A. A. KALAM PEMBUKA
Alhamdulillahirabbil’alamin,
bersyukur kepada Allah Saw atas nikmat iman dan Islam yang
dengannya kita menjalani hidup hingga saat ini. Shalawat dan salam semoga Allah
Swt anugerahkan buat junjungan kita, Nabi Muhammad Saw serta ahli keluarga,
kerabat dan sahabat baginda.
Pada unggahan kali ini, kami hendak menukil pembahasan tentang gaya bahasa Al-Qur’an yang ada dalam buku Ar-Risalah, Imam Syafi’i, dari penerbit Pustaka Firdaus, cetakan keempat, 1996. Tulisan kali ini titip di laman maya ini dengan alasan: rasanya materi berikut ada hubungannya dengan sub-bahasan di mata pelajaran Qur’an Hadits anak asuh di MA. M. Basiuni Imran, Sambas. Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk para pengunjung blog ini secara umumnya, buat kami pribadi khususnya jikalau nanti diperlukan untuk dirujuk pada saatnya. Kemudian, dalam teknis nukilan ini kami mungkin akan menyadur sesuai keperluan dan relevansinya buat kami pribadi, sehingga bagaimanapun kami tetap menyarankan para pengunjung untuk membaca buku ini secara langsung demi mendapatkan gambaran utuh dari bahasan yang dikutip di ruang terbatas ini.
.......................................................
B. ISI
[1]
Adalah
fitrah Kitab untuk dapat mengemukakan sesuatu yang sebagian di antaranya
bersifat umum dan eksplisit (zhahir ‘am) dengan maksud yang juga umum dan
eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan pernyataan yang
kedua, atau pernyataan yang umum dan eksplisit dengan maksud atau suatu
pernyataan yang bersifat umum tapi maksudnya khusus, atau suatu pernyataan yang
memiliki arti literal (zhahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya
harus diberi arti yang non-literal (ghair zhahir). Pengetahuan tentang semua
ini dapat dikemukakan pada bagian permulaan, tengah atau pada bagian akhir
ucapan.
Orang-orang
Arab kadang memulai subjek pembicaraannya dengan kata-kata dimana yang pertama
memperjelas kata yang terakhir atau sebaliknya. Kadang mereka berbicara tentang
suatu persoalan secara implisit tanpa menerangkannya dengan kata-kata. Bagi mereka,
bentuk pengungkapan seperti ini punya nilai yang sangat tinggi dan hanya
kalangan terpelajar yang dapat memahaminya. Mereka juga sering menyebut satu
objek dengan nama yang banyak, dan menyebut satu nama dengan makna yang banyak.[2]
Pernyataan Umum dengan Maksud Umum Allah Swt berfirman: “Allah
adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia Pemelihara segala sesuatu.” (QS.
Az-Zumar: 62). Silakan juga lihat misalnya QS. Ibrahim: 32 dan Hud: 6. Inilah
contoh pernyataan umum yang tidak mengandung kekhususan. “Tiadalah patut bagi penduduk Madinah dan orang
Arab (Badui) sekitarnya, untuk menolak menyertai Rasulullah dan mengutamakan
dirinya sendiri atas diri (Rasulullah).” (QS. At-Taubah: 120). Ayat ini di satiu pihak menunjuk
kepada kaum lelaki yang mampu berjihad, di lain pihak menunjuk kepada semua
pihak yang sanggup berjihad atau mereka yang tidak mengutamakan kepentingan
pribadi atas kepentingan Rasulnya. Jadi ayat ini mengandung konotasi
(dilalah) khusus dan konotasi umum. Allah Swt berfirman: “Dan
membela orang-orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang
berkata, “Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini, yang penduduknya
berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dari sisi-Mu. Dan berilah kami
pembela dari sisi-Mu.”(QS. An-Nisa: 75) “Sampai ketika mereka tiba pada penduduk suatu
kota, mereka meminta makanan kepadanya, tapi penduduk kota itu tiada mau
menjamu mereka sebagai tamu.” (QS. A-Kahfi: 77) Di
dalam ayat ini terdapat pengertian bahwa tidak semua penduduk kota dimintai
makanan. Maka ayat ini pun pnya arti yang sama seperti ayat sebelumnya. Namuan
dalam ayat kedua dan pertama tentang pernyataan ‘kota yang penduduknya
berbuat zalim’, terdapat suatu konotasi yang khusus, karena memang tidak
semua penduduk kota berbuat zalim. Di antara mereka ada juga orang-orang
muslim, cuma jumlah mereka sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Di dalam
Al-Qur’an terdapat banyak contoh sejenisnya, ini sudah cukup; juga di dalam
Sunnah yang akan disebutkan pada tempatnya nanti. |
Pernyataan Umum dalam Al-Qur’an yang Mengandung
Maksud sebagai Pernyataan Umum dan Khusus juga Tercakup Di dalam Al-Qur’an kita lihat
dengan cukup jelas suatu pernyataan dengan cakupan yang umum dan pernyataan
lain dengan cakupan khusus. Yang
umum, misalnya terdapat dalam firman Allah: “Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan
dan Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling
mengenal.”
(QS. Al-Hujurat: 13) Artinya semua diri yang dimaksud
ayat ini baik sebelum zaman Nabi maupun sesudahnya, adalah tercipta dari
laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), dan semuanya masuk dalam kelompok
kebangsaan tertentu. Adapun
yang khusus, dapat ditemukan pada firman-Nya: “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat:
13) Khusus, karena taqwa hanyalah
mungkin diwujudkan oleh orang yang dapat memahaminya lantaran kedewasaan
pikiran yang dimilikinya. Bila manusia yang tuna pikir dan anak yang belum
baligh (dewasa) meskipun sudah mulai memahami arti taqwa, tidak termasuk
tuntutan ayat itu[3].
Tidak bisa digolongkan taqwa atau sebaliknya kecuali orang yang telah dapat
memahami makna taqwa dan mencapai tingkat usia dewasa (baligh). Mereka yang
ada dalam kondisi itu dapat kita sebut manusia taqwa jika memang berbuat taqwa,
dan dapat kita sebut sebaliknya jika memang berbuat sebaliknya. Kesimpulan
ini didukung banyak ayat di dalam Al-Qur’an juga Sunnah Rasul. Sebuah hadits
menyatakan: Ada
tiga orang yang terbebas dari tuntutan[4]: -orang
yang tidur hingga terbangun, -anak
kecil hingga menjadi baligh, -dan
orang gila hingga waras kembali. Demikian pula halnya dengan perintah
puasa dan shalat hanya dikenakan kepada mereka yang telah baligh dan berakal;
bukan kepada orang yang belum baligh, atau sudah baligh tapi tuna pikir dan wanita
yang sedang haid. |
Pernyataan Umum dengan Maksud Khusus Allah
Swt berfirman اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ
قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا
اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ “Mereka yang kepadanya orang berkata, “Orang telah berkumpul
melawan kamu, maka takutlah kepada mereka.” Tapi mereka bertambah iman
karenanya, dan mereka menjawab, “Allah cukup bagi kami, dan Dia sebaik-baik
pengatur segala urusan.” (QS. Ali Imran: 173) Artinya, bahwa di sana ada tiga
kelompok orang; pertama: yang bersama Rasul, kedua: yang hendak
memusuhi kelompok pertama, dan ketiga: yang menakut-nakuti kelompok
pertama perihal perlawanan dari kelompok kedua.
Dalam
QS. At-Tahrim: 6, Allah Swt berfirman: “Bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.
At-Tahrim: 6) Tapi
di ayat lain menunjukkan bahwa hanya sebagian manusia saja, tidak semua bakal
menjadi bahan bakar mereka kelak. “Sungguh orang-orang yang sebelumnya
mendapat kenaikan dari Kami, mereka dijauhkan daripadanya.” (QS.
Al-Anbiya: 101) |
Pernyataan yang Menjelaskan Arti Contohnya
ialah firman Allah Swt: وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً
وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا أَخَرِيْنَ. فَلَمَّآ إِذَا هُمْ
مِنْهَا يَرْكُضُوْنَ. “Berapa banyak (penduduk) kota telah Kami binasakan karena
melakukan kejahatan, dan Kami jadikan sesudah mereka kaum yang lain. Ketika mereka
merasakan azab Kami, mereka melarikan diri dari (negerinya) itu.” (QS.
Al-Anbiya: 11-12) Dalam ayat ini, Allah menyebutkan
kota (قَرْيَةٍ) yang
telah binasa, tapi ketika Dia menyebutkan kota itu jahat, timbullah keyakinan
pendengar bahwasanya yang jahat (zhalim/ ظَالِمَةً) tiada lain adalah penduduknya. Dan dengan
menyebut adanya generasi lain yang muncul setelah kehancuran kota itu dan
kalimat bahwa mereka pun pada gilirannya merasakan azab yang sama, maka yang
dimaksud tentulah generasi manusia, bukan hewan misalnya. |
Pernyataan yang Lafaznya Menjelaskan Arti
Implisitnya, bukan Arti Eksplisitnya Mengutip pembicaraan
saudara-saudara Yusuf As kepada ayah mereka, Allah Swt berfirman: وَمَا شَهِدْنَا بِمَا عَلِمْنَا وَمَا كُنَّا
لِلْغَيْبِ حَافِظِيْنَ. وَاسْئَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا وَالْعِيْرَ
الَّتِيْ أَقْبَلْنَا فِيْهَا وَإِنَّا لَصَادِقُوْنَ. “Kami hanya memberi kesaksian atas apa yang kami ketahui, dan
kami bukan orang yang tahu apa yang akan terjadi. Dan tanyakanlah kepada
(penduduk) kota dimana pernah kami berada, dan kepada (orang dalam) kafilah,
dengan siapa kami pulang bersama, dan (kau akan mengetahui), kami sungguh
berkata benar.”
(QS. Yusuf 81-82) Arti dalam ayat ini seperti mana
terkandung pada ayat-ayat sebelumnya, terutama bagi kalangan ahli bahasa,
yaitu bahwa saudara-saudara Yusuf As berbicara pada ayah mereka perihal penduduk
kota (الْقَرْيَةَ) dan
orang-orang kafilah, bukan kota atau kafilahnya itu sendiri, sebab kota dan
kafilah tidak dapat berkomunikasi. |
Pernyataan Umum yang Secara Spesifik Ditunjukkan
oleh Sunnah bahwa Maksud Khusus Contohnya
sebagai berikut: “Adapun pencuri laki-laki atau perempuan, potonglah
tangannya sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai hukuman pengajaran dari
Allah.”
(QS. Al-Maidah: 38) Sunnah Rasul menggariskan bahwa
hukum potong tangan tidak berlaku dalam kasus pencurian buah-buahan atau
lemak pohon kurma, dan bahwa tangan tidak dipotong kecuali bagi orang yang
mencuri barang bernilai seperempat dinar atau lebih.[5] Contoh
lain misalnya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah
masing-masing dengan dera seratus kali.” (QS. An-Nur: 2) Mengenai
budak wanita, Allah Swt berfirman: “Tapi bila mereka telah kawin, jika melakukan
perbuatan keji, hukuman mereka separuh hukuman perempuan-perempuan yang telah
kawin.”
(QS. An-Nisa: 25) Dengan QS. An-Nisa: 25 menjadi
jelas bahwa hukum dera seratus kali adalah untuk pezina merdeka, bukan yang
berstatus budak. Dan dengan bukti Rasul melaksanakan hukum rajam, bukannya
hukuman dera pada pezina wanita yang sudah kawin, maka menjadi jelas pula bahwa
pezina merdeka yang dikenai hukuman seratus kali dera ialah mereka yang belum
kawin; dan jelas pula bahwa hukuman potong tangan yang dimaksud adalah yang
berlaku bagi pencurian barang di tempat yang aman (tempat terpelihara/tidak
boleh dibuka)[6],
dan paling tidak harganya mencapai ¼ dinar. Sekiranya
kita tidak mengambil petunjuk Sunnah Nabi dan keputusan kita tetapkan
berdasarkan arti harfiah (Al-Qur’an) belaka, tentunya kita telah memotong
tangan setiap orang yang kedapatan mencuri dan mendera seratus kali setiap
orang yang melakukan zina; baik ia merdeka atau atau janda. |
Sekian,
salam takzim, anassekuduk.
Mulai
diketik Jum’at, 31-12-2021, jam +-21.00, selesai Sabtu, 01-01-2022, jam 00. 30
[1] Bahasan ini
dapat dilihat secara utuh di Bab IV, halaman 33-51 buku tersebut.
[2] Sebagai pembanding
dalam bahasa Indonesia kita mengenal majas sinekdoke: ada pembagian pars pro
toto dan totem pro parte. Silakan dibandingkan dengan kajian kita
pada bahasan kali ini (anassekuduk)
[3]
Ada dua syarat taklif (kena beban hukum syariat) yaitu sudah baligh dan dapat
mengerti taqwa. Kedua syarat itu tidak boleh terpisah satu sama lain, misalnya
seorang anak belum dewasa tapi sudah mengerti taqwa. Anak semacam ini belum
dikenai kewajiban taqwa.
[4] Hadits
shahih (HR. Abu Dawud dari Aisyah Ra dan HR. Ibnu Hanbal dari Ali Ra)
[5] Bisa dirujuk
ke Al-Muwaththa’: Imam Malik, Al-Umm: Imam Syafi’i, Musnad Ahmad, Abu Dawud.
[6] Dalil bisa
dilihat di Abu Dawud jilid iv, QS. Al-Anfal: 41