salam di antara kalian.” (Diriwayatkan Ahmad, 1/165 dan 167, al-Baihaqi 10/232, al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah,
12/259, dan At-Tirmidzi (2510))
Amr
ibn Maimun berkata bahwa Nabi Musa as melihat seorang laki-laki
di Arsy yang menginginkan kedudukannya. Ia lalu menanyakan hal itu dan dijawab,
“Aku beritahu apa amal yang ia lakukan. Ia tidak dengki kepada siapa pun atas
karunia yang diberikan Allah, tidak pula mengadu domba, dan tidak durhaka
kepada kedua orang tuanya.”
Salim
meriwayatkan
dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Iri hati tidak diperbolehkan
kecuali kepada 2 orang; orang yang diberi kemampuan membaca Al-Qur’an oleh
Allah kemudian melaksanakannya siang dan malam, dan orang yang diberi harta
oleh Allah kemudian ia menginfakkannya untuk kebenaran siang dan malam.”
(muttafaq alaih, diriwayatkan Bukhari 2/134, 9/78 dan 126; Muslim, hal.559)
DENDAM
(h.56)
DENDAM
ADALAH KESAN yang membekas di hati akibat perlakuan buruk seseorang. Memang,
akal tidak bisa menepis begitu saja kesan dari perlakuan buruk ini sebagaimana
ia tidak bisa menepis akibat perlakuan baik seseorang.
Abdullah
ibn Ka’ab ibn Malik berkata, “Aku pernah mendengar Ka’ab ibn Malik bercerita
tentang dirinya ketika berpaling dari Rasulullah. Ia bercerita panjang lebar
sampai akhirnya ia bertobat. Katanya, ‘Aku lalu masuk ke masjid. Di sana aku
melihat Rasulullah Saw sedang duduk dikelilingi para sahabat.
Lalu Thalhah ibn Abdullah ibn Ubaidillah bergegas bangkit dan menjabat tanganku
serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tak seorang pun waktu itu yang
bangkit menyambutku selain Thalhah.’ Dan, Ka’ab tidak dapat melupakan peristiwa
itu daru Thalhah.” (diriwayatkan Bukhari 6/4, dan Muslim “al-Taubah”, 53).
Jika yang baik tidak dapat dilupakan, yang buruk
pun demikian. Hanya saja, kita disunnahkan untuk berupaya keras mengikis yang
buruk itu dari hati kita dengan cara memberi maaf dan berjabat tangan. Dengan
memberi maaf, pertama kita mendapat pahala, kedua kita bersyukur kepada Zat
yang telah menjadikan kita pemaaf, dan menjadikan orang lain yang berbuat salah
(bukan kita yang berbuat kesalahan/keburukan tersebut, ansskd). Pemberian maaf
ini akan lebih sempurna apabila disertai dengan sikap rela hati, yakni dengan
menghapus segala kesan buruk yang ada di hati.
Cara lain yang lebih halus adalah menyadari
sepenuhnya bahwa ia disakiti orang lain justru akibat dosanya sendiri, sebagai tebusan
atas kesalahannya, untuk mengangkat derajatnya, atau untuk menguji
kesabarannya. Cara yang lebih halus lagi adalah menyadari bahwa segala yang
terjadi sudah ditentukan langsung oleh Allah Swt.
[terapi
spiritual, ibnul jauzi]
RIWAYAT
HIDUP TELADAN (h.29)
ORANG BAIK
DITANDAI dengan pendidikannya yang baik. Kemampuannya diasah sejak kecil,
begitu pula penajaman akalnya. Bukankah kecerdasan tumbuh sejak usia dini.
(Silakan rujuk firman Allah Swt dalam Al-Anbiya’: 51).
Ia juga
diberi potensi oleh Allah berupa cita-cita yang tinggi dan kemuliaan jiwa.
Potensi inilah yang kemudian mendorongnya meraih kemuliaan dan mencegahnya
terpuruk ke lembah kehinaan. Ketika sedang bermain dengan teman-temannya, ia
cenderung menjadi pemimpin bagi mereka. Ia tumbuh dengan sikap dan perilaku
luhur tanpa harus ditakut-takuti atau diancam. Setiap latihan yang diberikan, walau
hanya sebentar, langsung melekat. Ia seperti baja yang langsung tajam dengan
sekali asahan, bukan seperti besi yang harus diasah berulang-ulang.
Ketika
pikirannya mulai aktif, mulai membuat kesimpulan-kesimpulan tentang Zat Sang
Pencipta, mulai sadar mengapa dan untuk apa ia diciptakan, apa pesan-pesan
Tuhan kepadanya, dan kemana akhir kehidupannya, ia pun lalu bangkit mencari
ilmu hingga dapat mengungkap hakikat dari semua itu. Ia lalu tahu bahwa tak ada
yang lebih utama daripada ilmu dan amal, sebab hanya 2 hal itulah yang dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Karena itu, ia kerahkan seluruh kekuatan
dirinya, ia bangkitkan niat dan semangatnya, demi kesempurnaan ilmu dan amal
tersebut.
Kau lihat
sebagian orang merasa puas dengan hanya satu disiplin ilmu. Ada yang
menghabiskan umurnya dengan ilmu Nahwu, ada yang menghabiskannya dengan hadits.
Tetapi, baginya semua ilmu haruslah dicari. Hanya saja, ia sadar bahwa umurnya
tidak mungkin muat untuk mempelajari ilmu seluruhnya. Karena itu, ia hanya
mencari ilmu yang ia butuhkan sebagai bekal perjalanannya menuju Allah Swt lalu
mengamalkannya.
Kaulihat ia
benar-benar disiplin menjaga umurnya agar tidak berlalu sia-sia, sementara apa
yang ia tuju belum tercapai. Ia tidak membuang-buang waktu untuk sesuatu yang
tidak penting. Waktu senggangnya hanya ketika tertidur dan makan. Ia sadar
betul, betapa singkatnya kehidupan dunia ini, sebagai mana diungkap sebuah
syair:
Tunaikan
hajatmu segera
Umurmu
hanya sebatas pengembara
Kencangkan
kuda pacuanmu
Capailah
garis finish di depanmu
Niscaya
mereka takluk di belakangmu.
