Minggu, 09 Februari 2020

MUQADDIMAH IBNU KHALDUN (‘Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami)


MUQADDIMAH
IBNU KHALDUN (‘Abdurrahman bin Muhammad  bin Khaldun al-Hadrami)

anassekuduk
Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet.9. 852 hlm, 21 cm
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على سيّدنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى اله وصحبه اجمعين, امّابعد
a.       INTRO>>>>>>> 
Salah satu buku yang sangat ingin dimiliki. Akan tetapi sayangnya jarang sekali sempat kami baca. Alasannya sederhana, telah lama, di bangku madrasah Aliyah tepatnya, nama beliau ini kami dengar. Sependek pengetahuan dan sekelumit informasi yang kami dapat, Ibnu Khaldun ialah salah satu ilmuwan muslim masyhur yang memiliki keilmuan yang luas, multi disipliner, dan juga banyak tokoh Barat yang mengagumi dan merujuk pada karya-karya beliau. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa, seandainya nanti pulang kampung setelah menyelesaikan kuliah, sangat sulit mendapatkan buku-buku “babon” seperti ini. Akan tetapi, karena memang luasnya bahasan beliau –rekan pembaca yang punya buku ini pasti tahu maksudnya- maka, kami hanya akan menulis kutipan yang berkaitan dengan pengajaran. Point of interest ini tak lain tak bukan karena saat ini kami berstatus sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah, sehingga wejangan dari Ibnu Khaldun dalam Muaddimah ini kami rasa sangat pantas untuk dicerna dan diterapkan dengan melihat pada kesesuaian situasi dan kondisi yang dihadapi oleh pembaca.
صلى الله عليه وسلم[anassekuduk]
b.       THE CONTENT>>>>>>>>>>

H. 751
Sikap yang Benar dalam Pengajaran, Ta’lim Ilmu-ilmu Pengetahuan dan Metode Mengajarkannya
                        Ketahuilah bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanya akan efektif bila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak, dan sedikit demi sedikit. Pertama-tama, guru mengajarkan kepada muridnya problem-problem yang prinsipil mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan. Keterangan-keterangan yang diberikan haruslah bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal dan kesiapan pelajar memahami apa yang diberikan kepadanya. Bila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok telah dipahami, pelajar yang bersangkutan telah memperoleh suatu keahlian dalam cabang ilmu yang dipelajarinya.  Tetapi itu baru sebagian dari keahlian yang masih harus dilengkapi, sehingga hasil keseluruhan keahlian itu dapat menyiapkannya memahami seluruh pembahasan pokok dengan seluk-beluknya.
            Selanjutnya, menjadi kewajiban guru kembali kepada pembahasan pokok, dan mengangkat pengajaran kepada tingkat yang lebih tinggi. Kali ini guru tidak boleh puas hanya dengan cara pembahasan bersifat umum saja. Tetapi dia harus membahas segi-segi yang menjadi pertentangan dan berbagai pandangan yang berbeda, hingga pembahasan keseluruhannya sekali lagi diliput dan keahlian pelajar yang bersangkutan disempurnakan.
                        Kemudian, pada suatu kali pelajar yang sudah terlatih itu harus digiring kepada masalah pokok yang dibahas. Pada tahap ini, tidak ada masalah penting, bagaimana sulitnya atau yang menjadi pokok perbantahan, boleh ditinggalkan tak terbahas. Semua harus diterangkan kepada si murid itu, hingga memungkinkan dia mencapai keahlian yang sempurna.
                        Dari sini dapat diketahui bahwa cara latihan yang sebaik-baiknya mengandung 3 kali ulang. Dalam beberapa hal, ulangan yang berkali-kali itu dibutuhkan, tapi tergantung kepada keterampilan dan kecerdasan murid.
            Kita saksikan banyak guru generasi kita yang tidak tahu sama sekali cara mengajar. Akibatnya, misalnya, mereka sejak dari permulaan memberikan kepada muridnya masalah-masalah ilmu pengetahuan yang sukar dipelajari, dan menuntut mereka memeras otak untuk memecahkannya. Para guru itu mengira, cara yang demikian merupakan suatu latihan yang tepat, dan karenanya memaksa si murid memahami berbagai persoalan yang dijejalkan padanya. Pada permulaan para murid telah diajarkan bagian-bagian yang paling lanjut, sebelum mereka siap memahaminya. Ini dapat membingungkan mereka. Sebab kesiapan dan kesanggupan memahami suatu ilmu itu hanya dapat dikembangkan sedikit demi sedikit. Karena pada permulaan, murid biasanya belum sanggup menyerap pengertian yang sebenarnya, kecuali beberapa saja. Umumnya pengertian yang diberikan terserap secara kira-kira dan umum, yang harus dibantu dengan contoh-contoh yang mudah dipahami dan jelas. Kemudian, kesanggupannya itu akan tumbuh sedikit demi sedikit melalui kebiasaan dan pengulangan-pengulangan terhadap ilmu yang dipelajari. Hingga mereka kemudian menjadi siap dan sanggup memahami pokok-pokok persoalannya. Tetapi bila mereka masih terus dilibatkan dalam masalah-masalah yang sukar dan membingungkan selagi masih belum terlatih dan  belum sanggup memahami, niscaya otaknya akan dihinggapi kejemuan. Akibat lebih jauh, mereka akan menganggap ilmu yang dipelajari sukar, dan kemudian akan mengendurkan semangat mereka untuk memahaminya, dan lalu menjauhkan diri daripadanya. Padahal, mungkin kesukaran sebenarnya timbul dari cara mengajar yang tidak betul.
                        Adalah penting pula, tidak mencampuradukkan antara masalah yang diberikan dalam buku pelajaran dengan sejumlah masalah lain. Tindakan ini membuat pelajar menguasai betul-betul buku yang dipelajari dan memperoleh daripadanya suatu keahlian yang bisa bermanfaat untuk mendalami berbagai masalah lain. Seorang murid yang telah memperoleh keahlian dalam salah satu cabang ilmu pengetahuan memang akan lebih siap mempergunakan keahliannya itu pada cabang ilmu pengetahuan lain. Hal ini juga akan lebih banyak mengembangkan keinginan belajarnya di samping keahliannya akan meningkat lebih tinggi lagi sehingga pemahamannya akan ilmu pengetahuan secara menyeluruh akan tercapai. Tetapi bila banyak masalah sekaligus dihadapkan kepadanya, ia tidak akan sanggup memahami semuanya. Akibat lebih jauh, otaknya akan jemu dan tak sanggup bekerja, lalu putus asa, dan akhirnya akan meninggalkan ilmu yang sedang dipelajari. Dan “Allah akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Ia sukai.”
                        Penting juga diperhatikan agar jangan terlalu lama melantur pada suatu masalah dan satu buku sehingga mengganggu jadwal belajar dengan yang tidak semestinya. Ini akan memberi peluang timbulnya sifat pelupa kepada si murid, sehingga menceraiberaikan dan membuat terputus-putusnya berbagai bagian ilmu yang sedang dipelajari, yang akan lebih mempersukar lagi perolehan keahlian dalam ilmu yang bersangkutan. Sebab, apabila seluruh isi permasalahan, sejak permulaan sampai akhir, tercerap dalam pikiran dan tercamkan, maka berbagai keahlian akan lebih mudah dicapai dan lebih mantap, karena diperoleh melalui pengulangan-pengulangan tindakan dan kaji lanjutan. Karena itu, bila tindakan tersebut dilupakan maka keahlian yang dihasilkan juga akan dilupakan, dan “Allah mengajarkan kepadamu apa yang dahulunya tidak kamu ketahui.”
                        Salah satu di antara madzhab yang baik dan metode yang harus diikuti dalam pengajaran, ta’lim, adalah meniadakan cara yang dapat membingungkan si murid, misalnya dengan tidak mengajarkan dua cabang ilmu pengetahuan sekaligus. Sebab dengan cara itu ia akan sukar sekali menguasai yang mana pun dari kedua disiplin ilmu tersebut, karena perhatiannya akan terbagi dan terganggu oleh satu dari yang lainnya. Bila pikiran benar-benar kosong untuk menerima sesuatu ilmu, ia dapat membatasi diri sepenuhnya padanya, cara yang lebih sesuai untuk menyerap ilmu yang diinginkan. Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi, memberi taufiq bagi yang benar.

            Engkau, o pelajar, ketahuilah saya di sini akan memberi beberapa petunjuk yang bermanfaat bagi studimu. Apabila kamu menerimanya dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan suatu manfaat yang besar dan mulia. Sebagai pendahuluan yang akan membantumu memahaminya, saya dapat katakan kepadamu bahwa:
                        Kemampuan manusia adalah anugerah khusus yang alami ciptaan Allah, sama seperti Dia menciptakan setiap makhlukNya. Kemampuan merupakan aksi dan gerak dalam jiwa manusia, mempergunakan suatu kekuatan pada rongga tengah daripada otak. Kadang-kadang pemikiran berarti permulaan tindakan manusia yang teratur dan tertib. Pada saat lain, ia awal mula pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Kemampuan berpikir diperhubungkan kepada sasaran yang kedua ujungnya dilihat, dan kini hendak ditegaskan atau ditolak. Dalam waktu yang lebih cepat dari kerdipan mata, ia mengenal garis penengah yang mempersatukan kedua ujung tersebut, apabila sasaran itu seragam. Atau, ia terus mencapai garis penengah yang lain, apabila sasarannya berjenis-jenis. Dia pun lalu menemukan sasarannya. Demikianlah cara kerja kemampuan berpikir, yang memperbedakan manusia dari semua jenis hewan.
                        Kemudian, kemampuan logika merupakan pengetahuan cara  keterampilan alam-berpikir dan mengira-ngirakan cara bertindak. Logika mendeskripsikannya, untuk mengetahui perbedaan antara pelaksanaan yang benar dan salah. Untuk menjadi benar, pikiran, berada di dalam esensi kemampuan untuk berpikir. Namun, ia dipengaruhi oleh kesalahan, walaupun itu jarang. Hal ini, hal ini timbul dari penglihatan/pemikiran terhadap dua ujung itu tadi dalam bentuk menyimpang dari yang sebenarnya, sebagai akibat adanya kekacauan pada tatanan tertib proporsi-proporsi dari mana konklusi dilihat. Logika membantu membuang kesalahan-kesalahan tersebut. Maka logika adalah barang bikinan yang disesuaikan dengan sifat proses pemikiran dan disejalankan dengan bentuk kerja akal. Dan karena sifatnya sebagai barang bikinan, pada umumnya logika tidak terpakai. Itulah sebabnya, kita menyaksikan banyak penyelidik besar tentang alam yang tanpa bantuan logika dapat mencapai tujuan penyelidikan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hal ini dapat benar-benar terjadi bila tujuan mereka yang esensial ialah mendapatkan kebenaran, dan apabila mereka bergantung kepada rahmat Allah, yang merupakan sebesar-besarnya bantuan yang mungkin diperoleh. Mereka membiarkan pikirannya mengikuti jalan yang diberikan oleh kodratnya sendiri, dan ini tentu saja membawa kepada kebenaran dan ilmu yang dicari, karena adanya naluri yang ditanamkan Allah di dalam akal.
                        Di samping barang bikinan tadi, yaitu logika, terdapat unsur awal lainyya daripada studi. Yakni pengetahuan tentang kata-kata dan cara kata-kata mengindikasikan ide-ide yang terdapat di dalam pikiran dengan menariknya dari bentuk-bentuk tulisan yang diucapkan, dalam hubungannya dengan tulis-menulis, dan dari apa saja yang diucapkan oleh lidah, atau pembicaraan, dalam hubungannya dengan ucapan-ucapan yang diungkapkan. Kamu, wahai pelajar, harus melampaui semua tabir penghalang itu, supaya sampai kepada keadaan yang memungkinkan kamu dapat berpikir tentang apa saja yang menjadi sasaranmu.
                        Pertama-tama, ada cara di mana tulisan menunjukkan kata-kata yang diucapkan. Inilah bagian yang paling mudah. Lalu ada cara lain ketika kata-kata yang diucapkan menunjukkan ide-ide yang dicari seseorang. Kemudian, ada pula kaidah-kaidah untuk merangkai ide-ide dalam susunan-susunan yang tepat. Ini dikenali dalam keahlian logika, dengan tujuan membuat deduksi. Itulah ide-ide abstrak yang terdapat di dalam pikiran –jaring-jaring yang dipergunakan seseorang untuk memburu sasaran dengan menggunakan kemampuan pikir alami seseorang dan meleburkan dirinya kepada rahmat dan anugerah Allah.
                        Tidaklah setiap orang bisa mencapai tingkatan-tingkatan ini dengan tepat, atau dengan mudah menembus tirai-tirai yang menutupi pengetahuan. Sebab, seringkali akal berhenti di muka tirai perkataan yang dipergunakan dalam pertukaran pikiran. Atau tergelincir ketika berupaya mendapatkan hubungan alasan-alasan yang timbul dalam berbagai perdebatan yang panas dan saat menghadapi ketegangan-ketegangan. Hal-hal ini membelokkan seseorang dari pencapaian pengetahuan yang dikehendaki. Dan memang, hanya sedikit saja yang beroleh petunjuk Allah yang dapat mengatasi berbagai rintangan seperti itu.
                        Kemudian, o pelajar, apabila pikiranmu penuh kesukaran dan dalam kebingungan, hingga kamu mulai bimbang sampaikah atau tidak kepada kebenaran, maka buanglah jauh-jauh soal-soal bikinan itu. Enyahkanlah tirai kata-kata dan kebimbangan. Lepaskanlah pikiranmu bergerak ke ruang pemikiran yang kosong dan murni ciptaan Allah, sambil membiarkannya menjelajah mencari sasarannya, dan mengikuti jejak langkah nenek moyangmu  yang besar. Apabila kamu menjalankan ini semua, maka cahaya pengetahuan akan menyinarimu. Kemudian, kamu boleh kembali kepada bentuk-bentuk nyata, lalu tuangkanlah ke dalamnya apa-apa yang telah kamu peroleh, dan dengan hati-hati mengikuti hukum-hukum logika bikinan. Berikutnya, tuangkanlah pakaian kebenaran yang telah kamu peroleh itu ke dalam perkataan, dan sajikanlah kepada dunia ucapan dan gambaran dalam susunan yang rapi dan kokoh.
                        Tetapi, wahai pelajar, bila kamu berhenti pada tingkatan bertukar pikiran dan kemudian bimbang, dan ragu-ragu dalam usahamu membedakan yang benar dan yang palsu, maka kamu tidak akan pernah sampai tujuan yang kamu kehendaki. Keadaan ini sama halnya dengan sebagaian besar ahli pikir zaman sekarang, apalagi yang tadinya berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab, yang merupakan rintangan mental, atau orang yang terpikat pada logika. Mereka yakin bahwa logika merupakan cara yang alami untuk menetapkan persepsi kebenaran, sehingga jatuh ke dalam kebimbangan dalil-dalil, dan sama sekali tidak dapat membebaskan diri dari rintangan-rintangan yang timbul karenanya.
Sebagai suatu fakta, cara alami untuk menentukan persepsi kebenaran adalah, seperti
Telah kami kemukakan, kemampuan alami manusia untuk berpikir, bila itu dilakukannya secara bebas dari semua khayalan, dan apabila si pemikir meleburkan dirinya kepada rahmat Allah ta’ala. Adapun logika hanya sekadar mendeskripsikan proses pemikiran, dan amat sering berhasil meluruskannya. Maka ambillah pelajarna daripadanya dan mohonlah rahmat Allah bila kamu mendapatkan kesukaran di dalam memahami persoalan-persoalan! Sehingga cahaya Tuhan akan bersinar kepadamu dan memberi kamu inspirasi yang benar. Dan memberi petunjuk ke arah rahmatNya. “Dan tidak ada ilmu kecuali dari sisi Allah.” (QS. 67: 26)


H. 763
41. Kekerasan terhadap Pelajar Membahayakan Mereka
                        Sebabnya adalah karena sebagai berikut. Hukum yang keras di dalam pengajaran, ta’lim, berbahaya pada si murid, khususnya bagi anak-anak kecil. Karena itu termasuk tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran, baik terhadap pelajar maupun hamba sahaya atau pelayan, dapat mengakibatkan bahwa kekerasan itu sendiri akan menguasai jiwa dan mencegah perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Kekerasan membuka jalan ke arah kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan. Berupa, misalnya, tindak tanduk dan ucapannya berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran, karena takut mendapatkan perlakuan tirani bila mereka mengucapkan yang sebenarnya. Maka, dengan cara itu mereka diajari licik dan menipu. Kecenderungan-kecenderungan ini kemudian menjadi kebiasaan dan watak yang berurat-berakar di dalam jiwa. Ini pada gilirannya merusak sifat kemanusiaan yang seyogyanya dipupuk melalui hubungan sosial dalam pergaulan dan juga merusak sikap perwira, seperti sikap mempertahankan diri dan rumah tangga. Orang-orang yang semacam itu akan menjadi beban orang lain sebagai tempat berlindung. Jiwanya menjadi malas, dan enggan memupuk sifat keutamaan dan keluhuran moral. Mereka merasa dirinya kecil, dan tidak mau berusaha menjadi manusia yang sempurna, lalu jatuh ke dalam “golongan yang paling rendah.”
                        Inilah yang dialami hampir setiap bangsa yang pernah dijajah bangsa lain. Atau mendapat perlakuan kasar. Pengaruh buruk seperti ini jelas-jelas terlihat pada orang-orang yang tunduk pada kemauan orang lain, dan tidak berkuasa penuh atas dirinya sendiri. Ingatlah, umpamanya, bangsa Yahudi dengan akhlak buruk yang mereka miliki, hingga di tiap tempat dan masa diberi julukan terjenal khurj, yang artinya, ‘serong dan licik.’
                        Maka menjadi keharusan guru-guru hendaknya, agar tidak memperlakukan muridnya secara kasar atau dengan paksaan. Demikian pula hendaknya sikap para bapak terhadap anak-anaknya. Buku hukum yang dutulis Muhammad bin Abi Sayd, berkenaan hubungan guru-guru dan murid, mengatakan: “Apabila anak-anak terpaksa dipukul, guru hendaknya tidak boleh memukul mereka lebih dari 3 kali.” Umar mengatakan, “Barang siapa tidak terdidik dan terdisiplinkan oleh syari’at, tidak ‘kan terdidik oleh Tuhan.” Dengan kata-kata itu Umar bermaksud menjaga jiwa  dan kehinaan tindakan, dan berdasarkan keyakinan bahwa tindakan mendidik yang telah ditentukan syari’at lebih kuasa membuat seseorang terkendali, karena syari’at lebih mengetahui apa yang baik.
                        Salah satu di antara metode pendidikan terbaik telah dikemukan Ar-Rasyid kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya Muhammad al-Amin, yang berkata, “O Ahmar, Amirul Mu’minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mu’minin berikan kepada Anda. Ajari dia membaca Al-Qur’an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan dengan baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar dia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah lembu, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih sayang dan lemah lembut. Jika dia tidak mau dengan cara itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran.”
Sekian, untuk lebih lanjut silakan rekan merujuk ke buku ini. Recomended. Moga tulisan kali ini bermanfaat. 
Salam takzim, anassekuduk
            Selesai, Sekuduk: Ahad, 9-2-2020_20. 36




Jumat, 07 Februari 2020

KHUTBAH JUM'AT (KONSEP): GAYA HIDUP MUKMIN, GAYA HIDUP BAHAGIA...(untuk disampaikan 7-2-2020



اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَالَّرَّسُوْلِ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. 

Alhamdulillahirabbil’alamin, marilah kita bersyukur kepada Allah Swt karena dengan kehendakNya jualah, kita bisa berkumpul dalam majelis Jumat yang berbahagia ini. Shalawat dan salam moga selalu tercurah kepada baginda Nabi kita, Muhammad Saw, ahli keluarga dan para sahabat beliau. Mengawali khutbah ini, tak lupa khatib berpesan, marilah kita selalu menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt.
Pada hari Jumat yang mulia ini, khatib akan menyampaikan khutbah yang kami kutip dan sarikan dari sebuah buku karya Doktor Aidh Al—Qarni yang versi Indonesianya berjudul:” Hidup yang Menakjubkan”. Khutbah hari ini berjudul
GAYA HIDUP MUKMIN, GAYA HIDUP BAHAGIA....
Kaum muslimin, jamaah jumat rahimakumullah.....
Allah Swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً  وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia beriman, maka sungguh Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
            Siapapun yang menginginkan kehidupan yang baik, harus beriman kepada Allah Swt dan beramal shalih, berbuat baik dengan ikhlas, lillahi ta’ala. Sementara orang kafir yang tidak  beriman kepadaNya, sekali-kali tidak akan menemukan kehidupan yang baik, meskipun secara lahir dan tampaknya ia kelihatan bersuka-cita, bersenang-senang, bernikmat-nikmat dalam hidupnya. Akan tetapi, di balik itu, ia tidak menemukan kehidupan yang nyaman dan tenteram. Kehidupan semacam ini, hakikatnya adalah kehidupan yang hampa dan sia-sia. Tak ada kenyamanan, kepuasan, kedamaian, ataupun ketenangan di dalamnya.
Allah Swt berfirman:
وَ مَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka baginya kehidupan yang sempit.” (Thaha: 124)
Kaum muslimin, rahimakumullah.....
Adapun kehidupan seorang muslim, seorang mukmin, dan itulah status kita saat ini, pada hakikatnya adalah hidup yang sebenar-benarnya bahagia, dan beruntung, bagaimanapun keadaannya.
Jika Allah mentakdirkan seorang mukmin menjadi seorang yang kaya, ia menjadi orang yang bahagia karena hartanya dinafkahkan untuk mencari keridhaan Tuhannya dan untuk beribadah kepadaNya. Dengan harta itu, dia memenuhi apa yang menjadi hak-haknya dan mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya. Dia termasuk Ahli Dutsur (yaitu orang-orang yang berlimpah harta) yang kembali pulang ke haribaan Rabbnya dengan membawa pahala.
Jika dia miskin, kemiskinannya itu tak mencegahnya untuk tetap beribadah kepada Allah. Ia memuji Allah atas harta yang dihindarikan darinya. Sebab, harta itu bisa jadi fitnah baginya. Lalu dia bersabar, merasa cukup, dan ridha dengan bagian yang sedikit.
Jika badannya sehat dan tubuhnya kuat, dia jadikan kesehatan dan kekuatannya itu untuk berkhidmat kepada Rabbnya dan beribadah kepadaNya. Dia menjalankan ketaatan dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal ibadahnya serta mengumpulkan kebaikan. Seolah-olah dia memiliki dunia dan seluruh isinya. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ   مُعَافًا فِيْ جَسَدِهِ  عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ  فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا
“Siapa yang pada pagi harinya dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat wal afiat badannya, mempunyai makanan untuk  sehari itu, maka seolah-olah dunia dan seisinya telah terkumpul baginya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jika dia sakit, dia bersabar dan mengharapkan balasan kepada Allah. Sakitnya menjadi penghapus kesalahan, pencuci dosa, dan pembersih keburukan-keburukannya. Bahkan bagi setiap muslim, setiap mukmin, setiap dari kita yang menjadi hamba Allah, segala bentuk kesusahan, kesulitan, kegundahan, kerisauan dan musibah serta bencana, bisa mendatangkan pahala yang tak terkira ataupun penghapus dari dosa-dosa.
 Rasulullah Saw bersabda:
مَايُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَاوَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا اَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا اِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Setiap kesusahan, duka cita, bala’ ataupun sakit yang menimpa seorang mukmin, bahkan duri yang menusuknya, Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan si mukmin tadi, dengannya” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Demikianlah, drama kehidupan ini. Kadang kita saksikan orang kaya yang tergeletak tak berdaya di atas kasur empuk di bilik rumah sakit, sementara ada yang hidup sederhana akan tetapi bebas bergerak kemana saja dan bisa berkumpul bersama ahli keluarganya. Di sisi lain, kadang kita juga kagum dengan orang kaya yang banyak membantu orang lain lewat kelebihan harta yang dimiliki, sedangkan kita untuk sementara berjuang mengerahkan segenap raga demi memenuhi keperluan sehari-hari dan beramal dengan kemampuan tenaga yang ada.
Jika fasilitas duniawi dianugerahkan kepada seorang mukmin, dia jadikan itu untuk menjaga dan mengabdi kepada agamanya. Jika fasilitas itu hilang, ia justru memuji Allah karena merasa telah diselamatkan dari fitnah, ujian, sehingga menjadi orang yang senang dan bahagia.
Jika diberi jabatan, maka dia jadikan jabatannya sebagai jalan untuk meraih surga, melakukan perbaikan, dan memberi manfaat kepada hamba-hamba Allah Swt lainnya. Dia tahu bahwa jabatan adalah ujian dari Allah untuk mengetahui apakah pemiliknya bersyukur atas karunia tersebut atau justru mengingkarinya.
Kaum muslimin, rahimakumullah......
Niat seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan. Bangun dan tidurnya, makan dan minumnya, selalu diniatkan untuk menghadap pahala dari Allah, sehingga seluruh aktivitasnya menjelma menjadi ibadah. Seluruh kegiatan dan amal ibadahnya ialah lillah (untuk Allah), billah (dengan inayah/pertolongan Allah), ‘alallah (disandarkan kepada Allah), ilallah (ditujukan kepada Allah) dan fillah (karena Allah). Demikianlah yang kita baca dan ikrarkan dalam doa ifititah, dalam shalat yang membuka dan menutup hari kita ”inna shalati, wanusuki, wa mahyaaya, wa mamaatii, lillahi rabbil ‘alamiin (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam)   
Dengan penjelasan tersebut, maka sangat beralasan jika Rasulullah Saw sampai mengungkapkan kekaguman baginda pada keistimewaan umatnya yang beriman. Beliau bersabda:
عَجَبًا لِاَمْرِ الْمُؤْمِنِ اِنَّ اَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٍ, اِنْ اَصَابَتْهُ سَرَّاءُ فَشَكَرَ  كَانَ خَيْرً لَهُ, وَاِنْ اَصَابَتْهُ فَصَبَرَ  كَانَ خَيْرً لَهُ, وَلَيْسَ ذَالِكَ لِاَحَدٍ غَيْرِ الْمُؤْمِنِ
“Sungguh menakjubkan perilaku orang mukmin. Semua keadaan adalah baik baginya. Jika memperoleh kesenangan dia beryukur, yang demikian itu adalah baik baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, dan yang demikian itu adalah baik pula baginya. Perilaku yang seperti itu hanya ada pada diri seorang mukmin.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Demikian khutbah jumat yang dapat khatib sampaikan, moga bermanfaat bagi kita sekalian.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ...

Khutbah kedua....
اَلْحَمْدُللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدِ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَر. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ مَصَابِيْحَ الْغُرَر. فَيَااَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ تَعَلَى: اِنَّا اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ  يَااَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَالرَّسُوْلِ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ, وَالْمُسْلِمِيْنِ وَالْمُسْلِمَات, اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَات, اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَات. رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّاب. رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. فَيَا عِبَادَ اللهَ, اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَان وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّروْنَ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

Senin, 03 Februari 2020

SYAMAIL MUHAMMADIYAH: IMAM AT-TIRMIDZI






1.         Hadits 2
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ البَصَرِيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ, عَنْ حُمَيْدٍ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً: لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ وَلَا بِالْقَصِيْرِ, حَسَنَ الْجِسْمِ. وَ كَانَ شَعْرَهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ, وَلَا سَبْطٍ, أَسْمَرَ اللَّوْنِ, إِذَا مَشَى يَتَكَفَّاُ.
Artinya:
Humaid bin Mas’adah Al-Bashri menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi meriwayatkan dari Humaid, dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah Saw memiliki postur sedang: tidak tinggi dan tidak pendek, dan fisiknya bagus. Rambut beliau tidak keriting juga tidak lurus. Warna (kulitnya) coklat. Jika berjalan, beliau berjalan dengan tegak.”
Muttafaq ‘alaih, HR. Bukhari (3547), HR. Muslim (96, 2338, 2347) dengan lafal yang sama.

2.       Hadits 10
حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السِّرِيِّ, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْثَارُ بْنُ الْقَاسِمِ, عَنْ أَشْعَثَ يَعْنِيْ ابْنِ سَوَّارٍ, عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ, عَنْ جَابِرِ ابْنِ سَمُّوْرَةَ, قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فِيْ لَيْلَةٍ إِضْحِيَانٍ, وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ, فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِ وَإِلَى الْقَمَرِ, فَلَهُوَ عِنْدِيْ أَحْسَنُ مِنَ الْقَمَرِ.  
Artinya:
Hannad bin As-Sarri menceritakan kepada kami, Abtsar bin Al-Qasim menceritakan kepada kami, dari Asy-Asy’ats, yakni Ibnu Siwar, dari Abu Ishaq, dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw pada malam yang penuh sinar rembulan. Beliau mengenakan pakaian berwarna merah. Lalu aku melihat beliau dan rembulan tersebut, maka menurutku beliau lebih indah daripada rembulan.
Dha’if. HR. At-Tirmidzi di dalam Sunannya (2811), Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (7383), Abu Ya’la di dalam Musnadnya (7477), Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (1842), dan Ad-Darimi (57). Didhaifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi. Di dalam Mukhtashar Asy-Syamail tertulis ‘Shahih’ dan itu adalah keliru. Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini hasan gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Al-Asy’ats. Syu’bah dan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Al-Bara’ bin Azib, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw mengenakan pakaian berwarna merah.” Dengan lafal itu Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami,  Sufyan menceritakan kepada kami dari Abu Ishaq. Demikian pula Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Syu’bah bin Abi Ishaq menceritakan kepada kami. Di dalam hadits tersebut terdapat pembicaraan yang lebih banyak dari ini. “Abu Isa berkata, “Aku pernah bertanya kepada Muhammad, ‘Hadits Abu Ishaq dari Al-Bara’ atau hadits Jabir bin Samurah yang lebih shahih?’ Ia berpandangan bahwa kedua hadits itu sama-sama shahih.” Dalam pembahasan ini ada juga hadits yang diriwayatkan dari Al-Bara’ dan Abu Jifah.

3.       Hadits 16
حَدَّثَنَا أَبُوْ رَجَاءٍ قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا حَاتِمُ ابْنُ إِسْمَعِيْلَ, عَنِ الْجَعْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ, قَالَ: سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيْدَ, يَقُوْلُ: ذَهَبَتْ بِيْ خَالَتِيْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ ابْنَ أُخْتِيْ وَجِعٌ فَمَسَحَ رَأْسِى وَدَعَا لِيْ بِالْبَرَكَةِ, وَتَوَضَّأَ, فَشَرِبْتُ مِنْ وُضُوْئِهِ, وَقُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ, فَنَظَرْتُ إِلَى الْخَاتَمِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ, فَإِذَا هُوَ مِثْلُ زِرِّ الْحَجَلَةِ.   
Artinya:
Abu Raja’ bin Sa’id menceritakan kepada kami, ia berkata, Hatim bin Ismail menceritakan kepada kami, dari Al-Ja’du bin Abdurrahman, ia berkata, aku mendengar As-Saib bin Yazid berkata, “Bibiku pernah menghadap kepada Rasulullah Saw bersamaku. Bibiku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya keponakanku ini sedang sakit’. Lalu aku melihat beliau mengusap kepalaku dan mendoakanku semoga mendapat berkah. Setelah itu beliau berwudhu. Lalu aku meminum dari sisa air wudhu beliau. Kemudian aku berdiri di belakang beliau, maka aku melihat ada sebuah khatam (tanda kenabian) di antara kedua pundak beliau, bentuknya seperti telur burung hajalah/merpati.
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (6352) dan Muslim (2345). Masing-masing meriwayatkannya dari Qutaibah. Diriwayatkan pula oleh Bukhari (190) dari Abdurrahman bin Yunus, dari Hatim bin Ismail.

4.        Hadits 21 
Abu Ammar Al-Husain bin Harits Al-Khuza’i menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, Abdullah bin Buraidah menceritakan kepadaku, ia berkata, aku mendengar Abu Buraidah berkata, “Ketika Rasulullah Saw baru tiba di Madinah, Salman Al-Farisi mendatangi beliau dengan membawa baki berisi kurma lalu meletakkannya di hadapan beliau. Rasulullah Saw bertanya, ‘Wahai Salman, apa ini?’  Salman menjawab, ‘Ini adalah sedekah untuk engkau dan sahabat-sahabat Anda’. Maka beliau menjawab, ‘Bawalah kurmamu ini. sungguh kami tidak (boleh) memakan sedekah’. Salman pun membawanya. Keesokan harinya, ia kembali datang dengan membawa kurma yang sama seraya meletakkannya di hadapan beliau. Beliau pun kembali bertanya, ‘Wahai Salman, apa ini?’ Salman menjawab, ‘Ini adalah hadiah untuk Anda’. Maka beliau berkata kepada para sahabat beliau, ‘Hidangkanlah (untuk dimakan)!’ Kemudian Salman melihat tanda kenabian di punggung Rasulullah Saw lalu beriman kepada beliau.
Ia (Salman adalah budak) milik orang Yahudi, lalu Rasulullah Saw membelinya dengan harga sekian dirham, dengan menanam pohon kurma untuk mereka. Salman bekerja di situ hingga pohon-pohon kurma itu berbuah. Lalu Rasulullah Saw menanam sendiri pohon kurma itu kecuali satu batang pohon yang ditanam oleh Umar. Maka pohon-pohon kurma itu berbuah pada tahun itu juga, kecuali satu pohon yang ditanam oleh Umar. Rasulullah Saw bertanya, ‘Ada apa dengan sebatang pohon ini?’ Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sayalah yang menanamnya’. Seketika itu juga beliau mencabut pohon itu lalu menanamnya kembali, dan pohon itu pun berbuah pada tahun itu juga.
Hasan.

5.       Hadits 38
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُوْرٍ, وَيَحْيَى بْنُ مُوْسَى, قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّقِ, عَنْ مَعْمَرٍ, عَنِ ثَابِتٍ, عَنْ أَنَسٍ, قَالَ: مَا عَدَدْتُ فِيْ رَأْسِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِحْيَتِهِ, إِلَّا أَرْبَعَ عَشْرَةَ شَعْرَةً بَيْضَاءَ.   
Artinya:
Ishaq bin Manshur dan Yahya bin Musa menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, dari Ma’mar, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata, “Aku pernah menghitung rambut kepala Rasulullah dan jenggotnya, dan hanya ada 14 helai rambutnya yang berwarna putih.
Shahih. HR. Ahmad dalam Musnadnya (12713) dan Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya (1243). Masing-masing meriwayatkannya dari Abdurrazzaq. Dishahihkan oleh Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail.

6.       Hadits 92
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ أَبُوْ عَمْرٍو, قَالَ: حَدَّثَنَا نُوْحُ بْنُ قَيْسٍ, عَنْ خَالِدِ بْنِ قَيْسٍ, عَنْ قَاتَدَةَ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَقَيْصَرَ وَالنَّجَاشِيِّ, فَقِيْلَ لَهُ: إِنَّهُمْ لَايَقْبَلُوْنَ كِتَابًا, إِلَّا بِخَاتَمٍ, فَصَاغَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, خَاتَمًا حَلْقَتُهُ فِضَّةٌ, وَنُقِشَ فِيْهِ: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ .    
Artinya:
Nashr bin Ali Al-Jahdhami Abu Amru menceritakan kepada kami, ia berkata, Nuh bin Qais menceritakan kepada kami, dari Khalid bin Qais, dari Qatadah, dari Anas bin Malik, bahwa Nabi hendak menulis surat kepada Kisra (Raja Persia), Kaisar (Raja Romawi) dan Najasyi (Raja Ethiopia). Lalu ada (sahabat) yang mengatakan kepada beliau, ‘Mereka tidak mau menerima surat, kecuali jika ada stempelnya’. Lalu Rasulullah Saw membuat cincin dari perak, dan diukir tulisan ‘Muhammad Rasulullah’.
HR. Muslim (58/2092) dari Nashr bin Ali Al-Jauhdhami. Diriwayatkan pula oleh Bukhari (5872) yang semisal itu dari jalur Qatadah.

7.        Hadits 143
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى, وَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ, قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ, عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ, قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ, يُحَدِّثُ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيْدَ,عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا قَالَتْ: مَاشَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيْرِ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ حَتَّى قُبِضَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. 
Artinya:
Muhammad bin Al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, ia berkata, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Abu Ishaq, ia berkata, aku mendengar Abdurrahman bin Yazid menceritakan dari Al-Aswad bin Yazid, dari Aisyah ra, ia berkata, ‘Keluarga Nabi Saw tidak pernah kenyang makan roti dan sya’ir (jelas gandum) sampai kenyang 2 hari berturut-turut hingga Rasulullah Saw wafat.’
HR Muslim (22/2970) dari Muhammad bin AL-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar. Lihat apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5416)

8.       Hadits 157
حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بْنُ غَيْلَانَ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ, وَ أَبُوْ نُعَيْمٍ, قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ, عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عِيْسَى, عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ, يُقَالُ: لَهُ عَطَاءٌ,عَنْ أَبِيْ أَسِيْدٍ, قَالَ:  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوْاالزَّيْتَ, وَادَّهِنُوْا بِهِ, فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ.  
Artinya:
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Ahmad Az-Zubairi dan Abu Nu’aim menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Isa, dari seorang penduduk Syam yang bernama Atha’, dari Abu Usaid, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, ‘Makanlah minyak zaitun, dan gunakanlah ia sebagai minyak rambut. Karena minyak itu berasal dari pohon yang diberkati’.
     Shahih. HR At-Tirmidzi di dalam Sunannya (1852) dengan sanad-sanadnya, Ad-Darimi di dalam Sunannya (2052), Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (3504) dari jalur Ahmad bin Mihran. Keduanya _Ad-Darimi dan Ahmad bin Mihran_ meriwayatkan dari Abu Nu’aim. Diriwayatkan pula oleh Ahmad di dalam Musnadnya (16097, 16098) dna An-Nasa’i di dalam Al-Kubra (6702). Kedua-duanya meriwayatkan dari jalur Sufyan. Dishahihkan oleh Albani di dalam Shahih Al-Jami’ (4498) dan Mukhtashar Asy-Syamail, dan ia hasankan di dalam Shahih Al-Jami’ (18). Asy-Syeikh Al-Albani berkata di dalam Al-Misykah (2126), “Hasan lighairihi”. Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini gharib dari jalur ini. Kami hanya mengetahuinya dari hadits Sufyan Ats-Tsauri dari Abdullah bin Isa.” Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini sanad-sanadnya shahih, namun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi mengatakan shahih.

9.       Hadits 158
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوْسَى, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ, قَالَ: حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ, عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ, قَالَ:  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوْاالزَّيْتَ, وَادَّهِنُوْا بِهِ, فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ.
قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: وَكَانَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ يَضْطَرِبُ فِيْ هَذَاالْحَدِيْثِ, فَرُبَمَا أَسْنَدَهُ, وَرُبَمَا أَرْسَلَهُ.   
Artinya:
Yahya bin Musa menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, ia berkata, Ma’mar menceritakan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Umar bin Khatthab, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Makanlah minyak zaitun, dan gunakan ia sebagai minyak rambut. Karena minyak itu berasal dari pohon yang diberkahi.”
Abu Isa berkata, “Abdurrazzaq idhthirab (tidak konsisten) dalam meriwayatkan hadits ini. bisa jadi ia meng-isnad-kannya dan bisa jadi ia me-mursal-kannya.”
Shahih. HR At-Tirmidzi dalam Sunannya (1851) dengan sanad-sanadnya, Abdu bin Humaid dalam Musnadnya (13), Ibnu Majah (3319), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7142), ketiganya meriwayatkan dari jalur Abdurrazzaq. Dishahihkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami (4498) dan Mukhatashar Asy-Syamail, dan ia hasankan di dalam Shahih Al-Jami’ (18). Asy-Syeikh Al-Albani berkata di dalam Al-Misykah (2126), “Hasan lighairihi.” Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Abdurrazzaq dari Ma’mar. Abdurrazzaq mengalami idhthirab dalam meriwayatkan hadits ini, terkadang ia menyebutkan dari Umar dari Nabi Saw dan terkadang meriwayatkannya dengan ragu-ragu dan mengatakan, ‘Perkiraan saya, diriwayatkan dari Umar, dari Nabi Saw.’ Atau ia mengatakan ‘Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Nabi Saw secara mursal. Abu Dawud Sulaiman bin Ma’bad menceritakan kepada kami, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, dari Ma’mar, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari Nabi Saw yang semisal itu. Namun di dalam sanadnya ia tidak menyebutkan: dari Umar’.”
Asy-Syeikh Al-Albani berkomentar mengenai 2 hadits tersebut -157 dan 158-, “Secara global, hadits dengan terhimpunnya 2 jalur: jalur Umar dan jalur Abu Sa’id minimal kondisinya naik ke derajat hasan lighairihi, wallahu a’lam. Dan cukuplah keutamaan minyak zaitun firman Allah Swt dalam QS. An-Nur: 35. Minyak zaitun memiliki manfaat-manfaat penting yang sebagiannya telah disebutkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad. (atau buku Thibbun Nabawi yang juga karya Ibnul Qayyim, anassekuduk)

10.      Hadits 161
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ, عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنُ أَبِيْ خَالِدٍ, عَنْ حَكِيْمِ بْنِ جَابِرٍ, عَنْ أَبِيْهِ, قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَرَأَيْتُ عِنْدَهُ دُبَّاءً يُقَطَّعُ, فَقُلْتُ: مَاهَذَا؟ قَالَ: نُكَثِّرُ طَعَامَنَا.
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, ia berkata: Hafsh bin Ghiyats menceritakan kepada kami, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Hakim bin Jabir, dari ayahnya, ia berkata: “Aku pernah menemui Nabi Saw dan kulihat di sisi beliau ada labu yang sudah dipotong-potong. Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Beliau menjawab: ‘Ini untuk memperbanyak makanan kami’.
Abu Isa berkata: “”Jabir ini adalah Jabir bin Thariq, yang dipanggil dengan Ibnu Abi Thariq. Dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Dan kami tidak mengetahui hadits yang dimilikinya selain satu hadits ini. sedangkan Abu Khalid, nama aslinya adalah Sa’ad.”
Shahih. Ahmad dalam Musnadnya (19123, 19124), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (6665), Ibnu Majah (3304), dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (2080). Kempatnya meriwayatkan dari jalur Ismail bin Abi Khalid. Di shahihkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ (6986) dan As-Silsilah Ash-Shahihah (2400). Al-Bushairi berkata dalam Az-Zawaid, “Sanad-sanad hadits ini shahih dan rijalnya tsiqah”

11.        Hadits 178
Al-Husain bin Muhammad AL-Bashri menceritakan kepada kami, ia berkata Al-Fudhail bin Sulaiman menceritakan kepada kami, ia berkata, Faid, maula Ubaidullah bin Ali bin Abi Rafi’, maula Rasulullah Saw menceritakan kepada kami, ia berkata, Ubaidullah bin Ali menceritakan kepadaku, dari neneknya, Salma, bahwasanya Hasan bin Ali, Ibnu Abbas dan Ibnu Ja’far pernah menemuinya seraya berkata, ‘Buatkanlah kami makanan yang disukai Rasulullah Saw dan beliau menikmati ketika memakannya’. Salma berkata, ‘Wahai anak-anakku, sekarang kalian tidak akan menyukainya’. Mereka berkata, ‘Benar, tapi buatkan kami makanan itu’. Kemudian Salma berdiri dan mengambil gandum, lalu dimasak dan diolah dalam periuk, lalu dituangkan sedikit minyak, dan beliau menumbuk lada dan ketumbar lalu menyuguhkannya kepada mereka sembari berkata, ‘Inilah di antara makanan yang disukai Rasulullah Saw dan beliau menikmati memakannya’.
Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan rijalnya rijal shahih selain Fayid, maula Ibnu Rafi, maka ia tsiqah.”

12.      Hadits 182
حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بْنُ غَيْلَانَ, قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ  بْنُ السِّرِيِّ, عَنْ سُفْيَانَ, عَنْ طَلْهَةَ بْنِ يَحْيَى, عَنْ عَائِشَةَ بْنِ طَلْهَةَ, عَنْ عَائِشَةَ, أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ, قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْنِيْ فَيَقُوْلُ: أَعِنْدَكِ غَدَاءٌ؟ فَأَقُوْلُ: لَا. قَالَتْ:  فَيَقُوْلُ: إِنِّي صَائِمٌ. قَالَتْ: فَأَتَانِي يَوْمًا, فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ,  أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ, قَالَ: وَمَا هِيَ؟ قُلْتُ: حَيْسٌ, قَالَ: أَمَا إِنِّيْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا, قَالَتْ: ثُمَّ أَكَلَ.  
Artinya:
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, ia berkata, Bisyr bin As-Sari menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Thalhah bin Yahya, dari Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi Saw pernah datang ke rumahku sembari bertanya, ‘Apakah kamu menyimpan makanan?’ Aku menjawab, “Tidak”. Lalu beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa saja’. Pada suatu hari beliau datang kepadaku dan aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, kita diberi hadiah’. Beliau bertanya, ‘Apa itu?’ Aku menjawab, ‘Makanan yang terbuat dari mentega, kurma, dan tepung’. Beliau berkata, Aku tadi berpuasa’. Aisyah berkata, ‘Kemudian beliau makan’.
Shahih. Tirmidzi dalam Sunannya (734) dan Muslim (1154) dari jalur Thalhah bin Yahya.

13.      Hadits 190
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الصَّبَاحِ الْهَاشِمِيُّ الْبَصْرِيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى, عَنْ مَعْمَرٍ, عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ عُمَرَ بْنِ  أَبِيْ سَلْمَةَ, أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَ عِنْدَهُ طَعَامٌ, فَقَالَ: اُدْنُ يَا بُنَيَّ, فَسَمِّ اللهُ تَعَالَى, وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ, وَكُلْ مَمَّا يَلِيْكَ.
Artinya:
Abdullah bin Ash-Shabah Al-Hasyimi Al-Bashri menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdul A’la menceritakan kepada kami, dari Ma’mar, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya ia pernah menemui Rasulullah Saw dan di sisi beliau ada makanan, maka beliau bersabda, ‘Mendekatlah, nak! Sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu’.
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (5376) dan Muslim (2022)

14.      Hadits 204
حَدَّثَنَا بْنُ أَبِيْ عُمَرَ, قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ, عَنْ مَعْمَرٍ, عَنِ الزُهْرِيِّ, عَنْ عُرْوَةَ, عَنْ عَائِشَةَ, قَالَتْ: كَانَ أَحَبَّ الشَرَابِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, الْحُلْوُ الْبَرِدُ.  
Artinya:
Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata, “Minuman yang paling disukai Rasulullah Saw adalah minuman yang manis dan dingin.
Shahih. Tirmidzi dalam Sunannya (1895) dengan sanad-sanadnya, Ahmad dalam Musnadnya (24146), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (6844), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7200) dari jalur Sufyan. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (4627). Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shahih menurut syarat Asy-Syaikhaini meski keduanya tidak meriwayatkannya. Akan tetapi menurut orang-orang Yaman bukan dari Ma’mar. Penguatnya adalah hadits dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya.” Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Demikianlah yang diriwayatkan oleh lebih dari satu rawi dari Ibnu Uyyainah dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Dan yang shahih adalah apa yang diriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Nabi Saw secara mursal.”

15.      Hadits 210
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ, وَيُوْسُفُ بْنُ حَمَّادٍ, قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ سَعِيْدٍ, عَنْ أَبِيْ عِصَامَ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  كَانَ يَتَنَفَّسُ فِى الإِنَاءِ ثَلَاثًا إِذَا شَرِبَ, وَيَقُوْلُ: هُوَ أَمْرَأُ, وَأَرْوَى.
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id dan Yusuf bin Sa’ad menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Abdul Warits bin Sa’id menceritakan keoada kami, dari Abu Isham, dari Anas bin Malik bahwa Nabi Saw apabila minum dari bejana, maka beliau mengambil nafas 3 kali, dan beliau bersabda, ‘Hal itu lebih melegakan dan lebih mengenyangkan’.
Muslim (2028/123) dari jalur Abdul Warits bin Sa’id. Lihat apa yang diriwayatkan Al-Bukhari (5631)

16.      Hadits 211
حَدَّثَنَاعَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ, قَالَ: حَدَّثَنَاعِيْسَى بْنُ وَيُوْنُسَ,عَنْ رَشِيْدِ بْنِ كُرَيْبٍ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  كَانَ إِذَا شَرِبَ, تَنَفَّسَ مَرَّتَيْنِ.   
Artinya:
Ali bin Khasyram menceritakan kepada kami, Isa bin Yunus memberitakan kepada kami, dari Risydin bin Kuraib, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw apabila minum, maka beliau mengambil nafas 2 kali.
Dha’if. Tirmidzi dalam Sunannya (1886) dengan sanad-sanadnya dan Ibnu Majah (3417) dari jalur Risydin bin Kuraib. Didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ (4424) dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah (4204). Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Risydin bin Kuraib. Aku pernah bertanya kepada Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman, ‘Apakah hadits dari Risydin bin Kuraib yang lebih kuat ataukah dari Muhammad bin Kuraib?’ Ia menjawab, “Keduanya saling berdekatan dan Risydin bin Kuraib jauh lebih rajih (kuat) menurutku. Dan aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail tentang ini, ia menjawab, ‘Muhammad bin Kuraib lebih rajih (kuat) dari Risydin bin Kuraib.’ Perkataan yang lebih kuat menurutku adalah apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman bahwa Risydin bin Kuraib lebih rajih (kuat) dan lebih tua, dia juga telah bertemu dengan Ibnu Abbas dan melihatnya. Keduanya adalah saudara dan sama-sama memiliki hadits-hadits mungkar.”

17.      Hadits 221
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلِيْفَةَ, وَعَمْرُو بْنُ عَلِيَّ, قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ زُرَيْعٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ الصَّوَّافُ, عَنْ حَنَانٍ, عَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ, قَالَ:  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيَ أَحَدَكُمُ الرَّيْحَانَ فَلَا يَرُدُّهُ, فَإِنَّهُ خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ.
قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: لَا نَعْرِفُ لِحَنَانٍ غَيْرَ هَذَاالْحَدِيْثِ. 
Artinya
Muhammad bin Khalifah dan Amru bin Ali menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Yazid bin Zurai’ menceritakan kepada kami, ia berkata, Hajjaj Ash-Shawaf menceritakan kepada kami, dari Hanan, dari Abu Utsman An-Nahdi, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seorang dari kalian diberi raihan (tumbuhan yang beraroma wangi), maka janganlah ia menolaknya, karena ia berasal dari surga.”
Dha’if. At-Tirmidzi dalam Sunannya (2791) dengan sanad-sanadnya. Didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (764) dan Dha’if Al-Jami’ (385). Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini. Sedangkan Abu Utsman An-Nahdi namanya adalah Abdurrahman bin Mul. Ia menjumpai zaman Nabi Saw, namun tidak pernah melihat beliau dan mendengar dari beliau.”

18.      Hadits 232
Hannad bin As-Sariy menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Abidah As-Salmaniy, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh aku benar-benar mengetahui penduduk neraka yang paling akhir masuk surga, yaitu seorang laki-laki yang keluar dari neraka dengan merangkak. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Berjalanlah dan masuklah ke surga’. Rasulullah melanjutkan, ‘Ia pun berjalan untuk memasuki surga, tapi menjumpai manusia telah menempati tempatnya masing-masing. Ia pun kembali dan berkata,’ Wahai Rabbku, manusia (penduduk surga) telah menempati tempatnya masing-masing’. Maka ia ditanya, ‘Apakah kamu ingat waktu kamu hidup di dunia?’ Ia menjawab, ‘Ya’. Rasulullah melanjutkan, ‘Lalu dikatakan kepadanya, Beranganlah-anganlah.’ Ia pun berangan-angan. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sungguh kamu mendapatkan apa yang kamu angan-angankan, bahkan 10 kali lipat dari apa yang ada di dunia’. Ia berkata, ‘Engkau mengejekku, padahal Engkaulah Sang Maharaja’. Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sungguh aku melihat Rasulullah Saw tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.”
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (6571), (7511) dan Muslim (186). Masing-masing meriwayatkannya dari jalur Ibrahim. Hadits-hadits dengan sanad-sanadnya itu disebutkan dalam Sunan At-Tirmidzi (2595).

19.      Hadits 238
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ, عَنْ حُمَيْدٍ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, أَنَّ رَجُلًا اسْتَحْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ, فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, مَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلِ إِلَّاالنُّوْقُ؟
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, ia berkata, Khalid bin Abdullah menceritakan kepada kami dari Humaid, dari Anas bin Malik, bahwa seorang laki-laki yang meminta Rasulullah Saw seekor binatang pengangkut. Maka beliau berkata, ‘Aku berikan kepadamu anak unta.’ Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah ibil (anak unta) dilahirkan oleh unta betina?’
*di sini Rasulullah mengatakan akan memberikan anak unta. Dalam pikiran lelaki ini, Rasulullah Saw akan memberikan unta yang masih kecil untuk dikendarai sehingga ia mengatakan bisa apa anak unta (unta yang masih kecil) jika akan dimanfaatkan untuk mengangkut barang? Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa hakikatnya unta, baik yang kecil maupun yang besar adalah sama-sama anak unta, yaitu dilahirkan oleh unta betina- ansskd*
Shahih. At-Tirmidzi dalam Sunannya (1991) dengan sanad-sanadnya. Ahmaddalam Musnadnya (13844), Abu Daud (4988), dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (920957), ketiganya meriwayatkan dari jalur Khalid bin Abdullah. Dishahihkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Al-Misyakah (4886) dan Mukhtashar Asy-Syamail. Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini hasan shahih gharib”.

20.    Hadits 239
Ishaq bin Manshur menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, ia berkata, Ma’mar menceritakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas bin Malik bahwa ada seorang arab badui (pedalaman) namanya Zahir, ia sering memberi hadiah kepada Nabi Saw yang ia bawa dari pedalaman. Nabi pun selalu menyiapkan (sesuatu) untuknya jika akan kembali pulang. Beliau Saw bersabda, “Zahir adalah orang pedalaman dan kita adalah orang kota*.” Rasulullah Saw mencintainya. Ia (Zahir) adalah seorang lelaki yang tidak tampan. Suatu hari Rasulullah Saw mendatanginya ketika ia sedang menjual dagangannya (di pasar Madinah). Rasulullah Saw tiba-tiba mendekapnya dari belakang. Ia pun bertanya, “Siapa ini? Lepaskan aku!” Kemudian ia menoleh ke belakang dan ia bari tahu (jika yang mendekapnya adalah) Rasulullah Saw. Mengetahui hal itu, ia pun tidak melepaskan punggungnya yang menempel pada dada Rasulullah Saw.
يَقُوْلُ: مَنْ يَشْتَرِيْ هَذَا الْعَبْدَ؟ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِذًا وَ اللهِ تَجِدُنِيْ كَاسِدًا, فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَكِنْ عِنْدَ اللهِ لَسْتَ بِكَاسِدٍ أَوْ قَالَ: أَنْتَ عِنْدَ اللهِ غَالٍ
 Lalu Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang mau membeli budak ini?” Ia menyahut, “Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau akan mendapatiku tidak laku.” Nabi pun bersabda, “Namun engkau di sisi Allah, engkau bukan tidak laku.” Atau beliau Saw bersabda, “Tapi engkau mahal di sisi Allah.”
Shahih. Ahmad dalam Musnadnya (12669), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5790), Abu Ya’la dalam Musnadnya (3456), dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (17724), (20961), ketiganya meriwayatkan dari jalur Abdurrazzaq. Dishahihkan Syeikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail.     
  
21.      Hadits 240
Abdullah bin Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata, Mush’ab bin Al-Miqdam menceritakan kepada kami, ia berkata, Al-Mubarak bin Fadhalah menceritakan kepada kami, dari Al-Hasan, ia berkata, “Ada seorang nenek yang datang kepada Nabi Saw,

فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, ادْعُ اللهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ, فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلَانٍ, إِنَّ الْجَنَّةَ لَا تَدْخُلَهَا عَجُوْزٌ, قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِيْ, فَقَالَ: أَخْبِرُوْهَا  أَنَّهَا لَا تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوْزٌ. إِنَّ اللهَ تَعَالَى, يَقُوْلُ: إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً, فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا, عُرُبًا أَتْرَابًا.   
lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke surga!’ Beliau menjawab, ‘Wahai Ummu Fulan, surga itu tidak akan dimasuki oleh orang-orang tua renta’. Al-Hasan melanjutkan, ‘(Mendengar jawaban itu) maka si nenek langsung berpaling dan menangis. Lalu beliau Saw bersabda (kepada para sahabatnya), ‘Beritahukan kepadanya bahwa ia tidak akan memasuki surga sementara ia tua renta, karena Allah berfirman, ‘Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta dan sebaya umurnya’. (Al-Waqi’ah: 35-37)
Hasan. Dihasankan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail.

22.    Hadits 243
Dari Jundub bin Sufyan Al-Bajali, ia berkata, “Sebuah batu mengenai jari-jemari Rasulullah Saw hingga mengucurkan darah. Maka beliau bersyair,
هَلْ أَنْتِ إِلَّا أُصْبُعٌ دَمِيْتِ, وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا لَقِيْتِ.  
‘Engkau hanyalah jari-jemari yang berdarahh, dan di jalan Allah-lah apa yang engkau alami (terluka)’.
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (6147) dan Muslim (2256)

23.    Hadits 245
...suatu ketika dalam perang Hunain, Rasulullah Saw pernah bersyair
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ, أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ.
‘Aku adalah seorang nabi yang tidak berdusta, dan aku adalah anak dari Abdul Muthalib.’
Bukhari (4315-4317) dan Muslim (1776)

24.    Hadits 261
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ, وَبِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ, قَالَا: حَدَّثَنَا اَبُوْ عَوَانَةَ, عَنْ زِيَادِ بْنِ عَلَاقَةَ, عَنِ الْمُغِيْرَةِ  بْنِ شُعْبَةَ,  قَالَ  صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى انْتَفَخَتْ قَدَمَاهُ, فَقِيْلَ لَهُ: أَتَكَلَّفُ هَذَا, وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَاتَقَدَّمَ  مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا.  
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id dan Bisyr bin Mu’adz menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Awwanah menceritakan kepada kami, dari Ziyad bin Ilaqah, dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah Saw shalat malam hingga kedua kakinya bengkak. Maka ditanyakan kepada beliau, ‘Mengapa Anda terlalu memaksakan diri seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lampau dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidak patutkah aku menjadi hamba yang bersyukur?’”
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (1130), (4836) dan Muslim (2819)

25.    Hadits 271
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُوْسَى, قَالَ: حَدَّثَنَا مَعْنٌ, قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكٌ, عَنِ ابْنِ شِهَابٍ, عَنْ عُرْوَةَ, عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً, يُوْتِرُ بِوَحِدَةٍ, فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا, اضْطَجَعَ عَلَى شِقَّهِ الْأَيْمَنِ.
Artinya:
Ishaq bin Musa menceritakan kepada kami, ia berkata, Ma’an menceritakan kepada kami, ia berkata, Malik menceritakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah Saw biasa shalat malam 11 rakaat, satu rakaatnya adalah shalat witir. Apabila selesai shalat, beliau berbaring (miring) di atas sisi tubuh bagian kanan.
Shahih. At-Tirmidzi dalam Sunannya (440) dengan sanad-sanadnya dan Muslim (736) dari jalur Malik.

26.    Hadits 326
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ, قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ, عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ, عَنِ الْقَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ,عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ عُثْمَانَ بْنَ مَعْظُوْنٍ وَهُوَ مَيِّتٌ وَهُوَ يَبْكِي أَوْ قَالَ: عَيْنَاهُ تَهْرَاقَانِ.
Artinya:
Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Ashim bin Ubaidillah, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah Saw mencium Utsman bin Mazh’un yang meninggal dunia, dan beliau menangis. Atau ia juga mengatakan, “Kedua mata beliau berlinangan air mata.”
Dha’if. At-Tirmidzi dalam Sunannya (989) dengan sanad-sanadnya, Ahmad dalam Musnadnya (25753), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1334), keduanya meriwayatkan dari Muhammad bin Mahd, Abu Daud (3163), Ibnu Majah (1456), keduanya meriwayatkan dari jalur Sufyan. Didha’ifkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ (693) dan Al-Misykah (1623). Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits Aisyah hadits hasan shahih”. Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini telah populer di kalangan para Imam Hadits. Hanya saja Asy-Syaikhani tidak berhujjah dengan haditsnya Ashim bin Ubaidullah. Penguatnya adalah hadits shahih yang telah dikenal, yaitu hadits Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Aisyah, bahwasanya Abu Bakar Ash-Shiddiq mencium Nabi Saw tatkala beliau telah meninggal.”

27.    Hadits 371
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِيْ زِيَادٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا سَيَّارٌ, قَالَ: حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ أَسْلَمَ, عَنْ يَزِيْدِ بْنِ أَبِيْ مَنْصُوْرٍ, عَنْ أَنَسٍ, عَنْ أَبِيْ طَلْهَةَ, قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, الْجُوْعَ وَرَفَعْنَا عَنْ بُطُوْنِنَا, عَنْ حَجَرٍ, فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بُطْنِهِ عَنْ حَجَرَيْنِ.
قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: هَذَا حَدِيْثٌ غَرِيْبٌ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ طَلْهَةَ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ, وَمَعْنَى قَوْلِهِ: وَرَفَعْنَا عَنْ بُطُوْنِنَا عَنْ حَجَرٍ حَجَرٍ, كَانَ أَحَدُهُمْ يَشُدُّ فِيْ بَطْنِهِ الْحَجَرَ مِنَ الْجُهْدِ وَالضَّعْفِ الَّذِي بِهِ مِنَ الْجُوْعِ.  
Artinya:
Abdullah bin Abi Ziyad menceritakan kepada kami, ia berkata, Sayyar menceritakan kepada kami, ia berkata, Sahl bin Aslam menceritakan kepada kami, dari Yazid bin Abi Manshur, dari Anas, dari Abu Thalhah, ia berkata, “Kami para sahabat pernah mengadukan rasa lapar kepada Rasulullah Saw, dan kami mengganjal perut kami dengan satu batu-satu batu. Namun Rasulullah Saw mengganjal perut beliau dengan dua batu.”
Abu Isa berkata, “Ini  adalah hadits gharib dari hadits Abu Thalhah. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Maksud dari perkataanya, ‘Dan kami mengganjal perut kami dengan satu batu-satu batu’, yakni salah seorang dari mereka mengikatkan sebuah batu pada perutnya karena kepayahan dan kelemahan karena lapar.
Dha’if. At-Tirmidzi dalam Sunannya (2371) dengan sanad-sanadnya. Didhaifkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Mukhtashar Asy-Syamail. Abu Isa (At-Tirmidzi) mengatakan, “Hadits ini gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.”
     
28.    Hadits 378
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ, قَالَ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ, حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِيْنَارٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: مَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً يُوْحَى إِلَيْهِ, وَبِالْمَدِيْنَةِ عَشْرًا, وَهُوَ تُوُفِّيَ وَهُوَ ابْنُ ثَلَاثَ سِنِيْنَ.
Artinya:
Ahmad bin Mani’ menceritakan kepada kami, ia berkata, Rauh bin Ubadah menceritakan kepada kami, ia berkata, Zakaria bin Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata, Amru bin Dinar menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah Saw tinggal di Mekah setelah diberi wahyu (menjadi nabi) selama 13 tahun, sedangkan di Madinah selama 10 tahun dan beliau wafat pada usia 63 tahun.”
Muttafaq ‘alaih. Bukhari (3851) dan Muslim (2351)

29.    Hadits 382
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ, وَ مُحَمَّدُ بْنُ أَبَانَ, قَالاَ: حَدَّثَنَا مُعَاذُ هِشَامٍ, قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ, عَنْ قَتَدَةَ, عَنِ الْحَسَنِ, عَنْ دَغْفَلِ بْنِ حَنْظَلَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبِضَ وَهُوَ ابْنُ خَمْسٍ وَسِتِّيْنَ.
 قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: وَ دَغْفَلِ, لَا نَعْرِفُ لَهُ سَمَاعًا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَكَانَ فِيْ زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.  
Artinya:
Muhammad bin Basysyar dan Muhammad bin Abban menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Mu’adz bin Hisyam menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku menceritakan kepadaku, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Daghfal bin Hanzhalah bahwasanya Nabi Saw meninggal pada usia 65 tahun.
Abu Isa berkata, “Daghfal tidak kami ketahui mendengar dari Nabi Saw, dan di masa Nabi Saw adalah seorang laki-laki biasa.”
Dha’if. Didha’ifkan oleh Asy-Syeikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail. Lafalnya syadz karena menyelisihi riwayat 6 tahun yang telah disepakati berdasarkan pendapat jumhur ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.

30.    Hadits 394
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أبِيْ عُمَرَ, قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ, عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ, عَنْ أَبِيْهِ, قَالَ: قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ فَمَكَثَ ذَالِكَ الْيَوْمَ وَلَيْلَةَ الثُّلَاثَاءِ, وَدُفِنَ مِنَ اللَّيْلِ, وَ قَالَ سُفْيَانُ:  وَ قَالَ غَيْرُهُ: يُسْمَعُ صَوْتُ الْمَسَاحِيْ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ.
Artinya:
Muhammad bin Abi Umar menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata. “Rasulullah Saw wafat pada Senin. Jasad beliau masih disemayamkan pada hari Senin dan malam Selasa. Beliau dikebumikan pada Selasa malam, dan dimakamkan pada malam hari.” Sufyan dan yang lainnya berkata, “Suara cangkul (penggali kubur) masih terdengar pada akhir malam.”
Shahih. Sanad-sanadnya mursal. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra (2/73) dari hadits Ali bin Abi Thalib. Dishahihkan oleh asy-Syeikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail.  



KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...