Kamis, 28 Juli 2022

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH




               

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ.  اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، مَنْ يُطِعِ اللهَ فَقَدْ رَشَدَ، وَمَنْ يَعْصِمِهَا فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ اِلَّا نَفْسَهُ وَلَا يَضُرُّ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا[1].

 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَالرَّسُوْلِ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. قَالَ اللهُ فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْم: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُالْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.

اَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

 

Alhamdulillahirabbil’alamin, marilah kita bersyukur kepada Allah Swt karena dengan kehendakNya jualah, kita bisa berkumpul di Masjid Jami’ Jami’atul Khairiyah Sekuduk yang kita cintai, di majelis dan hari Jumat yang mulia ini. Shalawat dan salam moga selalu tercurah kepada Junjungan kita, Nabiyullah Muhammad Saw, beserta ahli keluarga dan para sahabat beliau. Mengawali khutbah, tak lupa khatib berpesan, marilah kita selalu menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Sebagai insan faqir ilmu, khatib juga mengutarakan tidaklah yang berbicara ini lebih baik daripada yang mendengarkan. Semoga Allah Swt memberikan hidayah dan inayahNya sehingga apa yang disampaikan bermanfaat, mengandung kebaikan dan kebenaran.

 

Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Sebentar lagi kita akan menyambut pergantian tahun Hijriyah. Biasanya untuk menyambut pergantian momen seperti ini, kita sebagai orang yang beragama, terlebih sebagai seorang Muslim, diajak atau diingatkan untuk menilai, meneliti, mengevaluasi apa saja yang sudah dilakukan, bagaimana kualitas dan kuantitas dari amalan kita atau biasa disebut dengan Muhasabah diri atau evaluasi diri. Hal ini tentu tidak lepas dari kenyataan bahwa kita semua yang hadir di masjid saat ini, serta semua manusia yang masih hidup di atas bumi Allah Swt ini, memiliki modal yang sama yaitu waktu, usia, umur yang menandakan kita masih punya kesempatan untuk menambah amal kebaikan atau sebaliknya. Maka siapakah orang yang terbaik dan paling beruntung di antara kita? Bukan yang tinggi status sosialnya, bukan status ekonomi, bukan pula pangkat dan gelar. Tapi, marilah kita renungkan Firman Allah Swt berikut:

وَالْعَصْرِ۝ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ۝ إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ۝

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”. (QS. Al-Ashr)

Muhammad bin Hasan Aqil Musa Syarif dalam bukunya “Ajzuts Tsiqat” mengemukakan bahwa, kebanyakan orang-orang shaleh yang beramal menapaki jalan keshalehan dan mempelajarinya, dimulai dari usia 20 tahun. Artinya dia telah kehilangan kira-kira 1/3 dari usianya tanpa memanfaatkannya secara maksimal. Hal ini jika kita mengukur berdasarkan kepada hadits Rasulullah Saw yang menyatakan:

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إَلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذٰلِكَ

“Usia umatku berkisar antara 60-70 tahun. Jarang sekali di antara mereka melewati (angka) itu.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)[2]. Beliau melanjutkan jika kita anggap saja usia seseorang itu adalah 60 tahun. Bila dikurang dengan 20 tahun tadi, maka sisa usianya tinggal 40 tahun saja.

Lalu 40 tahun ini biasanya akan berjalan sebagai berikut:

Pertama, sepertiga usia digunakan untuk tidur. Ini dengan asumsi rata-rata tidur 8 jam per hari. Artinya usia 40 tahun itu berkurang sekitar 13 tahun 6 bulan.

Kedua, sepertiga usia digunakan untuk bekerja. Dengan demikian dari 40 tahun usia ini berkurang sekitar 13 setengah tahun lagi.

Ketiga, berdasarkan perkiraan di atas maka dari usia orang yang hidup selama 60 tahun tersisa sekitar 13 tahun saja. Dalam sisa usia inilah ia melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, masalah-masalah dunia seperti menikah, memelihara anak, mengunjungi kerabat dan teman-teman, makan, minum, pergi bertamasya atau ke pasar, dan lain-lain.