Ia selalu
giat mengisi waktunya dengan sesuatu yang bermanfaat, menaklukkan hawa
nafsunya, menekuni ilmu yang dipandang penting dan berguna. Tujuannya jelas dan
mantap, hatinya bersih dan tidak disibukkan oleh sesuatu yang sia-sia. Seluruh inderanya
dikerahkan untuk taat kepada Tuhannya. Apa yang dianugerahkan Allah cukuplah
baginya, tidak butuh pemberian makhluk, dan menjauhkan diri dari harta mereka
demi menjaga kehormatan dirinya. Tetapi, jika makhluk yang merasa tidak
membutuhkan dirinya, mereka akan binasa. Karena itu, peringatannya adalah
sumber keselamatan mereka.
Jika ia
hidup bersama masyarakat, ia akan terus menyadarkan mereka tanpa pamrih, tanpa
harus diberi imbalan oleh mereka. Jika masyarakat minta pertimbangannya, ia
segera menyambut dengan nasihat-nasihat, walaupun sebenarnya ia disibukkan
dengan dirinya sendiri, dan ingin pergi meninggalkan mereka. Sebenarnya, ia
ingin sekali menyatukan tekad untuk menjalani tiap detik waktunya hanya menuju
Allah, menambah bekal amal sebanyak mungkin hingga akhir hayatnya. Ia juga
ingin mengajarkan ilmu, agar setelah wafat ia tetap hidup bersama ilmu yang
diajarkannya itu.
Ia juga
hidup zuhud, makan sekadar untuk memulihkan tenaga. Bila ia ingin berpuas-puas,
ia melakukannya sebatas yang dibolehkan agama, dan dengan tujuan agar ia mampu
menunaikan semua beban dan tanggungjawabnya. Ia juga tak henti-hentinya
menajamkan mata hatinya kepada Allah hingga ia terpesona dan jatuh cinta, yang
lalu tumpah dan menenggelamkannya ke dalam sebuah samudera ibadah. Hanya saja
tubuhnya yang bersanding dengan makhluk. Sementara hatinya bermesra dengan
Allah. Dan ia adalah sekuntum bunga-Nya di bumi.
Jiwa para
murid (orang yang bertekad menuju Allah) bernapas dengan menghirup udara salah
seorang di antara mereka, juga dengan lafaz-Nya. Ketulusan mereka menyemerbak
setelah terkuburnya salah seorang di antara mereka yang berpulang ke hadirat
Allah Swt. Dengan kekuasaan-Nya, tanah pekuburan mereka menyimpan wibawa. Dan,
setiap murid yang mengenang amal mereka yang pasti bertambah kokoh
kesabarannya.
Ahli taqwa
adalah bintang-gemintang di ufuk kiamat. Mereka laksana matahari Allah Swt,
atau bulan-Nya.
Dengan
keluasan fadhilah-Nya, semoga Allah Swt memberi kita petunjuk untuk mengikuti
dan menyusul langkah mereka. Dialah Zat Yang Mahamendengar lagi Mahadekat
dengan hamba-Nya. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah atas junjungan
kita. Muhammad, segenap keluarganya dan
sahabat-sahabatnya.
MENGENALI
AIB DIRI (h.112)
Ada
7 cara cara mengenali aib diri:
1.
Memilih teman
yang bisa mengkritik, yang bisa ditanyai segala hal tentang kejelekan dan aib
dirinya. Ketika teman itu membeberkan segala aibnya, ia pun harus antusias dan
bangga mendengarkannya, tidak menunjukkan rasa sedih dan kecewa sehingga
teman itu tidak mengurangi apa yang ingin diungkapkannya. Bahkan, jika harus
berkata, “Jika masih ada yang kau sembunyikan dariku, berarti kau menipuku.”
2.
Mencari tahu apa yang dikatakan
tetangga dan kawan-kawannya tentang dirinya, juga tentang pujian dan cercaan
mereka.
3.
Memperhatikan apa yang
dikatakan oleh musuh. Sebab, musuh adalah pencari aib. Dari sisi ini, orang
dapat mengambil manfaat dari musuhnya, manfaat yang tidak mungkin didapat dari
temannya. Jika teman menutupi aib dan kekurangannya, maka musuhlah yang akan membeberkannya.
Ketika aib yang didapat dari musuhnya telah dikenalinya, tentu ia akan
menjauhinya.
4.
Membayangkan perbuatan dirinya
dilakukan orang lain. Jika dipandang baik, lakukanlah, jika dipandang buruk,
tinggalkanlah!
5.
Memikirkan dengan akal sehat
segala dampak dan akibat perilaku dirinya. Dengan begitu, ia akan melihat aib
sebagai aib, kebaikan sebagai kebaikan. Pikiran yang jujur pasti akan diikuti
dan ditaati.
6.
Meletakkan setiap perbuatan
dalam koridor syariat, dalam kerangka akal sehat, dan menempatkannya dalam
kerangka keadilan. Dengan begitu, ia akan tahu mana yang utama dan mana yang
hina.
7.
Membaca riwayat hidup ahli
kebaikan kemudian membandingkan perbuatan mereka dengan perbuatan dirinya.
Dengan demikian, ia akan tahu bahwa kekurangan merupakan aib yang harus
dijauhi, dan jangan mengerjakan perbuatan buruk.
MELATIH
DIRI (h.25)
.......Manusia
harus melatih diri untuk memerangi potensi nafsu, menaklukkan potensi amarah,
mengikuti potensi nalar, sehingga ia mendekati malaikat, dan terbebas dari
perbudakan potensi nafsu maupun amarah.
Melatih
diri harus dilakukan secara pelan-pelan, setahap demi setahap, tak perlu
keras-keras atau terlalu ketat. Biarkan diri kadang ingin, kadang enggan. Namun
demikian, upaya melatih diri ini dapat dibantu dengan banyak cara; banyak
bergaul dengan orang-orang pilihan, menjauhi orang-orang jahat, mengkaji
Al-Qur’an dan hadits, dan meneliti biografi orang-orang bijak dan ahli zuhud.
Seorang ulama salaf sangat menyukai
makan buah manis. Maka, ia siapkan buah manis itu dan memakannya setiap selesai
mengerjakan shalat malam.
Ats-Tsauri
makan apa saja yang diinginkan, tetapi ia menjalani ibadahnya sepanjang malam
hingga subuh. Setelah itu ia akan berkata, “Orang negro menyuapi anaknya.”
Demikianlah ahli hakikat melatih diri secara berproses, sampai akhirnya mereka
mampu menguasai dan menundukkannya.
