INILAH
FAKTANYA [حِقْبَة مِنَ التَّارِيْخ]
(Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi
Saw Hingga Terbunuhnya al-Husain ra)
Judul Asli:
Hiqbah Minat Tarikh
Penulis: Dr.
Utsman bin Muhammad al-Khamis
Penerbit/Tahun:
Daar Ibnu al-Jauzi, Kairo Mesir Cet. I-2007 M
Penerbit
Indonesia: Pustaka Syafii, Jakarta, 2012. Xiv+418 hlm.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakatuh....
Pointer-pointer berikut sengaja saya buat selain sebagai
dokumentasi dan bahan bacaan pribadi di blog ini, semoga juga bermanfaat bagi
rekan pembaca yang kebetulan berkunjung dan menyempatkan diri untuk menyimak
apa yang saya ringkas dari buku yang bagus ini. Semoga juga berkah dan ilmu
yang dibagikan oleh penulis buku menjadi amal jariyah beliau, begitu juga
mereka yang terlibat dalam meluncurkan buku ini dan para kontributor yang
terlibat. Tak lupa juga, mungkin ada di antara murid kami yang kebetulan sedang
mencari materi yang relevan, silakan merujuk ke buku tersebut untuk mendapat
ide yang lebih lengkap untuk menghindarkan bias pemahaman.
Penulis buku memberikan beberapa pesan terhadap kita bagaimana
membaca sejarah, khususnya yang berhubungan dengan sahabat:
Pertama, meyakini bahwa para Sahabat ra adalah manusia terbaik setelah para
Nabi as, karena Allah Swt telah memuji mereka misalnya dalam ayat terakhir QS.
Al-Bayyinah. Di samping itu banyak hadits tentang sanjungan Rasulullah Saw
sendiri terhadap mereka.
Kedua, para
Sahabat tidak ma’shum atau terpelihara dari kekeliruan. Namun, kita
meyakini bahwa mereka tidak mungkin
keliru dalam berijma’ karena Nabi Saw telah menegaskan bahwa umat ini
(maksudnya generasi Sahabat) tidak akan berkolaborasi dalam kesesatan. [HR.
Imam Ahmad dari Abu Bashrah al-Ghifari dalam Musnadnya (VI/no. 26682); Ibnu
Majah dalam Sunannya, Kitab Al-Fitan, Bab “As-Sawaadul A’zham” (II/367, no. 3998); Ibnu bin Abi Ashim dalam
as-Sunnah, Bab “Ma Dzukira min Amrin Nabi Saw bi
Luzuumil Jama’ah (no. 80 dari Anas bin Malik ra]. Dengan kata lain, mereka
ma’shum dari bersepakat dalam kesesatan. Mereka ma’shum bila dilihat secara
komunal, tetapi jika perorangan tidak demikian. Yang ma’shum hanya Nabi Allah Swt dan MalaikatNya.
Selain mereka kita tidak meyakini kema’shuman seseorang........
Mengenai pujian Allah Swt kepada para Sahabat Nabi Saw
tertera dalam firmanNya QS. Al-Fath: 29. Pujian Allah Swt dalam ayat ini
menunjukkan hukum asal bahwa para Sahabat adalah terpuji. Rasulullah Saw bersabda:
لَاتَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
(متفق عليه)
“Janganlah
kalian mencela Sahabatku! Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan
emas sebenar Gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai infak mereka yang hanya sebesar
1 mud (+- 675 gram) bahkan separuhnya pun tidak”. [Shahih Nukhari, Kitab “Fadhaailush Shahabah”, Bab
“Lau Kuntu Muttakhidzan Khaliilan” no. 3673; Shahih Muslim, Kitab “Fadhaailush Shahabah”, Bab “Tahriim Sabbish
Shahaabah”, no. 2541]
Definisi
Sahabat dan Dalil-daling tentang Keshalihan Mereka
...dikutip
dari hal. 269....
1. Definisi Sahabat secara Etimologi dan Terminologi
Kata Shahaabi (صَحَابِيٌّ)
adalah nisbat kepada kata shaahib (صَاحِبٌ).
Secara etimologi, kata shaahib mempunyai beberaoa makna, semuanya berkisar pada
makna yang terus menemani dan kepatuhan. (Lisaanul Arab (I/519). Sedangkan
menurut terminologi, maknanya adalah orang yang bertemu dengan Nabi Saw dalam
keadaan beriman terhadap beliau dan meninggal dalam keadaan muslim.
(Al-Ishaafah fii Ma’rifatish Shahaabah (I/10). Adapula definisi-definisi selain
itu.
Para Sahabat Nabi Saw berbeda dalam intensitas
kebersamaan dengan Nabi Saw dan dalam keutamaannya di sisi Allah Swt. Menurut
prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah, semua Sahabat itu shalih.
2. Dalil-Dalil tentang Keshalihan Para Sahabat
Dalil pertama bisa dilihat dalam QS. Al-Fath: 18. Di
sini Allah Swt menjelaskan bahwa Dia ridho kepada orang-orang yang membaiat
Nabi Saw di bawah pohon (peristiwa Baiatur Ridhwan). Jumlah orang yang membaiat
Beliau Saw pada peristiwa ini adalah 1400
orang; adapula yang mengatakan 1500 orang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak akan masuk neraka orang yang ikut berbaiat di
bawah pohon (Baiatur Ridhwan), kecuali si pemilik unta merah.” (Jami’ut
Tirmidzi, Kitab “Al-Manaqib”, Bab “Fadhl Man Baaya’a Tahtasy Syajarah (no. 3863), Riwayat ini
asli ini berada di Shahih Muslim, Fadhaailush Shahabah”, Bab Min Fadhaail Ahli
Bai’atir Ridhwan no.2496).
Hadits ini mengabarkan ada 1 orang munafik bernama
Al-Jadd bin Qais, pemilik unta merah, dia ini dikabarkan berada bersama para
sahabat, akan tetapi hakikatnya dia tidak ikut berbaiat.
Dalil lain
misalnya QS. Al-Hadiid: 10 yang menjelaskan orang-orang yang berinfak dan
berperang sebelum maupun setelah Fathu Makkah; yaitu para Sahabat.
Dalil lain misalnya QS. Al-Anbiya: 100-103, Al-Hasyr: 8-9, Ali Imran: 110. Maka,
mustahil apabila dikatakan bahwa semua
orang Muhajirin dan Anshar murtad kecuali 3 orang –seperti dikatakan sebagian orang Syi’ah- sementara
Allah Swt telah menegaskan mereka adalah umat terbaik.
Begitu juga sabda Rasulullah Saw:
لَاتَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
(متفق عليه)
“Janganlah
kalian mencela Sahabatku! Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan
emas sebenar Gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai infak mereka yang hanya
sebesar 1 mud (+- 675 gram) bahkan separuhnya pun tidak”.
Di antara bukti yang menunjukkan keshalihan para
Sahabat ra secara umum adalah hasil penelitian para ulama terhadap
riwayat-riwayat yang disampaikan kepada kita. Dalam penelitian itu, tidak
ditemukan seorang Sahabat pun yang pernah berdusta atas nama Nabi Saw, walaupun
sekali. Bahkan ketika bid’ah-bid’ah bermunculan, tidak ada seorang pun dari
mereka yang turut berbuat bid’ah.
Namun perlu dipahami, keshalihan tersebut tidak
berarti menjadikan mereka ma’shum. Karena mereka manusia biasa. Sebagaimana
sabda Nabi Saw (كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ)
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah”. (Musnad Ahmad (III/198))
Mereka juga anak-anak Adam yang berbuat salah.
Sahabat-sahabat ini kadang salah dan kadang benar, walaupun kesalahan mereka
lebur dalam lautan kebaikan mereka. Semoga Allah Swt meridhai mereka dan
membuat mereka diridhai.
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ahlul Haq (para
pewaris kebenaran) dari kaum Muslimin, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah
sepakat bahwa semua sahabat itu adalah shalih”. (Al-Istii’ab fii Ma’rifatil
Ash-haab (I/8)).
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ahlus Sunnah sepakat
bahwasanya semua sahabat adalah shalih. Tidak ada yang menyelisihi ini kecuali
orang-orang aneh dari kalangan ahli bid’ah.” (Al-Ishaabah fii Ma’rifatish
Shahaabah (I/17))
Demikian pula pendapat al-Iraqi, al-Juwaini, Ibnush
Shalah, Ibnu Katsir, dan ulama terkemuka lainnya. Mereka mengutip kesepakatan
kaum Muslimin terkait keshalihan semua Sahabat Nabi Saw.” (rincian dapat
dilihat di kitab Shahaabah Rasuulillah fil Kitaab was Sunnah, Bab IV,
Pembahasan: Keadilan Sahabat)
Al-Khatib al-Baghdadi berkata: “Seandainya Allah Swt
dan Rasul-Nya tidak menyebutkan seperti pernyataan kami (maksudnya dalil-dalil
yang telah disebutkan perihal keshalihan para Sahabat), maka hijrah para
Sahabat, jihad mereka, pertolongan mereka, pengorbanan nyawa dan harta benda
mereka, keteguhan hati mereka dalam tatkala membunuh orang tua dan anak-anak
sendiri dalam peperangan, sikap mereka saling menasihati dalam beragama, serta
kekuatan iman dan keyakinan mereka; sesungguhnya semua itu sudah cukup untuk
membuktikan dan mengukuhkan keshalihan mereka. Semua itu juga meyakinkan bahwa
reputasi mereka bersih dari kedustaan maupun kemunafikan. Selamanya, Sahabat
Muhammad Saw lebih baik daripada orang-orang yang kemudian memuji dan
merekomendasikan mereka.” (Al-Kifayah fii ‘Ilmir Riwayah (hlm. 96)).
Berkenaan dengan golongan yang mencela keshalihan para
Sahabat Nabi Saw, Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis dalam bukunya ini
menyebutkan bahwa mereka terbagi 2, yaitu: Pertama, yang mencela karena
disebabkan syubhat-syubhat dari ulama suu’ (ulama yang sesat dan menyesatkan). Kedua,
karena kedengkian, sebab para Sahabat ialah pengemban dakwah agama ini dan
pembawa Al-Qur’an dan Sunnah. Dampak dari celaan ini, kita digiring untuk tidak
percaya lagi dengan apa yang dibawa oleh para Sahabat karena bisa jadi telah
mengalamai penambahan atau pengurangan sebab ketidakshalihan mereka. Inilah
bahaya yang sebenarnya. Tujuan akhir dari yang ingin dicapai orang-orang itu
adalah menimbulkan keraguan terhadap agama Allah Swt dengan menyebarkan
ketidakpercayaan terhadap para pembawanya.
Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan: “Jika engkau melihat
seseorang mencela Sahabat Rasulullah Saw, maka ketahuilah bahwa dia adalah
seorang zindiq. Karena kita meyakini kebenaran Al-Qur’an, begitu juga Sunnah,
sedangkan yang menyampaikan dua wahyu ini adalah para Sahabat. Sungguh,
orang-orang ingin mencela saksi-saksi kita itu (yaitu para Sahabat) agar mereka
bisa menolak Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, celaan tersebut lebih pantas
ditujukan kepada mereka, karena, merekalah orang-orang yang zindiq.” (Tarikh
Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (I.IX/141)
3.
Dalil-Dalil
Kelompok yang Mencela Keshalihan Para Sahabat dan Sanggahan Terhadap Mereka
Ada empat golongan yang mencela keshalihan para Sahabat Nabi Saw: Syi’ah, Khawaraji, Nawashib, dan Mu’tazilah. Dalil
yang dijadikan acuan mereka antara lain.
a.
Sebagaian
Sahabat terjerumus ke dalam kemaksiatan,
b.
Beberapa
Sahabat menjadi munafik sepeninggal Rasulullah Saw, berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah,
c.
Anggapan
bahwa konsekuensi dari keshalihan adalah kesetaraan
kedudukan; sehingga apabila kita meyakini ketidaksetaraan para Sahabat, maka
keshalihan pun tidak ada,
d.
Tidak
adanya dalil yang menyatakan keshalihan tiap-tiap Sahabat secara rinci.
Tanggapan terhadap dalil-dalil lemah tersebut dijawab oleh penulis buku sebagai berikut:
a. Mengenai terjatuhnya sebagian mereka ke dalam
perbuatan maksiat. Maka kita sudah tegaskan bahwa hal itu tidak berpengaruh
terhadap keshalihan mereka. Karena itu pulalah kita meyakini semua Sahabat
adalah shalih, tapi mereka tidak ma’shum.
b. Mengenai argumentasi sebagian Sahabat sebenarnya
munafik. Tuduhan ini dusta belaka. Karena, orang-orang munafik bukanlah
Sahabat. Definisi Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Saw dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan beriman juga. Sedangkan orang munafik
bertemu Nabi Saw dalam keadaan tidak beriman, dan mereka pun mati dalam keadaan
tidak beriman. Dengan demikian, mereka tidak termasuk kalangan Sahabat.
c. Mengenai pernyataan tentang keshalihan yang semestinya
menjadi kesamaan dalam hal kedudukan, anggapan ini tidak benar. Logika yang
benar ialah kita menegaskan keshalihan orang-orang yang shalih tanpa menafikan
keutamaan sebagian Sahabat terhadap sebagian yang lain. Abu Bakar ra lebih
utama daripada seluruh Sahabat, disusul Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, kemudian Sahabat yang dijamin masuk surga, yang ikut perang
Badar, orang-orang yang ikut dalam Baiatur Ridhwan. Sebagaimana firman Allah
dalam QS. Al-Hadiid: 10.
Apabila
keutmaan para Nabi As saja tidak sederajat, sebagaimana Al-Baqarah: 253, maka sewajarnya
para Sahabat pun demikian.
d. Mengenai perkataan mereka tidak ada dalil yang
menyatakan keshalihan tiap-tiap Sahabat, sebelumnya telah dikemukakan.
Tak
diragukan lagi, para pencela Sahabat tersebut juga mengemukakan dalil-dalil
lainnya. Akan tetapi, ada baiknya sebelum berhadapan dengan dalil mereka,
penulis buku mengajak kita menyimak firman Allah Swt dalam QS. Ali Imran: 7.
Adapun
dalil-dalil mereka dan bantahan terhadapnya dapat rekan pengunjung baca lebih
lanjut dalam buku tersebut. Saya, sebagai peringkas poin-poin untuk sementara
belum dapat mencamtumkan pembahasan lengkap di sini, karena memang penulis
menjelaskan dengan panjang lebar, sehingga tidak praktis untuk disajikan dalam
catatan berupa ringkasan poin ini. akan tetapi sebagai gambaran, mereka
mengutip dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan penafsiran yang tentunya
memojokkan para Sahabat, di bagian ini, tentunya kalangan yang awam sangat
asing dan tidak berbekal dengan pembacaan dan penelitian yang seksama akan
dapat terkecoh. Akan tetapi, insyaallah dengan hidayah dan inayah Allah Swt
disertai dengan kajian yang sedikit serius, syubhat-syubhat yang dikemukakan
akan dapat diluruskan. Wallahul musta’an.
Di sini, saya akan mengutip beberapa poin yang rasanya baru setelah membaca buku ini.
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah Saw bersabda yang kemudian terjadi di belakang hari. Misalnya
seperti dapat dibaca dalam halaman 52 buku ini:
Dari Anas
bin Malik ra, ia menuturkan bahwasanya Abu Bakar, Umar, dan Utsman naik ke atas
gunung Uhud. Tiba-tiba, tanah di gunung Uhud itu bergetar. Kemudian Nabi Sav
berkata:
اُثْبُتْ
اُحُدُ! فَاِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ
“Tenanglah,
hai Uhud! Sesungguhnya, di atasmu ada seorang Nabi, seorang Shiddiq, dan dua
orang syahid.”
(Shahih
Bukhari no. 3675 dan
Shahih Muslim no. 2417)
Sebagaimana kita tahu dalam sirah, kemudian hari Umar ra dan Utsman gugur
sebagai syahid.
Al-Abbas bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dam Al-Fadhl bin
al-Abbas, dibantu para Sahabat lain memandikan dan mengkafani Rasulullah Saw, kemudian beliau dishalatkan dan dikebumikan.
Pengurusan jenazah Nabi Saw seperti itu karena al-Abbas adalah paman beliau,
serta Ali dan al-Fadhl ialah sepupu beliau. (H. 42)
Kekhalifahan Abu Bakar ra berlangsung 2 tahun 3 bulan (11-13 H). Setelah itu beliau wafat. Sebelum wafat beliau menyerahkan urusan kepada
Umar bin Khattab, maka orang-orang pun membaiatnya.
Dalam buku
Tarikh Khulafa (Penerbit Al-Kautsar, hal. 90-91), Imam Suyuthi menceritakan bahwa
sebelum wafat, Abu Bakar menyuruh Utsman untuk menuliskan lalu menyetempel wasiat
perihal penunjukan Umar ra.
Umar bin Khattab terbunuh di tangan seorang Majusi bernama Abu
Lu’luah. Ia menikamkan sebilah pisau beracun sebanyak 2 kali ke tubuh Umar
ketika mengimami shalat Subuh. Ketika mengetahui siapa pembunuhnya, Umar ra
berseru: “Segala puji bagi Allah Swt yang
tidak menjadikan pembunuhku seorang muslim. Karena jika dia muslim, tentu dia
dapat mendebatku kelak di hadapan Allah Swt dengan satu sujud yang pernah
dilakukannya”. (Mushannaf Ilmi Abi Syaibah,
Kitab “Al-Maghazi”, Bab “Maa Jaa-a fii Khilaafah Umar bin al-Khattab ra no. 37074)
Khalifah Umar ra pernah mengalami kemarau panjang, beliau meminta
al-Abbas bin Abdul Muthalib berdoa minta hujan seraya bertawasul dengan doa paman Nabi Saw tersebut. (Shahih
Bukhari no.1010)
Setelah ditikam oleh Abu Lu’luah, Umar ra menyerahkan penentuan
khalifah penggantinya kepada hasil permusyawaratan 6
orang: Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair
bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abu waqqash. Setelah memakamkan
Umar ra, mereka berkumpul. Singkatnya tiga dari mereka mundur: Zubair
mengajukan Ali, Thalhah mengajukan Utsman, Sa’ad mengajukan Abdurrahman bin Auf.
Kemudian Abdurrahman mundur, dan menanyakan siapa yang mundur di antara Ali
atau Utsman. Namun keduanya terdiam. Kemudian Abdurrahman membaiat Utsman,
disusul Ali. Alhasil penduduk Madinah kemudian dan membaiat khalifah terpilih
ini. (Shahih Bukhari no. 3700)
Bahkan dalam riwayat
hadits lain, Abdurrahman bin Auf menunggu 3 hari untuk meminta pendapat kaum Muhajirin dan
Anshar setiap kali melewati rumah
mereka perihal rencana pengangkatan Utsman, dan Abdurrahman tidak melihat
mereka membandingkan Utsman dengan seorang pun. (Shahih Bukhari no.7207)
Tentang fitnah yang terjadi pada masa Utsman ra, disebutkan dalam
Jamii’ut Tirmidzi, Kitab “Al-Manaaqib”, Bab “Manaaqib Utsman” no. 3704:
Dari Murrah bin
Ka’ab ra, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw menyebut berbagai fitnah, lalu menggambarkan bahwa
fitnah-fitnah itu begitu dekat masanya. Kemudian seseorang dengan muka tertutup
kain lewat. Rasulullah Saw bersabda tentang orang ini:
هَذَا
يَوْمَئِذٍ عَلَى الْهُدَى
‘Saat fitnah
itu terjadi, orang ini berada di atas petunjuk’
Murrah bin
Ka’ab melanjutkan: “Lantas, aku berdiri dan berjalan menuju ke arah orang itu.
Rupanya dia adalah Utsman.”
Sebab Fitnah di Masa Utsman di antaranya:
a.
Sebab
fitnah yang utama ialah konspirasi Abdullah bin Saba’. Ia berasal dari Yaman.
Ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura menjadi muslim, serta menganut
ajaran Syi’ah yang mengkultuskan Ali ra. Kepada kelompok inilah dinisbatkan
kelompok as-Sabaiyah, yang berkeyakinan bahwa Ali
adalah Rabb.
Ibnu Saba’
memanfaatkan orang-orang Badui. Ia menyebarkan kebohongan-kebohongan pada
mereka dengan mengatakan bahwa Utsman melakukan begini dan begitu. Ia dan
simpatisannya membuat surat-surat palsu mengatasnamakan az-Zubair, Ali, Thalhah,
Aisyah dan Sahabat lain lalu mencapnya dengan stempel palsu, isinya semua
tentang pengingkaran atas Utsman dan mencela kebijakan pemerintahannya.
Mengenai surat-surat
palsu yang mereka buat, Masruq menuturkan: “Aisyah berkata:’Kalian meninggalkan
Utsman laksana pakaian yang suci bersih daro kotoran. Lalu, kalian mendekatinya
seraya menyembelihnya seperti menyembelih seekor domba.’” Masruq berkata kepada
Aisyah ra: “Ini ulahmu! Engkau telah menulis surat kepada orang-orang,
memerintahkan mereka untuk melakukan kudeta terhadap Utsman.” ‘Aisyah ra
menanggapi: “Demi Dzat yang diimani oleh orang-orang beriman dan diingkari oleh
orang-orang kafir, aku tidak pernah menulis satu huruf pun di atas kertas
sampai aku duduk di tempat ini.”
Al-A’masy
berkata: :Menurut mereka surat-surat itu dibuat atas nama Aisyah.” (Al-Bidayah wan
Nihayah (VII/204). Ibnu Katsir berkata: “Sanad hadits ini shahih”.
b.
Kesejahteraan
yang dicapai umat Islam
Di
masa Utsman ra aktivitas jihad benar-benar terjadi besar-besaran. Akan tetapi,
kesejahteraan biasanya memang menyebabkan munculnya sikap mencela dan tidak
menerima pemberian yang ada. Hal ini semata-mata karena kesombongan manusia dan
minimnya rasa syukur mereka terhadap sesamanya.
c.
Perbedaan
karakter Umar ra dan Utsman ra
Utsman
ra bukan orang yang lemah sebagaimana disangka banyak orang. Ia adalah seorang
yang santun. Oleh karena itu, ketika para pemberontak mengepungnya di
kediamannya, ia berkata: “Apakah kalian tahu apa yang membuat kalian seberani
ini kepadaku? Tidak ada yang membuat kalian seberani ini kecuali kesantunanku.”
Abdullah bin
Umar ra berkata: “Demi Allah, mereka berani mengingkari kebijakan Utsman,
padahal seandainya kebijakan yang sama diambil oleh Umar, niscaya tidak seorang
pun dari mereka yang berani berbicara.”
Jadi, mereka
bisa sampai menentang Utsman ra? Karena ia bersedia memaklumi, menoleransi,
melupakan kesalahan-kesalahan, dan memaafkan mereka.
d.
Keberatan
sebagaian kabilah terhadap kepemimpinan Quraisy. Ibnu Khaldun berkata:
“Sebagian kabilah Arab marah ketika kepemimpinan dipegang oleh orang Quraisy.
Hati mereka menolak dan itu mendorong mereka untuk mencela para penguasa.”
(Tahqiq Mawaaqifish Shahaabah fil Fitnah (I/365)
Utsman ra mengangkat keluarganya menjadi pejabat atas dasar
nepotisme
(Isu ini yang
biasanya muncul ketika membahas Utsman ra. Begitu juga yang saya –peringkas-
baca dalam beberapa buku pelajaran SKI pada masa sekolah. Di buku ini saya
temukan penjelasan yang kiranya dapat menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Rekan dapat menemukan pembahasan ini di halaman 134 dst. Di sini saya kutip beberapa bagian saja)
Anggota
keluarga Utsman ra yang menjadi aparat pemerintahan adalah Muawiyah ra, Abdullah bin Saad bin Abus Sarh ra, al-Walid
bin Uqbah ra, Sa’id bin al-‘Ash ra dan Abdullah bin Amir ra. Memang benar
mereka adalah keluarganya. Dan, menurut para penuduh, ini merupakan suatu aib
bagi Utsman.
Mari kita
lihat gubernur-gubernur Utsman lainnya: Abu Musa al-Asy’ari, al-Qa’qa’ bin Amr,
Jabir al-Muzani, Habib bin Maslamah, Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, Abul
A’war as-Sulami, Hakim bin Salamah, al-Asy’ats, Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Utaibah bin an-Nahas, Malik bin Habib, an-Nasir a;-Ajali, as-Sa-ib bin
al-Aqra’, Sa’id bin Qais, Salman bin Rabi’ah, dan Khunais bin Khubaisy.
Di sini
tampak gubernur dari kalangan keluarga Utsman lebih sedikit dari selainnya.
Merunut ke
belakang, di masa Rasulullah Saw, gubernur yang diangkat dan dipakai oleh
beliau Saw dari kalangan Bani Umayyah adalah: Attab bin Usaid, Abu Sufyan bin
Harb, Khalid bin Sa’id, Utsman bin Sa’id, dan Aban bin Sa’id. Jumlah mereka 5
orang sama dengan yang dianggkat khalifah Utsman ra.
Perlu
disadari juga bahwa para gubernur itu tidak menjabat dalam waktu bersamaan.
Terlihat bahwa Utsman ra mengangkat al-Walid bin Uqbah kemudian mencopotnya
lalu diganti oleh Sa’id bin al-Ash. Sehingga jumlah mereka bukan 5 orang dalam waktu
bersamaan. Utsman juga mencopot Sa’id bin al-Ash sebelum mereka wafat. Dengan
demikian, ketika Utsman ra wafat, gubernur dari Bani Umayyah hanya 3 orang, yaitu: Mu’awiyah, Abdullah bin Sa’ad bin Abus Sarh, dan Abdullah
bin Amir bin Kuraiz.
Syahidnya Utsman ra
Dalam
buku ini, penulis menyebutkan sekitar 15 syubhat yang disebar para penentang
Utsman ra. Sampailah pada tahun 35 H
sekelompok orang dari Bashrah, Kufah dan Mesir keluar menuju Madinah
berpura-pura ingin pergi haji. Ulama berbeda pendapat perihal jumlah mereka.
Ada yang mengatakan dari penduduk Mesir 2 ribu, Kufah 2 ribu, dan Bashrah 2
ribu sehingga 6 ribu. Ada yang mengatakan jumlah total mereka 2 ribu. Tidak ada
perhitungan rinci jumlah mereka, singkatnya totalnya mereka antara 2-6 ribu
orang.
Tujuan mereka menurunkan Utsman ra dari jabatan;
kalau tidak bisa dengan ancaman, mereka akan menggunakan kekuatan. Mereka
mengepung rumah Utsman tepatnya bulan Dzul Qa’dah sampai 18 Dzul Hijjah, hari
saat ia terbunuh.
Ulama mengatakan rentang pengepungan ini antara 40-41 hari.
Selama
pengepungan ini riwayatkan
ada 700 sahabat muda yang melindungi Utsman. Tentu jumlah ini jauh dari
kelompok pengepung bahkan jika kita menganggap jumlah minimal mereka 2 ribu
orang. Utsman sendirilah yang menahan para sahabat untuk menahan senjatanya
agar tidak terjadi peperangan.
Ada dialog
antara antara Ibnu Umar dan Utsman ra yang disana Utsman bertanya kepada Ibnu
Umar apakah tuntutan orang yang mengepungnya. Ibnu Umar mengatakan bahwa mereka
menginginkan Utsman ra untuk mundur, tetapi Ibnu Umar bertanya apakah dengan mundur,
Utsman akan kekal di dunia? Utsman menjawa tidak. Ibnu Umar kemudian mengatakan
ketidaksetujuan Utsman untuk mundur dengan alasan nanti dikhawatirkan akan
menjadi kebiasaan: setiap orang yang tidak suka dengan khalifah atau pemimpin
mereka, mereka akan melengserkannya. (Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah
(XV/205, no. 19509)
Siapakah
Pembunuh Utsman?
Setelah
Utsman ra dikepung, mereka memanjati rumahnya dan membunuhnya ketika ia sedang
meletakkan mushaf di depannya.
Seseorang
bertanya kepada al-Hasan al-Bashri –ketika itu sudah lahir, karena dia termasuk
Tabi’in senior-: “Apakah ada di antara mereka yang membunuh Utsman itu seorang
dari kalangan Muhajirin dan Anshar? “al-Hasan menjawab: “Para pembunuh Utsman
adalah orang-orang keras dan kasar yang berasal dari penduduk Mesir. (Tarikh
Khilaafah, dengan sanad shahih).
Mereka
adalah: Kinanah bin Bisyr, Ruman al-Yamani (panggilannya Jabalah), Sudan bin
Humran, dan seseorang yang dijuluki ‘kematian hitam’ dari Bani Sadus. Ada yang
mengatakan di antara mereka juga adalah: Malik bin al-Asytar an-Nakhai. Mereka
inilah tokoh penggerak fitnah yang menimpa Utsman ra, adapun yang membunuhnya
secara langsung menurut pendapat yang masyhur adalah orang Mesir yang bernama
Jabalah.
‘Amrah bin
Arthah mengatakan bahwa ia melihat tetesan darah pertama yang menimpa mushaf
itu adalah pada awal ayat QS. Al-Baqarah: 137. (HR.
Imam Ahmad dalam Fadhaailush Shahaabah (I/501, no. 817)
Pembaiatan Ali sebagai Khalifah
Dituturkan
dari Muhammad bin al-Hanafiyah (Muhammad bin Ali bin Abi Thalib); ia bercerita
bahwasanya setelah Utsman ra terbunuh, Ali mengunjungi
rumahnya. Ali masuk ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya. Tidak lama
kemudian, orang-orang datang kepadanya dan mengetuk pintu seraya berkata:
“’Utsman telah terbunuh sedangkan orang-orang membutuhkan khalifah. Kami tidak
mengetahui orang yang lebih berhak menjadi khalifah selain dirimu.”
Ali
menanggapi ucapan mereka: “Kalian jangan memilihku, karena bagiku, jabatan
sebagai penasehat jauh lebih baik dari jabatan sebagai khalifah.” Mereka
berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui orang yang lebih berhak
menjadi khalifah selain dirimu.” ‘Ali lantas berkata: “Jika kalian tetap
bersikukuh menginginkan diriku menjadi khalifah, maka kalian jangan membaiatku
secara sembunyi-sembunyi. Aku akan keluar menuju masjid. maka siapa saja yang
hendak membaiatku, dia bisa melakukannya di sana.’ Ali kemudian keluar menuju
masjid, dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka (setelah
Utsman). (HR. Ahmad dalam Fadhaa-ilush Shahaabah (II/696). Sanad hadits ini
shahih.
Self Note: Perang Jamal
Dalam
penuturan penulis yang dapat dibaca di halaman 176-178, yang dapat peringkas
tangkap adalah hakikatnya perang Jamal ini terjadi karena faktor “kecelakaan”.
Karena sebagaimana pada halaman 178, kedua pihak telah berunding. Ali mengirim
al-Miqdad bin al-Aswad dan al-Qa’qa’ bin Amr untuk
berunding dengan Thalhah dan
az-Zubair. Thalhah dan az-Zubair berpendapat tidak boleh membiarkan pembunuh
Utsman ra begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat menyelidiki siapa
pembunuh Ali bukan hal paling mendesak. Namun, bisa ditunda hingga keadaan
stabil. (untuk jelasnya, bisa dibaca kembali bagaimana gentingnya peristiwa jelang pembunuhan atas khalifah Utsman). Jadi, 2
pihak sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang menjadi
perselelisihan adalah waktu untuk merealisasikannya.
Setelah
kesepakatan ini, kedua pasukan bisa tidur dengan tenang, sedangkan para
pengikut Abdullah bin Saba –mereka ini para pembunuh Utsman- terjaga dan melewati
malam yang buruk, karena akhirnya kaum muslimin sepakat untuk tidak saling
berperang. Demikian disebutkan para sejarawan seperti ath-Thabari (Tariikh
Thabari (III/517), Ibnu Katsir (al-Bidayah wan Nihayah (VII/509), Ibnul Atsir
(al-Kamiil fit Taarikh (III/120), Ibnu Hazm (al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan
Nihal (IV/293).
...Menjelang subuh, ketika orang sedang terlelap,
sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan az-Zubair, lalu
membunuh beberapa orang di antara mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.
pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan
Ali ra telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali.
Melihat itu, pasukan Ali mengira pasukan Thalhah dan az-Zubair telah
berkhianat. Serang-menyerang kedua pasukan ini berlangsung sampai tengah hari.
Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan hebatnya.
Sebenarnya,
para pembesar masing-masing pihak sempat melakukan upaya untuk menghentikan
perang. Thalhah ra berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun,
mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata:”Buruk! Buruk sekali
jilatan nereka! Buruk sekali kerakusan!” (Taarikh Khalifah bin Khayyatth (h.
182). Ali ra juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya.
Aisyah ra kemudian mengirim Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk
menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan
anak panah sampai menewaskannya.
Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar
tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para
pembesar Sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah
para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah. Lalu beliau mengutip Al-Anfaal:
25). (Mukhtashar Minhasjis Sunnah (h.281).
Perang
Jamal terjadi 36 H, di awal kekhalifahan Ali ra. Mulai berkecamuk setelah
Zuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam. Pasukan Ali ra disertai 10.000
orang, sementara pasukan Jamal (berunta) 5000-6000 prajurit. Adapun Aiyah ra,
maka Ali ra mengembalikan beliau ke Mekkah dengan aman sebagaimana pesan
Rasulullah Saw bila sesuatu masalah terjadi di antara mereka (dapat dirujuk HR.
Ahmad dalam Musnadnya (VI/393), Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
Fathul Baari (XIII/60) sanad hadits ini shahih.)
Adapun perang Shiffin, diakhiri dengan tahkim (arbitrase) antara
pihak Muawiyah dan Ali. Penulis buku, menganalisis
bahwa ada perbedaan pandangan keduanya. Ali memandang lebih baik Muawiyah
membaiatnya dahulu, setelah itu baru mengusut para pembunuh Utsman ketika
kondisi sudah kondusif dan keamanan sudah kembali normal. Akan tetapi, Muawiyah
memandang sebaliknya. Ia melihat yang pertama harus dikerjakan adalah
mengeksekusi pembunuh Utsman, setelah itu baru beranjak kepada masalah
khilafah.
Dengan
demikian, perbedaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah adalah khilaf aulawiyat (perbedaan prioritas).
Pandangan Thalhah dan az-Zubair sama
dengan Muawiyah. Yaitu agar mempercepat eksekusi pembunuh Utsman. Bedanya,
Thalhah dan az-Zubair sudah membaiat Ali ra, sedangkan Muawiyah belum. H. 205
Akhir Kekhalifahan Ali ra
Ketika
keadaan sudah agak kondusif pasca perang Nahrawan, 3 orang Khawarij
berangkat menuju Makkah, mereka bersepakat untuk membunuh Ali bin Abu Thalib,
Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin al-Ash. Mereka berpendapat, dengan gugurnya
tiga orang tersebut menurut mereka, kaum muslimin akan hidup tenang tanpa
konflik. Abdurrahman bin Muljim al-Muradi berkata akan mengeksekusi Ali bin Abu
Thalib, Al-Bark at-Tamimi mengeksekusi Muawiyah. Dan Amr bin at-Tamimi
mengeksekusi Amr bin al-Ash.
Ketika itu,
Amr bin al-Ash di Mesir, Muawiyah di Syam, dan Ali di Kuffah. Ibnu Muljim
berhasil membunuh Ali ra ketika ia sedang keluar untuk shalat Subuh (dalam
Tarikh Khulafa, disebutkan beliau terluka di wajah dan kening oleh Ibnu
Muljim). Dia membunuhnya dengan pisau yang telah dilumuri racun selama 2
minggu. Al-Bark berhasil melukai Muawiyah yang ketika itu menjadi imam shalat
Subuh, akan tetapi beliau diobati hingga sembuh. Adapun Amr bin Ash ketika itu
sakit sehingga tidak keluar rumah. Pembunuh ketika itu datang dan membunuh imam
shalat yang dikiranya adalah Amr, padahal imam saat itu adalah Kharijah bin Abu
Habib.
Tak lama
kedua ketiga pembunuh ini pun dihukum bunuh.
Sikap Ahlus Sunnah terhadap Abdurrahman bin Muljim, para pembunuh
Utsman ra, pembunuh az-Zubair ra, pembunuh al-Husain ra, dan orang-orang
seperti mereka
Imam
adz-Dzahabi berkata: “Menurut kami, Ibnu Muljim termasuk yang kita harapkan
masuk neraka. Namun begitu, kita memaafkannya jika memang Allah Swt memaafkannya. Hukumnya sama seperti pembunuh
Utsman, pembunuh az-Zubair, pembunuh Thalhah, pembunuh Sa’id bin Jabir,
pembunuh Ammar, pembunuh Kharijah, dan pembunuh al-Husain. (Mereka dihukumi
sama, yakni tidak keluar dari agama. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka
adalah orang-orang fasik dan pelaku kejahatan, kecuali yang bertaubat di antara
mereka).
Kita
berlepas diri dari mereka semua, dan membenci mereka karena Allah Swt. Kita
serahkan urusan mereka kepada Allah Swt. (Taarikhul Islam (h.645), pada masa-masa Khulafaur Rasyidin,
dalam bahasan biografi Abdurrahman bin Muljim.)
Sebab-sebab Mendapat Ampunan Allah Swt
Bahasan ini
saya kutip dari hal. 337-339.
....Ampunan
Allah Swt itu sendiri dapat terwujud karena beberapa sebab:
tiga dari pelaku kemaksiatan, tiga dari orang lain, empat dari Allah Swt.
Penulis menyebutkan secara ringkas sebagai berikut:
1.
Dari pelaku
kemaksiatan
a.
Bertaubat.
(QS. Al-Furqan: 70)
b.
Beristighfar
(QS. Nuh: 10)
c.
Berbuat
kebaikan yang dapat menghapusnya. (QS. Hud: 114)
2.
Dari orang
lain
a.
Doa
orang-orang mukmin bagi pelaku maksiat. (QS. Al-Hasyr: 10)
b.
Hadiah amal
shalih baginya. Nabi Saw bersabda:
اَللهُمَّ
اِنَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ اُمَّةِ
مُحَمَّدٍ
“Ya Allah,
(sembelihan) ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad yang
belum mampu menyembelih.” (HR. Ahmad (III/356). Sanad
hadits ini hasan.
لَبَّيْكَ
اَللهُمَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
“Labbaika (aku penuhi
panggilanMu), ya Allah, (haji ini) untuk Syubrumah” (Sunan Abu Dawud, kitab al-Hajj, Bab “Ar-Rajul Yahujjuhu ‘an
Ghairih, no. 1811)
Dalam masalah
ini, memang terjadi perbedaan pendapat, namun jumhur ulama berpendapat bahwa menghadiahkan ketaatan-ketaatan itu bermanfaat bagi
sesama muslim. (dalam sebuah ceramah Gus Baha, peringkas mengigat ada tiga
amalan yang disepakati sampainya kepada orang yang telah meninggal: doa,
sedekah dan haji.)
c.
Syafa’at
Rasulullah Saw dan selain beliau pada hari kiamat.
3.
Dari Allah
Swt
a.
Berbagai
musibah di dunia yang dapat menghapus dosa. Rasulullah Saw bersabda:
مَايُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَاوَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا
حُزْنٍ وَلَا اَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا اِلَّا كَفَّرَ
اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Setiap
kesusahan, duka cita, bala’ ataupun sakit yang menimpa seorang mukmin, bahkan
duri yang menusuknya, Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan si mukmin
tadi, dengannya” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
b.
Adzab
kubur. Adakalanya adzab kubur ini menggantikan adzab akhirat, sesuai dengan
dosa yang pernah dilakukan seseorang.
c.
pengadilanNya
di Padang Mahsyar pada hari kiamat. Ketika itu dilakukan qishash dan saling
memaafkan antar sesama muslim, dapat dirujuk di QS. Al’A’raaf: 43.
d.
Keluasan ampunanNya di dunia. QS. An-Nisaa’: 48.
Demikian sedikit ringkasan –yang lebih tepatnya merupakan poin-poin
dari buku ini, untuk dokumentasi jika sewaktu-waktu
dirasa perlu untuk dirujuk kembali. Adapun untuk rekan pengunjung, silakan
merujuk langsung buku tersebut untuk mendapatkan ide dan pembahasan menyeluruh
tentang bahasan ini.
Sekian, selesai: sekuduk, 16 Mei 2020= 23: 32 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar