Jumat, 31 Desember 2021

A. AR-RISALAH IMAM SYAFI'I [PEMBAHASAN BAB IV TENTANG LAFAL UMUM DAN KHUSUS]

A.       A. KALAM PEMBUKA

Alhamdulillahirabbil’alamin, bersyukur kepada Allah Saw atas nikmat iman dan Islam yang dengannya kita menjalani hidup hingga saat ini. Shalawat dan salam semoga Allah Swt anugerahkan buat junjungan kita, Nabi Muhammad Saw serta ahli keluarga, kerabat dan sahabat baginda.

Pada unggahan kali ini, kami hendak menukil pembahasan tentang gaya bahasa Al-Qur’an yang ada dalam buku Ar-Risalah, Imam Syafi’i, dari penerbit Pustaka Firdaus, cetakan keempat, 1996. Tulisan kali ini titip di laman maya ini dengan alasan: rasanya materi berikut ada hubungannya dengan sub-bahasan di mata pelajaran Qur’an Hadits anak asuh di MA. M. Basiuni Imran, Sambas. Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk para pengunjung blog ini secara umumnya, buat kami pribadi khususnya jikalau nanti diperlukan untuk dirujuk pada saatnya. Kemudian, dalam teknis nukilan ini kami mungkin akan menyadur sesuai keperluan dan relevansinya buat kami pribadi, sehingga bagaimanapun kami tetap menyarankan para pengunjung untuk membaca buku ini secara langsung demi mendapatkan gambaran utuh dari bahasan yang dikutip di ruang terbatas ini.

.......................................................

B.      ISI [1]

Adalah fitrah Kitab untuk dapat mengemukakan sesuatu yang sebagian di antaranya bersifat umum dan eksplisit (zhahir ‘am) dengan maksud yang juga umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan pernyataan yang kedua, atau pernyataan yang umum dan eksplisit dengan maksud atau suatu pernyataan yang bersifat umum tapi maksudnya khusus, atau suatu pernyataan yang memiliki arti literal (zhahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya harus diberi arti yang non-literal (ghair zhahir). Pengetahuan tentang semua ini dapat dikemukakan pada bagian permulaan, tengah atau pada bagian akhir ucapan.

Orang-orang Arab kadang memulai subjek pembicaraannya dengan kata-kata dimana yang pertama memperjelas kata yang terakhir atau sebaliknya. Kadang mereka berbicara tentang suatu persoalan secara implisit tanpa menerangkannya dengan kata-kata. Bagi mereka, bentuk pengungkapan seperti ini punya nilai yang sangat tinggi dan hanya kalangan terpelajar yang dapat memahaminya. Mereka juga sering menyebut satu objek dengan nama yang banyak, dan menyebut satu nama dengan makna yang banyak.[2]

Pernyataan Umum dengan Maksud Umum

            Allah Swt berfirman: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62). Silakan juga lihat misalnya QS. Ibrahim: 32 dan Hud: 6.

Inilah contoh pernyataan umum yang tidak mengandung kekhususan.

“Tiadalah patut bagi penduduk Madinah dan orang Arab (Badui) sekitarnya, untuk menolak menyertai Rasulullah dan mengutamakan dirinya sendiri atas diri (Rasulullah).” (QS. At-Taubah: 120).

            Ayat ini di satiu pihak menunjuk kepada kaum lelaki yang mampu berjihad, di lain pihak menunjuk kepada semua pihak yang sanggup berjihad atau mereka yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi atas kepentingan Rasulnya. Jadi ayat ini mengandung konotasi (dilalah) khusus dan konotasi umum.

            Allah Swt berfirman: “Dan membela orang-orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata, “Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini, yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dari sisi-Mu. Dan berilah kami pembela dari sisi-Mu.”(QS. An-Nisa: 75)

“Sampai ketika mereka tiba pada penduduk suatu kota, mereka meminta makanan kepadanya, tapi penduduk kota itu tiada mau menjamu mereka sebagai tamu.” (QS. A-Kahfi: 77)

Di dalam ayat ini terdapat pengertian bahwa tidak semua penduduk kota dimintai makanan. Maka ayat ini pun pnya arti yang sama seperti ayat sebelumnya.

Namuan dalam ayat kedua dan pertama tentang pernyataan ‘kota yang penduduknya berbuat zalim’, terdapat suatu konotasi yang khusus, karena memang tidak semua penduduk kota berbuat zalim. Di antara mereka ada juga orang-orang muslim, cuma jumlah mereka sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak contoh sejenisnya, ini sudah cukup; juga di dalam Sunnah yang akan disebutkan pada tempatnya nanti.

Pernyataan Umum dalam Al-Qur’an yang Mengandung Maksud sebagai Pernyataan Umum dan Khusus juga Tercakup

            Di dalam Al-Qur’an kita lihat dengan cukup jelas suatu pernyataan dengan cakupan yang umum dan pernyataan lain dengan cakupan khusus.

Yang umum, misalnya terdapat dalam firman Allah:

“Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

            Artinya semua diri yang dimaksud ayat ini baik sebelum zaman Nabi maupun sesudahnya, adalah tercipta dari laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), dan semuanya masuk dalam kelompok kebangsaan tertentu.

Adapun yang khusus, dapat ditemukan pada firman-Nya:

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

            Khusus, karena taqwa hanyalah mungkin diwujudkan oleh orang yang dapat memahaminya lantaran kedewasaan pikiran yang dimilikinya. Bila manusia yang tuna pikir dan anak yang belum baligh (dewasa) meskipun sudah mulai memahami arti taqwa, tidak termasuk tuntutan ayat itu[3]. Tidak bisa digolongkan taqwa atau sebaliknya kecuali orang yang telah dapat memahami makna taqwa dan mencapai tingkat usia dewasa (baligh). Mereka yang ada dalam kondisi itu dapat kita sebut manusia taqwa jika memang berbuat taqwa, dan dapat kita sebut sebaliknya jika memang berbuat sebaliknya. Kesimpulan ini didukung banyak ayat di dalam Al-Qur’an juga Sunnah Rasul. Sebuah hadits menyatakan:

Ada tiga orang yang terbebas dari tuntutan[4]:

-orang yang tidur hingga terbangun,

-anak kecil hingga menjadi baligh,

-dan orang gila hingga waras kembali.

            Demikian pula halnya dengan perintah puasa dan shalat hanya dikenakan kepada mereka yang telah baligh dan berakal; bukan kepada orang yang belum baligh, atau sudah baligh tapi tuna pikir dan wanita yang sedang haid.

Pernyataan Umum dengan Maksud Khusus

Allah Swt berfirman

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“Mereka yang kepadanya orang berkata, “Orang telah berkumpul melawan kamu, maka takutlah kepada mereka.” Tapi mereka bertambah iman karenanya, dan mereka menjawab, “Allah cukup bagi kami, dan Dia sebaik-baik pengatur segala urusan.” (QS. Ali Imran: 173)

            Artinya, bahwa di sana ada tiga kelompok orang; pertama: yang bersama Rasul, kedua: yang hendak memusuhi kelompok pertama, dan ketiga: yang menakut-nakuti kelompok pertama perihal perlawanan dari kelompok kedua.

 

Dalam QS. At-Tahrim: 6, Allah Swt berfirman:

“Bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

Tapi di ayat lain menunjukkan bahwa hanya sebagian manusia saja, tidak semua bakal menjadi bahan bakar mereka kelak. “Sungguh orang-orang yang sebelumnya mendapat kenaikan dari Kami, mereka dijauhkan daripadanya.” (QS. Al-Anbiya: 101)

Pernyataan yang Menjelaskan Arti

Contohnya ialah firman Allah Swt:

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا أَخَرِيْنَ. فَلَمَّآ إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُوْنَ.

“Berapa banyak (penduduk) kota telah Kami binasakan karena melakukan kejahatan, dan Kami jadikan sesudah mereka kaum yang lain. Ketika mereka merasakan azab Kami, mereka melarikan diri dari (negerinya) itu.” (QS. Al-Anbiya: 11-12)

            Dalam ayat ini, Allah menyebutkan kota (قَرْيَةٍ) yang telah binasa, tapi ketika Dia menyebutkan kota itu jahat, timbullah keyakinan pendengar bahwasanya yang jahat (zhalim/ ظَالِمَةً) tiada lain adalah penduduknya. Dan dengan menyebut adanya generasi lain yang muncul setelah kehancuran kota itu dan kalimat bahwa mereka pun pada gilirannya merasakan azab yang sama, maka yang dimaksud tentulah generasi manusia, bukan hewan misalnya.

Pernyataan yang Lafaznya Menjelaskan Arti Implisitnya, bukan Arti Eksplisitnya

            Mengutip pembicaraan saudara-saudara Yusuf As kepada ayah mereka, Allah Swt berfirman:

وَمَا شَهِدْنَا بِمَا عَلِمْنَا وَمَا كُنَّا لِلْغَيْبِ حَافِظِيْنَ. وَاسْئَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا وَالْعِيْرَ الَّتِيْ أَقْبَلْنَا فِيْهَا وَإِنَّا لَصَادِقُوْنَ.

“Kami hanya memberi kesaksian atas apa yang kami ketahui, dan kami bukan orang yang tahu apa yang akan terjadi. Dan tanyakanlah kepada (penduduk) kota dimana pernah kami berada, dan kepada (orang dalam) kafilah, dengan siapa kami pulang bersama, dan (kau akan mengetahui), kami sungguh berkata benar.”  (QS. Yusuf 81-82)

            Arti dalam ayat ini seperti mana terkandung pada ayat-ayat sebelumnya, terutama bagi kalangan ahli bahasa, yaitu bahwa saudara-saudara Yusuf As berbicara pada ayah mereka perihal penduduk kota (الْقَرْيَةَ) dan orang-orang kafilah, bukan kota atau kafilahnya itu sendiri, sebab kota dan kafilah tidak dapat berkomunikasi.

Pernyataan Umum yang Secara Spesifik Ditunjukkan oleh Sunnah bahwa Maksud Khusus

Contohnya sebagai berikut:

“Adapun pencuri laki-laki atau perempuan, potonglah tangannya sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai hukuman pengajaran dari Allah.” (QS. Al-Maidah: 38)

            Sunnah Rasul menggariskan bahwa hukum potong tangan tidak berlaku dalam kasus pencurian buah-buahan atau lemak pohon kurma, dan bahwa tangan tidak dipotong kecuali bagi orang yang mencuri barang bernilai seperempat dinar atau lebih.[5]

Contoh lain misalnya:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dengan dera seratus kali.” (QS. An-Nur: 2)

Mengenai budak wanita, Allah Swt berfirman:

“Tapi bila mereka telah kawin, jika melakukan perbuatan keji, hukuman mereka separuh hukuman perempuan-perempuan yang telah kawin.” (QS. An-Nisa: 25)

            Dengan QS. An-Nisa: 25 menjadi jelas bahwa hukum dera seratus kali adalah untuk pezina merdeka, bukan yang berstatus budak. Dan dengan bukti Rasul melaksanakan hukum rajam, bukannya hukuman dera pada pezina wanita yang sudah kawin, maka menjadi jelas pula bahwa pezina merdeka yang dikenai hukuman seratus kali dera ialah mereka yang belum kawin; dan jelas pula bahwa hukuman potong tangan yang dimaksud adalah yang berlaku bagi pencurian barang di tempat yang aman (tempat terpelihara/tidak boleh dibuka)[6], dan paling tidak harganya mencapai ¼ dinar.  

Sekiranya kita tidak mengambil petunjuk Sunnah Nabi dan keputusan kita tetapkan berdasarkan arti harfiah (Al-Qur’an) belaka, tentunya kita telah memotong tangan setiap orang yang kedapatan mencuri dan mendera seratus kali setiap orang yang melakukan zina; baik ia merdeka atau atau janda.

Sekian, salam takzim, anassekuduk.

Mulai diketik Jum’at, 31-12-2021, jam +-21.00, selesai Sabtu, 01-01-2022, jam 00. 30

 

 

 



[1] Bahasan ini dapat dilihat secara utuh di Bab IV, halaman 33-51 buku tersebut.

[2] Sebagai pembanding dalam bahasa Indonesia kita mengenal majas sinekdoke: ada pembagian pars pro toto dan totem pro parte. Silakan dibandingkan dengan kajian kita pada bahasan kali ini (anassekuduk)

[3] Ada dua syarat taklif (kena beban hukum syariat) yaitu sudah baligh dan dapat mengerti taqwa. Kedua syarat itu tidak boleh terpisah satu sama lain, misalnya seorang anak belum dewasa tapi sudah mengerti taqwa. Anak semacam ini belum dikenai kewajiban taqwa.

[4] Hadits shahih (HR. Abu Dawud dari Aisyah Ra dan HR. Ibnu Hanbal dari Ali Ra)

[5] Bisa dirujuk ke Al-Muwaththa’: Imam Malik, Al-Umm: Imam Syafi’i, Musnad Ahmad, Abu Dawud.

[6] Dalil bisa dilihat di Abu Dawud jilid iv, QS. Al-Anfal: 41

Sabtu, 25 Desember 2021

RINGKASAN MATERI TAJWID 2 [Tashil, Imalah, Naql dan Isymam]

 

RINGKASAN MATERI TAJWID

Alhamdulillahirabbil’alamin, bersyukur kepada Allah Saw atas nikmat iman dan Islam yang dengannya kita menjalani hidup hingga saat ini. Shalawat dan salam semoga Allah Swt anugerahkan buat junjungan kita, Nabi Muhammad Saw serta ahli keluarga, kerabat dan sahabat baginda.

Pada unggahan kali ini, kami ingin melanjutkan materi sebelumnya yang diunggah pada hari Kamis, 23-12-2021. Adapun materi kali ini adalah tentang: Tashil, Imalah, Naql dan Isymam.

No

Nama

Definisi

Lokasi

Lafal

1

Tashil

[اَلتَّسْهِيْلُ]

Bahasa: Ringan

QS. Fushilat (As-Sajadah): 44

ءَاَعْجَمِيٌّ

Istilah: Mengeluarkan suara di antara hamzah dan alif

Cara membaca

Cara membaca lafal ءَاَعْجَمِيٌّ, hamzah (ءَ) pertama dibaca biasa sedangkan hamzah kedua (yang ditampilkan dalam huruf alif (ا) berharakat) dibaca ringan antara hamzah dan alif tanpa mad, tetapi lebih dekat kepada alif. Ust. Mas’ud Sjafi’i menganalogikan ketidakjelasan bunyi fathah tersebut seperti mengucapkan bunyi “an” pada kata “ejaan”.  Beliau menjelaskan orang Jawa dalam penyebutan “an” tersebut tidak jelas berbunyi an. Perumpamaan yang lain misalnya pada kata “bacaan”.

2

Imalah

[اَلْإِمَالَةُ]

Bahasa: Miring

QS. Hud: 41

(menurut qiraat Imam Hafsh)[1]

بِسْمِ اللهِ مَجْرِىهَا وَمُرْسَىهَا

Istilah: Menyondongkan (suara) ke arah kasrah atau (suara) alif ke ya’

Cara membaca

Membunyikan suara fathah condong ke arah kasrah sehingga keluar bunyi “e” seperti pada lafal cabe. Jadi lafal مَجْرِىهَا dibaca majreeha.

3

Naql

[اَلنَّقْلُ]

Bahasa: Memindahkan

QS. Al-Hujurat: 11

بِئْسَ الاِسْمُ

Istilah: Memindahkan harakat suaru huruf kepada huruf lainnya ketika dibaca, tetapi tidak (berubah) dalam tulisan.

Cara membaca

Harakat kasrah pada hamzah dipindah ke huruf lam pada alif lam (lam ta’rif) yang mati, sehingga huruf lam tersebut menjadi hidup dan berharakat kasrah . sementara itu huruf hamzah yang sudah tidak berharakat lagi, tidak dibaca atau ditiadakan. Jadi lafal بِئْسَ الاِسْمُ dibaca bi’sa lismu

4

Isymam

[اَلْإِشْمَامُ]

Bahasa: Moncong/monyong

QS. Yusuf: 11

لَاتَأْمَنَّا[2]

Istilah: Memonyongkan 2 bibir tanpa bersuara untuk mengiringi huruf yang bersukun, sebagai syarat dhammah.

Cara membaca

Lafal لَاتَأْمَنَّا (la ta’manna) dibaca dengan bibir maju seraya ditahan sejenak ketika mengucapkan lafal “man” sehingga seperti terdengar bunyi la ta’maunna.

Walhamdulillahirabbil’alamin.





Sekian, salam takzim, Anassekuduk.

Sabtu, 25-12-2021. Dimulai +-20.00-22.13 wib

 

 

 

 



[1] Menurut Imam Al-Kisa-i dan Imam Hamzah lafal Imalah banyak sekali dalam Al-Qur’an, meliputi setiap lafal –isim maupun fi’il- yang berakhiran alif maqshurah. Contohnya: وَالضُّحَى dibaca wadh-dhuhee, سَعَى dibaca sa’ee, فَهَدَى dibaca fahadee, اَحْوَى dibaca ahwee.

[2] Lafal di atas adalah fi’il mudhari’ yang fa’il-nya “anta”. Kalimat asalnya ialah لَاتَأْمَنُنَّا, sedang lafal “na” posisinya sebagai maf’ul. Huruf “nun” pada maf’ul tersebut diidghamkan kepada huruf nun pada lafal تَأْمَنُنَّا, sehingga terbentuklah lafal لَاتَأْمَنَّا.

Dengan Isymam, maka bunyi dhammah pada lafal لَاتَأْمَنَّا tetap diisyaratkan melalui dua bibir yang dihimpun maju seraya ditahan, sehingga tampak seperti pengucapan bunyi dhammah meski tanpa dibarengi suara yang jelas.

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...