PERCIKAN FILSAFAT
PENDIDIKAN IQBAL
MENGENAI PENDIDIKAN
K.G. SAIYIDAIN, B. A. M. Ed., (Leeds)
anassekuduk
Bandung: CV. Diponegoro
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على سيّدنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى اله وصحبه اجمعين, امّابعد
a. INTRO>>>>>>>
......Puisinya
menyatukan antara kebahagiaan seorang pujangga dalam memadahkan nilai-nilai
abadi dengan suatu diskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi dewasa ini
serta persoalan-persoalan lain yang akan menyemarakkan lagi namanya serta
pengaruhnya di masa mendatang.
Menurut pendapat
saya (K.G. Saiyidain), hingga kini belum cukup diberikan perhatian oleh
berbagai pihak untuk mendapatkan penjelasan yang lebih jauh mengenai alam
fikiran falsafi Iqbal serta terhadap kemungkinan pengolahan implikasi praktis
dari pandangannya itu, walaupun telah cukup banyak ditulis buku-buku mengenai
pujangga besar itu akhir-akhir ini. Memang ada pendapat sementara orang yang
mengatakan bahwa pendekatan seperti itu kepada karya penyair kurang pada
tempatnya. Mereka ini berpendapat bahwa puisi_seperti halnya karya seni
lainnya_ tidak bermaksud untuk mengajukan suatu pesan; puisi hanya merupakan
pengungkapan pengalaman emosional seorang pujangga yang dimanifestasikan dalam bentuk
lirik dan tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan atau dianalisa secara filsafi. Bagi
mereka ini, karya seni _seperti puisi_ memiliki nilai tersendiri dan tidak
memerlukan pengujian psikologis.
Mungkin
pandangan estetis secara murni ini ada benarnya. Akan tetapi Sir Mohammad Iqbal
tidak pernah merasa puas terhadap puisi yang bersifat tradisional dan picik
itu. Baginya, puisi _sepertimana karya lainnya_ hanya dapat dikatakan murni dan
signifikan, apabila ia secara dinamis dan tepat melihat kehidupan, mendalami
aspirasinya, mempercepat getarannya, dan menyoroti landasan dan tujuannya
secara cermat dan tajam. Motto Iqbal bukan “Seni untuk Seni”, melainkan “Seni
untuk Hidup yang lebih semarak”:
........
Wahai, orang-orang yang berpandangan dalam, tiada dilarang
mengarahkan pandang kepada keindahan
Akan tetapi mata yang tidak menangkap Kenyataan
tidaklah berpandangan sama sekali,
Tujuan Seni ialah damba ‘pada Hidup nan Abadi,
Bukan sekedar serentetan nafas sekilas yang melintas
sepintas kilat,
O, “Hujan Musim Seni”,
Kerang dan mutiara jadi bertiada nilai,
Sekiranya tidak kuasa melontarkan alunan hati menjadi
luapan gejolak,
Bangsa-bangsa tak ‘kan bangkit kembali tanpa keajaiban
hentakan pukulan Musa
Adalah mati, beku membatu.
(Iqbal, Zarb-i Kalim)
Lagi
pula patutlah diingat bahwa Iqbal bukanlah sekedar seorang penyair lirik yang
menterjemahkan bayangan melintas dan alur perasaan yang bergetar di hati insan
ke dalam sanjak yang indah. Ia adalah ahli fikir dan failasuf yang vital, yang
pertama-tama mencurahkan perhatiannya bukan kepada isu-isu yang abstrak, mengawang
dan spekulatif dan tiada pautannya dengan masalah-masalah yang hidup dewasa
ini, melainkan fikirannya yang cerah dan kaya itu dituangkannya kepada
masalah-masalah aktual serta kepada kemungkinan pemecahannya dalam sorotan
nilai-nilai yang menurut anggapannya merupakan landasan kehidupan individual
dan kolektif. Apabila kita hanya melarutkan diri dalam memandang keindahan
lahiriah yang mempesona dalam taman puisinya, kita hanya akan mendapatkan gambaran
yang kerdil saja dari kejeniusan tokoh kita ini. Dalam menghadapi tokoh besar
seperti Iqbal, setidak-tidaknya kita harus memahami dan mengujikan keseluruhan wawasannya
sebelum kita menerapkan lintasan fikirannya kepada bentuk dan bidang
permasalahan tertentu.
...............
Dalam
pandangannya terkait ego, Iqbal berbeda dengan doktrin ajaran panteisme.
...Iqbal
menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki sikap empiris dna berpendapat
bahwa “dalam dunia pengetahuan _”science”_ ataupun dunia religius, pemikiran
tidak mungkin membebaskan sama sekali dari pengalaman yang konkrit. Dengan
perkataan lain, pandangan ini menghormati kenyataan yang aktual. Pandangan
seperti itulah yang memungkinkan dunia Islam dalam masa yang silam merupakan
peletak dasar alam fikiran dan ilmu pengetahuan modern.
Akan
tetapi perembesan perlahan-lahan jiwa klasik alam pikiran Yunani ke dalam alam
pikiran dunia Islam cenderung menggerhanakan ajaran Al-Qur’an yang sesungguhnya.
Sokrates dan Plato meremehkan pengamatan indera yang menurut pandangan mereka
hanya “melahirkan pendapat belaka dan tidak mengantar kepada pengetahuan yang
sesungguhnya”.
Sebaliknya
Iqbal berpendapat bahwa tumbuh-kembangnya individualitas secara aktif tidak
mungkin terjadi tanpa kontak langsung dengan lingkungan yang konkrit dan
dinamis. Ia menjuluki Plato sebagai “seorang filsuf-kambing yang tua”, sebab
Plato mencoba menghindar dari kehidupan yang penuh perjuangan dan kegiatan di
dunia ini, penuh dengan berbagai kekuatan dan fenomena yang konkrit. Plato
tidak mau menerimanya sebagai suatu kerangka yang menantang dan mendorong
manusia untuk giat bergerak. Sebagai gantinya Plato menganjurkan untuk mundur
ke dalam suatu dunia yang penuh bayangan dan fikiran “murni”, yang dengan
sendirinya tidak akan dapat diterima oleh warga yang bebas:
Filsafat
Plato tiada berguna
Filsafat
Plato mencanangkan ketiadaan yang ada,
Tiada
tergugah untuk upaya
Jiwa
terpukau oleh yang serba tiada
Ia tidak
percaya pada alam bendawi
Dan
menobatkan diri sebagai Pencipta
Idea dari
dunia maya
Betapa
nyaman dunia yang sarat dengan fenomena hidup
Bagi
semangat yang menggejolak-menggelora.
Dan betapa
menyita dunia cita bagi jiwa yang mati.
Berpantang
dari yang nyaman
Hanya mendorong
kepada pelarian,
Karena tak
mampu menantang badai dunia gempita.
Dan insan
teracuni kemabukannya sendiri
Terhuyung-huyung
dan loyo
Tiada
sedikitpun tergerak untuk bertindak.
(Iqbal,
Asrar-i-Khudi)
.....Dalam
bahasa Al-Qur’an manusia itu “telah dipercayai suatu kepribadian yang bebas,
yang diterimanya dengan penuh tanggungjawab”. Hadiahnya yang tidak ternilai
harganya terwujud dalam bentuk “perkembangan derajatnya dalam penguasaan
dirinya, dalam kekhususan dan intensitas aktivitasnya sebagai suatu ego.”
“Self”
atau Diri yang terus mengembang dan menjadi itu merupakan sumber yang tidak
akan habis terkuras, betapapun hebat dan dahsyat kemampuan dan tenaga yang
dipancarkan dan dituangkannya. Untuk memungkinkan pengembangannya yang optimal,
individu harus membuka diri dan siap menghadapi segala tantangan dan pengalaman
dalam bentuk apapun.
Sekiranya
manusia menghindari dari dunia penuh tantangan dan perjuangan itu, maka
individualitasnya pun akan tenggelam terbenam dan segala bakat akan tetap tak
terwujudkan. Pujangga ini _yang dalam karya kepujanggaannya sering hanya
dikenal sebagai seorang penuh luapan emosi
serta keindahan, serta hidup dan digerakkan oleh suasana perasaannya
yang artistik _memancarkan pesan-pesannya secara mantap dan kuat, bersenandung
perjuangan dan protes terhadap sikap merengek-rengek yang bertentangan dengan
Iman:
Oh!
Sekiranya terkilas secercah puisi di lubuk hatimu,
‘Lah lama
kau tergolek di ranjang berselaput sutera.
Dan kini
biasakanlah dirimu pada tilam katun kasar!
Godoglah
dirimu di lautan pasit panas membara,
Lalu
menceburlah ke dalam pancaran Zamzam!
Berapa
lama lagikah kau terus menyenandung
Lagu sendu
ba’ burung hantu?
Berapa
lama lagikah kau tetap
Menganyam
sangkar halus di taman sejuk?
Oh, Insan,
petikan senarmu akan menggugah gembira
Burung Phoenix,
Bangunkanlah
pangkalanmu di puncak gunung
nan menjulang tinggi,
Dan kau
akan siap tempur dalam perjuangan hidup,
Dan badan
dan jiwamu akan terbakar
dalam gelora hidup!
(Iqbal,
Asrar-i-Khudi)
صلى الله عليه وسلم[anassekuduk]
b. THE CONTENT>>>>>>>>>>
Iqbal berulang
kali mengetengahkan betapa angkatan muda terbongkar dari akar kebangsaannya,
karena mendapatkan pendidikan yang terlepas dari sejarah dan budayanya sendiri
tanpa sedikitpun usaha untuk menumbuhkan dan mengukuhkan individualitasnya
serta menggugah kembali keasliannya:
‘Lah kau kaji dan timbun segala ilmu
orang asing,
‘Lah kau pulas dan lukis wajahmu
Dengan kosmetik mereka,
‘Lah kau tukar selera dan gairahmu dengan cara mereka
Hingga akhirnya tak tahulah lagi siapa kau sebenarnya!
Fikiranmu beruratkan citra mereka,
Nafas yang kau hirup setingkah nada dan irama mereka,
Bibirmu menyuarakan lagu gubahan mereka
Berapa lama lagikah kau ‘kan menari-nari
Mengitari api tiupan mereka ini?
Di manakah hatimu sendiri?
Godoglah dirimu di atas panas baramu sendiri!
Individu hanya akan mandiri
Dengan jalan mewujudkan diri sendiri
Suatu bangsa hanya akan benar-benar mandiri
Manakala bersikap sungguh terhadap dirinya sendiri.
(Iqbal, Rumuz-i-Bekhudi)
Peranan
intelek adalah bagaikan peranan pembantu rumah tangga dalam rangka mencapai
Tujuan Hidup. Kata Iqbal: “Kita tidak hidup untuk berpikir, melainkan kita
berpikir agar dapat melangsungkan Hidup”. Hal ini diungkap Iqbal dalam karyanya
“Rahasia Diri” sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah pelangsung hidup,
Ilmu pengetahuan adalah alat pemantap
diri,
Ilmu pengetahuan dan Seni mengabdi
kehidupan
Bagaikan hamba sahaya
yang lahir dan
bersemayam di atas pangkuan.
(Iqbal,
Zabur-i-Ajem)
Apabila pengetahuan itu tidak
dikaitkan dengan tindakan, tidak diraih melalui tindakan, tidak akan ia
tertuang menjadi kekuatan dan tidak akan bermanfaat bagi manusia dalam menata
kembali lingkungannya. Oleh karena itu Iqbal sangat skeptis terhadap ilmu
pengetahuan yang semata-mata digali dari buku; ia meragukan pengetahuan yang
semata-mata bersifat akademis dan telah mempersenjatai mereka dengan memadai
bagi kehidupan aktif penuh juang dalam meraih nilai yang tinggi. Oleh karena itu
Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan sebagai tujuan dari proses pendidikan:
Murah bagiku nilai intelegensi
dan ilmu
Yang melemparkan pedang dan tameng
pejuang
(Iqbal,
Asrar-i-Khudi)
Pencarian
yang tiada hentinya, damba akan pencapaian hasil, membangkitkan vitalitas atau
gairah hidup bagi pengetahuan dan menciptakan sayap bagi kehidupan. Coba
dengarkan percakapan antara kalaketu dan kutubuku: Yang pertama
penuh gairah untuk bertindak, sedang yang lainnya tenggelam dalam lautan
aksara:
Semalam telah kudengar keluh kutubuku
Kepada kalaketu di ruang kerjaku:
“Aku hidup di sela-sela karya Ibnu Sina,
Telah kujelajah berkilid-jilid karya
Farabi,
Namun rahasia hidup tak sempat kugali
Hari-hariku gelap pengap, tak tertembus
mentari”
Langsung menyahut kalaketu
Yang hampir terbakar di
cahaya lampu:
“Tak ‘kan kautemui rahasia hidup di sela buku,
Sebab ia adalah damba
yang menggelorakan gelombang hati
Dan membekalinya dengan sayap
‘tuk melejit membubung tinggi!
(Payam-i-Masyariq)
Kepada
para mahasiswa, Iqbal berpesan dalam untaian sanjak yang berbobot dan menuntut
pengkajian yang mendalam:
Semoga Allah melecutmu dengan kekuatan tiupan badai
Genangan air lautanmu terlalu tenang
lemah gemulai,
Buku-buku tak ‘kan mampu merintis-menebas
jalan keluar,
Dengan membaca buku tak ‘kan terpancar wahyu
yang memecahkan masalahmu!
(Iqbal,
Zarb-i-Kalim)
Itulah
sebabnya mengapa Iqbal _seperti juga ahli-ahli fikir modern_ melontarkan
peringatan dan kecaman terhadap konsepsi pendidikan yang terlalu bersifat
intelektualistis. Ia mengajukan pandangan yang seimbang, yang memberikan bobot
yang seimbang pula bagi komponen-komponen pengalaman, kognitif, konatif dam
afektif yang menyulam jalinan yang serasi dalam pembinaan kepribadian manusia.
Dalam seni
sastra, Iqbal menemukan pula manifestasi yang tandas-jelas dari pencarian yang
tiada hentinya akan keindahan dan pernyataan diri, akan kreativitas yang tak
kunjung padam dan selalu disirami pandangan dan sasaran baru. Mendambakan
sesuatu yang tak terjangkau serta usaha dan perjuangan untuk meraihnya
merupakan ciri khas seniman asli. Coba dengarkan pengakuan Iqbal sebagai
pujangga, yang sungguh menyentuh hati:
Apa yang dapat kuperbuat?
Aku pantang istirahat,
Hatiku tak pernah reda bagaikan angin meniup
di ladang, kencang!
Bila mata menatap sesuatu yang indah,
Hati merintih, mendambakan yang lebih indah
Hasratku:
Kilatan sinar mengembang menjadi bintang berbinar,
Cahaya bintang membesar beralih menjadi
Panas mentari terik membakar.
Tak kuharapkan tujuan akhir,
Sebab bagiku, istirahat meramalkan maut!
Dengan mata tak puas menatap
Dengan hati tak henti mengharap
Kutetapkan Tujuan Akhir nan tiada Ujung!
(Iqbal,
Payam-i-Masyariq)
Iqbal
menuntut kita menerima segala pengalaman dengan terbuka dan menolak sikap hidup
menutup diri, mengasingkan diri dari pergaulan. Guru yang mengurung siswanya di
antara keempat dinding kelasnya bagaikan ahli tani menyimpan tanamannya di
rumah kaca, dituduh Iqbal sebagai merampas hubungan anak dengan alamnya. Padahal
hubungan anak dengan alam banyak memberikan arahan kepada anak dan oleh karena
itu bagi pendidikan memiliki arti yang vital:
Apakah gerangan guru itu?
Guru bagaikan pembina jiwa insani!
O, betapa tepat ucap failasuf Qaani
Dalam mengulas cara membimbing siswa;
“Bila kau inginkan tamanmu bermandi cahaya,
Jangan kau bentangkan benteng pembendung pancaran
Surya.
(Iqbal,
Bal-i-Jibril)
Kegembiraan
dan kesungguhan hidup tidak mungkin dihayati hanya dengan menonton penampilan
lahiriahnya dari luar _seperti sering dilakukan oleh beberapa seniman dan
failasuf_ akan tetapi kita harus terjun sendiri sepenuhnya dalam gejolak
gemuruhnya kehidupan, sambil menjadikan segala pengalamannya baik yang
menyenangkan maupun yang menyakitkan, sebagai usaha untuk memperkuat dan
memperkaya keterbinaan Diri. Pesan ini diajukan Iqbal melalui nasihat burung
pelatuk yang pemberani kepada burung kenari yang pemalu dan cengeng:
Belajarlah dari kerugian dan kemalangan:
Bunga mawar
mendapatkan keindahan murni
dengan mendobrak memecahkan kelopak!
Bila terluka, obatilah dengan nyerinya!
Biasakan hidup di tengah duri penuh nyeri,
Barulah dapat bersatu dengan keindahan taman.
Bagi Iqbal
tidak ada sikap hanya menunggu dan berdiam diri. Kehidupan menuntut perjuangan
yang terus-menerus bagi setiap orang dalam setiap keadaan.
Terkait
tempaan ujian hidup, Iqbal mengiyaskan pesan pelanduk yang menasihati kawannya
yang selalu menghindar dari cobaan hidup dengan jalan mengasingkan diri,
sebagai berikut:
Kawannya berkata: “Oh, sahabatku yang arif,
Rahasia hidup gembira ialah hidup menyerempet bahaya!
Asahlah dirimu berulangkali pada batu-aceh
Sehingga tertempa watak setajam pedang!
Bahaya ibarat batu ujian yang meningkatkan kemampuan,
Bahaya ialah batu ujian yang menjajali
kekuatan jasmani dan rohani.
Dalam
memberikan tamsil tentang jiwa yang mentah dan jiwa yang matang, Iqbal menggunakan
batu bara dengan berlian. Berlian dipandang sebagai sesuatu yang berbobot dan
berharga, dianggap memiliki individualistis yang matang dan sempurna.
Sebaliknya batubara berbentuk kasar dan lunak, dan oleh karena itu nilainya
rendah. Namun, dari barubara inilah berlian itu berasal.
Dengan
tamsil inilah, Iqbal menunjukkan betapa dengan pematangan dan perjuangan,
individu dapat menjadi kuat, keras dan berharga:
Karena kementahanmu
Engkau dipandang rendah!
Karena kerapuhanmu
Engkau terbakar mengabu!
Jangan gelisah, jangan gentar dan cemas;
Jadikan dirimu sekeras batu,
Jadikan dirimu secemerlang berlian!
Berjuanglah dengan gigih, tahan segala
goncangan!
Dan engkau akan dapat mencairkan kedua
kutub!
Keagungan Hidup hanya dapat diraih dengan
ketangguhan;
Dan rendah segala kelemahan!
Dan tiada harga segala ketidakmatangan!
(Iqbal,
Asrar-i-Khudi)
Peran
manusia yang bebas dan kreatif diangkat oleh Iqbal. Dengan segala kerendahan
hati ia memberanikan hati ia memberanikan diri untuk mengajukan dirinya kepada
Ilahi sebagai makhluk yang sanggup mengisi ciptaan Ilahi dengan segala
kesadaran:
Telah Kau ciptakan malam (nan gulita)
Dan hamba buatkan dian (penerang)
Telah Kau ciptakan tanah liat (belum berbentuk)
Dan hamba buatkan jembangan bunga,
Telah Kau ciptakan hutan belukar,
gunung dan pada pasir,
Dan hamba buatkan kebun dan taman
(di mana beribu bunga kembang mekar)
Dari batuan yang Kau ciptakan
Hamba ciptakan kaca mengkilap;
Dan dari racun hamba ramu bibit obat.
(Iqbal,
Payam-i-Masyariq)
Tauhid dan Implikasinya
Dalam
karyanya, Rumuz-i-Bekhudi, Iqbal dengan panjang lebar mendiskusikan betapa
ketakutan, keputusasaan dan kepengecutan merupakan sumber dari sebagian besar
dosa dan kejahatan, termasuk pula pengenduran dan pelemahan tempo dan irama
hidup. Dalam pada itu ia mengungkapkan Tauhid yang diterapkan dan dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari merupakan obat yang manjur untuk menyembuhkan rasa
takut, sifat pengecut dan putus asa:
Wahai,
engkau yang terkurung dalam
Tempurung ketakutan,
Galilah hikmah ajaran Rasul
Yang terumus dalam “la tahzan”
Bila benar-benar kau beriman kepada Ilahi,
Bebaskan dirimu dari segala ketakutan!
Dan segala perhitungan untung-rugi!
Segala bentuk ketakutan selain kepada Allah
Menghambat segala sepak terjang
Ketakutan adalah laksana perompak
Yang mengancam menjegal kafilah
Yang sedang melaju di perjalanan hidup!
Manakala benihnya telah tertancap dalam dirimu,
Hidup tidak lagi mencerminkan perwujudan diri!
Dan mereka yang benar-benar memahami
Ajaran Muhammad,
Akan menangkap basah diri syirk
Yang tersembunyi di balik lubuk takut.
(Iqbal,
Rumuz-i-Bekhudi)
Iqbal
menandaskan bahwa inti Tauhid sebagai idea praktis ialah kesamaan serta
kebersamaan dan kebebasan. Sedang apabila Tauhid itu dijadikan pola pengarah
tingkah laku, ia mengubah watak serta kehidupan individu dan memberikan
kepadanya kesadaran baru akan keberanian serta harga dirinya.
Dalam
suatu pidato yang ditujukan kepada generasi muda, Iqbal meminta mereka untuk
menyadari implikasi praktis dari ajaran ini bagi pembinaan watak:
Sejak kau dibentuk dari tanah liat,
Cinta dan takut telah tersirat:
Takut terhadap dunia kini,
Takut terhadap dunia kelak,
Takut terhadap mati,
Takut terhadap pahit-getir segala sakit
Di dunia dan di langit;
Cinta akan kekayaan dan kekuasaan;
Cinta kepada Negara,
Cinta pada diri sendiri,
Cinta pada anak dan isteri.
Akan tetapi sepanjang tetap kau berpegang
‘Pada hikmat ajaran “Laa ilaha illa
Allah”,
Segala permainan dari rasa takut
Dapat kau patahkan berbongkah-bongkah!
Barang siapa masih berkobar dalam jiwanya
Getaran senar Ilahi,
Pantang bertunduk kepada segala kebatilan.
(Iqbal, Asrar-i-Khudi)
Dalam
pandangan Iqbal, Manusia Mu’min ialah manusia yang mengembangkan tenaganya dan
memperkokoh individualitasnya melalui kontak yang aktif dengan lingkungannya,
material maupun kultural. Individualitasnya yang kuat dan terkonsentrasi, yang
telah ditempa hingga membaja dalam kehidupan penuh pengalaman ini, membulatkan
dirinya dalam mengabdi kepada Allah, dan atas namaNya lah hendaknya ia
menguasai dunia.
Akan
tetapi manakala dunia telah dikuasainya, Sang Mu’min akan tetap hidup tangguh,
bebas, ia tak akan begitu saja terhempas di telapak kakinya. Ia akan tetap
mampu menghadapi dan mengatasi bujuk rayu serta pancingannya yang dapat
melemahkan landasan kehidupan moral insani. Harga dirinya memberikan kepadanya
keberanian dan kesanggupan untuk menjelajahi kehidupan baru; toleransi serta
penghormatannya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap
tuntutan sesama manusia. Dan dalam mengejar cita-citanya, Sang Mu’min tetap
tangguh dan berani menolak dengan tandas berbagai hasrat yang terselubung serta
aneka hambatan yang merintangi perwujudan cita-citanya itu. Perhatikan
lukisan Iqbal mengenai pribadi Muslim sejati sebagai berikut:
Tangan Mu’min digerakkan Tangan Ilahi:
Kuat, asli, kreatif, tepat guna!
Manusia mu’min yang terbuat dari tanah
liat
Memancarkan dari dirinya
terang-benderang.
Dalam dirinya ia coba tumbuhkan
Sifat-sifat yang mengarah sifat Ilahi.
Hatinya tak terpikat gemerlap harta di
dua benua.
Hasratnya sederhana, tapi tujuannya
luhur!
Langkahnya berhikmah, penampilannya
memukau.
Lembut tutur katanya, hangat kandungan
maknanya!
Dalam perang maupun damai
Hatinya tenang, fikirannya cemerlang!
(Iqbal, Bal-i-Jibril)
Sekian,
untuk lebih lanjut silakan rekan merujuk ke buku ini. Recomended. Moga tulisan
kali ini bermanfaat.
Salam takzim,
anassekuduk
Selesai, Sekuduk: Ahad, 7-7-2019_17.24..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar