Judul Asli: كيف تزكو نفس الطفل
Penulis: Muhammad Husain’
Penerbit Asal: Dar Ad-Da’wah,
Mesir
Edisi Bahasa Indonesia: Agar
Jiwa Anak Tetap Bersih: Peran Ayah sangat Menentukan
Penerbit: Irsyad Baitussalam
A. KALAM
PEMBUKA
Alhamdulillahirabbil’alamin,
bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat iman dan Islam yang
dengannya kita menjalani hidup hingga saat ini. Shalawat dan salam semoga Allah
Swt anugerahkan buat junjungan kita, Nabi Muhammad Saw serta ahli keluarga,
kerabat dan sahabat baginda.
Pada unggahan
kali ini, kami hendak menukil beberapa hadits dan atsar yang menggambarkan sisi
lemah lembutnya Rasulullah Saw dalam mendidik dan mengajarkannya kepada para
sahabat beliau. Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk para pengunjung blog
ini secara umum, khususnya buat kami pribadi jikalau diperlukan maka materi ini
dapatlah kami rujuk kembali pada saatnya. Kemudian, dalam teknis nukilan ini
kami mungkin akan menyadur sesuai keperluan dan relevansinya buat kami pribadi,
sehingga bagaimanapun kami tetap menyarankan para pengunjung untuk merujuk buku
ini secara langsung demi mendapatkan gambaran utuh dari bahasan yang dikutip di
ruang yang terbatas ini.
·
Hendaknya Anda memiliki
ambisi (keinginan) agar anak Anda memperoleh kesuksesan di dunia dan kemenangan
di akhirat kelak. Artinya, dia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat, bermanfaat bagi dirinya sendiri, memiliki fisik yang kuat dan pemahaman
agama yang baik, mencintai kebaikan dan menyerukan orang lain kepada kebaikan
tersebut, dan dapat hidup dengan orang lain dengan kasih sayang dan saling
memberikan pertolongan.[1]
Dalam
beberapa riwayat disebutkan bahwa ibu-ibu di kalangan sahabat sangat ingin
menciptakan generasi-generasi yang tangguh. Berikut adalah contoh kekhawatiran
seorang sahabat perihal anaknya yang tidak mau bangun malam dan memilih untuk
terus tidur.
Imam
Ahmad dalam Musnad-nya mengisahkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
Saw dengan membawa putranya. Ia berkata,
إِنَّ ابْنِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِالنَّهَارِ وَيَبِيْتُ بِالَّيْلِ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَنْقِمُ أَنَّ ابْنَكَ
يُصْبِحُ ذَاكِرًا وَيَبِيْتُ سَالِمًا
“Wahai Rasulullah, anakku
membaca Al-Qur’an di siang hari, (tetapi) di malam hari dia hanya tidur.”
Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu menjadi tidak suka kepadanya hanya
karena anakmu berdzikir di pagi hari, sedangkan di malam hari dia tidur
semalaman (tanpa berqiyamullail).”
· Hendaklah berinteraksi dengan anak kecil dengan penuh kasih sayang, bila kondisi menuntut orang tua bertindak tegas, tetaplah bersikap kasih sayang dan diiringi rasa cinta.
Diriwayatkan dari Aisyah ra,
dia berkata:
أَعْطَانِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةٌ سَوْدَاءَ
كَأَنَّهَا فَحْمَةٌ ضَعِيْفَةٌ لَمْ تُخطَمْ فَمَسَحَهَا ثُمَّ دَعَا لِى عَلَيْهَا
بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ أَدِّبِى وَارْفُقِى
“Rasulullah Saw pernah
memberikan seekor unta hitam kepadaku. Unta itu kelihatan seperti arang dan
kondisinya sangat lemah seolah tidak perlu dipasangi tali kekang. Rasulullah
Saw lalu mengusap unta itu dan mendoakan kepadaku agar mendapatkan keberkahan
dari unta itu. Rasulullah Saw bersabda: ‘Wahai Aisyah, latihlah dia dan
bersikap lembutlah terhadapnya.’” (HR. Al-Bazzar)[2]
Jika
terhadap hewan saja Rasulullah Saw bersikap seperti itu, maka bagaimanakah
kewajiban kita dalam memperlakukan seorang anak manusia yang masih kecil?
