Minggu, 07 Juli 2019

BAHAS BUKU: PERCIKAN FILSAFAT PENDIDIKAN IQBAL MENGENAI PENDIDIKAN [K.G. SAIYIDAIN, B. A. M. Ed.,]


PERCIKAN FILSAFAT PENDIDIKAN IQBAL 
MENGENAI PENDIDIKAN

K.G. SAIYIDAIN, B. A. M. Ed., (Leeds)

anassekuduk
Bandung: CV. Diponegoro
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على سيّدنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى اله وصحبه اجمعين, امّابعد
a.       INTRO>>>>>>> 
            ......Puisinya menyatukan antara kebahagiaan seorang pujangga dalam memadahkan nilai-nilai abadi dengan suatu diskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi dewasa ini serta persoalan-persoalan lain yang akan menyemarakkan lagi namanya serta pengaruhnya di masa mendatang.
            Menurut pendapat saya (K.G. Saiyidain), hingga kini belum cukup diberikan perhatian oleh berbagai pihak untuk mendapatkan penjelasan yang lebih jauh mengenai alam fikiran falsafi Iqbal serta terhadap kemungkinan pengolahan implikasi praktis dari pandangannya itu, walaupun telah cukup banyak ditulis buku-buku mengenai pujangga besar itu akhir-akhir ini. Memang ada pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa pendekatan seperti itu kepada karya penyair kurang pada tempatnya. Mereka ini berpendapat bahwa puisi_seperti halnya karya seni lainnya_ tidak bermaksud untuk mengajukan suatu pesan; puisi hanya merupakan pengungkapan pengalaman emosional seorang pujangga yang dimanifestasikan dalam bentuk lirik dan tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan atau dianalisa secara filsafi. Bagi mereka ini, karya seni _seperti puisi_ memiliki nilai tersendiri dan tidak memerlukan pengujian psikologis.
Mungkin pandangan estetis secara murni ini ada benarnya. Akan tetapi Sir Mohammad Iqbal tidak pernah merasa puas terhadap puisi yang bersifat tradisional dan picik itu. Baginya, puisi _sepertimana karya lainnya_ hanya dapat dikatakan murni dan signifikan, apabila ia secara dinamis dan tepat melihat kehidupan, mendalami aspirasinya, mempercepat getarannya, dan menyoroti landasan dan tujuannya secara cermat dan tajam. Motto Iqbal bukan “Seni untuk Seni”, melainkan “Seni untuk Hidup yang lebih semarak”:
........
Wahai, orang-orang yang berpandangan dalam, tiada dilarang mengarahkan pandang kepada keindahan
Akan tetapi mata yang tidak menangkap Kenyataan tidaklah berpandangan sama sekali,
Tujuan Seni ialah damba ‘pada Hidup nan Abadi,
Bukan sekedar serentetan nafas sekilas yang melintas sepintas kilat,
O, “Hujan Musim Seni”,
Kerang dan mutiara jadi bertiada nilai,
Sekiranya tidak kuasa melontarkan alunan hati menjadi luapan gejolak,
Bangsa-bangsa tak ‘kan bangkit kembali tanpa keajaiban hentakan pukulan Musa
Adalah mati, beku membatu.
(Iqbal, Zarb-i Kalim)



Lagi pula patutlah diingat bahwa Iqbal bukanlah sekedar seorang penyair lirik yang menterjemahkan bayangan melintas dan alur perasaan yang bergetar di hati insan ke dalam sanjak yang indah. Ia adalah ahli fikir dan failasuf yang vital, yang pertama-tama mencurahkan perhatiannya bukan kepada isu-isu yang abstrak, mengawang dan spekulatif dan tiada pautannya dengan masalah-masalah yang hidup dewasa ini, melainkan fikirannya yang cerah dan kaya itu dituangkannya kepada masalah-masalah aktual serta kepada kemungkinan pemecahannya dalam sorotan nilai-nilai yang menurut anggapannya merupakan landasan kehidupan individual dan kolektif. Apabila kita hanya melarutkan diri dalam memandang keindahan lahiriah yang mempesona dalam taman puisinya, kita hanya akan mendapatkan gambaran yang kerdil saja dari kejeniusan tokoh kita ini. Dalam menghadapi tokoh besar seperti Iqbal, setidak-tidaknya kita harus memahami dan mengujikan keseluruhan wawasannya sebelum kita menerapkan lintasan fikirannya kepada bentuk dan bidang permasalahan tertentu.
...............
Dalam pandangannya terkait ego, Iqbal berbeda dengan doktrin ajaran panteisme.
...Iqbal menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki sikap empiris dna berpendapat bahwa “dalam dunia pengetahuan _”science”_ ataupun dunia religius, pemikiran tidak mungkin membebaskan sama sekali dari pengalaman yang konkrit. Dengan perkataan lain, pandangan ini menghormati kenyataan yang aktual. Pandangan seperti itulah yang memungkinkan dunia Islam dalam masa yang silam merupakan peletak dasar alam fikiran dan ilmu pengetahuan modern.
Akan tetapi perembesan perlahan-lahan jiwa klasik alam pikiran Yunani ke dalam alam pikiran dunia Islam cenderung menggerhanakan ajaran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Sokrates dan Plato meremehkan pengamatan indera yang menurut pandangan mereka hanya “melahirkan pendapat belaka dan tidak mengantar kepada pengetahuan yang sesungguhnya”.
Sebaliknya Iqbal berpendapat bahwa tumbuh-kembangnya individualitas secara aktif tidak mungkin terjadi tanpa kontak langsung dengan lingkungan yang konkrit dan dinamis. Ia menjuluki Plato sebagai “seorang filsuf-kambing yang tua”, sebab Plato mencoba menghindar dari kehidupan yang penuh perjuangan dan kegiatan di dunia ini, penuh dengan berbagai kekuatan dan fenomena yang konkrit. Plato tidak mau menerimanya sebagai suatu kerangka yang menantang dan mendorong manusia untuk giat bergerak. Sebagai gantinya Plato menganjurkan untuk mundur ke dalam suatu dunia yang penuh bayangan dan fikiran “murni”, yang dengan sendirinya tidak akan dapat diterima oleh warga yang bebas:

Filsafat Plato tiada berguna
Filsafat Plato mencanangkan ketiadaan yang ada,
Tiada tergugah untuk upaya
Jiwa terpukau oleh yang serba tiada
Ia tidak percaya pada alam bendawi
Dan menobatkan diri sebagai Pencipta
Idea dari dunia maya
Betapa nyaman dunia yang sarat dengan fenomena hidup
Bagi semangat yang menggejolak-menggelora.
Dan betapa menyita dunia cita bagi jiwa yang mati.
Berpantang dari yang nyaman
Hanya mendorong kepada pelarian,
Karena tak mampu menantang badai dunia gempita.
Dan insan teracuni kemabukannya sendiri
Terhuyung-huyung dan loyo
Tiada sedikitpun tergerak untuk bertindak.
                                                                        (Iqbal, Asrar-i-Khudi)

.....Dalam bahasa Al-Qur’an manusia itu “telah dipercayai suatu kepribadian yang bebas, yang diterimanya dengan penuh tanggungjawab”. Hadiahnya yang tidak ternilai harganya terwujud dalam bentuk “perkembangan derajatnya dalam penguasaan dirinya, dalam kekhususan dan intensitas aktivitasnya sebagai suatu ego.”
“Self” atau Diri yang terus mengembang dan menjadi itu merupakan sumber yang tidak akan habis terkuras, betapapun hebat dan dahsyat kemampuan dan tenaga yang dipancarkan dan dituangkannya. Untuk memungkinkan pengembangannya yang optimal, individu harus membuka diri dan siap menghadapi segala tantangan dan pengalaman dalam bentuk apapun.
Sekiranya manusia menghindari dari dunia penuh tantangan dan perjuangan itu, maka individualitasnya pun akan tenggelam terbenam dan segala bakat akan tetap tak terwujudkan. Pujangga ini _yang dalam karya kepujanggaannya sering hanya dikenal sebagai seorang penuh luapan emosi  serta keindahan, serta hidup dan digerakkan oleh suasana perasaannya yang artistik _memancarkan pesan-pesannya secara mantap dan kuat, bersenandung perjuangan dan protes terhadap sikap merengek-rengek yang bertentangan dengan Iman:
Oh! Sekiranya terkilas secercah puisi di lubuk hatimu,
‘Lah lama kau tergolek di ranjang berselaput sutera.
Dan kini biasakanlah dirimu pada tilam katun kasar!
Godoglah dirimu di lautan pasit panas membara,
Lalu menceburlah ke dalam pancaran Zamzam!
Berapa lama lagikah kau terus menyenandung
Lagu sendu ba’ burung hantu?
Berapa lama lagikah kau tetap
Menganyam sangkar halus di taman sejuk?
Oh, Insan, petikan senarmu akan menggugah gembira
Burung Phoenix,
Bangunkanlah pangkalanmu di puncak gunung
nan menjulang tinggi,
Dan kau akan siap tempur dalam perjuangan hidup,
Dan badan dan jiwamu akan terbakar
dalam gelora hidup!
(Iqbal, Asrar-i-Khudi)
صلى الله عليه وسلم[anassekuduk]
b.       THE CONTENT>>>>>>>>>>

Iqbal berulang kali mengetengahkan betapa angkatan muda terbongkar dari akar kebangsaannya, karena mendapatkan pendidikan yang terlepas dari sejarah dan budayanya sendiri tanpa sedikitpun usaha untuk menumbuhkan dan mengukuhkan individualitasnya serta menggugah kembali keasliannya:

‘Lah kau kaji dan timbun segala ilmu orang asing,
‘Lah kau pulas dan lukis wajahmu
Dengan kosmetik mereka,
‘Lah kau tukar selera dan gairahmu dengan cara mereka
Hingga akhirnya tak tahulah lagi siapa kau sebenarnya!
Fikiranmu beruratkan citra mereka,
Nafas yang kau hirup setingkah nada dan irama mereka,
Bibirmu menyuarakan lagu gubahan mereka
Berapa lama lagikah kau ‘kan menari-nari
Mengitari api tiupan mereka ini?
Di manakah hatimu sendiri?
Godoglah dirimu di atas panas baramu sendiri!
Individu hanya akan mandiri
Dengan jalan mewujudkan diri sendiri
Suatu bangsa hanya akan benar-benar mandiri
Manakala bersikap sungguh terhadap dirinya sendiri.
(Iqbal, Rumuz-i-Bekhudi)

Peranan intelek adalah bagaikan peranan pembantu rumah tangga dalam rangka mencapai Tujuan Hidup. Kata Iqbal: “Kita tidak hidup untuk berpikir, melainkan kita berpikir agar dapat melangsungkan Hidup”. Hal ini diungkap Iqbal dalam karyanya “Rahasia Diri” sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah pelangsung hidup,
Ilmu pengetahuan adalah alat pemantap diri,
Ilmu pengetahuan dan Seni mengabdi kehidupan
Bagaikan hamba sahaya
yang lahir dan bersemayam di atas pangkuan.
                                                            (Iqbal, Zabur-i-Ajem)
            Apabila pengetahuan itu tidak dikaitkan dengan tindakan, tidak diraih melalui tindakan, tidak akan ia tertuang menjadi kekuatan dan tidak akan bermanfaat bagi manusia dalam menata kembali lingkungannya. Oleh karena itu Iqbal sangat skeptis terhadap ilmu pengetahuan yang semata-mata digali dari buku; ia meragukan pengetahuan yang semata-mata bersifat akademis dan telah mempersenjatai mereka dengan memadai bagi kehidupan aktif penuh juang dalam meraih nilai yang tinggi. Oleh karena itu Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan sebagai tujuan dari proses pendidikan:
            Murah bagiku nilai intelegensi dan ilmu
            Yang melemparkan pedang dan tameng pejuang
                                                                                    (Iqbal, Asrar-i-Khudi)

Pencarian yang tiada hentinya, damba akan pencapaian hasil, membangkitkan vitalitas atau gairah hidup bagi pengetahuan dan menciptakan sayap bagi kehidupan. Coba dengarkan percakapan antara kalaketu dan kutubuku: Yang pertama penuh gairah untuk bertindak, sedang yang lainnya tenggelam dalam lautan aksara:
Semalam telah kudengar keluh kutubuku
Kepada kalaketu di ruang kerjaku:
“Aku hidup di sela-sela karya Ibnu Sina,
Telah kujelajah berkilid-jilid karya Farabi,
Namun rahasia hidup tak sempat kugali
Hari-hariku gelap pengap, tak tertembus mentari”
Langsung menyahut kalaketu
Yang hampir terbakar di cahaya lampu:
“Tak ‘kan kautemui rahasia hidup di sela buku,
Sebab ia adalah damba
yang menggelorakan gelombang hati
Dan membekalinya dengan sayap
‘tuk melejit membubung tinggi!
                                                (Payam-i-Masyariq)
Kepada para mahasiswa, Iqbal berpesan dalam untaian sanjak yang berbobot dan menuntut pengkajian yang mendalam:
Semoga Allah melecutmu dengan kekuatan tiupan badai
Genangan air lautanmu terlalu tenang lemah gemulai,
Buku-buku tak ‘kan mampu merintis-menebas jalan keluar,
Dengan membaca buku tak ‘kan terpancar wahyu
yang memecahkan masalahmu!
                                                (Iqbal, Zarb-i-Kalim)
Itulah sebabnya mengapa Iqbal _seperti juga ahli-ahli fikir modern_ melontarkan peringatan dan kecaman terhadap konsepsi pendidikan yang terlalu bersifat intelektualistis. Ia mengajukan pandangan yang seimbang, yang memberikan bobot yang seimbang pula bagi komponen-komponen pengalaman, kognitif, konatif dam afektif yang menyulam jalinan yang serasi dalam pembinaan kepribadian manusia.
Dalam seni sastra, Iqbal menemukan pula manifestasi yang tandas-jelas dari pencarian yang tiada hentinya akan keindahan dan pernyataan diri, akan kreativitas yang tak kunjung padam dan selalu disirami pandangan dan sasaran baru. Mendambakan sesuatu yang tak terjangkau serta usaha dan perjuangan untuk meraihnya merupakan ciri khas seniman asli. Coba dengarkan pengakuan Iqbal sebagai pujangga, yang sungguh menyentuh hati:

Apa yang dapat kuperbuat?
Aku pantang istirahat,
Hatiku tak pernah reda bagaikan angin meniup
di ladang, kencang!
Bila mata menatap sesuatu yang indah,
Hati merintih, mendambakan yang lebih indah
Hasratku:
Kilatan sinar mengembang menjadi bintang berbinar,
Cahaya bintang membesar beralih menjadi
Panas mentari terik membakar.
Tak kuharapkan tujuan akhir,
Sebab bagiku, istirahat meramalkan maut!
Dengan mata tak puas menatap
Dengan hati tak henti mengharap
Kutetapkan Tujuan Akhir nan tiada Ujung!
                                                            (Iqbal, Payam-i-Masyariq)
Iqbal menuntut kita menerima segala pengalaman dengan terbuka dan menolak sikap hidup menutup diri, mengasingkan diri dari pergaulan. Guru yang mengurung siswanya di antara keempat dinding kelasnya bagaikan ahli tani menyimpan tanamannya di rumah kaca, dituduh Iqbal sebagai merampas hubungan anak dengan alamnya. Padahal hubungan anak dengan alam banyak memberikan arahan kepada anak dan oleh karena itu bagi pendidikan memiliki arti yang vital:
Apakah gerangan guru itu?
Guru bagaikan pembina jiwa insani!
O, betapa tepat ucap failasuf Qaani
Dalam mengulas cara membimbing siswa;
“Bila kau inginkan tamanmu bermandi cahaya,
Jangan kau bentangkan benteng pembendung pancaran Surya.
                                                                                                (Iqbal, Bal-i-Jibril)




Kegembiraan dan kesungguhan hidup tidak mungkin dihayati hanya dengan menonton penampilan lahiriahnya dari luar _seperti sering dilakukan oleh beberapa seniman dan failasuf_ akan tetapi kita harus terjun sendiri sepenuhnya dalam gejolak gemuruhnya kehidupan, sambil menjadikan segala pengalamannya baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, sebagai usaha untuk memperkuat dan memperkaya keterbinaan Diri. Pesan ini diajukan Iqbal melalui nasihat burung pelatuk yang pemberani kepada burung kenari yang pemalu dan cengeng:
Belajarlah dari kerugian dan kemalangan:
Bunga mawar mendapatkan keindahan murni
dengan mendobrak memecahkan kelopak!
Bila terluka, obatilah dengan nyerinya!
Biasakan hidup di tengah duri penuh nyeri,
Barulah dapat bersatu dengan keindahan taman.
Bagi Iqbal tidak ada sikap hanya menunggu dan berdiam diri. Kehidupan menuntut perjuangan yang terus-menerus bagi setiap orang dalam setiap keadaan.
Terkait tempaan ujian hidup, Iqbal mengiyaskan pesan pelanduk yang menasihati kawannya yang selalu menghindar dari cobaan hidup dengan jalan mengasingkan diri, sebagai berikut:
Kawannya berkata: “Oh, sahabatku yang arif,
Rahasia hidup gembira ialah hidup menyerempet bahaya!
Asahlah dirimu berulangkali pada batu-aceh
Sehingga tertempa watak setajam pedang!
Bahaya ibarat batu ujian yang meningkatkan kemampuan,
Bahaya ialah batu ujian yang menjajali
kekuatan jasmani dan rohani.
Dalam memberikan tamsil tentang jiwa yang mentah dan jiwa yang matang, Iqbal menggunakan batu bara dengan berlian. Berlian dipandang sebagai sesuatu yang berbobot dan berharga, dianggap memiliki individualistis yang matang dan sempurna. Sebaliknya batubara berbentuk kasar dan lunak, dan oleh karena itu nilainya rendah. Namun, dari barubara inilah berlian itu berasal.
Dengan tamsil inilah, Iqbal menunjukkan betapa dengan pematangan dan perjuangan, individu dapat menjadi kuat, keras dan berharga:
Karena kementahanmu
Engkau dipandang rendah!
Karena kerapuhanmu
Engkau terbakar mengabu!
Jangan gelisah, jangan gentar dan cemas;
Jadikan dirimu sekeras batu,
Jadikan dirimu secemerlang berlian!
Berjuanglah dengan gigih, tahan segala goncangan!
Dan engkau akan dapat mencairkan kedua kutub!
Keagungan Hidup hanya dapat diraih dengan ketangguhan;
Dan rendah segala kelemahan!
Dan tiada harga segala ketidakmatangan!
                                                            (Iqbal, Asrar-i-Khudi)
Peran manusia yang bebas dan kreatif diangkat oleh Iqbal. Dengan segala kerendahan hati ia memberanikan hati ia memberanikan diri untuk mengajukan dirinya kepada Ilahi sebagai makhluk yang sanggup mengisi ciptaan Ilahi dengan segala kesadaran:
Telah Kau ciptakan malam (nan gulita)
Dan hamba buatkan dian (penerang)
Telah Kau ciptakan tanah liat (belum berbentuk)
Dan hamba buatkan jembangan bunga,
Telah Kau ciptakan hutan belukar,
gunung dan pada pasir,
Dan hamba buatkan kebun dan taman
(di mana beribu bunga kembang mekar)
Dari batuan yang Kau ciptakan
Hamba ciptakan kaca mengkilap;
Dan dari racun hamba ramu bibit obat.
                                                            (Iqbal, Payam-i-Masyariq)

Tauhid dan Implikasinya
Dalam karyanya, Rumuz-i-Bekhudi, Iqbal dengan panjang lebar mendiskusikan betapa ketakutan, keputusasaan dan kepengecutan merupakan sumber dari sebagian besar dosa dan kejahatan, termasuk pula pengenduran dan pelemahan tempo dan irama hidup. Dalam pada itu ia mengungkapkan Tauhid yang diterapkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan obat yang manjur untuk menyembuhkan rasa takut, sifat pengecut dan putus asa:

                                    Wahai, engkau yang terkurung dalam
Tempurung ketakutan,
Galilah hikmah ajaran Rasul
Yang terumus dalam “la tahzan”
Bila benar-benar kau beriman kepada Ilahi,
Bebaskan dirimu dari segala ketakutan!
Dan segala perhitungan untung-rugi!
Segala bentuk ketakutan selain kepada Allah
Menghambat segala sepak terjang
Ketakutan adalah laksana perompak
Yang mengancam menjegal kafilah
Yang sedang melaju di perjalanan hidup!
Manakala benihnya telah tertancap dalam dirimu,
Hidup tidak lagi mencerminkan perwujudan diri!
Dan mereka yang benar-benar memahami
Ajaran Muhammad,
Akan menangkap basah diri syirk
Yang tersembunyi di balik lubuk takut.
                                                            (Iqbal, Rumuz-i-Bekhudi)
Iqbal menandaskan bahwa inti Tauhid sebagai idea praktis ialah kesamaan serta kebersamaan dan kebebasan. Sedang apabila Tauhid itu dijadikan pola pengarah tingkah laku, ia mengubah watak serta kehidupan individu dan memberikan kepadanya kesadaran baru akan keberanian serta harga dirinya.
Dalam suatu pidato yang ditujukan kepada generasi muda, Iqbal meminta mereka untuk menyadari implikasi praktis dari ajaran ini bagi pembinaan watak:
Sejak kau dibentuk dari tanah liat,
Cinta dan takut telah tersirat:
Takut terhadap dunia kini,
Takut terhadap dunia kelak,
Takut terhadap mati,
Takut terhadap pahit-getir segala sakit
Di dunia dan di langit;
Cinta akan kekayaan dan kekuasaan;
Cinta kepada Negara,
Cinta pada diri sendiri,
Cinta pada anak dan isteri.
Akan tetapi sepanjang tetap kau berpegang
‘Pada hikmat ajaran “Laa ilaha illa Allah”,
Segala permainan dari rasa takut
Dapat kau patahkan berbongkah-bongkah!
Barang siapa masih berkobar dalam jiwanya
Getaran senar Ilahi,
Pantang bertunduk kepada segala kebatilan.
(Iqbal, Asrar-i-Khudi)
Dalam pandangan Iqbal, Manusia Mu’min ialah manusia yang mengembangkan tenaganya dan memperkokoh individualitasnya melalui kontak yang aktif dengan lingkungannya, material maupun kultural. Individualitasnya yang kuat dan terkonsentrasi, yang telah ditempa hingga membaja dalam kehidupan penuh pengalaman ini, membulatkan dirinya dalam mengabdi kepada Allah, dan atas namaNya lah hendaknya ia menguasai dunia.
Akan tetapi manakala dunia telah dikuasainya, Sang Mu’min akan tetap hidup tangguh, bebas, ia tak akan begitu saja terhempas di telapak kakinya. Ia akan tetap mampu menghadapi dan mengatasi bujuk rayu serta pancingannya yang dapat melemahkan landasan kehidupan moral insani. Harga dirinya memberikan kepadanya keberanian dan kesanggupan untuk menjelajahi kehidupan baru; toleransi serta penghormatannya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap tuntutan sesama manusia. Dan dalam mengejar cita-citanya, Sang Mu’min tetap tangguh dan berani menolak dengan tandas berbagai hasrat yang terselubung serta aneka hambatan yang merintangi perwujudan cita-citanya itu. Perhatikan lukisan Iqbal mengenai pribadi Muslim sejati sebagai berikut:
Tangan Mu’min digerakkan Tangan Ilahi:
Kuat, asli, kreatif, tepat guna!
Manusia mu’min yang terbuat dari tanah liat
Memancarkan dari dirinya terang-benderang.
Dalam dirinya ia coba tumbuhkan
Sifat-sifat yang mengarah sifat Ilahi.
Hatinya tak terpikat gemerlap harta di dua benua.
Hasratnya sederhana, tapi tujuannya luhur!
Langkahnya berhikmah, penampilannya memukau.
Lembut tutur katanya, hangat kandungan maknanya!
Dalam perang maupun damai
Hatinya tenang, fikirannya cemerlang!
(Iqbal, Bal-i-Jibril)


Sekian, untuk lebih lanjut silakan rekan merujuk ke buku ini. Recomended. Moga tulisan kali ini bermanfaat. 
Salam takzim, anassekuduk
            Selesai, Sekuduk: Ahad, 7-7-2019_17.24..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...