Karena itulah generasi salaf (terdahulu) mengurangi waktu tidur, kerja dan pemenuhan kebutuhan mereka sehingga waktu lebih banyak dapat dicurahkan untuk mengejar keutamaan berlomba dalam kebaikan dan ibadah. Rumusan ini tentunya tidak dapat serta merta kita terapkan karena situasi dan kondisi serta tuntutan kehidupan kita tidaklah sama persis dengan mereka di masa lalu. Maka mungkin penerapan yang dapat kita lakukan untuk masa kini adalah dengan tetap menepati ibadah-ibadah wajib, disusul melaksanakan ibadah sunnah sesuai kadar kemampuan dan kesesuaian dengan kondisi masing-masing. Sehingga sangat penting bagi kita untuk mengetahui prioritas baik ibadah maupun hal yang sifatnya kewajiban-kewajiban terkait pemenuhuhan tuntutan hidup duniawi. Mungkin beberapa orang mampu memperbanyak puasa sunnah, sedangkan bagi yang pekerjaannya memerlukan energi lebih tidak sesuai. Di beberapa orang mungkin ibadah sedekah merupakan hal yang ringan, akan tetapi bagi yang lain mungkin hal tersebut berat, namun ia bisa saja mengubah bentuknya semisal bersedekah dengan senyum, nasihat, bantuan tenaga, dan lainnya. Di samping itu menjauhi penggunaan barang yang haram, menghindari perbuatan yang dilarang syariat juga adalah di antara cara untuk membuat masa yang ada lebih bernilai di sisi Allah. Hal-hal pemenuhan kebutuhan manusia, seperti bekerja yang halal, makan, minum, silaturahmi dan lain sebagainya juga bisa diberi nilai ibadah dengan baiknya niat dan juga dengan memperhatikan ada-adab yang diajarkan Rasulullah Saw misalnya dalam hal makan, kita menerapkan adab-adab makan dan sebagainya.

Jamaah Rahimakumullah....

Adapun tips bagaimana memulai introspeksi diri atau muhasabah ini, terutama mengingat momen menyambut pergantian Tahun Hijriyah ini, marilah kita renungkan perkataan Imam Ibnul Qayyim berikut: “Hendaknya mulai dari perkara-perkara yang wajib, apabila menjumpai kekurangan-kekurangan maka berusahalah untuk menutupnya. Kemudian perkara-perkara yang dilarang, jika sadar bahwa dirinya pernah mengerjakan yang haram maka tambahlah dengan taubat, istighfar dan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa. Kemudian introspeksi diri terhadap perkara yang melalaikan dari tujuan hidup ini. jika selama ini banyak lalai, maka hilangkanlah kelalaian tersebut dengan memperbanyak zikir, menghadap Allah Azza wa Jalla. Kemudian introspeksi diri terhadap anggota badan; ucapan yang keluar dari lisan, langkah kaki yang diayunkan, pandangan mata yang dilihat, telinga dalam hal yang didengarkan. Tanyalah dalam diri, apa yang saya inginkan dengan ini, untuk siapa saya kerjakan dan bagaimana saya mengerjakannya.”

Jamaah Jumat Rahimakumullah...

Khutbah pertama ini khatib tutup dengan sebuah hadits Rasulullah Saw yang secara khusus mengajarkan tentang sabar dan syukur, tetapi rasanya dapat pula kita kaitkan tema kali ini. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ نَظَرَ فِى دُنْيَاهُ إَلَى مَنْ هُوَ دُوْنَهُ فَحَمِدَ اللهَ عَلٰى مَا فَضَّلَهُ بِهِ عَلَيْهِ كَتَبَهُ اللهُ شَاكِرًا صَابِرًا

“Orang yang dalam urusan agamanya melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu dia mengikutinya, sedangkan dalam urusan dunianya melihat kepada orang yang lebih rendah daripadanya lalu dia bersyukur kepada Allah karena Allah telah melebihkan dia. Orang ini berhak dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan penyabar.” 

Demikian khutbah singkat yang dapat khatib sampaikan..

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ...

 

Khutbah kedua....

اَلْحَمْدُللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيآاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ تَعَلَى: اِنَّا اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ  يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَالرَّسُوْلِ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ, وَالْمُسْلِمِيْنِ وَالْمُسْلِمَات, اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ , اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَات. اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَان، وَارْزُقْنَا صِيَامَهُ وَقِيَامَهُ، وَسُجُوْدَهُ وَرُكُوْعَهُ، وَتِلَاوَتَهُ آنآءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ. اَللَّهُمَّ بَلِّغْنَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَارْزُقْنَا خَيْرَهَا وَأَجْرَهَا، وَاغْفِرْلَنَا مَا قَدَّمْنَا وَمَا أَخَّرْنَا يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا  .رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 فَيَا عِبَادَ اللهَ, اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَان وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّروْنَ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

 

[Sekuduk. Jumat, 29.Juمi.22, +-02:00-60:10]

 

 

 

 



[1] HR. Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud (Fiqh Sunnah, jil.ii, penerbit Pena Pundi Aksara, h.5

[2] Hadits tentang rentang usia umat Nabi Saw ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah

Jumat, 01 Juli 2022

BAHAS BUKU: Agar Jiwa Anak Tetap Bersih: Peran Ayah sangat Menentukan (كيف تزكو نفس الطفل) : Menyusuri Sisi Lembut Rasulullah Saw dalam Mendidik

Judul Asli: كيف تزكو نفس الطفل

Penulis: Muhammad Husain’

Penerbit Asal: Dar Ad-Da’wah, Mesir

Edisi Bahasa Indonesia: Agar Jiwa Anak Tetap Bersih: Peran Ayah sangat Menentukan

Penerbit: Irsyad Baitussalam

 

A.      KALAM PEMBUKA

Alhamdulillahirabbil’alamin, bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat iman dan Islam yang dengannya kita menjalani hidup hingga saat ini. Shalawat dan salam semoga Allah Swt anugerahkan buat junjungan kita, Nabi Muhammad Saw serta ahli keluarga, kerabat dan sahabat baginda.

Pada unggahan kali ini, kami hendak menukil beberapa hadits dan atsar yang menggambarkan sisi lemah lembutnya Rasulullah Saw dalam mendidik dan mengajarkannya kepada para sahabat beliau. Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk para pengunjung blog ini secara umum, khususnya buat kami pribadi jikalau diperlukan maka materi ini dapatlah kami rujuk kembali pada saatnya. Kemudian, dalam teknis nukilan ini kami mungkin akan menyadur sesuai keperluan dan relevansinya buat kami pribadi, sehingga bagaimanapun kami tetap menyarankan para pengunjung untuk merujuk buku ini secara langsung demi mendapatkan gambaran utuh dari bahasan yang dikutip di ruang yang terbatas ini.

 POIN-POIN BAHASAN

·       Hendaknya Anda memiliki ambisi (keinginan) agar anak Anda memperoleh kesuksesan di dunia dan kemenangan di akhirat kelak. Artinya, dia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, bermanfaat bagi dirinya sendiri, memiliki fisik yang kuat dan pemahaman agama yang baik, mencintai kebaikan dan menyerukan orang lain kepada kebaikan tersebut, dan dapat hidup dengan orang lain dengan kasih sayang dan saling memberikan pertolongan.[1]

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ibu-ibu di kalangan sahabat sangat ingin menciptakan generasi-generasi yang tangguh. Berikut adalah contoh kekhawatiran seorang sahabat perihal anaknya yang tidak mau bangun malam dan memilih untuk terus tidur.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya mengisahkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dengan membawa putranya. Ia berkata,

إِنَّ ابْنِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِالنَّهَارِ وَيَبِيْتُ بِالَّيْلِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَنْقِمُ أَنَّ ابْنَكَ يُصْبِحُ ذَاكِرًا وَيَبِيْتُ سَالِمًا

“Wahai Rasulullah, anakku membaca Al-Qur’an di siang hari, (tetapi) di malam hari dia hanya tidur.” Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu menjadi tidak suka kepadanya hanya karena anakmu berdzikir di pagi hari, sedangkan di malam hari dia tidur semalaman (tanpa berqiyamullail).”

·       Hendaklah berinteraksi dengan anak kecil dengan penuh kasih sayang, bila kondisi menuntut orang tua bertindak tegas, tetaplah bersikap kasih sayang dan diiringi rasa cinta.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata:

أَعْطَانِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةٌ سَوْدَاءَ كَأَنَّهَا فَحْمَةٌ ضَعِيْفَةٌ لَمْ تُخطَمْ فَمَسَحَهَا ثُمَّ دَعَا لِى عَلَيْهَا بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ أَدِّبِى وَارْفُقِى

“Rasulullah Saw pernah memberikan seekor unta hitam kepadaku. Unta itu kelihatan seperti arang dan kondisinya sangat lemah seolah tidak perlu dipasangi tali kekang. Rasulullah Saw lalu mengusap unta itu dan mendoakan kepadaku agar mendapatkan keberkahan dari unta itu. Rasulullah Saw bersabda: ‘Wahai Aisyah, latihlah dia dan bersikap lembutlah terhadapnya.’” (HR. Al-Bazzar)[2]

Jika terhadap hewan saja Rasulullah Saw bersikap seperti itu, maka bagaimanakah kewajiban kita dalam memperlakukan seorang anak manusia yang masih kecil?

·       Anak kecil memiliki energi (energi power) yang kuat. Energinya harus disalurkan. Karena itu, kita harus berusaha agar energinya tidak dihabiskan untuk sesuatu yang tidak membantu perkembangan keterampilan, perilaku, kemampuan, dan menambah sifat energik yang dimilikinya. Sikap keterlaluan dalam menjaga, memelihara, dan mengekang anak, lebih menimbulkan mudharat bagi anak daripada manfaat yang akan diterimanya. Sikap selalu melarang, menolak, kasar, keras, dengan maksud agar anak dapat mengemban tanggung jawab –meski di luar kemampuannya-, selalu membatasi ruang gerak setiap perbuatan anak seperti ketika makan, tidur, dan berpakaian; itu semua merupakan sikap yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak yang selalu menginginkan kebebasan untuk bergerak dan beraktivitas, sehingga kemampuan dan keterampilannya dapat tumbuh dalam lingkungan yang benar.

Yang hendaknya dilakukan oleh orang tua ialah memberi sedikit kebebasan kepada anak dalam beraktivitas, mencari pengalaman, dan bersosialisasi, namun tetap memberikan dorongan dan penghargaan kepadanya, sehingga anak memiliki kebebasan, namum tetap mendapatkan arahan dan pengawasan. Selain itu, orang tua juga membantunya dalam mengemban tanggung jawab, meski hanya dengan sedikit bantuan, agar anak memiliki rasa percaya diri. Bentuk bantuan itu dapat berupa pemberian sesuatu kepadanya tanpa memanjakannya, agar sang anak terbiasa bersikap tegar dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Tindakan seperti itu merupakan hukuman simbolik (nonfisik) dalam rangka mendidik anak, dengan tetap menunjukkan perasaan cinta, kasih sayang dan kelembutan kepadanya.

·       Sayyidah Fathimah bin Rasulullah Saw meriwayatkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهَا يَوْمًا فَقَالَ أَيْنَ أَبْنَائِي يَعْنِي حَسَنًا وَحُسَيْنًا قَالَتْ أَصْبَحْنَا وَلَيْسَ فِي بَيْتِنَا شَيْءٌ يَذُوْقُهُ ذَائِقٌ فَقَالَ عَلِيُّ أَذْهَبُ بِهِمَا فَإِنِّي أَتَخَوَّفُ أَنْ يَبْكِيَا عَلَيْكِ وَلَيْسَ عِنْدَكِ شَيْءٌ فَذَهَبَ إِلَى فُلَانٌ الْيَهُوْدِيِّ فَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَهُمَا يَلْعَبَانِ فِي سَرِيَّةٍ بَيْنَ أَيْدَيهِمَا فَضْلٌ مِنْ تَمْرٍ فَقَالَ يَا عَلِيُّ أَلَا تَقْلَبُ ابْنَيَّ قَبْلَ أَنْ يَشْتَدَّ الْحَرُّ قَالَ عَلِيُّ أَصْبَحْنَا وَلَيْسَ فِي بَيْتِنَا شَيْءٌ فَلَوْ جَلَسْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ حَتَّى أَجْمَعَ لِفَاطِمَةَ  تَمَرَاتٍ فَجَلَسَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى اجْتَمَعَ لِفَاطِمَةَ شَيْءٌ مِنْ تَمْرٍ فَجَعَلَهُ فِي صُرَّتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ فَحَمَلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمَا وَعَلِيُّ الْآخَرَ حَتَّى أَقْلَبَهُمَا 

“Bahwasanya suatu hari Rasulullah Saw mendatanginya, beliau bertanya: “Mana anak-anakku?” Maksudnya adalah Hasan dan Husain. Fathimah menjawab: “Pagi ini di rumah kami tidak ada makanan yang dapat dimakan, sehingga Ali berkata, ‘Aku akan pergi membawa mereka (Hasan dan Husain), aku khawatir keduanya akan menangis, sedangkan kamu tidak memiliki makanan apa pun.’ Ali pun lalu pergi ke rumah si Fulan, seorang Yahudi.”[3] Nabi Saw pun lalu menyusul ke tempat itu. Di sana beliau mendapatkan Hasan dan Husain sedang bermain di dekat aliran air. Pada tangan keduanya terlihat ada sisa kurma. Rasulullah Saw berkata: “Wahai Ali, tidakkah kamu membawa pulang anakku ini sebelum hari semakin panas?” Ali menjawab: “Kami tidak memiliki makanan apa pun di rumah. Alangkah baiknya jika engkau berkenan duduk sebentar (menemani Hasan dan Husain), wahai Rasulullah, sampai aku selesai mengumpulkan kurma-kurma ini untuk Fathimah.” Rasulullah Saw pun duduk sampai Ali selesai mengumpulkan kurma-kurma untuk diberikan kepada Fathimah, lalu dia (Ali) meletakkan kurma-kurma itu ke dalam kantong miliknya. Setelah itu dia pun pulang. Rasulullah membawa salah seorang anak itu, sedangkan Ali membawa yang satunya lagi hingga keduanya pun dapat pulang bersama.”(HR. Thabrani dengan sanad hasan) 

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. dia berkata:

دَخَلْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ يَلْعَبَانِ عَلَى بَطْنِهِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتُحِبُّهُمَا فَقَالَ وَمَا لَا أُحِبُّهُمُا وَهُمَا رَيْحَانَتَيَ

“Aku pernah masuk menemui Rasulullah Saw. Saat itu Hasan dan Husain sedang bermain di atas perut beliau. Aku berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mencintai mereka?’ Beliau menjawab: ’Bagaimana aku tidak mencintai mereka, wong mereka itu dua buah hatiku.’”(HR. Al-Bazzar, para perawinya ialah perawi hadits-hadits shahih)

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, dia berkata:

رَأَيْتُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَى عَاتِقَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ نِعْمَ الَفَرَسِ تَحْتَكُمَا فَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ نِعْمَ الَفَارِسَانِ

“Aku pernah melihat Hasan dan Husain berada di dua pundak Rasulullah Saw. Aku berkata: ‘Sebaik-baik tunggangan adalah yang sedang kalian tunggangi.’ Rasulullah Saw pun bersabda” ‘Dan sebaik-baik penunggang adalah keduanya.’” (HR. Abu Ya’la dan Al-Bazzar, para perawi dari Abu Ya’la ialah perawi hadits-hadits shahih)

Hanzhalah berkata:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَّرَ النَّارَ ثُمَّ جِئْتُ إِلَى الْبَيْتِ فَضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَلَاعَبْتُ الْمَرْأَةَ فَخَرَجْتُ فَلَقِيْتُ أَبَا بَكْرٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ وَأَنَا قَدْ فَعَلْتُ مِثْلَ مَا تَذْكُرُ

“Suatu hari kami berada di majelis Rasulullah Saw. Beliau memperingatkan kami tentang neraka, kemudian aku pulang ke rumah dan mencandai anak-anak dan istri hingga kami tertawa bersama. Setelah itu aku pergi, aku bertemu dengan Abu Bakar, lantas aku menceritakan kepada Abu Bakar mengenai sikapku itu. Abu Bakar berkata: “Aku pun melakukan seperti yang kamu ceritakan.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)[4]

Jadi rumah itu hendaknya dipenuhi dengan canda tawa dan gurauan bersama istri dan anak-anak. Dimikianlah rumah orang beriman. Lihatlah rumah Rasulullah Saw, rumah Abu Bakar, rumah Hanzhalah. Di sana Anda akan dapat mendengar tangisan karena kekhusyu’an mereka ketika melaksanakan shalat. Akan tetapi, Anda juga akan mendengar canda tawa yang menunjukkan kebahagiaan hidup rumah tangga mereka. Tiadalah pada rumah seperti itu melainkan di dalamnya terdapat kebaikan, dan sebaliknya keburukan akan menjauh darinya.

·       Rasulullah Saw melarang mendekati hal-hal yang dapat menimbulkan keburukan di dalam rumah.

شَرُّالنَّاسِ الضَّيِّقُ عَلَى أَهْلِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَكُوْنُ ضَيِّقًا عَلَى أَهْلِهِ قَالَ الرَّجُلُ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ خَشَعَتْ امْرَأَتُهُ وَهَرَبَ وَلَدُهُ وَفَرَّ فَإِذَا خَرَجَ ضَحِكَتْ امْرَأَتُهُ وَاسْتَأْنَسَ أَهْلُ بَيْتِهِ     

“Manusia yang paling buruk adalah yang membuat keluarganya merasa terhimpit (tidak nyaman).” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana orang itu membuat keluarganya merasa tidak nyaman?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang jika masuk ke dalam rumahnya, maka istrinya merasa takut dan anaknya lari menjauh darinya. Jika die pergi keluar rumah, maka istrinya justru bisa tertawa dan anggota keluarganya dapat merasa nyaman.”(HR. Thabrani)

·       Kehadiran seorang ayah kiranya penting di saat anak sakit. Karena biasanya ibu akan merasa galau dan terlalu khawatir. Keberadaan ayah dan kasih sayangnya dapat membantu kondisi kesehatan anak menjadi lebih stabil, membantunya tegar melalui sakit, menambah semangat untuk sembuh dan membuat anak merasa tenang.

Diriwayatkan dari Bara’ bin ‘Azib ra. dia berkata:

دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا الْحُمَّى فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَيَقُوْلُ كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ

“Aku pernah bersama Abu Bakar masuk menemui keluarganya. Putrinya, Aisyah, sedang terbaring karena demam yang dideritanya. Aku melihat ayahnya (Abu  Bakar) mencium pipi putrinya itu dan berkata: ‘Bagaimana keadaanmu, wahai Putriku?’” (Muttafaq ‘alaih)

Di antara sikap baik yang diperlihatkan oleh seorang ayah adalah mengajaknya mengunjungi kerabat dan famili. Hal itu dimaksudkan agar anak terbiasa menyambung ikatan tali silaturahim, sehingga dapat mengenal keluarga dan kerabatnya. Rasulullah Saw bersabda:

تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةِ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ لِلْاَهْلِ مَثْرَةٌ لِلْمَالِ وَمَنْسَأَةٌ لِلْاَجَلِ

“Pelajarilah nasab kalian yang dengannya kalian dapat menyambung silaturahim kalian. Sebab sesungguhnya silaturahim itu dapat menumbuhkan kasih sayang dalam kekeluargaan, dapat menjadi sebab dilapangkannya rezeki, dan dapat menjadi sebab dipanjangkannya usia.” (HR. Thabrani dengan sanad yang terdiri atas para perawi yang tsiqah)

Kunjungan seperti ini akan membuat anak mencintai kerabatnya secara khusus, dan suka bergaul dengan banyak orang secara umum. Membuat wawasan anak menjadi luas, suka beraktivitas, bisa mengambil pelajaran di mana pada usia tersebut pendidikan anak tak terbatas di rumah dan lingkungan sekitar rumah saja. Akan tetapi sangat bermanfaat jika membiarkan anak menginap di rumah salah satu kerabat agar anak mudah beradaptasi dengan lingkungan lain, seperti rumah paman atau bibinya. Diharapkan agar terpatri dalam jiwanya bahwa rumah-rumah mereka memiliki ikatan yang dekat satu sama lain, dan agar ia memahami bahwa kehidupan ini lebih luas dari sekedar rumahnya sendiri.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan, dia berkata:

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِى مَيْمُوْنَةَ فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَا أَمْسَى فَقَالَ أَصَلَّى الْغُلَامُ قَالُوْا نَعَمْ فَاضْطَجَعَ....

“Suatu ketika aku tidur di rumah bibiku, Maimunah, lalu setelah waktu sore tiba Rasulullah Saw datang. Beliau bertanya: ‘Apakah anak itu (Ibnu ‘Abbas) telah melaksanakan shalat?’ Keluarga bibiku menjawab: ‘Sudah.’ Lalu beliau pun berbaring tidur.”(HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Jadi seorang penanggung jawab dalam sebuah keluarga harus selalu mengawasi anak, agar sang anak terbiasa melaksanakan shalat; walaupun anak itu sebenarnya adalah tamu.

·       Di antara kebiasaan baik yang hendaknya dibiasakan seorang ayah kepada anaknya adalah ikut serta bermain bersama dan bergembira dengannya. Hal itu dilakukan agar sang ayah dapat mengarahkan anaknya hal yang benar dalam permainan yang dimainkannya. Juga agar segala penghalang yang terdapat dalam jiwa anak terhadap ayahnya dan perasaan bahwa sang ayah terlalu bersikap diktator dapat dihilangkan.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad hasan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُفُّ عَبْدُ اللهِ وَعُبَيْدَ اللهِ وَكَثِيْرًا مِنْ بَنِى الْعَبَّاسِ ثُمَّ يَقُوْلُ مَنْ سَبَقَ إِلَيَّ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَيَسْتَبِقُوْنَ إِلَيْهِ فَيَقَعُوْنَ عَلَى ظَهْرِهِ وَصَدْرِهِ فَيُقَبِّلُهُمْ وَيَلْزَمُهُمْ

“Rasulullah Saw pernah membariskan ‘Abdullah, Ubaidillah, dan beberapa anak ‘Abbas lainnya. Setelah itu beliau bersabda: ‘Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku, maka baginya hadiah ini dan itu.’ Maka anak-anak itu pun berlomba-lomba untuk segera sampai di tempat beliau, lalu di antara mereka ada yang mendekapkan diri ke pundak beliau dan ada pula yang ke dada beliau, lalu Rasulullah pun mencium dan menepati janji beliau kepada mereka.”

Ambillah pelajaran dari sikap Rasulullah Saw di atas. Lihatlah bagaimana sifat tawadhdhu’ Rasulullah Saw dan sikap beliau terhadap anak-anak kecil yang bergelantungan pada pundak dan dada beliau yang mulia. Sikap itu adalah sikap yang tepat terhadap anak-anak, menunjukkkan ketulusan dan dalamnya rasa kasih sayang orang tua, pengakuan terhadap metode pendidikan islami bagi anak kecil, dan bentuk kedewasaan untuk orang-orang dewasa.

·       Adapun di antara tanggung jawab seorang ayah dalam mendampingi sang ibu adalah membiasakan dan senantiasa mengingatkan anak untuk beribadah, khususnya shalat. Ayah hendaknya memberi peringatan dan senantiasa mendorongnya untuk beribadah. Contohnya, meminta anak bersiap-siap dengan mengambil air wudhu’ ketika waktu shalat akan hampir tiba dan membantunya mengambil air wudhu’. Di sini peran serta dari anggota keluarga lain juga sangat penting. Misalnya saudara kandung anak yang berbaris menyusun shaf. Sebaiknya ayah dan saudara kandung paling besar mengajak anak kecil untuk ke mesjid.

Adalah baik jika seorang ayah mengajak anak untuk pergi mengunjungi orang-orang shalih, dengan maksud agar itu didoakan dan diberkahi. Selain itu, ada baiknya ayah mengajak anak mengunjungi majelis-majelis yang mana rahmat Allah akan turun kepada hamba-hambaNya yang shalih (majelis ilmu misalnya), sehingga rahmatNya itu tercurahkan kepada mereka dan kepada orang-orang yang ada bersama mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Selain itu, para malaikat pun akan menaungi mereka, khususnya kepada para ulama yang senantiasa melakukan ibadah.

Dari Jumarah binti ‘Abdullah Al-Yarbu’i ra. dia berkata:

ذَهَبَ بِي أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَا وَرَدَتْ عَلَى أَبِي الْإِبِلُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ادْعُ اللهَ لِبِنْتِي بِالْبَرَكَةِ قَالَتْ فَأَجْلَسَنِى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى حِجْرِهِ وَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِى وَدَعَا لِى بِالْبَرَكَةِ   

“Ayahku pernah mengajakku pergi menemui Nabi Saw. Setelah unta yang kamj tunggangi sampai, dia lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong doakanlah kepada Allah untuk putriku agar dia dilimpahkan keberkahan.’ Jumrah berkata: ‘Nabi Saw pun lalu mendudukan aku di pangkuan beliau dan meletakkan tangan beliau di atas kepalaku, kemudian beliau mendoakan keberkahan untukku.’” (HR. Thabrani)

·       Ka’ab bin Ujrah ra. meriwayatkan, dia berkata: “Rasulullah Saw berjalan melewatiku. Para sahabat Rasulullah lalu memandangku sebagai seorang yang kuat dan giat. Para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika kekuatannya itu digunakan untuk di jalan Allah?’ Rasulullah bersabda:

إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ  فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ

“Jika dia keluar rumah dalam rangka mencari nafkah untuk anak-anaknya, maka dia sedang berada di jalan Allah (Fii sabiilillah), Jika dia keluar rumah untuk bekerja menafkahi kedua orang tuanya yang sudah tua renta, maka dia sedang berada di jalan Allah. Jika dia keluar rumah untuk berusaha menafkahi dirinya sendiri hingga terjaga kehormatan dirinya, maka dia sedang berada di jalan Allah. Sebaliknya, jika dia pergi berusaha (bekerja) untuk riya’ dan menyombongkan diri, maka dia sedang berada di jalan setan.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan rawinya para perawi hadits-hadits shahih)

·       Menyantuni anak yatim menjadi obat bagi hati yang kasar (kesat) dan membuka jalan rezeki.

Bahwasanya seseorang mengeluhkan kepada Rasulullah bahwa hatinya terasa sangat kasar (kesat), lalu beliau bersabda:

امْسَحْ رَأْسَ يَتِيْمٍ وَأَطْعِمْ مِسْكِيْنًا

“Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.”

Imam Thabrani juga meriwayatkan:

أَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ قَلْبِهِ قَالَ أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ وَتُدْرِكُ حَاجَتَكَ ارْحَمْ الْيَتِيْمَ وَامْسَحْ رَأْسَهُ وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ

“Ada seseorang mendatangi Rasulullah Saw mengeluhkan kekesatan (kekasaran) hatinya. Beliau lalu bersabda: ‘Apakah kamu mau hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi? Sayangilah anak yatim; usaplah kepalanya, berikanlah makan kepadanya dengan makanan yang ada padamu, niscaya hatimu akan lembut dan keinginanmu terpenuhi.’”

Rasulullah Saw bersabda:

مَا قَعَدَ يَتِيْمٌ مَعَ قَوْمٍ عَلَى قَصْعَتِهِمْ فَيَقْرُبَ قَصْعَتَهُمْ شَيْطَانٌ

“Seorang anak yatim yang duduk bersama suatu kaum untuk makan bersama-sama mereka, maka setan tidak akan mendekat pada tempat makan mereka itu.” (HR. Thabrani; sanadnya hasan)

Bahkan memberikan makan kepada anak yatim akan memperluas rezeki dan membuat usaha kita diberkahi Allah. Sikap itu juga termasuk pendidikan kepada seorang anak.

Imam Thabrani meriwayatkan:

أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُوْءَ الْحِرْفَةِ فَقَالَ رَبِّ صَغِيْرًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ جَارِيَةً أَوْغُلَامًا

“Bahwasanya ada seseorang mengeluhkan kepada Rasulullah Saw mengenai buruknya penghasilan. Beliau lalu bersabda: ‘Didiklah anak kecil.’ Orang itu menanyakan kepada Rasulullah Saw (apakah laki-laki atau perempuan), lalu beliau berkata: ‘Anak perempuan atau laki-laki.’”

·       Penulis (Muhammad Husain) juga berpesan kepada orang yang menafkahi anaknya yang masih kecil, orang tuanya yang telah tua renta, atau orang yang membutuhkan: “Janganlah Anda menyebut-nyebut kebaikan Anda itu kepada seseorang. Semoga allah memberikan dan melapangkan rezeki kepada Anda berkat kebaikan kepada mereka, sehingga Anda akan memperoleh kekayaan dan kenikmatan dari rezeki mereka yang Allah anugerahkan melalui tangan Anda.”

Allah Swt berfirman:

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَآءُ وَيَقْدِرُۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادَتِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا (۳۰) وَلَا تَقْتُلُوْا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ  نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاكُمْۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيْرًا  ١)

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’: 30-31)

 

sekian, salam takzim. Anassekuduk. 

[1] كيف تزكو نفس الطفل, h. 22

[2] Para periwayat hadits ini adalah para perawi hadits-hadits shahih.

[3] Ali mendapatkan imbalan kurma atas setiap embar air yang diambilkannya dari sebuah sumur.

[4] Dari hadits ini dapat dipahami bahwa waktu yang digunakan untuk mempertebal iman tidak boleh menghalangi seorang mukmin guna meluangkan waktunya untuk mencandai anak-anaknya.

KHUTBAH JUM'AT: SEMANGAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MUHASABAH

                اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ َوَرَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُوْهُ وَنَعُوْذُ ب...