·
Anak kecil memiliki energi
(energi power) yang kuat. Energinya harus disalurkan. Karena itu, kita harus
berusaha agar energinya tidak dihabiskan untuk sesuatu yang tidak membantu
perkembangan keterampilan, perilaku, kemampuan, dan menambah sifat energik yang
dimilikinya. Sikap keterlaluan dalam menjaga, memelihara, dan mengekang anak,
lebih menimbulkan mudharat bagi anak daripada manfaat yang akan diterimanya.
Sikap selalu melarang, menolak, kasar, keras, dengan maksud agar anak dapat
mengemban tanggung jawab –meski di luar kemampuannya-, selalu membatasi ruang
gerak setiap perbuatan anak seperti ketika makan, tidur, dan berpakaian; itu
semua merupakan sikap yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak yang selalu
menginginkan kebebasan untuk bergerak dan beraktivitas, sehingga kemampuan dan
keterampilannya dapat tumbuh dalam lingkungan yang benar.
Yang
hendaknya dilakukan oleh orang tua ialah memberi sedikit kebebasan kepada anak
dalam beraktivitas, mencari pengalaman, dan bersosialisasi, namun tetap
memberikan dorongan dan penghargaan kepadanya, sehingga anak memiliki
kebebasan, namum tetap mendapatkan arahan dan pengawasan. Selain itu, orang tua
juga membantunya dalam mengemban tanggung jawab, meski hanya dengan sedikit
bantuan, agar anak memiliki rasa percaya diri. Bentuk bantuan itu dapat berupa
pemberian sesuatu kepadanya tanpa memanjakannya, agar sang anak terbiasa
bersikap tegar dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Tindakan seperti itu
merupakan hukuman simbolik (nonfisik) dalam rangka mendidik anak, dengan tetap
menunjukkan perasaan cinta, kasih sayang dan kelembutan kepadanya.
·
Sayyidah Fathimah bin
Rasulullah Saw meriwayatkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهَا يَوْمًا
فَقَالَ أَيْنَ أَبْنَائِي يَعْنِي حَسَنًا وَحُسَيْنًا قَالَتْ أَصْبَحْنَا وَلَيْسَ
فِي بَيْتِنَا شَيْءٌ يَذُوْقُهُ ذَائِقٌ فَقَالَ عَلِيُّ أَذْهَبُ بِهِمَا فَإِنِّي
أَتَخَوَّفُ أَنْ يَبْكِيَا عَلَيْكِ وَلَيْسَ عِنْدَكِ شَيْءٌ فَذَهَبَ إِلَى فُلَانٌ
الْيَهُوْدِيِّ فَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَوَجَدَهُمَا يَلْعَبَانِ فِي سَرِيَّةٍ بَيْنَ أَيْدَيهِمَا فَضْلٌ مِنْ تَمْرٍ
فَقَالَ يَا عَلِيُّ أَلَا تَقْلَبُ ابْنَيَّ قَبْلَ أَنْ يَشْتَدَّ الْحَرُّ
قَالَ عَلِيُّ أَصْبَحْنَا وَلَيْسَ فِي بَيْتِنَا شَيْءٌ فَلَوْ جَلَسْتَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ حَتَّى أَجْمَعَ لِفَاطِمَةَ تَمَرَاتٍ فَجَلَسَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى اجْتَمَعَ لِفَاطِمَةَ شَيْءٌ مِنْ تَمْرٍ فَجَعَلَهُ
فِي صُرَّتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ فَحَمَلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَحَدُهُمَا وَعَلِيُّ الْآخَرَ حَتَّى أَقْلَبَهُمَا
“Bahwasanya suatu hari
Rasulullah Saw mendatanginya, beliau bertanya: “Mana anak-anakku?” Maksudnya
adalah Hasan dan Husain. Fathimah menjawab: “Pagi ini di rumah kami tidak ada
makanan yang dapat dimakan, sehingga Ali berkata, ‘Aku akan pergi membawa mereka
(Hasan dan Husain), aku khawatir keduanya akan menangis, sedangkan kamu tidak
memiliki makanan apa pun.’ Ali pun lalu pergi ke rumah si Fulan, seorang
Yahudi.”[3]
Nabi Saw pun lalu menyusul ke tempat itu. Di sana beliau mendapatkan Hasan dan
Husain sedang bermain di dekat aliran air. Pada tangan keduanya terlihat ada
sisa kurma. Rasulullah Saw berkata: “Wahai Ali, tidakkah kamu membawa pulang
anakku ini sebelum hari semakin panas?” Ali menjawab: “Kami tidak memiliki
makanan apa pun di rumah. Alangkah baiknya jika engkau berkenan duduk sebentar
(menemani Hasan dan Husain), wahai Rasulullah, sampai aku selesai mengumpulkan
kurma-kurma ini untuk Fathimah.” Rasulullah Saw pun duduk sampai Ali selesai
mengumpulkan kurma-kurma untuk diberikan kepada Fathimah, lalu dia (Ali)
meletakkan kurma-kurma itu ke dalam kantong miliknya. Setelah itu dia pun
pulang. Rasulullah membawa salah seorang anak itu, sedangkan Ali membawa yang
satunya lagi hingga keduanya pun dapat pulang bersama.”(HR.
Thabrani dengan sanad hasan)
Diriwayatkan dari Sa’ad bin
Abi Waqqash ra. dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ يَلْعَبَانِ عَلَى بَطْنِهِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَتُحِبُّهُمَا فَقَالَ وَمَا لَا أُحِبُّهُمُا وَهُمَا رَيْحَانَتَيَ
“Aku pernah masuk menemui Rasulullah Saw. Saat itu Hasan dan Husain sedang bermain di atas perut beliau. Aku berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mencintai mereka?’ Beliau menjawab: ’Bagaimana aku tidak mencintai mereka, wong mereka itu dua buah hatiku.’”(HR. Al-Bazzar, para perawinya ialah perawi hadits-hadits shahih)
Diriwayatkan dari Umar bin
Khattab ra, dia berkata:
رَأَيْتُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَى عَاتِقَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ نِعْمَ الَفَرَسِ تَحْتَكُمَا فَقَالَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ نِعْمَ الَفَارِسَانِ
“Aku pernah melihat Hasan dan Husain berada di dua pundak Rasulullah Saw. Aku berkata: ‘Sebaik-baik tunggangan adalah yang sedang kalian tunggangi.’ Rasulullah Saw pun bersabda” ‘Dan sebaik-baik penunggang adalah keduanya.’” (HR. Abu Ya’la dan Al-Bazzar, para perawi dari Abu Ya’la ialah perawi hadits-hadits shahih)
Hanzhalah berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَّرَ
النَّارَ ثُمَّ جِئْتُ إِلَى الْبَيْتِ فَضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَلَاعَبْتُ الْمَرْأَةَ
فَخَرَجْتُ فَلَقِيْتُ أَبَا بَكْرٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ وَأَنَا قَدْ
فَعَلْتُ مِثْلَ مَا تَذْكُرُ
“Suatu hari kami berada di majelis Rasulullah Saw. Beliau memperingatkan kami tentang neraka, kemudian aku pulang ke rumah dan mencandai anak-anak dan istri hingga kami tertawa bersama. Setelah itu aku pergi, aku bertemu dengan Abu Bakar, lantas aku menceritakan kepada Abu Bakar mengenai sikapku itu. Abu Bakar berkata: “Aku pun melakukan seperti yang kamu ceritakan.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)[4]
Jadi
rumah itu hendaknya dipenuhi dengan canda tawa dan gurauan bersama istri dan
anak-anak. Dimikianlah rumah orang beriman. Lihatlah rumah Rasulullah Saw,
rumah Abu Bakar, rumah Hanzhalah. Di sana Anda akan dapat mendengar tangisan
karena kekhusyu’an mereka ketika melaksanakan shalat. Akan tetapi, Anda juga
akan mendengar canda tawa yang menunjukkan kebahagiaan hidup rumah tangga
mereka. Tiadalah pada rumah seperti itu melainkan di dalamnya terdapat
kebaikan, dan sebaliknya keburukan akan menjauh darinya.
·
Rasulullah Saw melarang
mendekati hal-hal yang dapat menimbulkan keburukan di dalam rumah.
شَرُّالنَّاسِ الضَّيِّقُ عَلَى أَهْلِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ
وَكَيْفَ يَكُوْنُ ضَيِّقًا عَلَى أَهْلِهِ قَالَ الرَّجُلُ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ
خَشَعَتْ امْرَأَتُهُ وَهَرَبَ وَلَدُهُ وَفَرَّ فَإِذَا خَرَجَ ضَحِكَتْ
امْرَأَتُهُ وَاسْتَأْنَسَ أَهْلُ بَيْتِهِ
“Manusia yang paling
buruk adalah yang membuat keluarganya merasa terhimpit (tidak nyaman).” Para
sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana orang itu membuat keluarganya
merasa tidak nyaman?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang jika masuk ke dalam
rumahnya, maka istrinya merasa takut dan anaknya lari menjauh darinya. Jika die
pergi keluar rumah, maka istrinya justru bisa tertawa dan anggota keluarganya
dapat merasa nyaman.”(HR. Thabrani)
· Kehadiran seorang ayah kiranya penting di saat anak sakit. Karena biasanya ibu akan merasa galau dan terlalu khawatir. Keberadaan ayah dan kasih sayangnya dapat membantu kondisi kesehatan anak menjadi lebih stabil, membantunya tegar melalui sakit, menambah semangat untuk sembuh dan membuat anak merasa tenang.
Diriwayatkan dari Bara’ bin
‘Azib ra. dia berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ
مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا الْحُمَّى فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا
وَيَقُوْلُ كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ
“Aku pernah bersama Abu
Bakar masuk menemui keluarganya. Putrinya, Aisyah, sedang terbaring karena
demam yang dideritanya. Aku melihat ayahnya (Abu Bakar) mencium pipi putrinya itu dan berkata:
‘Bagaimana keadaanmu, wahai Putriku?’” (Muttafaq ‘alaih)
Di antara
sikap baik yang diperlihatkan oleh seorang ayah adalah mengajaknya mengunjungi
kerabat dan famili. Hal itu dimaksudkan agar anak terbiasa menyambung ikatan
tali silaturahim, sehingga dapat mengenal keluarga dan kerabatnya. Rasulullah
Saw bersabda:
تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ
صِلَةِ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ لِلْاَهْلِ مَثْرَةٌ لِلْمَالِ وَمَنْسَأَةٌ
لِلْاَجَلِ
“Pelajarilah nasab kalian
yang dengannya kalian dapat menyambung silaturahim kalian. Sebab sesungguhnya
silaturahim itu dapat menumbuhkan kasih sayang dalam kekeluargaan, dapat
menjadi sebab dilapangkannya rezeki, dan dapat menjadi sebab dipanjangkannya
usia.” (HR. Thabrani dengan sanad yang terdiri atas para perawi yang
tsiqah)
Kunjungan
seperti ini akan membuat anak mencintai kerabatnya secara khusus, dan suka
bergaul dengan banyak orang secara umum. Membuat wawasan anak menjadi luas,
suka beraktivitas, bisa mengambil pelajaran di mana pada usia tersebut
pendidikan anak tak terbatas di rumah dan lingkungan sekitar rumah saja. Akan
tetapi sangat bermanfaat jika membiarkan anak menginap di rumah salah satu
kerabat agar anak mudah beradaptasi dengan lingkungan lain, seperti rumah paman
atau bibinya. Diharapkan agar terpatri dalam jiwanya bahwa rumah-rumah mereka
memiliki ikatan yang dekat satu sama lain, dan agar ia memahami bahwa kehidupan
ini lebih luas dari sekedar rumahnya sendiri.
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan, dia
berkata:
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِى مَيْمُوْنَةَ فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَا أَمْسَى فَقَالَ أَصَلَّى الْغُلَامُ
قَالُوْا نَعَمْ فَاضْطَجَعَ....
“Suatu ketika aku tidur
di rumah bibiku, Maimunah, lalu setelah waktu sore tiba Rasulullah Saw datang.
Beliau bertanya: ‘Apakah anak itu (Ibnu ‘Abbas) telah melaksanakan shalat?’
Keluarga bibiku menjawab: ‘Sudah.’ Lalu beliau pun berbaring tidur.”(HR.
Bukhari dan Abu Dawud)
Jadi
seorang penanggung jawab dalam sebuah keluarga harus selalu mengawasi anak,
agar sang anak terbiasa melaksanakan shalat; walaupun anak itu sebenarnya
adalah tamu.
·
Di antara kebiasaan baik yang
hendaknya dibiasakan seorang ayah kepada anaknya adalah ikut serta bermain
bersama dan bergembira dengannya. Hal itu dilakukan agar sang ayah dapat
mengarahkan anaknya hal yang benar dalam permainan yang dimainkannya. Juga agar
segala penghalang yang terdapat dalam jiwa anak terhadap ayahnya dan perasaan
bahwa sang ayah terlalu bersikap diktator dapat dihilangkan.
Imam Ahmad meriwayatkan
dengan sanad hasan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُفُّ عَبْدُ
اللهِ وَعُبَيْدَ اللهِ وَكَثِيْرًا مِنْ بَنِى الْعَبَّاسِ ثُمَّ يَقُوْلُ مَنْ سَبَقَ
إِلَيَّ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَيَسْتَبِقُوْنَ إِلَيْهِ فَيَقَعُوْنَ عَلَى
ظَهْرِهِ وَصَدْرِهِ فَيُقَبِّلُهُمْ وَيَلْزَمُهُمْ
“Rasulullah Saw pernah
membariskan ‘Abdullah, Ubaidillah, dan beberapa anak ‘Abbas lainnya. Setelah
itu beliau bersabda: ‘Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku, maka baginya
hadiah ini dan itu.’ Maka anak-anak itu pun berlomba-lomba untuk segera sampai
di tempat beliau, lalu di antara mereka ada yang mendekapkan diri ke pundak
beliau dan ada pula yang ke dada beliau, lalu Rasulullah pun mencium dan
menepati janji beliau kepada mereka.”
Ambillah
pelajaran dari sikap Rasulullah Saw di atas. Lihatlah bagaimana sifat
tawadhdhu’ Rasulullah Saw dan sikap beliau terhadap anak-anak kecil yang
bergelantungan pada pundak dan dada beliau yang mulia. Sikap itu adalah sikap
yang tepat terhadap anak-anak, menunjukkkan ketulusan dan dalamnya rasa kasih
sayang orang tua, pengakuan terhadap metode pendidikan islami bagi anak kecil,
dan bentuk kedewasaan untuk orang-orang dewasa.
·
Adapun di antara tanggung
jawab seorang ayah dalam mendampingi sang ibu adalah membiasakan dan senantiasa
mengingatkan anak untuk beribadah, khususnya shalat. Ayah hendaknya memberi
peringatan dan senantiasa mendorongnya untuk beribadah. Contohnya, meminta anak
bersiap-siap dengan mengambil air wudhu’ ketika waktu shalat akan hampir tiba
dan membantunya mengambil air wudhu’. Di sini peran serta dari anggota keluarga
lain juga sangat penting. Misalnya saudara kandung anak yang berbaris menyusun
shaf. Sebaiknya ayah dan saudara kandung paling besar mengajak anak kecil untuk
ke mesjid.
Adalah baik jika seorang ayah
mengajak anak untuk pergi mengunjungi orang-orang shalih, dengan maksud
agar itu didoakan dan diberkahi. Selain itu, ada baiknya ayah mengajak anak mengunjungi
majelis-majelis yang mana rahmat Allah akan turun kepada hamba-hambaNya yang
shalih (majelis ilmu misalnya), sehingga rahmatNya itu tercurahkan kepada
mereka dan kepada orang-orang yang ada bersama mereka, sebagaimana disebutkan
dalam hadits-hadits shahih. Selain itu, para malaikat pun akan menaungi mereka,
khususnya kepada para ulama yang senantiasa melakukan ibadah.
Dari Jumarah binti ‘Abdullah
Al-Yarbu’i ra. dia berkata:
ذَهَبَ بِي أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ
مَا وَرَدَتْ عَلَى أَبِي الْإِبِلُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ادْعُ اللهَ لِبِنْتِي
بِالْبَرَكَةِ قَالَتْ فَأَجْلَسَنِى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى
حِجْرِهِ وَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِى وَدَعَا لِى بِالْبَرَكَةِ
“Ayahku pernah mengajakku
pergi menemui Nabi Saw. Setelah unta yang kamj tunggangi sampai, dia lalu
berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong doakanlah kepada Allah untuk putriku agar
dia dilimpahkan keberkahan.’ Jumrah berkata: ‘Nabi Saw pun lalu mendudukan aku
di pangkuan beliau dan meletakkan tangan beliau di atas kepalaku, kemudian
beliau mendoakan keberkahan untukku.’” (HR. Thabrani)
·
Ka’ab bin Ujrah ra.
meriwayatkan, dia berkata: “Rasulullah Saw berjalan melewatiku. Para sahabat
Rasulullah lalu memandangku sebagai seorang yang kuat dan giat. Para sahabat
berkata: ‘Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika kekuatannya itu digunakan
untuk di jalan Allah?’ Rasulullah bersabda:
إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى
سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ
كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ،
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ،
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ
الشَّيْطَانِ
“Jika dia keluar rumah
dalam rangka mencari nafkah untuk anak-anaknya, maka dia sedang berada di jalan
Allah (Fii sabiilillah), Jika dia keluar rumah untuk bekerja menafkahi kedua
orang tuanya yang sudah tua renta, maka dia sedang berada di jalan Allah. Jika
dia keluar rumah untuk berusaha menafkahi dirinya sendiri hingga terjaga
kehormatan dirinya, maka dia sedang berada di jalan Allah. Sebaliknya, jika dia
pergi berusaha (bekerja) untuk riya’ dan menyombongkan diri, maka dia sedang
berada di jalan setan.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan
rawinya para perawi hadits-hadits shahih)
·
Menyantuni anak yatim menjadi
obat bagi hati yang kasar (kesat) dan membuka jalan rezeki.
Bahwasanya
seseorang mengeluhkan kepada Rasulullah bahwa hatinya terasa sangat kasar
(kesat), lalu beliau bersabda:
امْسَحْ رَأْسَ يَتِيْمٍ وَأَطْعِمْ مِسْكِيْنًا
“Usaplah kepala anak
yatim dan berilah makan orang miskin.”
Imam Thabrani juga
meriwayatkan:
أَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ
قَلْبِهِ قَالَ أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ وَتُدْرِكُ حَاجَتَكَ ارْحَمْ الْيَتِيْمَ
وَامْسَحْ رَأْسَهُ وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ
حَاجَتَكَ
“Ada seseorang mendatangi
Rasulullah Saw mengeluhkan kekesatan (kekasaran) hatinya. Beliau lalu bersabda:
‘Apakah kamu mau hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi? Sayangilah
anak yatim; usaplah kepalanya, berikanlah makan kepadanya dengan makanan yang
ada padamu, niscaya hatimu akan lembut dan keinginanmu terpenuhi.’”
Rasulullah Saw bersabda:
مَا قَعَدَ يَتِيْمٌ مَعَ قَوْمٍ عَلَى قَصْعَتِهِمْ فَيَقْرُبَ
قَصْعَتَهُمْ شَيْطَانٌ
“Seorang anak yatim yang
duduk bersama suatu kaum untuk makan bersama-sama mereka, maka setan tidak akan
mendekat pada tempat makan mereka itu.” (HR. Thabrani; sanadnya
hasan)
Bahkan
memberikan makan kepada anak yatim akan memperluas rezeki dan membuat usaha
kita diberkahi Allah. Sikap itu juga termasuk pendidikan kepada seorang anak.
Imam Thabrani meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سُوْءَ الْحِرْفَةِ فَقَالَ رَبِّ صَغِيْرًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ
جَارِيَةً أَوْغُلَامًا
“Bahwasanya ada seseorang
mengeluhkan kepada Rasulullah Saw mengenai buruknya penghasilan. Beliau lalu
bersabda: ‘Didiklah anak kecil.’ Orang itu menanyakan kepada Rasulullah Saw
(apakah laki-laki atau perempuan), lalu beliau berkata: ‘Anak perempuan atau
laki-laki.’”
·
Penulis (Muhammad Husain)
juga berpesan kepada orang yang menafkahi anaknya yang masih kecil, orang
tuanya yang telah tua renta, atau orang yang membutuhkan: “Janganlah Anda
menyebut-nyebut kebaikan Anda itu kepada seseorang. Semoga allah memberikan dan
melapangkan rezeki kepada Anda berkat kebaikan kepada mereka, sehingga Anda
akan memperoleh kekayaan dan kenikmatan dari rezeki mereka yang Allah
anugerahkan melalui tangan Anda.”
Allah Swt
berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَآءُ وَيَقْدِرُۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادَتِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا (۳۰) وَلَا تَقْتُلُوْا
أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاكُمْۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا
كَبِيْرًا (۳١)
“Sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’: 30-31)
[1] كيف تزكو نفس الطفل,
h. 22
[2] Para
periwayat hadits ini adalah para perawi hadits-hadits shahih.
[3] Ali
mendapatkan imbalan kurma atas setiap embar air yang diambilkannya dari sebuah
sumur.
[4] Dari
hadits ini dapat dipahami bahwa waktu yang digunakan untuk mempertebal iman
tidak boleh menghalangi seorang mukmin guna meluangkan waktunya untuk mencandai
anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar