Minggu, 17 Mei 2020

Bahas Buku: INILAH FAKTANYA [حِقْبَة مِنَ التَّارِيْخ]




INILAH FAKTANYA [حِقْبَة مِنَ التَّارِيْخ]
(Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Saw Hingga Terbunuhnya al-Husain ra)


Judul Asli: Hiqbah Minat Tarikh
Penulis: Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis
Penerbit/Tahun: Daar Ibnu al-Jauzi, Kairo Mesir Cet. I-2007 M
Penerbit Indonesia: Pustaka Syafii, Jakarta, 2012. Xiv+418 hlm.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh....
Pointer-pointer berikut sengaja saya buat selain sebagai dokumentasi dan bahan bacaan pribadi di blog ini, semoga juga bermanfaat bagi rekan pembaca yang kebetulan berkunjung dan menyempatkan diri untuk menyimak apa yang saya ringkas dari buku yang bagus ini. Semoga juga berkah dan ilmu yang dibagikan oleh penulis buku menjadi amal jariyah beliau, begitu juga mereka yang terlibat dalam meluncurkan buku ini dan para kontributor yang terlibat. Tak lupa juga, mungkin ada di antara murid kami yang kebetulan sedang mencari materi yang relevan, silakan merujuk ke buku tersebut untuk mendapat ide yang lebih lengkap untuk menghindarkan bias pemahaman.

Penulis buku memberikan beberapa pesan terhadap kita bagaimana membaca sejarah, khususnya yang berhubungan dengan sahabat:
Pertama, meyakini bahwa para Sahabat ra adalah manusia terbaik setelah para Nabi as, karena Allah Swt telah memuji mereka misalnya dalam ayat terakhir QS. Al-Bayyinah. Di samping itu banyak hadits tentang sanjungan Rasulullah Saw sendiri terhadap mereka.
Kedua, para Sahabat tidak ma’shum atau terpelihara dari kekeliruan. Namun, kita meyakini bahwa mereka  tidak mungkin keliru dalam berijma’ karena Nabi Saw telah menegaskan bahwa umat ini (maksudnya generasi Sahabat) tidak akan berkolaborasi dalam kesesatan. [HR. Imam Ahmad dari Abu Bashrah al-Ghifari dalam Musnadnya (VI/no. 26682); Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Al-Fitan, Bab “As-Sawaadul A’zham” (II/367, no. 3998); Ibnu bin Abi Ashim dalam as-Sunnah, Bab “Ma Dzukira min Amrin Nabi Saw bi Luzuumil Jama’ah (no. 80 dari Anas bin Malik ra]. Dengan kata lain, mereka ma’shum dari bersepakat dalam kesesatan. Mereka ma’shum bila dilihat secara komunal, tetapi jika perorangan tidak demikian. Yang  ma’shum hanya Nabi Allah Swt dan MalaikatNya. Selain mereka kita tidak meyakini kema’shuman seseorang........
Mengenai pujian Allah Swt kepada para Sahabat Nabi Saw tertera dalam firmanNya QS. Al-Fath: 29. Pujian Allah Swt dalam ayat ini menunjukkan hukum asal bahwa para Sahabat adalah terpuji. Rasulullah Saw bersabda:
لَاتَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ (متفق عليه)
“Janganlah kalian mencela Sahabatku! Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebenar Gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai infak mereka yang hanya sebesar 1 mud (+- 675 gram) bahkan separuhnya pun tidak”. [Shahih Nukhari, Kitab “Fadhaailush Shahabah”, Bab “Lau Kuntu Muttakhidzan Khaliilan” no. 3673; Shahih Muslim, Kitab “Fadhaailush Shahabah”, Bab “Tahriim Sabbish Shahaabah”, no. 2541]

Definisi Sahabat dan Dalil-daling tentang Keshalihan Mereka
...dikutip dari hal. 269....
1.     Definisi Sahabat secara Etimologi dan Terminologi
Kata Shahaabi (صَحَابِيٌّ) adalah nisbat kepada kata shaahib (صَاحِبٌ). Secara etimologi, kata shaahib mempunyai beberaoa makna, semuanya berkisar pada makna yang terus menemani dan kepatuhan. (Lisaanul Arab (I/519). Sedangkan menurut terminologi, maknanya adalah orang yang bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan beriman terhadap beliau dan meninggal dalam keadaan muslim. (Al-Ishaafah fii Ma’rifatish Shahaabah (I/10). Adapula definisi-definisi selain itu.
Para Sahabat Nabi Saw berbeda dalam intensitas kebersamaan dengan Nabi Saw dan dalam keutamaannya di sisi Allah Swt. Menurut prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah, semua Sahabat itu shalih.

2.     Dalil-Dalil tentang Keshalihan Para Sahabat
Dalil pertama bisa dilihat dalam QS. Al-Fath: 18. Di sini Allah Swt menjelaskan bahwa Dia ridho kepada orang-orang yang membaiat Nabi Saw di bawah pohon (peristiwa Baiatur Ridhwan). Jumlah orang yang membaiat Beliau Saw pada peristiwa ini adalah 1400 orang; adapula yang mengatakan 1500 orang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak akan masuk neraka orang yang ikut berbaiat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan), kecuali si pemilik unta merah.” (Jami’ut Tirmidzi, Kitab “Al-Manaqib”, Bab “Fadhl Man Baaya’a Tahtasy Syajarah (no. 3863), Riwayat ini asli ini berada di Shahih Muslim, Fadhaailush Shahabah”, Bab Min Fadhaail Ahli Bai’atir Ridhwan no.2496).
Hadits ini mengabarkan ada 1 orang munafik bernama Al-Jadd bin Qais, pemilik unta merah, dia ini dikabarkan berada bersama para sahabat, akan tetapi hakikatnya dia tidak ikut berbaiat.
 Dalil lain misalnya QS. Al-Hadiid: 10 yang menjelaskan orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum maupun setelah Fathu Makkah; yaitu para Sahabat.
Dalil lain misalnya QS. Al-Anbiya: 100-103, Al-Hasyr: 8-9, Ali Imran: 110. Maka, mustahil apabila dikatakan bahwa semua orang Muhajirin dan Anshar murtad kecuali 3 orang –seperti dikatakan sebagian orang Syi’ah- sementara Allah Swt telah menegaskan mereka adalah umat terbaik.
Begitu juga sabda Rasulullah Saw:
لَاتَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ (متفق عليه)
“Janganlah kalian mencela Sahabatku! Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebenar Gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai infak mereka yang hanya sebesar 1 mud (+- 675 gram) bahkan separuhnya pun tidak”.
Di antara bukti yang menunjukkan keshalihan para Sahabat ra secara umum adalah hasil penelitian para ulama terhadap riwayat-riwayat yang disampaikan kepada kita. Dalam penelitian itu, tidak ditemukan seorang Sahabat pun yang pernah berdusta atas nama Nabi Saw, walaupun sekali. Bahkan ketika bid’ah-bid’ah bermunculan, tidak ada seorang pun dari mereka yang turut berbuat bid’ah.
Namun perlu dipahami, keshalihan tersebut tidak berarti menjadikan mereka ma’shum. Karena mereka manusia biasa. Sebagaimana sabda Nabi Saw (كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ) “Setiap anak Adam pasti berbuat salah”. (Musnad Ahmad (III/198))
Mereka juga anak-anak Adam yang berbuat salah. Sahabat-sahabat ini kadang salah dan kadang benar, walaupun kesalahan mereka lebur dalam lautan kebaikan mereka. Semoga Allah Swt meridhai mereka dan membuat mereka diridhai.
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ahlul Haq (para pewaris kebenaran) dari kaum Muslimin, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah sepakat bahwa semua sahabat itu adalah shalih”. (Al-Istii’ab fii Ma’rifatil Ash-haab (I/8)).
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua sahabat adalah shalih. Tidak ada yang menyelisihi ini kecuali orang-orang aneh dari kalangan ahli bid’ah.” (Al-Ishaabah fii Ma’rifatish Shahaabah (I/17))
Demikian pula pendapat al-Iraqi, al-Juwaini, Ibnush Shalah, Ibnu Katsir, dan ulama terkemuka lainnya. Mereka mengutip kesepakatan kaum Muslimin terkait keshalihan semua Sahabat Nabi Saw.” (rincian dapat dilihat di kitab Shahaabah Rasuulillah fil Kitaab was Sunnah, Bab IV, Pembahasan: Keadilan Sahabat)
Al-Khatib al-Baghdadi berkata: “Seandainya Allah Swt dan Rasul-Nya tidak menyebutkan seperti pernyataan kami (maksudnya dalil-dalil yang telah disebutkan perihal keshalihan para Sahabat), maka hijrah para Sahabat, jihad mereka, pertolongan mereka, pengorbanan nyawa dan harta benda mereka, keteguhan hati mereka dalam tatkala membunuh orang tua dan anak-anak sendiri dalam peperangan, sikap mereka saling menasihati dalam beragama, serta kekuatan iman dan keyakinan mereka; sesungguhnya semua itu sudah cukup untuk membuktikan dan mengukuhkan keshalihan mereka. Semua itu juga meyakinkan bahwa reputasi mereka bersih dari kedustaan maupun kemunafikan. Selamanya, Sahabat Muhammad Saw lebih baik daripada orang-orang yang kemudian memuji dan merekomendasikan mereka.” (Al-Kifayah fii ‘Ilmir Riwayah (hlm. 96)).

Berkenaan dengan golongan yang mencela keshalihan para Sahabat Nabi Saw, Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis dalam bukunya ini menyebutkan bahwa mereka terbagi 2, yaitu: Pertama, yang mencela karena disebabkan syubhat-syubhat dari ulama suu’ (ulama yang sesat dan menyesatkan). Kedua, karena kedengkian, sebab para Sahabat ialah pengemban dakwah agama ini dan pembawa Al-Qur’an dan Sunnah. Dampak dari celaan ini, kita digiring untuk tidak percaya lagi dengan apa yang dibawa oleh para Sahabat karena bisa jadi telah mengalamai penambahan atau pengurangan sebab ketidakshalihan mereka. Inilah bahaya yang sebenarnya. Tujuan akhir dari yang ingin dicapai orang-orang itu adalah menimbulkan keraguan terhadap agama Allah Swt dengan menyebarkan ketidakpercayaan terhadap para pembawanya.
Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan: “Jika engkau melihat seseorang mencela Sahabat Rasulullah Saw, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindiq. Karena kita meyakini kebenaran Al-Qur’an, begitu juga Sunnah, sedangkan yang menyampaikan dua wahyu ini adalah para Sahabat. Sungguh, orang-orang ingin mencela saksi-saksi kita itu (yaitu para Sahabat) agar mereka bisa menolak Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, celaan tersebut lebih pantas ditujukan kepada mereka, karena, merekalah orang-orang yang zindiq.” (Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (I.IX/141)

3.     Dalil-Dalil Kelompok yang Mencela Keshalihan Para Sahabat dan Sanggahan Terhadap Mereka
Ada empat golongan yang mencela keshalihan para Sahabat Nabi Saw: Syi’ah, Khawaraji, Nawashib, dan Mu’tazilah. Dalil yang dijadikan acuan mereka antara lain.
a.     Sebagaian Sahabat terjerumus ke dalam kemaksiatan,
b.     Beberapa Sahabat menjadi munafik sepeninggal Rasulullah Saw, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah,
c.      Anggapan bahwa konsekuensi dari keshalihan adalah kesetaraan kedudukan; sehingga apabila kita meyakini ketidaksetaraan para Sahabat, maka keshalihan pun tidak ada,
d.     Tidak adanya dalil yang menyatakan keshalihan tiap-tiap Sahabat secara rinci.
Tanggapan terhadap dalil-dalil lemah tersebut dijawab oleh penulis buku sebagai berikut:
a.     Mengenai terjatuhnya sebagian mereka ke dalam perbuatan maksiat. Maka kita sudah tegaskan bahwa hal itu tidak berpengaruh terhadap keshalihan mereka. Karena itu pulalah kita meyakini semua Sahabat adalah shalih, tapi mereka tidak ma’shum.
b.     Mengenai argumentasi sebagian Sahabat sebenarnya munafik. Tuduhan ini dusta belaka. Karena, orang-orang munafik bukanlah Sahabat. Definisi Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Saw dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman juga. Sedangkan orang munafik bertemu Nabi Saw dalam keadaan tidak beriman, dan mereka pun mati dalam keadaan tidak beriman. Dengan demikian, mereka tidak termasuk kalangan Sahabat.
c.      Mengenai pernyataan tentang keshalihan yang semestinya menjadi kesamaan dalam hal kedudukan, anggapan ini tidak benar. Logika yang benar ialah kita menegaskan keshalihan orang-orang yang shalih tanpa menafikan keutamaan sebagian Sahabat terhadap sebagian yang lain. Abu Bakar ra lebih utama daripada seluruh Sahabat, disusul Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, kemudian Sahabat yang dijamin masuk surga, yang ikut perang Badar, orang-orang yang ikut dalam Baiatur Ridhwan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hadiid: 10.
Apabila keutmaan para Nabi As saja tidak sederajat, sebagaimana Al-Baqarah: 253, maka sewajarnya para Sahabat pun demikian.
d.     Mengenai perkataan mereka tidak ada dalil yang menyatakan keshalihan tiap-tiap Sahabat, sebelumnya telah dikemukakan.
Tak diragukan lagi, para pencela Sahabat tersebut juga mengemukakan dalil-dalil lainnya. Akan tetapi, ada baiknya sebelum berhadapan dengan dalil mereka, penulis buku mengajak kita menyimak firman Allah Swt dalam QS. Ali Imran: 7.
Adapun dalil-dalil mereka dan bantahan terhadapnya dapat rekan pengunjung baca lebih lanjut dalam buku tersebut. Saya, sebagai peringkas poin-poin untuk sementara belum dapat mencamtumkan pembahasan lengkap di sini, karena memang penulis menjelaskan dengan panjang lebar, sehingga tidak praktis untuk disajikan dalam catatan berupa ringkasan poin ini. akan tetapi sebagai gambaran, mereka mengutip dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan penafsiran yang tentunya memojokkan para Sahabat, di bagian ini, tentunya kalangan yang awam sangat asing dan tidak berbekal dengan pembacaan dan penelitian yang seksama akan dapat terkecoh. Akan tetapi, insyaallah dengan hidayah dan inayah Allah Swt disertai dengan kajian yang sedikit serius, syubhat-syubhat yang dikemukakan akan dapat diluruskan. Wallahul musta’an.

Di sini, saya akan mengutip beberapa poin yang rasanya  baru setelah membaca buku ini.
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah Saw bersabda yang kemudian terjadi di belakang hari. Misalnya seperti dapat dibaca dalam halaman 52 buku ini:
Dari Anas bin Malik ra, ia menuturkan bahwasanya Abu Bakar, Umar, dan Utsman naik ke atas gunung Uhud. Tiba-tiba, tanah di gunung Uhud itu bergetar. Kemudian Nabi Sav berkata:
اُثْبُتْ اُحُدُ! فَاِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ
“Tenanglah, hai Uhud! Sesungguhnya, di atasmu ada seorang Nabi, seorang Shiddiq, dan dua orang syahid.”
(Shahih Bukhari no. 3675 dan Shahih Muslim no. 2417)
Sebagaimana kita tahu dalam sirah, kemudian hari Umar ra dan Utsman gugur sebagai syahid.
Al-Abbas bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dam Al-Fadhl bin al-Abbas, dibantu para Sahabat lain memandikan dan mengkafani Rasulullah Saw, kemudian beliau dishalatkan dan dikebumikan. Pengurusan jenazah Nabi Saw seperti itu karena al-Abbas adalah paman beliau, serta Ali dan al-Fadhl ialah sepupu beliau. (H. 42)
Kekhalifahan Abu Bakar ra berlangsung 2 tahun 3 bulan (11-13 H). Setelah itu beliau wafat. Sebelum wafat beliau menyerahkan urusan kepada Umar bin Khattab, maka orang-orang pun membaiatnya.
Dalam buku Tarikh Khulafa (Penerbit Al-Kautsar, hal. 90-91), Imam Suyuthi menceritakan bahwa sebelum wafat, Abu Bakar menyuruh Utsman untuk menuliskan lalu menyetempel wasiat perihal penunjukan Umar ra. 
Umar bin Khattab terbunuh di tangan seorang Majusi bernama Abu Lu’luah. Ia menikamkan sebilah pisau beracun sebanyak 2 kali ke tubuh Umar ketika mengimami shalat Subuh. Ketika mengetahui siapa pembunuhnya, Umar ra berseru: “Segala puji bagi Allah Swt yang tidak menjadikan pembunuhku seorang muslim. Karena jika dia muslim, tentu dia dapat mendebatku kelak di hadapan Allah Swt dengan satu sujud yang pernah dilakukannya”. (Mushannaf Ilmi Abi Syaibah, Kitab “Al-Maghazi”, Bab “Maa Jaa-a fii Khilaafah Umar bin al-Khattab ra no. 37074)
Khalifah Umar ra pernah mengalami kemarau panjang, beliau meminta al-Abbas bin Abdul Muthalib berdoa minta hujan seraya bertawasul dengan doa paman Nabi Saw tersebut. (Shahih Bukhari no.1010)
Setelah ditikam oleh Abu Lu’luah, Umar ra menyerahkan penentuan khalifah penggantinya kepada hasil permusyawaratan 6 orang: Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abu waqqash. Setelah memakamkan Umar ra, mereka berkumpul. Singkatnya tiga dari mereka mundur: Zubair mengajukan Ali, Thalhah mengajukan Utsman, Sa’ad mengajukan Abdurrahman bin Auf. Kemudian Abdurrahman mundur, dan menanyakan siapa yang mundur di antara Ali atau Utsman. Namun keduanya terdiam. Kemudian Abdurrahman membaiat Utsman, disusul Ali. Alhasil penduduk Madinah kemudian dan membaiat khalifah terpilih ini. (Shahih Bukhari no. 3700)
Bahkan dalam riwayat hadits lain, Abdurrahman bin Auf menunggu 3 hari untuk meminta pendapat kaum Muhajirin dan Anshar setiap kali melewati rumah mereka perihal rencana pengangkatan Utsman, dan Abdurrahman tidak melihat mereka membandingkan Utsman dengan seorang pun. (Shahih Bukhari no.7207)
Tentang fitnah yang terjadi pada masa Utsman ra, disebutkan dalam Jamii’ut Tirmidzi, Kitab “Al-Manaaqib”, Bab “Manaaqib Utsman” no. 3704:
Dari Murrah bin Ka’ab ra, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw menyebut berbagai fitnah, lalu menggambarkan bahwa fitnah-fitnah itu begitu dekat masanya. Kemudian seseorang dengan muka tertutup kain lewat. Rasulullah Saw bersabda tentang orang ini:
هَذَا يَوْمَئِذٍ عَلَى الْهُدَى
‘Saat fitnah itu terjadi, orang ini berada di atas petunjuk’
Murrah bin Ka’ab melanjutkan: “Lantas, aku berdiri dan berjalan menuju ke arah orang itu. Rupanya dia adalah Utsman.”
 
Sebab Fitnah di Masa Utsman di antaranya:
a.     Sebab fitnah yang utama ialah konspirasi Abdullah bin Saba’. Ia berasal dari Yaman. Ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura menjadi muslim, serta menganut ajaran Syi’ah yang mengkultuskan Ali ra. Kepada kelompok inilah dinisbatkan kelompok as-Sabaiyah, yang berkeyakinan bahwa Ali adalah Rabb.
Ibnu Saba’ memanfaatkan orang-orang Badui. Ia menyebarkan kebohongan-kebohongan pada mereka dengan mengatakan bahwa Utsman melakukan begini dan begitu. Ia dan simpatisannya membuat surat-surat palsu mengatasnamakan az-Zubair, Ali, Thalhah, Aisyah dan Sahabat lain lalu mencapnya dengan stempel palsu, isinya semua tentang pengingkaran atas Utsman dan mencela kebijakan pemerintahannya.
Mengenai surat-surat palsu yang mereka buat, Masruq menuturkan: “Aisyah berkata:’Kalian meninggalkan Utsman laksana pakaian yang suci bersih daro kotoran. Lalu, kalian mendekatinya seraya menyembelihnya seperti menyembelih seekor domba.’” Masruq berkata kepada Aisyah ra: “Ini ulahmu! Engkau telah menulis surat kepada orang-orang, memerintahkan mereka untuk melakukan kudeta terhadap Utsman.” ‘Aisyah ra menanggapi: “Demi Dzat yang diimani oleh orang-orang beriman dan diingkari oleh orang-orang kafir, aku tidak pernah menulis satu huruf pun di atas kertas sampai aku duduk di tempat ini.”
Al-A’masy berkata: :Menurut mereka surat-surat itu dibuat atas nama Aisyah.” (Al-Bidayah wan Nihayah (VII/204). Ibnu Katsir berkata: “Sanad hadits ini shahih”.
b.     Kesejahteraan yang dicapai umat Islam
Di masa Utsman ra aktivitas jihad benar-benar terjadi besar-besaran. Akan tetapi, kesejahteraan biasanya memang menyebabkan munculnya sikap mencela dan tidak menerima pemberian yang ada. Hal ini semata-mata karena kesombongan manusia dan minimnya rasa syukur mereka terhadap sesamanya.
c.      Perbedaan karakter Umar ra dan Utsman ra
Utsman ra bukan orang yang lemah sebagaimana disangka banyak orang. Ia adalah seorang yang santun. Oleh karena itu, ketika para pemberontak mengepungnya di kediamannya, ia berkata: “Apakah kalian tahu apa yang membuat kalian seberani ini kepadaku? Tidak ada yang membuat kalian seberani ini kecuali kesantunanku.”
Abdullah bin Umar ra berkata: “Demi Allah, mereka berani mengingkari kebijakan Utsman, padahal seandainya kebijakan yang sama diambil oleh Umar, niscaya tidak seorang pun dari mereka yang berani berbicara.”
Jadi, mereka bisa sampai menentang Utsman ra? Karena ia bersedia memaklumi, menoleransi, melupakan kesalahan-kesalahan, dan memaafkan mereka.
d.     Keberatan sebagaian kabilah terhadap kepemimpinan Quraisy. Ibnu Khaldun berkata: “Sebagian kabilah Arab marah ketika kepemimpinan dipegang oleh orang Quraisy. Hati mereka menolak dan itu mendorong mereka untuk mencela para penguasa.” (Tahqiq Mawaaqifish Shahaabah fil Fitnah (I/365)
Utsman ra mengangkat keluarganya menjadi pejabat atas dasar nepotisme
(Isu ini yang biasanya muncul ketika membahas Utsman ra. Begitu juga yang saya –peringkas- baca dalam beberapa buku pelajaran SKI pada masa sekolah. Di buku ini saya temukan penjelasan yang kiranya dapat menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Rekan dapat menemukan pembahasan ini di halaman 134 dst. Di sini saya kutip beberapa bagian saja)
Anggota keluarga Utsman ra yang menjadi aparat pemerintahan adalah Muawiyah ra, Abdullah bin Saad bin Abus Sarh ra, al-Walid bin Uqbah ra, Sa’id bin al-‘Ash ra dan Abdullah bin Amir ra. Memang benar mereka adalah keluarganya. Dan, menurut para penuduh, ini merupakan suatu aib bagi Utsman.
Mari kita lihat gubernur-gubernur Utsman lainnya: Abu Musa al-Asy’ari, al-Qa’qa’ bin Amr, Jabir al-Muzani, Habib bin Maslamah, Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, Abul A’war as-Sulami, Hakim bin Salamah, al-Asy’ats, Jarir bin Abdullah al-Bajali. Utaibah bin an-Nahas, Malik bin Habib, an-Nasir a;-Ajali, as-Sa-ib bin al-Aqra’, Sa’id bin Qais, Salman bin Rabi’ah, dan Khunais bin Khubaisy.
Di sini tampak gubernur dari kalangan keluarga Utsman lebih sedikit dari selainnya.
Merunut ke belakang, di masa Rasulullah Saw, gubernur yang diangkat dan dipakai oleh beliau Saw dari kalangan Bani Umayyah adalah: Attab bin Usaid, Abu Sufyan bin Harb, Khalid bin Sa’id, Utsman bin Sa’id, dan Aban bin Sa’id. Jumlah mereka 5 orang sama dengan yang dianggkat khalifah Utsman ra.
Perlu disadari juga bahwa para gubernur itu tidak menjabat dalam waktu bersamaan. Terlihat bahwa Utsman ra mengangkat al-Walid bin Uqbah kemudian mencopotnya lalu diganti oleh Sa’id bin al-Ash. Sehingga jumlah mereka bukan 5 orang dalam waktu bersamaan. Utsman juga mencopot Sa’id bin al-Ash sebelum mereka wafat. Dengan demikian, ketika Utsman ra wafat, gubernur dari Bani Umayyah hanya 3 orang, yaitu: Mu’awiyah, Abdullah bin Sa’ad bin Abus Sarh, dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz.
Syahidnya Utsman ra
Dalam buku ini, penulis menyebutkan sekitar 15 syubhat yang disebar para penentang Utsman ra. Sampailah pada tahun 35 H sekelompok orang dari Bashrah, Kufah dan Mesir keluar menuju Madinah berpura-pura ingin pergi haji. Ulama berbeda pendapat perihal jumlah mereka. Ada yang mengatakan dari penduduk Mesir 2 ribu, Kufah 2 ribu, dan Bashrah 2 ribu sehingga 6 ribu. Ada yang mengatakan jumlah total mereka 2 ribu. Tidak ada perhitungan rinci jumlah mereka, singkatnya totalnya mereka antara 2-6 ribu orang.
Tujuan mereka menurunkan Utsman ra dari jabatan; kalau tidak bisa dengan ancaman, mereka akan menggunakan kekuatan. Mereka mengepung rumah Utsman tepatnya bulan Dzul Qa’dah sampai 18 Dzul Hijjah, hari saat ia terbunuh.
Ulama mengatakan rentang pengepungan ini antara 40-41 hari.
Selama pengepungan ini riwayatkan ada 700 sahabat muda yang melindungi Utsman. Tentu jumlah ini jauh dari kelompok pengepung bahkan jika kita menganggap jumlah minimal mereka 2 ribu orang. Utsman sendirilah yang menahan para sahabat untuk menahan senjatanya agar tidak terjadi peperangan.
Ada dialog antara antara Ibnu Umar dan Utsman ra yang disana Utsman bertanya kepada Ibnu Umar apakah tuntutan orang yang mengepungnya. Ibnu Umar mengatakan bahwa mereka menginginkan Utsman ra untuk mundur, tetapi Ibnu Umar bertanya apakah dengan mundur, Utsman akan kekal di dunia? Utsman menjawa tidak. Ibnu Umar kemudian mengatakan ketidaksetujuan Utsman untuk mundur dengan alasan nanti dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan: setiap orang yang tidak suka dengan khalifah atau pemimpin mereka, mereka akan melengserkannya. (Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (XV/205, no. 19509)
Siapakah Pembunuh Utsman?
Setelah Utsman ra dikepung, mereka memanjati rumahnya dan membunuhnya ketika ia sedang meletakkan mushaf di depannya.
Seseorang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri –ketika itu sudah lahir, karena dia termasuk Tabi’in senior-: “Apakah ada di antara mereka yang membunuh Utsman itu seorang dari kalangan Muhajirin dan Anshar? “al-Hasan menjawab: “Para pembunuh Utsman adalah orang-orang keras dan kasar yang berasal dari penduduk Mesir. (Tarikh Khilaafah, dengan sanad shahih).
Mereka adalah: Kinanah bin Bisyr, Ruman al-Yamani (panggilannya Jabalah), Sudan bin Humran, dan seseorang yang dijuluki ‘kematian hitam’ dari Bani Sadus. Ada yang mengatakan di antara mereka juga adalah: Malik bin al-Asytar an-Nakhai. Mereka inilah tokoh penggerak fitnah yang menimpa Utsman ra, adapun yang membunuhnya secara langsung menurut pendapat yang masyhur adalah orang Mesir yang bernama Jabalah.
‘Amrah bin Arthah mengatakan bahwa ia melihat tetesan darah pertama yang menimpa mushaf itu adalah pada awal ayat QS. Al-Baqarah: 137. (HR. Imam Ahmad dalam Fadhaailush Shahaabah (I/501, no. 817)
Pembaiatan Ali sebagai Khalifah
Dituturkan dari Muhammad bin al-Hanafiyah (Muhammad bin Ali bin Abi Thalib); ia bercerita bahwasanya setelah Utsman ra terbunuh, Ali mengunjungi rumahnya. Ali masuk ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya. Tidak lama kemudian, orang-orang datang kepadanya dan mengetuk pintu seraya berkata: “’Utsman telah terbunuh sedangkan orang-orang membutuhkan khalifah. Kami tidak mengetahui orang yang lebih berhak menjadi khalifah selain dirimu.”
Ali menanggapi ucapan mereka: “Kalian jangan memilihku, karena bagiku, jabatan sebagai penasehat jauh lebih baik dari jabatan sebagai khalifah.” Mereka berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui orang yang lebih berhak menjadi khalifah selain dirimu.” ‘Ali lantas berkata: “Jika kalian tetap bersikukuh menginginkan diriku menjadi khalifah, maka kalian jangan membaiatku secara sembunyi-sembunyi. Aku akan keluar menuju masjid. maka siapa saja yang hendak membaiatku, dia bisa melakukannya di sana.’ Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka (setelah Utsman). (HR. Ahmad dalam Fadhaa-ilush Shahaabah (II/696). Sanad hadits ini shahih.
Self Note: Perang Jamal
Dalam penuturan penulis yang dapat dibaca di halaman 176-178, yang dapat peringkas tangkap adalah hakikatnya perang Jamal ini terjadi karena faktor “kecelakaan”. Karena sebagaimana pada halaman 178, kedua pihak telah berunding. Ali mengirim al-Miqdad bin al-Aswad dan al-Qa’qa’ bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan az-Zubair. Thalhah dan az-Zubair berpendapat tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman ra begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat menyelidiki siapa pembunuh Ali bukan hal paling mendesak. Namun, bisa ditunda hingga keadaan stabil. (untuk jelasnya, bisa dibaca kembali bagaimana gentingnya peristiwa jelang pembunuhan atas khalifah Utsman). Jadi, 2 pihak sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang menjadi perselelisihan adalah waktu untuk merealisasikannya.
Setelah kesepakatan ini, kedua pasukan bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba –mereka ini para pembunuh Utsman- terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikian disebutkan para sejarawan seperti ath-Thabari (Tariikh Thabari (III/517), Ibnu Katsir (al-Bidayah wan Nihayah (VII/509), Ibnul Atsir (al-Kamiil fit Taarikh (III/120), Ibnu Hazm (al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (IV/293).
...Menjelang subuh, ketika orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan az-Zubair, lalu membunuh beberapa orang di antara mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri. pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali ra telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat itu, pasukan Ali mengira pasukan Thalhah dan az-Zubair telah berkhianat. Serang-menyerang kedua pasukan ini berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan hebatnya.
Sebenarnya, para pembesar masing-masing pihak sempat melakukan upaya untuk menghentikan perang. Thalhah ra berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun, mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata:”Buruk! Buruk sekali jilatan nereka! Buruk sekali kerakusan!” (Taarikh Khalifah bin Khayyatth (h. 182). Ali ra juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah ra kemudian mengirim Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar Sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah. Lalu beliau mengutip Al-Anfaal: 25). (Mukhtashar Minhasjis Sunnah (h.281).
Perang Jamal terjadi 36 H, di awal kekhalifahan Ali ra. Mulai berkecamuk setelah Zuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam. Pasukan Ali ra disertai 10.000 orang, sementara pasukan Jamal (berunta) 5000-6000 prajurit. Adapun Aiyah ra, maka Ali ra mengembalikan beliau ke Mekkah dengan aman sebagaimana pesan Rasulullah Saw bila sesuatu masalah terjadi di antara mereka (dapat dirujuk HR. Ahmad dalam Musnadnya (VI/393), Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) sanad hadits ini shahih.)
Adapun perang Shiffin, diakhiri dengan tahkim (arbitrase) antara pihak Muawiyah dan Ali. Penulis buku, menganalisis bahwa ada perbedaan pandangan keduanya. Ali memandang lebih baik Muawiyah membaiatnya dahulu, setelah itu baru mengusut para pembunuh Utsman ketika kondisi sudah kondusif dan keamanan sudah kembali normal. Akan tetapi, Muawiyah memandang sebaliknya. Ia melihat yang pertama harus dikerjakan adalah mengeksekusi pembunuh Utsman, setelah itu baru beranjak kepada masalah khilafah.
Dengan demikian, perbedaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah adalah khilaf aulawiyat (perbedaan prioritas). Pandangan Thalhah dan az-Zubair  sama dengan Muawiyah. Yaitu agar mempercepat eksekusi pembunuh Utsman. Bedanya, Thalhah dan az-Zubair sudah membaiat Ali ra, sedangkan Muawiyah belum. H. 205
Akhir Kekhalifahan Ali ra
Ketika keadaan sudah agak kondusif pasca perang Nahrawan, 3 orang Khawarij berangkat menuju Makkah, mereka bersepakat untuk membunuh Ali bin Abu Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin al-Ash. Mereka berpendapat, dengan gugurnya tiga orang tersebut menurut mereka, kaum muslimin akan hidup tenang tanpa konflik. Abdurrahman bin Muljim al-Muradi berkata akan mengeksekusi Ali bin Abu Thalib, Al-Bark at-Tamimi mengeksekusi Muawiyah. Dan Amr bin at-Tamimi mengeksekusi Amr bin al-Ash.
Ketika itu, Amr bin al-Ash di Mesir, Muawiyah di Syam, dan Ali di Kuffah. Ibnu Muljim berhasil membunuh Ali ra ketika ia sedang keluar untuk shalat Subuh (dalam Tarikh Khulafa, disebutkan beliau terluka di wajah dan kening oleh Ibnu Muljim). Dia membunuhnya dengan pisau yang telah dilumuri racun selama 2 minggu. Al-Bark berhasil melukai Muawiyah yang ketika itu menjadi imam shalat Subuh, akan tetapi beliau diobati hingga sembuh. Adapun Amr bin Ash ketika itu sakit sehingga tidak keluar rumah. Pembunuh ketika itu datang dan membunuh imam shalat yang dikiranya adalah Amr, padahal imam saat itu adalah Kharijah bin Abu Habib.
Tak lama kedua ketiga pembunuh ini pun dihukum bunuh.
Sikap Ahlus Sunnah terhadap Abdurrahman bin Muljim, para pembunuh Utsman ra, pembunuh az-Zubair ra, pembunuh al-Husain ra, dan orang-orang seperti mereka
Imam adz-Dzahabi berkata: “Menurut kami, Ibnu Muljim termasuk yang kita harapkan masuk neraka. Namun begitu, kita memaafkannya jika memang Allah Swt memaafkannya. Hukumnya sama seperti pembunuh Utsman, pembunuh az-Zubair, pembunuh Thalhah, pembunuh Sa’id bin Jabir, pembunuh Ammar, pembunuh Kharijah, dan pembunuh al-Husain. (Mereka dihukumi sama, yakni tidak keluar dari agama. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang fasik dan pelaku kejahatan, kecuali yang bertaubat di antara mereka).
Kita berlepas diri dari mereka semua, dan membenci mereka karena Allah Swt. Kita serahkan urusan mereka kepada Allah Swt. (Taarikhul Islam (h.645), pada masa-masa Khulafaur Rasyidin, dalam bahasan biografi Abdurrahman bin Muljim.)
Sebab-sebab Mendapat Ampunan Allah Swt
Bahasan ini saya kutip dari hal. 337-339.
....Ampunan Allah Swt itu sendiri dapat terwujud karena beberapa sebab: tiga dari pelaku kemaksiatan, tiga dari orang lain, empat dari Allah Swt. Penulis menyebutkan secara ringkas sebagai berikut:
1.     Dari pelaku kemaksiatan
a.     Bertaubat. (QS. Al-Furqan: 70)
b.     Beristighfar (QS. Nuh: 10)
c.      Berbuat kebaikan yang dapat menghapusnya. (QS. Hud: 114)
2.     Dari orang lain
a.     Doa orang-orang mukmin bagi pelaku maksiat. (QS. Al-Hasyr: 10)
b.     Hadiah amal shalih baginya. Nabi Saw bersabda:
اَللهُمَّ اِنَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, (sembelihan) ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad yang belum mampu menyembelih.” (HR. Ahmad (III/356). Sanad hadits ini hasan.

لَبَّيْكَ اَللهُمَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
“Labbaika (aku penuhi panggilanMu), ya Allah, (haji ini) untuk Syubrumah” (Sunan Abu Dawud, kitab al-Hajj, Bab “Ar-Rajul Yahujjuhu ‘an Ghairih, no. 1811)
Dalam masalah ini, memang terjadi perbedaan pendapat, namun jumhur ulama berpendapat bahwa menghadiahkan ketaatan-ketaatan itu bermanfaat bagi sesama muslim. (dalam sebuah ceramah Gus Baha, peringkas mengigat ada tiga amalan yang disepakati sampainya kepada orang yang telah meninggal: doa, sedekah dan haji.)
c.      Syafa’at Rasulullah Saw dan selain beliau pada hari kiamat.
3.     Dari Allah Swt
a.     Berbagai musibah di dunia yang dapat menghapus dosa. Rasulullah Saw bersabda:
مَايُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَاوَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا اَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا اِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Setiap kesusahan, duka cita, bala’ ataupun sakit yang menimpa seorang mukmin, bahkan duri yang menusuknya, Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan si mukmin tadi, dengannya” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
b.     Adzab kubur. Adakalanya adzab kubur ini menggantikan adzab akhirat, sesuai dengan dosa yang pernah dilakukan seseorang.
c.      pengadilanNya di Padang Mahsyar pada hari kiamat. Ketika itu dilakukan qishash dan saling memaafkan antar sesama muslim, dapat dirujuk di QS. Al’A’raaf: 43.
d.     Keluasan ampunanNya di dunia. QS. An-Nisaa’: 48.
Demikian sedikit ringkasan –yang lebih tepatnya merupakan poin-poin dari buku ini, untuk dokumentasi jika sewaktu-waktu dirasa perlu untuk dirujuk kembali. Adapun untuk rekan pengunjung, silakan merujuk langsung buku tersebut untuk mendapatkan ide dan pembahasan menyeluruh tentang bahasan ini.

Sekian, selesai: sekuduk, 16 Mei 2020= 23: 32 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...