.....Jika
nafsu mendapati dirimu giat, ia akan giat. Tetapi, jika ia mendapati dirimu
malas, ia ingin agar kamu terus malas, sebagai diungkap sebuah syair:
Begitu
seorang dermawan
mengenal
sifat kedermawanan
ia akan
ketagihan dan takut kehilangan
Cara lain
untuk melatih diri adalah mengintrospeksi setiap perbuatan dan perkataan, dosa
dan kekurangan. Manakala latihan ini sempurna, diri akan memuji jerih payah
yang sebelumnya ia caci maki.
Berkata
Tsabit al-Banani, “20 lamanya kuarungi malam dengan penderitaan, 20 tahun
kemudian kujalani malam dengan kebahagiaan.”
Berkata Abu
Yazid, “Tidak henti-hentinya kusetir diriku menuju Allah seraya menangis,
sampai akhirnya aku tertawa.”
Senada
dengan itu, seorang penyair menulis:
Setiap mata
terbuka
Tak
henti-hentinya kumenangis dan tertawa
Sampai
kubilas bulu mataku dengan darah.
Tetapi
setelah itu, jangan lupa memenuhi apa yang menjadi haknya, antara lain,
memenuhi apa saja keinginannya asal tidak tercela, dan tidak menghalangi
tercapainya tujuan riyadhah. Sebab, jika semua keinginan dicegah, hati akan
buta, semangat akan mengendor, ibadah pun dilakukannya dengan terpaksa. Bukankah
porsi diri di sisi Allah lebih besar dibanding porsi ibadah? Itulah sebabnya
kenapa Allah memberi keringan kepada musafir untuk tidak berpuasa. Misteri ini
hanya mungkin dipahami oleh ulama yang benar-benar mendalami ilmunya.
MARAH
(h.58)
Sifat
marah menunggangi manusia untuk menangkal dan memberi perlawanan
terhadap sesuatu yang mencoba menyakiti dirinya. Sifat ini menjadi tercela
manakala ia melampaui batas yang menyebabkan seseorang lepas kontrol, bertindak
di luar batas kewajaran, dan melenceng dari kebenaran meskipun sangat boleh
jadi kadar kebenaran tersebut lebih banyak dimiliki oleh orang yang marah
daripada orang yang dimarahi.
Kemarahan ibarat api panas yang mudah
mengebar begitu terdapat sesuatu yang memancing kemarahan tersebut. Darah yang
semula tenang jadi bergolak dan memberontak. Tak jarang hal ini menyebabkan
suhu badan jadi panas.
Penyakit
ini umumnya disebabkan oleh rasa tinggi hati atau sombong. Sebab, seseorang
biasanya tidak akan marah kepada orang lain yang lebih tinggi dibandingkan
dirinya. Untuk mengobati penyakit ini, seseorang mesti menenangkan diri dan
mengubah pola keadaannya; jika sedang berbicara, diamlah; jika sedang berdiri,
duduklah; jika sedang duduk, berbaringlah. Dengan begitu, ia bisa tenang dengan
cepat. Dan, akan lebih baik lagi apabila ia meninggalkan tempat itu dan menjauh
dari orang yang ia marahi.
Di
samping itu, ia juga mesti merenungkan keutamaan menahan amarah. Bukankah Allah
Swt memuji
suatu kaum yang Dia firmankan, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang (lain).” Jika dia sadar bahwa apa yang terjadi
merupakan akibat dari dosanya sendiri, juga memperhatikan apa yang jelaskan
sebelum ini dalam bab “Dendam”, tentu persoalannya akan menjadi ringan.
...Ibnu
Jauzi kemudian mengemukakan hadits tentang pesan Rasulullah Saw kepada salah
satu sahabat untuk jangan marah, bahwa bukanlah kekuatan orang yang jago
begulat, tetapi orang kuat ialah yang bisa mengendalikan amarahnya, kemudian
tuntunan untuk membaca ta’awudz ketika marah....
Abu Dawud
meriwayatkan dari Abu dzar bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang
di antara kalian sedang marah saat berdiri, maka duduklah! Jika belum hilang
juga, maka berbaringlah! Sebab, menurut al-Khattabi, dalam konteks ini orang
yang berdiri lebih mungkin untuk bertindak kasar. (Diriwayatkan Abu Dawud dalam
al-Adab, bab 4, 4782, Ahmad, 5/152, Syarh al-Sunnah, 3/162, dan Mawarid al-Zham’an, 1973).
(...Di
sini, saya jadi teringat ketika salah seorang ustadz mencontohkan ketika
seseorang yang marah ingin menonjok lawannya, dalam keadaan berdiri, kepalan
tangannya akan mudah sampai ke tujuan karena jarak dan kemungkinan manuver
tubuh saat berdiri mendukung untuk itu. Kemudian beliau duduk, dan mencoba
untuk memukul, dan terlihat pukulan yang dilayangkan agak sulit mengenai
target, ansskd...)
Jika orang
yang sedang marah tidak dapat menguasai diri dengan cepat, ia akan menghadapi
kerugian yang akan ia sesali seumur hidup, baik menyangkut dirinya sendiri atau
orang yang ia marahi. Tak jarang, orang yang marah lalu melukai anaknya
sendiri, atau bahkan membunuhnya. Suatu tindakan yang jelas akan menorehkan
penyesalan di sepanjang hayatnya.
Atau,
kerugian itu berkenaan dengan dirinya sendiri. Sebab, ketika seseorang naik
pitam, ia akan membentak-bentak, lalu terjadi pertumpahan darah yang
menyebabkan kematiannya. Ada juga orang yang menghantam orang lain, tetapi
malah jemarinya sendiri yang rontok, sementara lawannya tidak apa-apa.
Untuk
mengobati penyakit ini, si pemarah mestinya berpikir bagaimana jika ia marah,
dan bagaimana jika ia bersikap tenang. Ia akan tahu bahwa jika ia marah,
sebenarnya ia telah gila dan lepas dari kontrol akal sehat. Dan jika ia tidak
mau membuang amarahnya, ia akan terus berniat untuk menghajar orang yang ia
marahi itu. Dengan begitu, ia akan bisa tenang. Di samping itu, ia juga harus
berjanji kepada dirinya sendiri untuk melaksanakan semua itu dan untuk bersikap
tenang. Sebab, dalam kondisi yang tenang seperti itulah ia dapat memikirkan
akibat buruk dari niatnya itu, dan lalu meninggalkannya.
Inilah
tradisi orang-orang terdahulu: jika marah, mereka segera memberi maaf dan
berjabatan tangan, demi meraih nilai keutamaan menahan diri dan memberi maaf.
Sebagian menyadari bahwa apa yang membuatnya marah adalah akibat dari dosanya
sendiri. Sebagian yang lain beranggapan bahwa dirinya sedang diuji oleh Allah Swt.
Segitu seterusnya, seperti yang sudah saya uraikan pada bab “Dendam”.
(......ada
pula yang memberi tips untuk bercermin dengan memasang muka marah. Bagaimanakah
rupa wajah ketika marah? Apakah enak untuk dilihat atau sebaliknya? Jadi,
ketika marah datang, ingatlah penampakan wajah yang tidak kita senangi
tersebut. Demikian di antara cara yang diberikan oleh orang-orang yang memberi
perhatian akan hal ini. Tentunya, masing-masing kita akan cocok dengan salah
satu dari tips tersebut, atau bisa jadi masing-masing kita sdah punya cara
tersendiri. Pembaca yang ingin berbagi, boleh kiranya menuliskan tipsnya di
kolom komentar, ansskd.....)
Di dalam
salah satu kitab Allah disebutkan: “Wahai Anak Adam, ingatlah pada-Ku ketika
kamu marah, niscaya Aku pun mengingatmu ketika kamu durhaka. Dan, Aku tidak
serta-merta melenyapkanmu seperti orang-orang yang Aku lenyapkan. Jika kamu
dianiaya, lapangkan hatimu dengan berharap pertolongan-Ku, sebab pertolongan-Ku
jauh lebih baik daripada pertolonganmu sendiri.”
Muriq
berkata, “Aku tidak berkata-kata sepatah pun saat marah agar tidak menyesal
saat hatiku sudah lapang.” Ibn ‘Awn adalah orang yang tak pernah marah. Jika
ada orang yang berbuat sesuatu yang memancing kemarahannya, ia berkata
kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memberimu berkah.”
Tidak
selayaknya ketika orang dalam keadaan marah langsung memberi sanksi terhadap
orang yang melakukan kesalahan, meskipun sebenarnya ia memang berhak diberi sanksi tersebut. Ia mesti menunggu
sampai keadaannya tenang dan amarahnya hilang, supaya sanksi yang diberikan itu
sesuai dengan kadar kesalahan orang tersebut, bukan dengan kadar kemarahannya.
Suatu
ketika Umar ibn Abdul Aziz berpapasan dengan orang yang mengumpat dirinya, lalu
katanya, “Kalau saja aku tidak sedang marah, sudah kuhajar kau!” Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya.
SOMBONG
(h.65)
SOMBONG
ITU MENINGGIKAN diri sendiri seraya merendahkan yang lain. Orang yang sombong
merasa lebih unggul dibanding orang lain, mungkin dari segi keturunan, harta,
ilmu, ibadah, atau yang lain. Jadi, ciri pokok penyakit ini adalah perasaan
lebih mulia, ingin dihargai, congkak, dan ingin dihormati.
Pengobatannya
ada 2 cara: umum dan khusus. Pengobatan umum terbagi menjadi 2 lagi; yaitu
berkaitan ilmu da amal.
Pengobatan
Umum:
1.
Secara ilmu,
adalah agar orang yang sombong itu mencari informasi-informasi, baik nash
(Al-Qur’an dan hadits) maupun pemikiran (Aqli), yang menegaskan ketercelaan
sifat sombong ini.
2.
Pengobatan
berdasarkan amal atau perbuatan adalah bergaul dengan banyak orang-orang yang
rendah hati sambil menyimak informasi-informasi mengenai mereka.
Pengobatan
Khusus dilakukan dengan cara merenungkan kehinaan dan
ketercelaan sombong ini. Jika yang ia sombongkan itu harta, itu akan
segera ditarik darinya. Mestinya, dengan harta itu ia bersyukur dan merasa
cukup, bukan merasa akan memilikinya untuk selamanya. Jika yang ia sombongkan
itu ilmu, bukankah sebelumya telah banyak orang yang lebih alim dan lebih dalam
ilmunya, yang dari merekalah ia menimba ilmunya itu? Bukankah hal itu
suatu bukti bahwa mereka
jauh lebih unggul dibandingkan dengan dirinya?
Demikian
pula halnya, jika yang ia sombongkan itu adalah amal kebaikannya. Mestinya ia
memandang amal yang ia lakukan, seberapa pun sempurnanya, masih serba kurang
dan jauh dari sempurna. (dalam suatu
penjelasan di kitab lain, memandang bahwa amal kebaikan bukan mutlak
bersumber dari diri sendiri, akan tetapi merupakan anugerah, hidayah dan inayah
dari Allah Swt, akan dapat melunturkan sikap sombong dan tinggi hati atas amal
kebaikan yang dilakukan. Ansskd.)
Abu
Salamah berkata, “Abdullah ibn Umar berpapasan dengan Ibn Amr di Marwah. Lalu
keduanya turun sambil bercakap-cakap. Ketika Abdullah ibn Umar berlalu, Ibn Amr
lalu terduduk lalu menangis tersedu-sedu. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau
menangis?” Ia menjawab sambil menunjuk ke Abdullah ibn Umar, “Orang ini
memberitahu bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa di hatinya
terdapat sebiji sawi kesombongan, Allah akan menelungkupkan wajahnya ke api
neraka.” (diriwayatkan al-Bayhaqi, 10/191/ al-Haytami dalam al-Majma’, 1/98,
menisbatkan hadits ini kepada al-Thabrani dalam al-Kabir dan Ahmad. Menurutnya
para perawi hadits ini shahih.)
...........
Muslim
(1/93) meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih
terdapat sebutir atom kesombongan. Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan orang
yang memakai baju necis dan sandal bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah
Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu menyalahgunakan kebenaran dan
meremehkan orang lain.”
Menurut
al-Khattabi, “Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih terdapat
seberat atom kesombongan” dapat ditakwil dengan 2 cara. Pertama, kesombongan
yang dimaksud mengandung arti kekafiran. Kedua, bahwa kesombongan itu dicabut
terlebih dahulu dari hati pemiliknya sebelum masuk ke surga. Kemudian,
perkataan “meremehkan orang lain” dalam hadits tersebut maksudnya merendahkan
dan memandang hina terhadap orang lain.”
UJUB
UJUB
TIMBUL DARI rasa cinta diri yang membuat seseorang buta akan aib dan
kekurangannya sendiri. Awalnya, ia mengagumi dirinya dalam satu
hal, dan menganggap yang lain serba tidak sempurna. Untuk mengobatinya, ia
harus meneliti aib dan kekurangan dirinya, bertanya kepada orang lain tentang
kejelekannya, dan mengukur diri serta membandingkannya dengan orang-orang
terdahulu. Jika ia bangga dengan kealiman dirinya, tengoklah kealiman
ulama-ulama sebelumnya. Jika ia bangga dengan kezuhudannya, perhatikan
kezuhudan ahli-ahli zuhud sebelumnya. Dengan begitu, ia tahu bahwa dirinya
tidak ada apa-apanya. Bagaimana tidak, Imam Ahmad hafal 1 juta hadits, Kahmas
ibn al-Hasan khatam Al-Qur’an 3 kali
dalam sehari semalam, dan Salman al-Taymi, 40 tahun lamanya,
mengerjakan shalat subuh dengan wudhu’nya pada sepertiga malam
pertama.
Orang
yang merenungkan sejarah hidup tokoh-tokoh terdahulu akan tahu betapa jauh
prestasinya bila dibandingkan dengan prestasi mereka. Sama dengan orang yang
mempunyai uang 1 juta tidak tahu bahwa begitu banyak orang di dunia
yang memiliki uang milyaran.
Ibrahim
al-Khawwash
berkata, “Ujub membuat seseorang tidak mengenal kadar dirinya.”
RIYA
(h.73)
SIAPA
YANG MENGETAHUI Allah Swt dengan baik pasti amalnya murni ditujukan
kepada-Nya. Tidak akan ada riya jika ia mengenal-Nya dengan sempurna,
mengagungkan-Nya sebagaimana mestinya, dan tidak mencari pujian dan sanjungan
manusia.
Dalam
kaitan ini, amal manusia beragam bentuknya; ada yang demi sanjungan manusia
semata, ada yang demi Allah Swt sekaligus sanjungan manusia, dan ada
yang murni demi Allah Swt tanpa menoleh kepada selain-Nya. Orang yang
memamerkan amal baik demi pujian manusia jelas akan menodai kualitasnya.
Inti
pengobatan terhadap penyakit ini adalah mengenal Allah Swt secara baik dan
sempurna sehingga ia akan menyatukan segala tujuan hanya kepada-Nya, tanpa
menoleh kepada yang lain. Ia akan memosisikan dirinya sebagai hamba yang
merendah di hadapan Allah Swt. Ia juga akan sadar bahwa pahala hanya mungkin
diperoleh melalui amal yang ikhlas. Dengan begitu, ia akan berusaha waspada
agar kelelahannya tidak sia-sia.
Efek riya
sangatlah parah. W
.....Abu
Musa berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw lalu berkata,
‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena
keberanian, berperang karena kesatriaan, dan berperang karena riya, apakah itu
disebut di jalan Allah (fi sabilillah)?’ Beliau Saw menjawab, ‘Barang siapa
berperang demi tegaknya agama Allah, ia di jalan Allah.” (Muttafaq alaih)
.....Ibnul
Jauzi kemudian mengemukakan hadits tentang tiga orang yang diadili di hari
kiamat. Seorang yang gugur di medan perang yang mengaku ia gugur demi Allah.
Allah menyangkal karena sebenarnya ia ingin dipanggil pahlawan. Begitu pula
ahli Qur’an yang ternyata ia berniat agar dipanggil qari’ atau dikenal sebagai
orang yang rajin membaca Al-Qur’an. Dan seorang lagi yang berderma agar ia
disebut dermawan. Ketiganya dimasukkan ke dalam neraka.......
Ahmad (5/428)
meriwayatkan
dari Mahmud ibn Lubayd bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Satu hal yang paling aku
cemaskan atas diri kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa syirik
kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya! Kelak di hari kiamat
Allah Swt akan berkata kepada orang yang riya, ‘Bila kalian meminta balasan
atas amal-amal kalian, pergilah kepada siapa amalmu kamu riyakan di dunia.
Tetapi, lihat apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?”
Abu Hazim
berkata, “Tidak akan baik hubungan manusia dengan manusia lainnya apabila ia
memalingkan dirinya dari Allah. Bukankah bermuka manis kepada satu wajah (wajah
Allah) lebih mudah daripada kepada seribu wajah? Jika kamu bermuka manis kepada
wajah yang Satu ini, pasti semua wajah akan tertarik padamu. Sebaliknya, jika
kamu bermuka masam kepada-Nya, pasti semua wajah akan membencimu.”
TERLAMPAU
SEDIH
SETIAP
ORANG BERAKAL takkan lepas dari kesedihan. Memikirkan dosa masa lalunya yang
bertumpuk-tumpuk, ia sedih. Demikian pula mendengar fatwa-fatwa
ulama, ia sedih karena tahu dirinya telah lalai.
.....Disebutkan dalam sebuah hadits,
“Sisa usia seorang mukmin tidak bernilai apa-apa kecuali ia mau memperbaiki apa
yang telah lewat.” Jika yang disedihkan tidak mungkin diperbaiki, ia tak perlu sedih
kecuali menyangkut utang. Dalam hal ini, ia harus melunasinya, lalu berharap
tambahan rezeki agar kehidupannya membaik. Jika kesedihannya hanya karena
dunia, atau lalai mendapatkannya, itu adalah kerugian nyata yang harus
dihindari setiap orang berakal.
Cara mengobatinya adalah menyadari bahwa apa yang
telah terjadi tidak mungkin ditarik kembali. Bahkan, jika sampai menjadi beban
pikiran dan perasaan, itu akan menambah masalah. Padahal, hati mesti bersih
dari masalah agar tidak tambah terpukul.
Ibn Umar berkata, “Jika Allah mencabut
sesuatu darimu, alihkan perhatianmu darinya. Dan, sebagai gantinya, carilah
sesuatu yang dapat menghibur. Jika tidak ada, usahakan sekuat tenaga untuk
mengenyahkan sesuatu itu darimu. Ketahuilah bahwa kesedihan bersumber dari
hawa nafsu, bukan dari akal sehat. Yakinlah bahwa dalam waktu dekat kamu akan
terhibur. Dahulukan apa yang mestinya diakhirkan (didahulukan?), seimbangkan
masa lalu dan masa depan.”
Ketahui pula bahwa
kesedihanmu tidak berguna, bahwa musibahmu berpahala, bahwa tidak sedikit orang
yang mengalami musibah lebih besar. Dengan begitu, kesedihan akan terhapus dari
hatimu.
PENYESALAN
DAN IMPIAN
JIKA
PENYESALAN BERKAITAN dengan masa lalu maka impian berkaitan dengan masa depan.
Larut dalam penyesalan dosa-dosa masa lalu sangatlah berguna dan berpahala.
Begitu pula mengimpikan kebaikan pada masa depan. Lain, jika penyesalan itu
menyangkut kelalaian dunia yang sudah tidak mungkin diraihnya kembali. Itu
hanya akan menorehkan kesedihan yang bertumpang tindih, sebagaimana telah
disinggung di bahasan sebelumnya.
Penyesalan
timbul karena hilangnya sesuatu yang kita cintai. Semakin banyak yang kita
cintai, semakin banyak pula penyesalan terjadi. Demikian sebaliknya.
Jika
ada yang mengatakan, “Kalau aku tidak mendapatkan seorang kekasih, aku akan
menyesal dan sedih sekali.” Benar, tetapi penyesalan karenanya tidak akan
mencapai sepersepuluh penyesalan karena kehilangan kekasih. Bukankah kehilangan
anak jauh lebih menyedihkan dibandingkan tidak mempunyai anak?
Ketika
kecintaan dan kesenangan seseorang terhadap sesuatu sudah berlangsung lama, hal
itu akan membekas dalam lubuk hatinya. Jika ia harus kehilangan sesuatu itu,
kesedihannya sebenarnya tidak seberapa lama bila dibandingkan dengan kesenangan
yang sudah ia nikmati sebelumnya. Ini dikarenakan sesuatu yang dicintai
pastilah sesuatu yang selaras dengan kehendak jiwanya. Nikmatnya sehat,
misalnya, tidak akan dirasakan oleh jiwa jika sehat itu tidak ada. Jiwa akan
terus menderita sebelum mendapatkan ganti yang memuaskannya. Seolah, apa yang
ia cintai itu wajib menjadi miliknya. Karen itu, orang yang berakal sehat tidak
akan mencintai banyak hal, sebab tahu itu hanya akan membuahkan impian yang
tidak menyenangkan.
Langkah
pertama mengobati penyakit ini adalah memantapkan keimanan terhadap takdir
Allah Swt, yang salah satu wujudnya adalah apa yang menimpa dirinya itu. Ia
juga harus sadar bahwa dunia diciptakan dengan Allah wajah muram. Yang kokoh
akan runtuh, yang berkumpul akan berpisah, yang bersatu akan bercerai. Barang
siapa menginginkan keabadian pada sesuatu yang mustahil terjadi dalam kehidupan
dunia ini, sebagaimana diungkap sebuah syair:
Kau dicipta
dengan watak kotor
Tetapi kau
menginginkannya bersih
Langkah
selanjutnya adalah merenungi musibah orang lain sehingga musibah dirinya akan
terasa kecil dan ringan. Seorang pemanggul yang semangatnya membaja tidak akan
memedulikan beban yang berat, akan terus melangkah dengan mantap, sampai
akhirnya mampu menguasai diri, dan beban itu pun terasa enteng.
Di samping
itu, bersiaplah untuk sakit kala sehat, sehingga ketika jatuh sakit, kau tidak
akan kesal. Bayangkan musibah menimpa dirimu setiap saat, sehingga ketika
benar-benar terjadi, kau tidak akan kaget. Bayangkan seluruh hartamu amblas!
Jika masih tersisa, anggap itu ghanimah. Bayangkan pula dirimu buta, sehingga
setelah matamu rabun, itu tidak akan menjadi masalah. Begitu seterusnya,
seperti diungkapkan syair:
Orang yang
mempunyai nurani
Mengandaikan
musibah terjadi
Sebelum
benar-benar terjadi
Begitu
musibah menyerang tiba-tiba
Ia tak
gentar menghadapinya
Sebab
dirinya sudah siaga
Sementara,
orang yang hatinya buta
Merasa
hari-hari aman-aman saja
Lupa
sesuatu bisa menyerbu orang alpa
Begitu
beliuang waktu meletakkan bencana
Ia
melolong, berharap bantuan segera tiba
Padahal
jika ia tangani masalahnya
Dengan hati
sekeras baja
Ia pasti
tahu bahwa:
“Kesabaran
adalah sebaik-baik bala”
Sebagian ulama salaf bercerita, “Aku
pernah melihat seorang wanita yang kecantikannya sungguh memukau
hati. Aku berkata lirih, ‘Inilah seraut wajah yang tak pernah tersentuh
kesedihan.’ Namun wanita itu segera membalas, ‘Jangan berkata begitu. Mestinya
aku tidak menceritakan hal ini kepada orang yang sudah kualami. Dulu, aku punya
suami. Suatu hari ia membeli seekor domba kurban, lalu menyembelihnya. Setelah
itu, anak kami yang lebih tua berkata kepada adiknya, ‘Kemari, kutunjukkan
bagaimana tadi ayah menyembelih kambing.’ Dan ia pun menyembelih adiknya.
Setelah kami mencari kakak, ia sudah melarikan diri. ayahnya pun pergi
mencarinya, tetapi malang, keduanya mati tertimpa bencana.”
“Aku bergumam, ‘Kalau begitu alangkah
sedihnya dirimu.’ Tetapi ia malah menjawab, ‘Andai masih ada kesedihan yang
tersisa, niscaya akan kulakukan!”
TERLALU
TAKUT MATI
.........................
Orang
berakal tak perlu mencemaskan dirinya secara berlebihan hingga jatuh sakit. Sebab,
bagaimanapun, sakit tak bisa ditolak, dan pasti terjadi. Jika terus dicemaskan,
itu hanya menambah kepedihan. Begitu pula berlebihan mencemaskan dan memikirkan
soal kematian, yang nyata-nyata tak terelakkan. Cukuplah disadari bahwa kematian
itu pasti. Jika terlalu diwaspadai, dan terlalu dibayangkan kepedihannya maka
yang ada dalam pikiran seseorang hanyalah kematian. Mestinya ia membuang
jauh-jauh pikiran semacam itu agar ia bisa memetik untung, dan tidak mengalami
kematian berkali-kali.
Cukuplah
seseorang menyadari bahwa Allah Swt Mahakuasa. Jika berkehendak, bisa saja Dia
meringankan kematiannya. Lagi pula, bukankah peristiwa setelah kematian lebih
menakutkan lagi? Kematian hanyalah jembatan menuju tempat tinggal abadi.
Kalaupun
manusia diperintah selalu ingat mati, itu maksudnya agar ia banyak berbuat
amal, bukan untuk membayangkan atau mengumpamakannya.
Jika
dalam hati seseorang terlintas perasaan berat berpisah dengan dunia, ketahuilah
bahwa dunia
bukanlah negeri kebahagiaan. Kebahagiaan dunia hanya terjadi saat ia lepas dari
penderitaan. Tidak sulit mencari contoh kasus semacam ini.
Tetapi,
jika ia sedih berpisah dengan dunia karena banyak amal yang dilalaikannya,
itulah kesedihan yang terjadi pada ulama salaf. Mu’adz ibn Jabal berdoa
menjelang kematiannya, “Ya Allah, Engkau tahu aku tidak mencintai dunia dan
berlama-lama tinggal di sana karena aku bisa tidur lelap pada waktu
malam, atau menanam pohon-pohonan pada waktu siang. Tetapi, semata karena
dahaga di terik membara, karena derita sepanjang masa, karena halaqah
(lingkaran) zikir yang senantiasa dipadati kafilah ulama.
Orang
yang mendekati kematian mestinya menyadari bahwa kematian adalah detik-detik
genting saat seseorang sangat membutuhkan pertolongan. Bahwa kematian adalah sebentuk
gambaran tentang kesakitan murni, dan perpisahan dengan segala yang dicintai;
dua hal yang kemudian menyatu dengan ketegangan sakaratul maut, juga
kekhawatiran tak bisa mempertanggungjawabkan hartanya.
Saat
itu setan datang, menyusun tipu daya agar orang itu marah dan kesal kepada
Tuhannya. .........................Setan juga membisikkan kata-kata
pembangkangan kepada Allah. Dan banyak lagi bujukan lain yang dikemas setan
agar kelihatan baik dan terpuji. Nah, pada saat itulah manusia benar-benar
membutuhkan pertolongan untuk melawan setan dan memerangi diri
sendiri.
....................Agar
tidak selalu tersiksa oleh bayangan kematian, seseorang mesti ingat bahwa siapa
yang mengingat Allah kala sehat, niscaya ia akan dijaga Allah kala sakit. Siapa
yang hatinya terpaut dengan Allah, niscaya seluruh gerakan indranya
dikendalikan langsung oleh Allah.
Ibn
Abbas meriwayatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jagalah Allah, niscaya Dia
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia selalu di depanmu. Jika kau
mengenal Allah saat kau lapang, niscaya Dia akan mengenalmu saat kau dalam
kesulitan.”
Kudengar
Nabi Yunus as dibebaskan Allah dari penderitaannya karena ia telah banyak
berbuat amal kebaikan sebelumnya. Allah berfirman, “Maka kalau sekiranya dia
tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap
tinggal di perut ikan itu sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 144) Dan, karena Fir’aun tidak
mempunyai amal kebaikan sedikit pun sebelumnya, maka ia tidak mendapat tempat
bergantung ketika berada dalam kesulitan. Bahkan dikatakan kepadanya, “Apakah
sekarnag kamu baru percaya, padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak
dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yasin: 91)
Abdush
Shamad al-Zahid berkata menjelang kematiannya, “Tuan, inilah saat yang
kusembunyikan padamu bahwa orang yang menyia-nyiakan waktu
sehatnya akan disia-siakan pada waktu sakitnya.”
Seorang
sahabat bercerita bahwa ia melihat seorang laki-laki tua meminta-minta. “Orang
ini,” katanya sahabt tersebut, “tidak memedulikan perintah Allah pada waktu
kecilnya. Kini, pada usia tuanya, giliran dialah yang tidak dipedulikan Allah.”
Untuk mengobati
penyakit ini, tanamkan ke dalam dirimu keberanian dan rasa percaya diri.
katakan, “Kematian hanyalah sebentuk waktu. semoga aku memperoleh ketenangan
sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada lagi penderitaan atas
diri ayahmu setelah ini.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, 1629)
Abu Bakr
ibn ‘Ayyasy terlihat sangat optimis kepada Allah menjelang kematiannya,
katanya, “Bagaimana tidak akan optimis, saya sudah berpuasa untuk-Nya selama 80
Ramadhan.”
Al-Mu’tamir
ibn Sulayman berkata, “Ayah berkata kepadaku, ‘Anakku bacakan padaku
hadits-hadits rukhshah (dispensasi) agar aku menjumpai Allah dalam keadaan baik
sangka.”
Jadi,
setiap mukmin mesti membuang jauh-jauh bisikan ketakutan, dan menggiring unta
sambil berdendang, seperti nyanyian penggembala jauh di pedalaman sahara:
Tuntunlah
ia dengan riang gembira
Katakan
padanya:
“Besok
kalian bertemu sisa air dan gunung.”
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt berkata, ‘Aku
sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” Hadits muttafaq ‘alaih.
.........................
Al-Fudhayl
ibn ‘Ayadh berkata, “Ketakutan lebih utama daripada harapan. Tetapi, menjelang
maut harapan lebih afdhal.” Itulah sebabnya kenapa saya katakan bahwa
ketakutan itu seperti cambuk untuk menghalau unta yang jalannya lamban. Jika
unta sudah letih, tak ada yang bisa dilakukan selain menemaninya.
Jika
ada yang bertanya, bagaimana dengan ketakutan pada diri Umar ibn Abd al-Aziz
menjelang kematiannya? Saya jawab, begitu menyadari hak-hak rakyat
bergantung di pundaknya, Umar ibn Abd al-Aziz takut kalau hak-hak itu tidak
ditunaikan semestinya. Seolah ia ingin mengatakan, “Aku takut kalau dalam
memimpin kalian aku telah berpegang pada orang-orang yang salah.” Ini mirip
dengan peristiwa Umar ibn al-Khattab. Setelah mendengar Ibn Abbas berkata:
“Berbahagialah, wahai Amirul Mikminin; kau telah memimpin kami dengan adil,”
kemudian ia pun memberi persaksian, Umar ibn al-Khattab berkata kepada Ibn
Abbas, “Apakah persaksianmu ini di hadapan Allah, wahai Ibn Abbas?” (ucapan ini
disampaikan Ibn Abbas kepada Amirul Mukminin setelah ia ditusuk musuh seperti
diriwayatkan Ahmad dalam al-Musnad, 1/46)
Jika
penderitaan si sakit memuncak, itu mesti dilihat dalam konteks pahala. Mereka
(generasi awal) bahkan senang jika orang yang sakit mengalami penderitaan memuncak
saat nazak (roh dicabut dari raga), sebagai penebus dosa-dosanya. Ibrahim
berkata, “Mereka senang berjuang melawan maut.”
Umar
ibn Abdul al-Aziz juga berkata, “Aku tidak ingin sakaratul maut terasa ringan.
Sebab, itulah kesempatan terakhir seorang muslim menebus dosa-dosanya.”
Orang
sakit, selama pikirannya masih normal, mesti terus meningkatkan pertobatan agar
berjumpa dengan Allah dalam keadaan suci dari segala dosa, menyatukan wasiat,
menyerahkan anak dan keluarganya kepada Allah Swt, karena Dialah Yang Maha
Mengatasi segala urusan orang saleh.
Jika ia
dibuat gelisah oleh setan, diingatkan pada bala atau cobaan, maka ingatlah
bahwa cobaan hanya menimpa tunggangan, sementara sang penunggang sendiri telah
pergi. Syariat telah terlewati, dan setelah kematian nanti akan mengantarkannya
ke negeri sejuta kenikmatan. Orang yang mantap keimanannya pasti tidak
tersentuh kesedihan, sebab ia tahu bahwa akhir perjalanan mukmin adalah
kebaikan. Sebaliknya, orang yang tidak mantap keimanannya pasti akan sedih.
Ka’b
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jiwa orang muslim adalah burung
yang bergantung di pohon surga, dan akan dikembalikan oleh Allah ke dalam
jasadnya.” (diriwayatkan Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir, 5/306, al-Humaidi, 873, dan Thabrani dalam al-Kabir,
19/64)
Kesimpulannya,
kematian hendaklah ditakuti sebatas tidak merusak ketahanan fisik dan tidak
menimbulkan penderitaan berlebihan. Yang harus ditakuti justru adalah kehidupan
setelah kematian. Karena itu, perbanyaklah berbuat amal kebaikan.
CITA-CITA
RENDAH
JIKA
CITA-CITA RENDAH adalah watak, itu tidak bisa disembuhkan. Tetapi,
jika itu akibat pergaulan dengan orang yang bercita-cita rendah, atau karena dikuasai
watak bercampur hawa nafsu, itu masih mungkin bisa diobati dan disembuhkan.
Caranya, memutus hubungan dengan orang yang bercita-cita rendah, bersikap
antipati kepada mereka, lalu menjali hubungan baru dengan orang-orang yang
bercita-cita tinggi.
Di
samping itu, ia mesti memikirkan segala akibat, hasil, dan masa depan perilaku
masing-masing orang yang bercita-cita tinggi dan rendah. Misalnya, merenungkan
apa yang dituturkan Abd al-Shamad, “Seorang yang giat berusaha meninggal dunia,
dan meninggalkan satu ciri pelajaran berharga. Orang-orang berkata kepadanya,
‘Hari ini kau meninggal dunia, tetapi kau akan hidup dalam kenangan sepanjang
masa.’ Cerita ini akan menghentak kesadaranmu mengenai masalah ini.”
Siapa
yang berpikir mengenai orang-orang yang bercita-cita tinggi pasti mengetahui
bahwa mereka
adalah seperti dirinya juga, baik asalnya maupun sebagai manusia. Yang berbeda
adalah bahwa dirinya lebih suka dan tidak bosa lepas dari pola hidup
berleha-leha dan menganggur. Ia hanya duduk berpangku tangan, sementara mereka
berlari, memacu diri tanpa mengenal lelah. Padahal jika ia mau menggerakkan
kaki dengan penuh semangat, ia pun akan mencapai apa yang mereka capai,
sebagaimana diungkap syair:
Jika kau
takjud pada seorang manusia
Maka
jadilah kau seperti dia
Yang kau
takjubkan jadi niscaya
Tak ada
tirai penghalang
Menuju
kebaikan dan kemuliaan
Asal
kau mau menapak jalan
Demikian pula orang yang merenungkan
kisah ulama-ulama salaf. Ia akan melihat dengan nyata bahwa para
ulama dan fukaha berasal dari beragam kalangan; dari orang terpandang, orang
lemah, bahkan orang marginal. Hanya, karena cita-cita mereka setinggi langit
maka kaki mereka pun melesat dari permukaan bumi.
Kalau saja orang yang rendah cita-cita
itu mau memikirkan risiko dan segala kemungkinan buruk yang akan menimpa
dirinya, pasti ia akan menganggap cita-cita rendah itu sebagai musuh yang harus
diperangi. Tidak akan ia biarkan dirinya terjerat cita-cita rendah, menyesal
karena kehilangan banyak kebaikan, dan nama baiknya jatuh di mata manusia,
hidup berleha-leha. Bukankah kejatuhan harga diri di mata manusia adalah
sepedih-pedihnya derita?
Sementara itu, orang yang bekerja
keras tanpa mengenal lelah akan merasakan kepuasan mengalir dalam dirinya.
Puas, karena di mata manusia ia tidak dipandang hina, juga karena ia memperoleh
pangkat yang tinggi di dunia sebelum pangkat di akhirat kelak. Dan, tu
membuatnya lupa akan pahit getirnya kepayahan. Seolah-olah, kepayahan tidak
mengenal kepuasan, dan kepuasan tidak mengenal kepayahan.
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “Seorang penduduk neraka yang ketika di dunia paling berlimpah
kenikmatan, didatangi malaikat. Setelah dicelupkan satu kali ke dalam api
neraka, ia lalu ditanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan?
Apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, tidak,
wahai Tuhanku.’
“Kemudian,
seorang penduduk surga, yang ketika di dunia hidupnya paling sengsara, juga
didatangi malaikat. Setelah dimasukkan satu kali ke dalam neraka, ia lalu
ditanya, “Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu
pernah melihat penderitaan?’ Ia menjawab, ‘demi Allah, tidak pernah, wahai
Tuhanku! Aku tidak pernah merasakan kesengsaraan, tidak pula melihat
penderitaan.’”
Ini
artinya, ketika kepayahan terlewati, kebahagiaan akan mengabadi. Sebaliknya,
ketika kebahagiaan terlewati, penyesalanlah yang mengabadi.
Sekian,
salam takzim, anassekukuk. Selesai, Senin, 22 Juni 2020. 08.50 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar