Rabu, 20 Mei 2020


Amalkanlah Ilmumu
Dikutip dari buku:
Wahai Anakku, Inilah Nasihat Berharga Untukmu
 (Imam Al-Ghazali, Penerbit Irsyad Baitus Salam, Bandung)


Khusus untuk orang yang menuntut ilmu yang tidak diamalkan, ilmunya hanya digunakan untuk menunjukkan kehebatan dan keutamaan dirinya serta untuk tujuan hal-hal yang berbau keduniaan. Ia beranggapan bahwa ilmu yang tidak diamalkan dapat juga menyelamatkan dirinya. Ia juga beranggapan bahwa ilmu tidak perlu diamalkan. Ini merupakan i’tiqad ahli Falsafah (Filsafat). Subhanallahil’azhim.
Orang yang berpendapat demikian tidak mengerti ada hujjah yang menentang pendapatnya yang salah itu, sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw dalam sabdanya:
أَشَدذُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَايَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari Kiamat nanti adalah orang alim yang ilmunya tidak diberi manfaat oleh Allah.”
`          Wahai anakku, janganlah engkau sampai miskin amal, juga jangan sampai tidak melakukan perbuatan baik. Yakinlah sesungguhnya ilmu yang tidak diamalkan pasti tidak ada faidahnya. Misalnya, ada seseorang berada di tengah hutan dengan membawa 10 pedang Hindia dan beberapa senjata lainnya. Dia juga termasuk orang yang pemberani dan ahli dalam pertempuran. Dalam perjalanannya tiba-tiba ia dihadang oleh harimau besar yang sangat menakutkan. Jika sudah dalam keadaan seperti itu, bagaimana pendapatmu? Apakah senjata yang dibawanya itu bisa menghalau dan membunuh harimau yang akan menerkamnya jika tidak digunakan? Jelas tidak bisa! Ia harus menggunakan senjatanya jika ingin menghantam harimau yang akan menerkamnya.
Demikian pula halnya bila seseorang telah membaca dan mempelajari 100.000 masalah ilmiah, namun tidak mengamalkannya, maka ilmunya itu tidak akan memberi manfaat sedikitpun kepada dirinya.
Begitu pula halnya jika seseorang sakit panas atau sakit kuning yang harus diobati dengan minum tiga jamu (madu, jahe, telur) dan labu; ia tentu tidak akan sembuh dari penyakitnya kecuali dengan meminum dua jenis obat tersebut.
Dalam syair dikatakan:
Jika kamu menimbang sampai 2.000 kati arak
Dan kamu tidak meminumnya,
Maka kamu tidak akan mabuk
Seandainya engkau telah membaca dan mempelajari ilmu selama 100 tahun dengan mengumpulkan 1.000 kitab, semuanya tidak akan bisa mendatangkan rahmat Allah kepada dirimu, kecuali dengan mengamalkannya.
Hal ini telah dijelaskan Allah dalam firmanNya:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang diusahakannya” (An-Najm: 39)
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih.”(Al-Kahfi: 110)
 “Sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”(At-Taubah: 82)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggalnya. Mereka kekal di dalamnya; mereka tidak ingin berpindah darinya.”(Al-Kahfi: 107-108)
“Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal shalih; maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”(Maryam: 59-60)
Bagaimana pendapatmu mengenai hadits berikut:
“Islam itu dibangun di atas 5 perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Saw adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah.”
Keimanan itu diucapkan dengan lisan, dibenarkan dalam hati, dan dijalankan dengan anggota tubuh. Adapun dalil yang menerangkan perihal amal itu sangat banyak meskipun ada seseorang masuk surga berkat fadhilah dan kemurahan Allah, namun setelah dia menjalankan ketaatannya dan ibadahnya kepada Allah, karena sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang menjalankan kebaikan.
Jika dikatakan: “Seseorang bisa mencapai derajat tinggi hanya dengan iman,” maka kujawab: “Benar, seseorang bisa mencapai derajat tinggi, namun kapan sampainya, sebab banyak tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai derajat yang tinggi. Tingkatan yang utama adalah tingkatan iman. Apakah seseorang bisa menjamin kelanggengan keimanannya? Pasti dia tidak bisa menjamin. Ketika ia mencapai derajat tinggi, apakah ia benar-benar kecewa atau bahagia? Pasti dia tidak tahu.
Hasan Bashri berkata: “Allah berfirman kepada hambanya pada hari kiamat nanti: ‘wahai hambaKu, masuklah ke surga dengan rahmatKu dan terimalah bagian surgamu menurut amalmu.”
Wahai anakku, selama engkau tidak beramal, maka engkau tidak akan mendapat pahala. Dikisahkan bahwa dulu ada seorang lelaki dari Bani Israil beribadah kepada Allah selama 70 tahun, lalu Allah menunjukkan kepribadian lelaki tersebut yang sebenarnya di hadapan para malaikat. Selanjutnya, Allah mengutus seorang malaikat untuk mengkhabarkan kepadanya bahwa dia tidak pantas masuk surga dengan seluruh amal ibadah yang dilakukannya.
Tatkala lelaki Bani Israil tersebut mendengar khabar dari malaikat demikian, maka ia berkata: “Aku telah diciptakan untuk beribadah. Oleh karena itu, aku tetap beribadah kepada Allah meskipun aku tidak mendapat pahala.” Sewaktu malaikat itu kembali menghadap Allah, ia berkata” ‘wahai Tuhanku, Engkau lebih mengetahui apa yang dikatakan oleh lelaki Bani Israil tersebut.’ Allah berfirman: “Jika ia tetap tidak berpaling dari ibadah kepadaKu, maka dengan kemurahanKu, Aku juga tidak berpaling dari hambaKu ini. Saksikanlah, wahai malaikat, bahwa Aku telah mengampuninya.”
Rasulullah Saw bersabda:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسِبُوْا  وَزِنُوْا أَعْمَالَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا
“Hitunglah amal kalian sebelum amal kalian dihisab. Timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang.”
Ali ra berkata: “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa jerih payah beribadah bisa mencapai derajat yang tinggi, berarti dia mengharapkan perkara yang sulit baginya. Barangsiapa menyangka bahwa dengan menyepelekan ibadah dirinya bisa mencapai derajat tinggi, itu menunjukkan kesombongan dirinya (sudah merasa cukup amal ibadahnya).”
Al-Hasan berkata: “Di antara tanda orang yang mencapai derajat hakikat adalah orang yang tidak pernah menghitung amalnya, juga tidak pernah meninggalkan amalnya sedikitpun,”
            Rasulullah Saw bersabda:
اْلكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ اْلمَوْتِ وَاْلاَحْمَقُ مَنْ أَتْبَعَ هَوَاهُ وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ تَعَالَى اْلأَمَنِيَ
“Orang yang cerdas adalah yang bisa mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kepentingan setelah mati, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang senantiasa memperturutkan hawa nafsunya dan hanya mengharapkan suatu pemberian dari Allah ta’ala (tanpa usaha beribadah).”
            Wahai anakku, jika ilmu yang engkau miliki itu sudah cukup tanpa harus diamalkan, tentulah akan sia-sia tanpa ada faidahnya seruan dalam hadits yang berkaitan dengan pengamalan, seperti meminta sesuatu kepada Allah, memohon ampunan dan bertobat kepada Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...